Puisi-Puisi Rekki Zakia, Cinta yang Menantang dan Menggetarkan - Agus Manaji

@kontributor 9/24/2023

Puisi-Puisi Rekki Zakia, Cinta yang Menantang dan Menggetarkan

Agus Manaji



Tema cinta itu adalah abadi di dalam sajak karena timbul dari dorongan pertama penyair hendak menulis sajak. 1

1/

Konon, di negeri ini banyak orang menjadi penyair oleh sebab ‘kecelakaan’ belaka. Nyaris taka da penyair Indonesia yang saat kecil bercita-cita menjadi penyair. Bahkan mereka yang masuk fakultas sastra sekalipun banyak yang tidak (hendak dan kemudian setelah lulus) menjadi sastrawan, apalagi menjadi penyair. Di sisi lain, seorang yang bukan berpendidikan bahasa dan sastra, yang tak paham tata bahasa atau tahu seluk beluk unsur sastra, justru tiba-tiba terpaksa menulis dan menggeluti puisi, dan menjadi penyair. Dan cinta nyaris selalu menjadi alasan awal seseorang menulis puisi. Cinta dalam pengertian luas, bersimpati kepada diri sendiri, peduli pada lingkungan sekitar atau melekatkan perhatian dan pengorbanan pada lawan jenis.

Bagaimana dengan Rekki Zakia? Ia telah menghasilkan puisi sejak masa sekolah menengah atas. Apakah ia dulu juga bercita-cita menjadi seorang penyair? Entahlah. Menulis adalah vocation, demikian menurut Simone De Beauvoir2, jawaban terhadap suatu panggilan jiwa, dan terhadap suatu panggilan yang terdengar sejak awal dalam kehidupan seseorang. Agaknya hal ini pula yang dilakoni Rekki dengan menulis puisi.

2/

Buku yang kita pegang ini merangkum perjalanan kepenyairan Rekki sejak awal terjun di dunia sastra hingga sekarang. Judul buku ini, Sajak Cinta Untuk Hidup dan Mati, memberikan gambaran perhatian penyair yang tertuang dalam puisi-puisinya. Kata “cinta”, “hidup” dan “mati” tersebut satu tarikan nafas, seolah menebalkan garis besar pandangan hidup penyair. Sikap ini mirip, meski tak sama, dengan spirit penyair Subagio Sastrowardoyo, yang konsisten menulis puisi-puisi cinta (dalam makna luas) penuh perenungan (falsafah) akan makna hidup dan mati3. Rekki Zakia menunjukkan gejala ini mulai dari karya-karya puisi awal kepenyairannya hingga sekarang.

Tahun 2013. Saya baru mengenal secara pribadi kawan Rekki Zakia justru setelah nyaris hampir 15 tahun berselang dari persinggungan kebetulan momen lomba penulisan puisi remaja nasional yang diadakan majalah Horison. Puisi Rekki Zakia menjadi juara ke 2, sementara puisi saya menempati posisi juara harapan bontot, alias nyaris tanpa harapan. Puisi-puisi pemenang lomba tersebut kemudian dimuat dalam Majalah Horison – lembar Kaki Langit.2 (Setelah itu bahkan esai-esai Rekki termuat pula di majalah Horison.) uniknya, perkenalan kami justru tidak di jogja, kota yang sama dimana kami berproses bergulat menulis. Meski, beberapa kawan dalam lingkaran pertemanan kami ternyata sama. Saya mengenalnya di magelang, bahkan pertemuan awal di rumah salah satu juri lomba tersebut, yakni di Rumah Indonesia Tera milik Dorothea Rosa Herliany dan Damtoz Andreas. Sungguh sebuah perkenalan yang menginfus spirit kepenyairan kepada saya yang ketika itu mati suri, tahun 2010-2013, nyaris tidak menghasilkan karya puisi.

Rekki Zakia, sosoknya gagah tinggi, rambut hitam selalu tergerai merdeka di punggung. Seorang perokok yang ramah, supel, tampak pendiam. Tapi tidak pula sungkan untuk melontarkan pendapat dan menyela perbincangan. Gambaran ini saya kumpulkan kembali ketika saya menghadapi puisi-puisi Rekki dalam buku ini. Sosok Rekki Zakia, nyaris gambaran lahir dan batin seorang penyair . Selintas pikiran saya menyentuh gambaran Chairil dengan pose wajah sedikit miring, tampak samping, dan rokok terselip di bibir. Sebentar kemudian terlintas gambaran aksi Sutardji dengan rambut awut-awutan tampak berteriak di sebuah panggung dengan bir di salah satu sisinya. Membuka selintas buku puisi Penyair Rekki Zakia kita temukan nama-nama: Faisal Kamandobat, Timur Angin, Andhi Maghadon, Agus Malma, Furqon Kamilin, Wartawan Udin, Emha Ainun Nadjib, Widji Thukul. Sejumlah nama, sekian pertemuan, sekian bukti keterlibatan, bukti persaksian.

Rekki Zakia senantiasa seorang penyair. Ia juga menulis sejumlah esai yang kuat, tapi dalam esainya sekalipun tampak sekali etos seorang penyair. Menulis puisi adalah panggilan hidup bagi Rekki Zakia. Dalam Penutup Ia mengutip Saini K.M., salah seorang guru dari banyak penyair yang berproses melalui “pertemuan kecil” harian Pikiran Rakyat, “Kepenyairan lebih berdasar pada Panggilan!” Demikian, puisi-puisi Rekki adalah buah dari blusukan ‘berkeliaran kesana-kemari’ mencari cinta dan makna hidup (dan mati). Puisi-puisi Rekki tiada lain buah pergulatan hidup merebut diri sejati dari rayu, kepalsuan, dan gempuran kenyataan-kenyataan.

3/

Puisi-puisi awal Rekki menampakkan ikhtiar penyair menemukan (jati) diri. Puisi Aku adalah Debu, salah sebuah puisi indah dalam buku ini, puisi inilah yang meraih juara 2 sayembara menulis puisi nasional yang saya singgung di atas, memperlihatkan kepiawaian penyair dalam menentukan diksi dan mengolah ‘ledakan puisi’ menjadi kekhusyukan. Rekki Zakia, baru berusia sekitar 17 tahun ketika menulis puisi ini, begitu natural menyampaikan gagasannya melalui metafora-metafora yang kaya.

 

Aku adalah debu

yang terpelanting pada ranting-ranting

kusalami aneka dedaunan

kutanya pada satwa yang gelisah

kuketuk rumah-rumah burung

mencari alamat Sulaiman

yang mengaji sepanjang musim

 

Aku adalah lumpur

yang terbawa arus pada batu dan lumutan

bersama air di setiap kali

kusalami pasir dan cadas atau tumpukan sampah

yang mengigil

kuketuk pintu rumah-rumah ikan

mencari bermukimnya Khidir

yang mengaji sepanjang arus

 

Aku adalah segumpal darah….

 

Pencarian jati diri adalah perjalanan seorang anak manusia untuk menemukan makna hidup. Setiap perjalanan pencarian jati diri seseorang tiada tertiru oleh orang lain. Sebuah perjalanan yang tidak bisa sekali sampai, berkelok, jatuh bangun, dan perih. Puisi-puisi awal Rekki memperlihatkan kesungguhan menempuh proses ini.

Dalam puisi Aku adalah Debu, tampak Rekki menempuh proses panjang ini dengan berulangkali mengidentifikasi dirinya. Di bait pertama ia mengidentifikasi dirinya sebagai debu. Di bait kedua, sebagai lumpur. Dan di bait ketiga sebagai segumpal darah. Debu dan lumpur sebagai citraan alam secara apik diangkat oleh penyair untuk mengidentifikasi diri. Pemilihan metafora dan simbol ini begitu cermat, setiap citraan merupakan ikhtiar untuk mendekati dan menyelami pencarian. Demikian, penyair memandang Nabi Sulaiman dan Nabi Khidir sebagai juru bicara dan guru kesejatian. Nabi Sulaiman kita tahu sebagai nabi yang mengatasi ruang waktu, dalam puisi ini ditunjukkan dengan frase ‘Sulaiman yang mengaji sepanjang musim’. Selain itu Nabi Sulaiman juga berkemampuan berbicara dengan binatang, bergaul dengan kaum jin, dan mampu membaca tanda alam, hal mana seyogyanya manusia lakukan dalam tafakkur untuk mengenali ayat-ayat Tuhan. Khidir, terdapat silang pendapat apakah sosok ini seorang Nabi atau Auliya, yang pasti ia telah menjadi guru dari seorang nabi utama, Musa a.s. Tidak main-main, Tuhan sendiri yang memerintahkan Musa untuk berguru pada Khidir dan mencarinya di muara pertemuan dua arus. Kata “Khidir” sendiri bermakna hijau, perlambang dari hidup4. Konon setiap di setiap tempat kaki Khidir menjejak, di situ kemudian tumbuh tumbuhan dan pepohonan. (Salah satu tanda muara pertemuan dua arus tempat keberadaan Khidir adalah hidup kembalinya ikan bekal Nabi Musa, lompat ke laut.) Literature-literature tasawuf kemudian menceritakan jika Musa tidak mampu memahami tindakan makrifat Khidir yang tampak ganjil dan melanggar syariat. Khidir adalah guru para sufi, guru sejati. Demikian, setelah mengidentifikasi dirinya sebagai debu dan lumpur, penyair menyatakan ingin berguru kepada Sulaiman dan Khidir.

Pada bait ketiga, barulah penyair mengidentifikasi dirinya sebagai manusia dengan mengambil symbol ‘segumpal darah’. Frase segumpal darah tentunya mengingatkan kita kepada surah al ‘Alaq dimana Tuhan memerintahkan manusia untuk membaca, membaca dengan asma Tuhan yang telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Tampaknya penyair, yang insyaf akan kehidupan di ‘bumi yang pecah dan langit yang robek’, ingin kembali kepada kodrat fitrah dan tujuan penciptaan manusia. Meski pencarian jati diri belumlah usai, penyair tetap mengimani Tuhan. Ia berseru, ‘Kugenggam akidah ini dengan tangan yang teramat letih’.

Penyair sekali lagi menidentifikasi dirinya di bait ke empat, “Aku adalah debu dan segumpal darah/ yang menyatu jadi lumpur/ bersama angin dan air yang bergelandangan/ sepanjang musim sepanjang musim sepanjang arus/ untuk mencari alamat-Mu”. Sekali lagi penyair memilih diksi yang tampaknya secara referensial dapat kita temukan padanannya dalam kitab suci. Kata ‘lumpur’ atau tanah liat dalam Al Quran menjadi pengingat manusia akan asal-usulnya. Bait ke empat menegaskan pencarian jati diri penyair sebagai penelusuran asal-usul hidup dan pencarian Sang Pencipta Tuhan.

Sekali lagi, pencarian jati diri adalah pengembaraan besar mencari makna hidup yang tidak bisa sekali jalan. Penyair intens menjalani perjalanan ruhani dan berulang kali berbagi penghayatannya dalam perjalanan ini. Puisi-puisi lain kurang lebih menegaskan hal senada, misal dalam puisi Bila Aku adalah Tanah, puisi Bila Aku adalah Air, puisi Bila Aku adalah Api, puisi Bila Aku adalah Angin, dan juga dalam puisi Matahari sebutir Pasir. Dalam puisi-puisi yang tersebut belakangan pun penyair terus mengekspresikan pengalaman spiritualnya dalam mencari jati diri. Dalam puisi Matahari sebutir Pasir penyair mendaku, “Aku Cuma sebutir pasir terbakar dalam pengembaraan besar...”. Selintas tampak semacam pesimisme, namun menggembirakan bahwa terdapat banyak kata-kata bernada aktif dan positif dalam puisi-puisi jati diri penyair. Dalam puisi Aku adalah Debu misalnya, kita menemukan kata: kusalami, kutanya, kuketuk, kugenggam, mencari, mengaji, menyimak.

Tak hanya itu, pada puisi Bila Aku adalah Api dan Bila Aku adalah Angin, intensitas pencarian juga kemudian tak hanya sebuah monolog, tetapi ikhtiar untuk bermunajat kepada Tuhan. Dalam puisi Bila Aku adalah Angin misalnya, Ia berseru:

 

Bila aku adalah angin

satu-satu kupungut

huruf-hurufMu

sebagai kata cinta dan salam

kepada kekasih

agar menjaga nafas ini

sampai kelak istirah

pada halaman Ridha

dalam kitab-Mu

 

Sedikit perbedaan dapat kita lihat antara puisi Bila Aku adalah Tanah, puisi Bila Aku adalah Air, puisi Bila Aku adalah Api, puisi Bila Aku adalah Angin, dengan dua puisi lain, yakni puisi Aku adalah Debu dan puisi Matahari sebutir Pasir. Pada lima puisi pertama penyair masih menggunakan majas perumpamaan dengan menggunakan kata “bila”, sedangkan pada dua puisi terakhir penyair lebih berani mengidentifikasi dirinya. Aku adalah debu, serunya. Meski tidak segarang Chairil Anwar yang mendaku “aku ini binatang jalang”, tampak juga pengaruh Chairil dalam perpuisisan Rekki.

4/

Penyair Rekki Zakia terus belajar memaknai kehidupan. Sepanjang terbaca dari puisi-puisinya, penyair tidak hanya belajar dalam ruang formal. Ia juga menemukan makna hidup di tengah keriuhan dan dalam kesunyian. Apakah saya berlebihan jika membayangkan kalau seorang penyair, tentu saja insan biasa, lebih memilih kesunyian ketimbang kegaduhan, dan mengambil sudut khas berjarak dari kenyataan? (Bahkan jikapun seorang penyair menuliskan puisi kesaksian sosial, saat menuliskannya penyair menuliskannya dalam kesendirian.) Barangkali ia ingin mendengarkan suara lain, suara hati nurani, yang telah tertimbun kepalsuan hidup. Pada puisi Belajar pada Kesunyian penyair berseru: Aku belajar pada kesunyian / berguru pada sepi /tentang kasih saying / dalam rahasia bilik tua /bernaung pohonan purba.

Apakah yang dicari penyair dalam hidup dengan belajar kepada kesunyian dan kesendirian? Jawabnya muncul pada bait kedua puisi ini: mencari cinta hakiki/ pada kesejukan pengembaraan angin/ sapa embun yang ramah/ sorot mata burung yang polos/ di secuil tanah pengasingan. Penyair memahami bahwa alam semesta yang (masih) murni tiada lain bentuk manifestasi kasih saying dan kehendak Tuhan. Dengan demikian alam murni, hanya menampakkan cinta sejati Tuhan kepada manusia, begitu pun sebaliknya alam semata pasrah dan senantiasa bertasbih memuja keagungan Tuhan. Pakar tasawuf Seyyed Hosein Nasr menyebut alam semesta murni sebagai Al Quran tak tertulis5. Nafsu dan kerakusan manusialah yang menodai alam.

Bertemu dan menghambur di tengah masyarakat adalah kodrat manusia. Di sisi lain, manusia selalu berada pada ambang kesadaran dan harus menempatkan diri dengan tepat di tengah kegilaan dan kepalsuan hidup. Penyair, seorang manusia harus senantiasa awas dan tiada henti melakukan scaning atas realitas dengan cara:

 

Aku belajar membaca kesunyian

di kebun keramaian

tentang orang-orang gila

yang mengaku waras

dan orang-orang waras yang

dianggap gila.

 

Pergulatan dan pencarian tidak hanya di dalam diri. Ruang dan waktu menjadi aspek menentukan dalam pencarian eksistensial manusia. Kesadaran akan ruang dan kesadarannya akan waktu akan mengurai rahasia sejarah dan motif kehadiran manusia di tengah masyarakat. Pengenalan seseorang akan asal usul, silsilah, dan kenyataan masyarakat di tengah lanskap alam akan memulangkan manusia kepada inti dan makna hidup. Rekki merenung di Sungai Progo dan Borobudur dalam puisi Sungai Waktu : silsilah moyangku lahir di pertemuan/ dua sungai ini:/ perkawinan masa silam dan masa depan/ dimana pemahat batu, petani dan prajurut/ mengambil tenaga dari nyawanya.

5/

Penggalian makna hidup, pencarian jati diri juga membawa penyair kepada ‘kematian’. Sesuatu mendapat penegasan makna dengan kehadiran lawan dari sesuatu itu. Sebagaimana “panas” lebih bermakna dengan adanya “dingin”, demikian pula “hidup” dan “mati”. Dan pemaknaan “hidup” lebih sempurna ketika bersenyawa dengan makna kematian. Sedari dini, puisi-puisi awal Rekki Zakia telah menggali tema kematian. Penyair berseru dalam puisi Bila aku adalah Angin, “Bila aku adalah angin/satu-satu kupungut huruf-huruf-Mu… agar menjaga nafas ini sampai kelak istirah pada halaman ridha dalam kitab-Mu.” Dalam puisi Matahari sebutir Pasir penyair ‘menghitung dan terus menghitung abad/ berapa usia ini/ lupa dimana alamat rumah/ segunduk tanah merah yang kurindukan/ tempatku terkubur’. Kita membaca puisi-puisi bertemakan khusus kematian pada puisi Rest in Pain dan puisi Kamboja, puisi-puisi yang ditulis pada periode awal.

Penyair tidak hanya menulis tema cinta (pencarian) diri, tapi juga menulis tema cinta sesamaa atau social. Puisi-puisi Rekki bertema cinta kepada perempuan amatlah intim, romantic, membara dan perih, seringkali berkelindan dengan kesaksian sosial masyarakat. Puisi aksi dan puisi saksi, kita pinjam istilah Arif Bagus Prasetya6, dapat menjadi kategori dalam pengelompokan puisi-puisi Rekki Zakia. Puisi-puisi seperti Aku adalah Debu, Bila Aku adalah Api, Bila Aku adalah Api dan sejenisnya, masuk dalam kelompok puisi aksi. Sedangkan puisi yang lahir dari keterlibatan penyair langsung dalam pergerakan sosial sejak masih duduk di bangku sma masuk ke dalam kategori puisi saksi. Namun sejatinya, sebagaimana disadari sejak awal bahwa aksi dan saksi harus berjalan seiring, bahkan satu saja. Ia berseru, Perlawanan dan kesadaran adalah satu/ mengembara bersamaku/ pada dinding-dinding sejarah/ yang menghimpit ini. (puisi Mencari Embun)

Saat masih berseragam putih abu-abu Rekki telah terlibat dalam pergerakan sosial politik reformasi dalam rangka menumbangkan rezim orde baru. Puisi-puisi social Rekki menunjukkan keberpihakan pendirian dan sikap kritis. Rekki, sebagaimana Rendra, menginsyafi kekuatan puisi sebagai media untuk penyampai (pesan) protes atas ketidak adilan. Puisi bahkan menjadi suara lain7, other voice, dari suara penguasa atau pendapat umum masyarakat. Kita menemukan hal ini dalam puisi Mereka yang Hilang, Pengemis-pengemis Besar, atau puisi Tragedi Oktober Hitam yang menggugat tragedy kematian 133 suporter pada laga pertandingan sepakbola di Stadion Kanjuruhan Malang. Ini adalah puisi kesaksian, serunya dalam puisi. Berikut kutipan lainnya:

 

Awan gelap hitam gas airmata bergulung-gulung

di atas langit malam Kanjuruhan 1 Oktober 2022

 

Kemanusiaan kita sudah terluka parah

sebelum luka jiwa melobangi Oktober ini

malah nalar kepala terkoyak terinjak-injak

oleh kaki pengelolaan kenegaraan yang pincang

kaki sepatu lars negeri sendiri yang tak bermata

 

 Watak puisi itu sendiri sejatinya simbolik, bermain pada ambang harfiah dan konotatif, mewedar (maksud dan perasaan) sekaligus menyembunyikannya. Hal inilah yang merangsang imajinasi dan penafsiran pembaca. Terlebih pembaca yang memiliki irisan kesamaan pemahaman, pengetahuan dan pengalaman. Demikian pun, puisi-puisi Rekki menampakkan kelindan antara tema cinta dan perenungan (pencarian) makna hidup, antara aksi dan saksi. Puisi Sajak Cinta untuk Hidup dan Mati seolah mengikat seluruh tema dan perasaan yang telah tertuang dalam puisi-puisi sebelum dan sesudahnya.

 

Aku ingin selalu memupuk

perasaan cinta kepada segala

sesuatu yang maknawi:

yang berjiwa kehidupan

 

Hasrat dan kecintaan penyair ikhwal pencarian maknawi kesejatian telah dimulai sejak masa muda, yaitu saat cinta memikatmu melalui keangkuhannya yang manis. Sebuah cinta yang membuat si Aku menanggung kesunyian dan sepi-sepi, namun ia insyaf tiada kuasa menolaknya: bagaimana aku kuasa untuk menolak/ sentuhan rahasia sebuah penemuan,/ yaitu makna untuk menemukanmu! Si Aku juga kemudian tahu jika kehidupan lebih menyakitkan daripada kematian/ dan cinta ternyata lebih dingin daripada kematian.

Menulis puisi adalah usaha untuk mencintai yang sementara dan yang fana untuk kemudian mengekalkannya menjadi sejenis penemuan dalam puisi. Bisakah kita merangkai perjumpaan ini/ menjadi takdir kecil, yang nantinya/ menjadi sebuah takdir besar/ dimana rahasianya terkuak, ketika langit terbaca?/ sebagai makna rahasia sebuah penemuan. Sekali lagi, di bait lainnya, si aku menegaskan bahwa menulis puisi untukmu menjadi cara untuk mengekalkan cinta, hidup dan mati kita/ kini atau juga nanti.

6/

Puisi bukan hanya soal ekspresi, bukan hanya catatan dari pengembaraan, tetapi juga jawaban dan solusi (untuk berdamai dengan) problema kehidupan yang dialaminya. Seakan menguatkan hal ini, Seno Gumira Ajidarma pernah berujar (dalam pengantar buku, setiap kali ada orang Indonesia menulis puisi, kita harus bersyukur, karena kalau toh ia tidak berhasil menyelamatkan jiwa orang lain, setidaknya ia telah menyelamatkan jiwanya sendiri8. Kita membaca lengkap tuturan jujur Rekki dalam puisi berjudul Puisi:

 

Puisi

 

Suatu kali,

Puisi pernah menyelamatkan hidup dan jiwaku.

Baik dari keinginan bunuh diri, kesepian yang mencekam

maupun kedukaan serta patah hati yang mendalam.

Terima kasih, puisi.

 

Penyair hidup nomaden wira-wiri mengaku tidak tekun dalam soal dokumentasi. Rekki Zakkia telah menulis sejak sma, dan setelah fase “Matahari Sebutir Pasir” Rekki masih istiqomah menulis. Buku puisi kedua Rekki Sajak Cinta untuk Hidup dan Mati ini memuat pula puisi-puisi terbarunya. Kepenyairan adalah soal panggilan, tulis Rekki dalam catatan penutup buku pertamanya Matahari Sebutir Pasir9, seakan mengamini vocation Simone De Beauvoir tadi. Mungkin, karena itulah puisi-puisinya tulus, natural, tiada kesan dibuat-buat, diksi-diksinya bernyawa. Dalam puisi Seribu Tahun Lagi yang diperuntukkan bagi kawannya Faisal Kamandobat, Rekki menyampaikan keyakinannya akan kekuatan puisi. Bahwa nyawa-nyawa puisi mampu mengepak sayap/ menuju wajah dingin matahari / (meski) dengan sayap patah kata-kata /mengirimkan getar halus ke semesta.

Getar-getar halus puisi Rekki Zakia sampai kepada saya. Tidak semua, mungkin, tapi sungguh sebuah pengalaman membaca puisi-puisi cinta yang menyenangkan dan menggetarkan: menggetarkan “sisi dalam”, ruhani saya. Saya tutup bersama pembacaan sederhana atas puisi-puisi Rekki Zakkia dengan dua kutipan:

 

Dan aku tidak bisa mengubah takdir apapun:

Kecuali bahwa aku adalah seorang penyair!

(Sajak Untuk Hidup dan Mati)

 

Terima kasih, puisi.

(Puisi)

 

Muntilan, 2020-2023

Rujukan

1 : Dan Kematian Makin Akrab, Subagio Sastrowardoyo, penerbit Grasindo, th 1995, pada bagian Kata Pengantar Penyair, hal ix.

2 : esai Perempuan dan Kreativitas, Simone De Beavoir, dalam buku Hidup Matinya Sang Pengarang, editor Toety Herati, YOI, tahun 2000).

3 : Kata Pengantar Dan Kematian Makin Akrab, Subagio Sastrowardoyo, penerbit Grasindo, th 1995.

4 : Demikianlah Kaum Sufi Berbicara, Dr Sara Sviri, penerbit Pustaka Hidayah, Tahun 2002, hal 101 – 131. Makna arti Khidir sebagai hijau juga banyak termuat dalam buku2 tasawuf lain spt buku babon Annemarie Schimmel, Mistical Dimention in Islam, bahkan tafsir Al Azhar, Hamka juga menyebutnya saat menafsir surah al Kahfi.

5 : Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam, Fondasi, Seyyed Hossein Nasr (editor), Mizan, 2003, dalam esai Kosmos dan Tatanan Alam, hal 467 – 481.

6 : Epifenomenon, Telaah Sastra Terpilih, Arif Bagus Prasetyo, penerbit Grasindo, th 2005, dalam esai 30 Tahun Kemudian, Tentang O Amuk Kapak Sutarji Calzoum Bachri, hal 53 – 112.

7 : Suara Lain, terjemahan atas The Other Voice, Octavio Paz, penerbit Komodo, tanpa tahun, hal 181 – 205.

8 : Renungan Kloset, Rieke Diah Pitaloka, Gramedia Pustaka Utama, tahun 2003, bagian kata pengantar.

9 : Matahari Sebutir Pasir, Rekki Zakkia, Penerbit Gambang, 2018.


Share this

Related Posts

Previous
Next Post »