Puisi-Puisi dan Semangat
Revolusi
Sastra tak hanya memiliki visi
keindahan atau estetika belaka. Sastra juga harus berguna, seperti Horactio
yang mengatakan deude et utile, indah dan berguna. Hal itu menunjukkan
bahwa sastra memiliki dua fungsi yaitu fungsi artistik dan fungsi kemanfaatan.
Kemanfaatan sastra bisa sebagai sarana pendidikan (edukatif), bisa sebagai
wahana transformasi nilai-nilai dan budi pekerti, bisa sebagai sarana penanaman
rasa religiusitas, memperhalus budi pekerti, menanamkan moralitas, menanamkan
sikap luhur. Pendek kata, sastra adalah tontonan sekaligus tuntunan.
Kesusastraan
Indonesia sangat dipengaruhi oleh perjalanan sejarah bangsa Indonesia.
Peristiwa-peritiwa kesejarahan, riwayat-riwayat yang muncul karena gelora perlawanan revolusi, fakta-fakta kepahlawanan, dan
bukti-bukti patriotisme memiliki pengaruh yang besar terhadap perkembangan
sastra Indonesia.
Keterkaitan
revolusi
sebagai unsur kesejarahan bangsa dengan sastra Indonesia sangat dimungkinkan
karena dua hal. Pertama, setiap genre sastra selalu hadir sebagai sebuah sistem lambang budaya yang
merupakan hasil kegiatan intelektual sastrawannya dalam merespon berbagai
fenomena yang hadir di sekelilingnya, termasuk
fenomena kesejarahan.
Kedua, teks sastra adalah sebuah fakta kemanusiaan, fakta kejiwaan, dan fakta kesadaran kolektif sosiokultural. Raoucel dan Warren menyebutnya sebagai proyeksi kegelisahan manusia dengan segala macam persoalan kultural, sosial, sekaligus kejiwaan. Sastra Indonesia dan sastrawannya melihat wacana kebangsaan, historis, peristiwa kepahlawanan, heroisme, dan patriotisme sebagai fakta kemanusiaan, fakta kejiwaan, dan fakta kesadaran kolektif sosiokultural yang layak dan perlu diungkap dalam teks-teks sastra.
Puisi-Puisi Bernafas Kepahlawanan dan Revolusi
Dalam paragfaf-paragraf
di atas telah dibentangkan bagaimana keterkaitan sastra dengan peristiwa
kepahlawanan, perjuangan revolusi, patriotisme, dan heroisme. Sejarah
sastra kita pun sudah mencatat banyak sekali teks-teks sastra yang
merefleksikan dan mengangkat tema kepahlawanan dan revolusi, baik
teks-teks sastra yang berbentuk prosa maupun
puisi. Bahkan kecenderungan tema patriotisme oleh Ajip Rosidi, pernah dijadikan
ciri penanda salah satu angkatan dalam sejarah kesusastraan Indonesia, yaitu
angkatan 45.
Tema
kepahlawanan dan revolusi
yang muncul dalam puisi-puisi Indonesia memiliki dua tipe kecenderungan. Yang
pertama, mengacu pada sosok pahlawan tertentu atau didedikasikan khusus untuk
seseorang pahlawan tertentu. Yang kedua, puisi tersebut tidak mengacu pada
seseorang pahlawan tertentu secara riil namun rekaan atau nilai-nilai
kepahlawanannya yang diungkapkan.
Untuk yang tipe pertama, mari kita perhatikan puisi karya Sanusi Pane di bawah ini:
TERATAI
Kepada
Ki Hadjar Dewantara
Dalam kebun di tanah airku
Tumbuh
sekuntm bunga teratai:
Tersembunyi
kembang indah permai,
Tidak terlihat orang yang lalu.
Akar tumbuhnya di hati dunia
Daun
berseri Laksmi mengarang:
Biarpun
ia diabaikan orang
Seroja kembang gemilang mulia.
Teruslah, o Teratai bahagia
Berseri di kebun Indonesia
Biar
sedikit penjaga taman.
Biarpun engkau tidak dilihat
Biarpun engkau tidak diminat
Engkaupun turut menjaga zaman
Puisi
di atas dengan jelas, terang-terangan ditujukkan untuk Ki Hadjar Dewantara.
Puisi di atas termasuk jenis puisi ode, yaitu puisi yang dipersembahkan atau
diperuntukkan kepada seseorang. Dengan sederhana, terang, dan mudah dipahami,
Sanusi pane memyimbolkan Ki Hadjar sebagai sebuah teratai. Teratai dalam
khazanaf filsafat Timur merupaka bunga yang sederhana namun indah dan bisa
hidup dimana saja. Perjuangan pendidikan Ki Hadjar diibaratkan sebagai teratai
yang akarnya kuat dan bisa tumbuh di mana saja.
Chairil Anwar pernah menulis puisi ode seperti di atas. Judul puisinya Diponegoro, jelas-jelas menunjukkan bahwa puisi ini mengacu pada sosok Pangeran Diponegoro yang dalam sejarah pernah melakukan perlawanan bersenjata terhadap kolonialisme Belanda. Namun, dalam puisi di atas, Chairil lebih mengedepankan nilai-nilai keberanian dan patriotisme Diponegoro. Mari kita simak puisi tersebut:
Diponegoro
Di masa pembangunan ini
Tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api
Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus
kali
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa
mati
MAJU
Ini barisan tak bergenderang –berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu
Sekali berarti
Sudah itu mati
MAJU
Bagimu negeri
Menyediakan api
Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditindas
Sungguhpun dalam ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasaierbu,
Serang,
Terjang
Dalam
puisi yang lain Chairil Anwar menuliskan semangat revvolusi
dengan menggetarkan berjudul, Persetujuan
Dengan Bung Karno:
Ayo Bung Karno kasi tangan mari kita
bikin janji
Aku sudah cukup lama dengar bicaramu,
Dipanggang atas apimu, digarami atas
lautmu.
Dari mulai 17 Agustus 1945
Aku melangkah ke depan berada rapat di
sisimu
Aku sekarang api aku sekarang laut.
Bung Karno! Kau dan aku satu zat, satu
urat
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita
berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita
bertolak dan berlabuh.
1948
Puisi
Chairil Anwar di atas bertiti mangsa 1948, lima tahun setelah kemerdekaan
Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno dan Hatta. Di tahun-tahun revolusi itu
kita tahu, merupakan tahun-tahun yang penuh gejolak revolusi dan
patriotisme yang membucah-buncah.
Berbeda
dengan Chairil, penyair lain, yaitu Toto Sudarto Bachtiar, menulis puisi
kepahlawanan untuk mengenang para pahlawan tak dikenal yang gugur demi
bangsanya dengan cara yang mengharukan dan sangat menyentuh dalam puisi
panjangnya Pahlawan Tak Dikenal:
Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring
Tapi bukan tidur, sayang
Sebuah lubang peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata, kita sedang
perang
Dia tidak ingat bilamana dia datang
Kedua lengannya memeluk senapan
Dia tidak tahu untuk siapa dia datang
Kemudian dia terbaring, tapi bukan
tidur sayang
Wajah sunyi setengah tengadah
Menangkap sepi padang senja
Dunia tambah beku di tengah derap dan
suara menderu
Dia masih sangat muda
Hari itu 10 November, hujanpun mulai
turun
Orang-orang ingin kembali memandangnya
Sambil merangkai karangan bunga
Tapi yang nampak, wajah-wajahnya
sendiri
yang tak dikenalnya
Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring
Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata:
Aku sangat muda.
Tema
revolusi
tak hanya didominasi oleh para penyair angkatan 45 saja, generasi berikutnya
pun melanjutkan tradisi menulis tema kepahlawanan tersebut. WS. Rendra sang
‘Burung Merak’ menggambarkan para pahlawan yang gugur itu dalam sebuah puisi
yang memukau berjudul Gerilya: //tubuh biru/tatapan mata biru/lelaki
terguling di jalan.//Angin tergantung/terkecap pahitnya tembakau/bendungan
keluh dan bencana//Tubuh biru tatapan mata biru/lelaki terguling di
jalan//dengan tujuh lubang pelor/diketuk gerbang langit/dan menyala mentari
muda/melepas kesumatnya//Gadis berjalan di subuh merah/dengan sayur-mayur di
panggung/melihatnya pertama//Ia beri jeritan manis/dan duka daun wortel//Tubuh
biru/tatapan mata biru/lelaki terguling di jalan//orang-orang kampung
mengenalnya/anak janda berambut ombak/ditimba air bergantang-gantang/disiram
atas tubuhnya//Tubuh biru/tatapan mata biru/lelaki terguling di jalan//lewat
gardu belanda dengan berani/berlindung warna malam/sendiri masuk kota/ingin
ikut ngubur ibunya//.
Puisi-puisi
di atas hanyalah sebagian kecil dari teks-teks puisi bertema revolusi dan kepahlawan
yang sebenarnya bertebaran dalam konstelasi sastra Indonesia. Masih banyak
penyair Indonesia lainnya, seperti Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohammad,
Asrul Sani, Rivai Apin, Amal Hamzah, Hartoyo Andangjaya, Piek Ardiyanto,
Kriapur, dan lain sebagainya. Melalui puisi-puisi mereka mengagungkan para para
pahlawan, menghidmati pengorbanan mereka, dan memuliakannya.Mendampingi
sejarah, puisi-puisi itu akan terus mengingatkan para generasi muda betapa
memperjuangkan eksistensi bangsa adalah sebuah proses. Proses
yangberdarah-darah, penuh riwayat haru sekaligus heroik. Para penyair itu
selalu mengingatkan kita bahwa para pahlawan itu, baik yang dikenal maupun tak
dikenal, baik yang tercatat maupun tak tercatat, telah menyumbangkan seluruh
jiwa dan raganya kepada proses memerdekaan bangsanya.