Puisi-Puisi
Rekki Zakia, Cinta yang Menantang dan Menggetarkan
Tema cinta itu adalah abadi di dalam sajak karena timbul dari dorongan pertama penyair hendak menulis sajak. 1
1/
Konon,
di negeri ini banyak orang menjadi penyair oleh sebab ‘kecelakaan’ belaka. Nyaris
taka da penyair Indonesia yang saat kecil bercita-cita menjadi penyair. Bahkan
mereka yang masuk fakultas sastra sekalipun banyak yang tidak (hendak dan
kemudian setelah lulus) menjadi sastrawan, apalagi menjadi penyair. Di sisi
lain, seorang yang bukan berpendidikan bahasa dan sastra, yang tak paham tata
bahasa atau tahu seluk beluk unsur sastra, justru tiba-tiba terpaksa menulis
dan menggeluti puisi, dan menjadi penyair. Dan cinta nyaris selalu menjadi
alasan awal seseorang menulis puisi. Cinta dalam pengertian luas, bersimpati
kepada diri sendiri, peduli pada lingkungan sekitar atau melekatkan perhatian dan
pengorbanan pada lawan jenis.
Bagaimana dengan Rekki Zakia? Ia telah menghasilkan puisi sejak masa sekolah menengah atas. Apakah ia dulu juga bercita-cita menjadi seorang penyair? Entahlah. Menulis adalah vocation, demikian menurut Simone De Beauvoir2, jawaban terhadap suatu panggilan jiwa, dan terhadap suatu panggilan yang terdengar sejak awal dalam kehidupan seseorang. Agaknya hal ini pula yang dilakoni Rekki dengan menulis puisi.
2/
Buku
yang kita pegang ini merangkum perjalanan kepenyairan Rekki sejak awal terjun
di dunia sastra hingga sekarang. Judul buku ini, Sajak Cinta Untuk Hidup dan Mati, memberikan gambaran perhatian
penyair yang tertuang dalam puisi-puisinya. Kata “cinta”, “hidup” dan “mati”
tersebut satu tarikan nafas, seolah menebalkan garis besar pandangan hidup
penyair. Sikap ini mirip, meski tak sama, dengan spirit penyair Subagio
Sastrowardoyo, yang konsisten menulis puisi-puisi cinta (dalam makna luas)
penuh perenungan (falsafah) akan makna hidup dan mati3. Rekki Zakia
menunjukkan gejala ini mulai dari karya-karya puisi awal kepenyairannya hingga
sekarang.
Tahun
2013. Saya baru mengenal secara pribadi kawan Rekki Zakia justru setelah nyaris
hampir 15 tahun berselang dari persinggungan kebetulan momen lomba penulisan
puisi remaja nasional yang diadakan majalah Horison. Puisi Rekki Zakia menjadi juara
ke 2, sementara puisi saya menempati posisi juara harapan bontot, alias nyaris
tanpa harapan. Puisi-puisi pemenang lomba tersebut kemudian dimuat dalam
Majalah Horison – lembar Kaki Langit.2 (Setelah itu bahkan esai-esai
Rekki termuat pula di majalah Horison.) uniknya, perkenalan kami justru tidak
di jogja, kota yang sama dimana kami berproses bergulat menulis. Meski, beberapa
kawan dalam lingkaran pertemanan kami ternyata sama. Saya mengenalnya di
magelang, bahkan pertemuan awal di rumah salah satu juri lomba tersebut, yakni
di Rumah Indonesia Tera milik Dorothea Rosa Herliany dan Damtoz Andreas.
Sungguh sebuah perkenalan yang menginfus spirit kepenyairan kepada saya yang
ketika itu mati suri, tahun 2010-2013, nyaris tidak menghasilkan karya puisi.
Rekki
Zakia, sosoknya gagah tinggi, rambut hitam selalu tergerai merdeka di punggung.
Seorang perokok yang ramah, supel, tampak pendiam. Tapi tidak pula sungkan
untuk melontarkan pendapat dan menyela perbincangan. Gambaran ini saya
kumpulkan kembali ketika saya menghadapi puisi-puisi Rekki dalam buku ini.
Sosok Rekki Zakia, nyaris gambaran lahir dan batin seorang penyair . Selintas
pikiran saya menyentuh gambaran Chairil dengan pose wajah sedikit miring,
tampak samping, dan rokok terselip di bibir. Sebentar kemudian terlintas
gambaran aksi Sutardji dengan rambut awut-awutan tampak berteriak di sebuah
panggung dengan bir di salah satu sisinya. Membuka selintas buku puisi Penyair
Rekki Zakia kita temukan nama-nama: Faisal Kamandobat, Timur Angin, Andhi Maghadon,
Agus Malma, Furqon Kamilin, Wartawan Udin, Emha Ainun Nadjib, Widji Thukul.
Sejumlah nama, sekian pertemuan, sekian bukti keterlibatan, bukti persaksian.
Rekki Zakia senantiasa seorang penyair. Ia juga menulis sejumlah esai yang kuat, tapi dalam esainya sekalipun tampak sekali etos seorang penyair. Menulis puisi adalah panggilan hidup bagi Rekki Zakia. Dalam Penutup Ia mengutip Saini K.M., salah seorang guru dari banyak penyair yang berproses melalui “pertemuan kecil” harian Pikiran Rakyat, “Kepenyairan lebih berdasar pada Panggilan!” Demikian, puisi-puisi Rekki adalah buah dari blusukan ‘berkeliaran kesana-kemari’ mencari cinta dan makna hidup (dan mati). Puisi-puisi Rekki tiada lain buah pergulatan hidup merebut diri sejati dari rayu, kepalsuan, dan gempuran kenyataan-kenyataan.
3/
Puisi-puisi
awal Rekki menampakkan ikhtiar penyair menemukan (jati) diri. Puisi Aku adalah Debu, salah sebuah puisi
indah dalam buku ini, puisi inilah yang meraih juara 2 sayembara menulis puisi
nasional yang saya singgung di atas, memperlihatkan kepiawaian penyair dalam
menentukan diksi dan mengolah ‘ledakan puisi’ menjadi kekhusyukan. Rekki Zakia,
baru berusia sekitar 17 tahun ketika menulis puisi ini, begitu natural
menyampaikan gagasannya melalui metafora-metafora yang kaya.
Aku adalah debu
yang terpelanting pada ranting-ranting
kusalami aneka dedaunan
kutanya pada satwa yang gelisah
kuketuk rumah-rumah burung
mencari alamat Sulaiman
yang mengaji sepanjang musim
Aku adalah lumpur
yang terbawa arus pada batu dan lumutan
bersama air di setiap kali
kusalami pasir dan cadas atau tumpukan
sampah
yang mengigil
kuketuk pintu rumah-rumah ikan
mencari bermukimnya Khidir
yang mengaji sepanjang arus
Aku adalah segumpal darah….
Pencarian
jati diri adalah perjalanan seorang anak manusia untuk menemukan makna hidup.
Setiap perjalanan pencarian jati diri seseorang tiada tertiru oleh orang lain.
Sebuah perjalanan yang tidak bisa sekali sampai, berkelok, jatuh bangun, dan
perih. Puisi-puisi awal Rekki memperlihatkan kesungguhan menempuh proses ini.
Dalam puisi
Aku adalah Debu, tampak Rekki menempuh proses panjang ini dengan berulangkali
mengidentifikasi dirinya. Di bait pertama ia mengidentifikasi dirinya sebagai
debu. Di bait kedua, sebagai lumpur. Dan di bait ketiga sebagai segumpal darah.
Debu dan lumpur sebagai citraan alam secara apik diangkat oleh penyair untuk
mengidentifikasi diri. Pemilihan metafora dan simbol ini begitu cermat, setiap citraan
merupakan ikhtiar untuk mendekati dan menyelami pencarian. Demikian, penyair
memandang Nabi Sulaiman dan Nabi Khidir sebagai juru bicara dan guru
kesejatian. Nabi Sulaiman kita tahu sebagai nabi yang mengatasi ruang waktu,
dalam puisi ini ditunjukkan dengan frase ‘Sulaiman yang mengaji sepanjang
musim’. Selain itu Nabi Sulaiman juga berkemampuan berbicara dengan binatang,
bergaul dengan kaum jin, dan mampu membaca tanda alam, hal mana seyogyanya
manusia lakukan dalam tafakkur untuk mengenali ayat-ayat Tuhan. Khidir,
terdapat silang pendapat apakah sosok ini seorang Nabi atau Auliya, yang pasti
ia telah menjadi guru dari seorang nabi utama, Musa a.s. Tidak main-main, Tuhan
sendiri yang memerintahkan Musa untuk berguru pada Khidir dan mencarinya di
muara pertemuan dua arus. Kata “Khidir” sendiri bermakna hijau, perlambang dari
hidup4. Konon setiap di setiap tempat kaki Khidir menjejak, di situ
kemudian tumbuh tumbuhan dan pepohonan. (Salah satu tanda muara pertemuan dua
arus tempat keberadaan Khidir adalah hidup kembalinya ikan bekal Nabi Musa,
lompat ke laut.) Literature-literature tasawuf kemudian menceritakan jika Musa
tidak mampu memahami tindakan makrifat Khidir yang tampak ganjil dan melanggar
syariat. Khidir adalah guru para sufi, guru sejati. Demikian, setelah
mengidentifikasi dirinya sebagai debu dan lumpur, penyair menyatakan ingin
berguru kepada Sulaiman dan Khidir.
Pada
bait ketiga, barulah penyair mengidentifikasi dirinya sebagai manusia dengan
mengambil symbol ‘segumpal darah’. Frase segumpal darah tentunya mengingatkan
kita kepada surah al ‘Alaq dimana Tuhan memerintahkan manusia untuk membaca,
membaca dengan asma Tuhan yang telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
Tampaknya penyair, yang insyaf akan kehidupan di ‘bumi yang pecah dan langit yang robek’, ingin kembali kepada kodrat
fitrah dan tujuan penciptaan manusia. Meski pencarian jati diri belumlah usai,
penyair tetap mengimani Tuhan. Ia berseru, ‘Kugenggam
akidah ini dengan tangan yang teramat letih’.
Penyair
sekali lagi menidentifikasi dirinya di bait ke empat, “Aku adalah debu dan segumpal darah/ yang menyatu jadi lumpur/ bersama
angin dan air yang bergelandangan/ sepanjang musim sepanjang musim sepanjang
arus/ untuk mencari alamat-Mu”. Sekali lagi penyair memilih diksi yang
tampaknya secara referensial dapat kita temukan padanannya dalam kitab suci.
Kata ‘lumpur’ atau tanah liat dalam Al Quran menjadi pengingat manusia akan
asal-usulnya. Bait ke empat menegaskan pencarian jati diri penyair sebagai
penelusuran asal-usul hidup dan pencarian Sang Pencipta Tuhan.
Sekali
lagi, pencarian jati diri adalah pengembaraan besar mencari makna hidup yang
tidak bisa sekali jalan. Penyair intens menjalani perjalanan ruhani dan berulang
kali berbagi penghayatannya dalam perjalanan ini. Puisi-puisi lain kurang lebih
menegaskan hal senada, misal dalam puisi Bila
Aku adalah Tanah, puisi Bila Aku
adalah Air, puisi Bila Aku adalah Api,
puisi Bila Aku adalah Angin, dan juga
dalam puisi Matahari sebutir Pasir. Dalam puisi-puisi yang tersebut belakangan
pun penyair terus mengekspresikan pengalaman spiritualnya dalam mencari jati
diri. Dalam puisi Matahari sebutir Pasir
penyair mendaku, “Aku Cuma sebutir pasir
terbakar dalam pengembaraan besar...”. Selintas tampak semacam pesimisme,
namun menggembirakan bahwa terdapat banyak kata-kata bernada aktif dan positif
dalam puisi-puisi jati diri penyair. Dalam puisi Aku adalah Debu misalnya, kita
menemukan kata: kusalami, kutanya, kuketuk, kugenggam, mencari, mengaji,
menyimak.
Tak
hanya itu, pada puisi Bila Aku adalah Api
dan Bila Aku adalah Angin, intensitas
pencarian juga kemudian tak hanya sebuah monolog, tetapi ikhtiar untuk
bermunajat kepada Tuhan. Dalam puisi Bila
Aku adalah Angin misalnya, Ia berseru:
Bila aku adalah angin
satu-satu kupungut
huruf-hurufMu
sebagai kata cinta dan salam
kepada kekasih
agar menjaga nafas ini
sampai kelak istirah
pada halaman Ridha
dalam kitab-Mu
Sedikit perbedaan dapat kita lihat antara puisi Bila Aku adalah Tanah, puisi Bila Aku adalah Air, puisi Bila Aku adalah Api, puisi Bila Aku adalah Angin, dengan dua puisi lain, yakni puisi Aku adalah Debu dan puisi Matahari sebutir Pasir. Pada lima puisi pertama penyair masih menggunakan majas perumpamaan dengan menggunakan kata “bila”, sedangkan pada dua puisi terakhir penyair lebih berani mengidentifikasi dirinya. Aku adalah debu, serunya. Meski tidak segarang Chairil Anwar yang mendaku “aku ini binatang jalang”, tampak juga pengaruh Chairil dalam perpuisisan Rekki.
4/
Penyair
Rekki Zakia terus belajar memaknai kehidupan. Sepanjang terbaca dari
puisi-puisinya, penyair tidak hanya belajar dalam ruang formal. Ia juga
menemukan makna hidup di tengah keriuhan dan dalam kesunyian. Apakah saya
berlebihan jika membayangkan kalau seorang penyair, tentu saja insan biasa, lebih
memilih kesunyian ketimbang kegaduhan, dan mengambil sudut khas berjarak dari
kenyataan? (Bahkan jikapun seorang penyair menuliskan puisi kesaksian sosial,
saat menuliskannya penyair menuliskannya dalam kesendirian.) Barangkali ia
ingin mendengarkan suara lain, suara hati nurani, yang telah tertimbun
kepalsuan hidup. Pada puisi Belajar pada
Kesunyian penyair berseru: Aku
belajar pada kesunyian / berguru pada sepi /tentang kasih saying / dalam
rahasia bilik tua /bernaung pohonan purba.
Apakah
yang dicari penyair dalam hidup dengan belajar kepada kesunyian dan kesendirian?
Jawabnya muncul pada bait kedua puisi ini: mencari
cinta hakiki/ pada kesejukan pengembaraan angin/ sapa embun yang ramah/ sorot
mata burung yang polos/ di secuil tanah pengasingan. Penyair memahami bahwa
alam semesta yang (masih) murni tiada lain bentuk manifestasi kasih saying dan
kehendak Tuhan. Dengan demikian alam murni, hanya menampakkan cinta sejati
Tuhan kepada manusia, begitu pun sebaliknya alam semata pasrah dan senantiasa
bertasbih memuja keagungan Tuhan. Pakar tasawuf Seyyed Hosein Nasr menyebut
alam semesta murni sebagai Al Quran tak tertulis5. Nafsu dan
kerakusan manusialah yang menodai alam.
Bertemu
dan menghambur di tengah masyarakat adalah kodrat manusia. Di sisi lain, manusia
selalu berada pada ambang kesadaran dan harus menempatkan diri dengan tepat di
tengah kegilaan dan kepalsuan hidup. Penyair, seorang manusia harus senantiasa
awas dan tiada henti melakukan scaning atas realitas dengan cara:
Aku belajar membaca kesunyian
di kebun keramaian
tentang orang-orang gila
yang mengaku waras
dan orang-orang waras yang
dianggap gila.
Pergulatan dan pencarian tidak hanya di dalam diri. Ruang dan waktu menjadi aspek menentukan dalam pencarian eksistensial manusia. Kesadaran akan ruang dan kesadarannya akan waktu akan mengurai rahasia sejarah dan motif kehadiran manusia di tengah masyarakat. Pengenalan seseorang akan asal usul, silsilah, dan kenyataan masyarakat di tengah lanskap alam akan memulangkan manusia kepada inti dan makna hidup. Rekki merenung di Sungai Progo dan Borobudur dalam puisi Sungai Waktu : silsilah moyangku lahir di pertemuan/ dua sungai ini:/ perkawinan masa silam dan masa depan/ dimana pemahat batu, petani dan prajurut/ mengambil tenaga dari nyawanya.
5/
Penggalian makna
hidup, pencarian jati diri juga membawa penyair kepada ‘kematian’. Sesuatu
mendapat penegasan makna dengan kehadiran lawan dari sesuatu itu. Sebagaimana
“panas” lebih bermakna dengan adanya “dingin”, demikian pula “hidup” dan
“mati”. Dan pemaknaan “hidup” lebih sempurna ketika bersenyawa dengan makna
kematian. Sedari dini, puisi-puisi awal Rekki Zakia telah menggali tema kematian.
Penyair berseru dalam puisi Bila aku
adalah Angin, “Bila aku adalah
angin/satu-satu kupungut huruf-huruf-Mu… agar
menjaga nafas ini sampai kelak istirah pada halaman ridha dalam kitab-Mu.”
Dalam puisi Matahari sebutir Pasir
penyair ‘menghitung dan terus menghitung
abad/ berapa usia ini/ lupa dimana
alamat rumah/ segunduk tanah merah yang kurindukan/ tempatku terkubur’.
Kita membaca puisi-puisi bertemakan khusus kematian pada puisi Rest in Pain dan puisi Kamboja, puisi-puisi yang ditulis pada
periode awal.
Penyair
tidak hanya menulis tema cinta (pencarian) diri, tapi juga menulis tema cinta sesamaa
atau social. Puisi-puisi Rekki bertema cinta kepada perempuan amatlah intim, romantic,
membara dan perih, seringkali berkelindan dengan kesaksian sosial masyarakat.
Puisi aksi dan puisi saksi, kita pinjam istilah Arif Bagus Prasetya6,
dapat menjadi kategori dalam pengelompokan puisi-puisi Rekki Zakia. Puisi-puisi
seperti Aku adalah Debu, Bila Aku adalah Api, Bila Aku adalah Api dan sejenisnya,
masuk dalam kelompok puisi aksi. Sedangkan puisi yang lahir dari keterlibatan penyair
langsung dalam pergerakan sosial sejak masih duduk di bangku sma masuk ke dalam
kategori puisi saksi. Namun sejatinya, sebagaimana disadari sejak awal bahwa
aksi dan saksi harus berjalan seiring, bahkan satu saja. Ia berseru, Perlawanan dan kesadaran adalah satu/
mengembara bersamaku/ pada dinding-dinding sejarah/ yang menghimpit ini.
(puisi Mencari Embun)
Saat
masih berseragam putih abu-abu Rekki telah terlibat dalam pergerakan sosial
politik reformasi dalam rangka menumbangkan rezim orde baru. Puisi-puisi social
Rekki menunjukkan keberpihakan pendirian dan sikap kritis. Rekki, sebagaimana
Rendra, menginsyafi kekuatan puisi sebagai media untuk penyampai (pesan) protes
atas ketidak adilan. Puisi bahkan menjadi suara lain7, other voice, dari suara penguasa atau
pendapat umum masyarakat. Kita menemukan hal ini dalam puisi Mereka yang Hilang, Pengemis-pengemis Besar,
atau puisi Tragedi Oktober Hitam yang
menggugat tragedy kematian 133 suporter pada laga pertandingan sepakbola di
Stadion Kanjuruhan Malang. Ini adalah
puisi kesaksian, serunya dalam puisi. Berikut kutipan lainnya:
Awan
gelap hitam gas airmata bergulung-gulung
di
atas langit malam Kanjuruhan 1 Oktober 2022
Kemanusiaan
kita sudah terluka parah
sebelum
luka jiwa melobangi Oktober ini
malah
nalar kepala terkoyak terinjak-injak
oleh
kaki pengelolaan kenegaraan yang pincang
kaki
sepatu lars negeri sendiri yang tak bermata
Watak puisi itu sendiri sejatinya simbolik,
bermain pada ambang harfiah dan konotatif, mewedar (maksud dan perasaan) sekaligus
menyembunyikannya. Hal inilah yang merangsang imajinasi dan penafsiran pembaca.
Terlebih pembaca yang memiliki irisan kesamaan pemahaman, pengetahuan dan
pengalaman. Demikian pun, puisi-puisi Rekki menampakkan kelindan antara tema
cinta dan perenungan (pencarian) makna hidup, antara aksi dan saksi. Puisi
Sajak Cinta untuk Hidup dan Mati seolah mengikat seluruh tema dan perasaan yang
telah tertuang dalam puisi-puisi sebelum dan sesudahnya.
Aku ingin selalu memupuk
perasaan cinta kepada segala
sesuatu yang maknawi:
yang berjiwa kehidupan
Hasrat
dan kecintaan penyair ikhwal pencarian maknawi kesejatian telah dimulai sejak
masa muda, yaitu saat cinta memikatmu
melalui keangkuhannya yang manis. Sebuah cinta yang membuat si Aku menanggung kesunyian dan sepi-sepi,
namun ia insyaf tiada kuasa menolaknya: bagaimana
aku kuasa untuk menolak/ sentuhan rahasia sebuah penemuan,/ yaitu makna untuk
menemukanmu! Si Aku juga kemudian tahu jika kehidupan lebih menyakitkan daripada kematian/ dan cinta ternyata lebih
dingin daripada kematian.
Menulis puisi adalah usaha untuk mencintai yang sementara dan yang fana untuk kemudian mengekalkannya menjadi sejenis penemuan dalam puisi. Bisakah kita merangkai perjumpaan ini/ menjadi takdir kecil, yang nantinya/ menjadi sebuah takdir besar/ dimana rahasianya terkuak, ketika langit terbaca?/ sebagai makna rahasia sebuah penemuan. Sekali lagi, di bait lainnya, si aku menegaskan bahwa menulis puisi untukmu menjadi cara untuk mengekalkan cinta, hidup dan mati kita/ kini atau juga nanti.
6/
Puisi
bukan hanya soal ekspresi, bukan hanya catatan dari pengembaraan, tetapi juga
jawaban dan solusi (untuk berdamai dengan) problema kehidupan yang dialaminya. Seakan
menguatkan hal ini, Seno Gumira Ajidarma pernah berujar (dalam pengantar buku,
setiap kali ada orang Indonesia menulis puisi, kita harus bersyukur, karena
kalau toh ia tidak berhasil menyelamatkan jiwa orang lain, setidaknya ia telah
menyelamatkan jiwanya sendiri8. Kita membaca lengkap tuturan jujur
Rekki dalam puisi berjudul Puisi:
Puisi
Suatu kali,
Puisi pernah menyelamatkan hidup dan
jiwaku.
Baik dari keinginan bunuh diri, kesepian
yang mencekam
maupun
kedukaan serta patah hati yang mendalam.
Terima kasih, puisi.
Penyair
hidup nomaden wira-wiri mengaku tidak tekun dalam soal dokumentasi. Rekki
Zakkia telah menulis sejak sma, dan setelah fase “Matahari Sebutir Pasir” Rekki
masih istiqomah menulis. Buku puisi kedua Rekki Sajak Cinta untuk Hidup dan Mati ini memuat pula puisi-puisi
terbarunya. Kepenyairan adalah soal panggilan, tulis Rekki dalam catatan
penutup buku pertamanya Matahari Sebutir
Pasir9, seakan mengamini vocation
Simone De Beauvoir tadi. Mungkin, karena itulah puisi-puisinya tulus, natural,
tiada kesan dibuat-buat, diksi-diksinya bernyawa. Dalam puisi Seribu Tahun Lagi yang diperuntukkan
bagi kawannya Faisal Kamandobat, Rekki menyampaikan keyakinannya akan kekuatan
puisi. Bahwa nyawa-nyawa puisi mampu mengepak
sayap/ menuju wajah dingin matahari / (meski) dengan sayap patah kata-kata /mengirimkan getar halus ke semesta.
Getar-getar
halus puisi Rekki Zakia sampai kepada saya. Tidak semua, mungkin, tapi sungguh
sebuah pengalaman membaca puisi-puisi cinta yang menyenangkan dan menggetarkan:
menggetarkan “sisi dalam”, ruhani saya. Saya tutup bersama pembacaan sederhana
atas puisi-puisi Rekki Zakkia dengan dua kutipan:
Dan aku tidak bisa mengubah takdir apapun:
Kecuali bahwa aku adalah seorang penyair!
(Sajak
Untuk Hidup dan Mati)
Terima kasih, puisi.
(Puisi)
Muntilan, 2020-2023
Rujukan
1 : Dan Kematian Makin Akrab, Subagio
Sastrowardoyo, penerbit Grasindo, th 1995, pada bagian Kata Pengantar Penyair,
hal ix.
2 : esai Perempuan dan Kreativitas, Simone De
Beavoir, dalam buku Hidup Matinya Sang
Pengarang, editor Toety Herati, YOI, tahun 2000).
3 : Kata Pengantar
Dan Kematian Makin Akrab, Subagio
Sastrowardoyo, penerbit Grasindo, th 1995.
4 : Demikianlah Kaum Sufi Berbicara, Dr Sara
Sviri, penerbit Pustaka Hidayah, Tahun 2002, hal 101 – 131. Makna arti Khidir
sebagai hijau juga banyak termuat dalam buku2 tasawuf lain spt buku babon
Annemarie Schimmel, Mistical Dimention in Islam, bahkan tafsir Al Azhar, Hamka
juga menyebutnya saat menafsir surah al Kahfi.
5 : Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam,
Fondasi, Seyyed Hossein Nasr (editor), Mizan, 2003, dalam esai Kosmos dan Tatanan Alam, hal 467 – 481.
6 : Epifenomenon,
Telaah Sastra Terpilih, Arif Bagus Prasetyo, penerbit Grasindo, th 2005, dalam
esai 30 Tahun Kemudian, Tentang O Amuk Kapak Sutarji Calzoum Bachri, hal 53 –
112.
7 : Suara Lain, terjemahan atas The Other
Voice, Octavio Paz, penerbit Komodo, tanpa tahun, hal 181 – 205.
8 : Renungan Kloset, Rieke Diah Pitaloka,
Gramedia Pustaka Utama, tahun 2003, bagian kata pengantar.
9 : Matahari Sebutir Pasir, Rekki Zakkia,
Penerbit Gambang, 2018.