Surat - Ilham Wahyudi

@kontributor 9/17/2023

Surat

Ilham Wahyudi

 


Teman semasa kuliah saya dulu mengirim surat elektronik. Sepertinya dia sedang dalam kesusahan hidup yang parah pasca dua tahun diterjang tsunami pandemi. Tapi isi suratnya tidak serta-merta mengisyaratkan hal itu. Dia malah tipis-tipis mengkritik saya sambil mengungkit-ungkit masa lalu kami. Sehingga dia pun terlihat semacam tidak terima jika kemiskinan yang menimpanya saat ini akibat pilihannya pada jalur yang lurus, sedangkan saya menurutnya telah jauh menyimpang.

Saya manggut-manggut saja, cerita yang sudah jamak terdengar sambil bertanya-tanya, kenapa mau minta tolong saja pakai mengkritik saya lebih dulu.

Berikut isi suratnya kepada saya.

”Apa kabar, Kawan seperjuangan? Mungkin saat ini kau sedang duduk manis di kursi komisaris sebuah perusahaan negara. Atau paling tidak, kau pastilah sudah menikmati proyek-proyek pembangunan dari alokasi anggaran yang jumlahnya sangat wow.”

Aneh! Paragraf awal suratnya saja sudah membuat saya muak dan ingin muntah. Tapi mengingat dia adalah teman baik saya dulu, maka saya pun memutuskan terus membaca ke bagian selanjutnya.

O, ya, Kawanku, dulu kita seingatku sama-sama mengagungkan nilai-nilai sosialis. Tapi sekarang sepertinya wangi uang kapitalis telah memabukkan kau. Untuk itu aku ucapkan selamat kepadamu. Namun Kawan, ucapan selamat tidak dapat disampaikan kepada para buruh yang dulu kita bela sama-sama dalam demo yang mendebarkan, mungkin juga menakutkan. Mereka masih tetap di sana, Kawan, menanggung beban undang-undang dan inflasi (yang kalau aku pikir-pikir lagi seperti dibuat-buat saja inflasi itu) yang membuat upah mereka semakin tinggi, namun uang mereka juga semakin tak bernilai.

Ucapan selamat juga tidak dapat diberikan pada keluarga miskin yang menanggung kebijakan ekonomi-moneter dan utang publik yang makin tak genah manfaatnya. Kau juga pasti mengikuti kalau privatisasi kesehatan dan pendidikan pun makin kehilangan asas kegotong-royongan, atau soal-soal subsidi umum yang kian menipis macam kulit bawang demi melepaskan tanggung jawab negara terhadap bangsa.”

Sekarang saya mulai paham kenapa dia harus pakai surat elektronik ketimbang WA untuk minta bantuan atas kesusahan hidupnya. Terlalu rumit memang bila dia menulis semua keluh-kesahnya melalui media WA yang gampang disadap, pikir saya. Urusan perut (kemiskinan) memang terkadang membuat orang menjadi kreatif dan mendadak mahir menulis atau berkata-kata. Padahal dulu semasa kuliah, kawan saya itu malas sekali menulis atau bicara. Sayalah sebenarnya yang dulu selalu tampil bicara, atau selalu menghantam kekuasaan melalui tulisan.

Maka, demi melihat perkembangan pesatnya dalam tulis-menulis, saya teruskan membaca surat elektroniknya yang semakin memuakkan, mencoba (mungkin) memahami keluh kesah kemiskinannya.

”Kawan, apakah benar bahwa pikiran dan arah perjuangan akan dibedakan menurut kursi-kursi saja? Bila ini masih sebuah hipotesa, maka kau adalah bukti nyata. Lantas, apa beda antara ketika kau masih menjadi anjing jalanan dengan setelah kau menjadi anjing istana? Kawan, perlu kau tahu, anjing tetaplah anjing, kecuali perbedaan hanya pada bulu dan rantainya saja.

Sesungguhnya, peran memang akan selalu berubah. Begitu pula dengan kekuasaan, ia juga pasti akan berganti (dipergilirkan). Bukankah kau yang selalu mengatakan bahwa tiap-tiap kekuasaan harus kita curigai? Apakah buku-buku usangmu telah lama kau jual ke tukang loak, Kawan? Sehingga kini koleksimu pun telah berubah menjadi buku-buku motivasi beraroma sup ayam atau mungkin kau sudah pula senang membaca buku-buku kajian moral tingkat tinggi?”

Alis saya mendadak terangkat otomatis. Anjing istana? Bagus betul dia memilih metafora untuk menilai saya saat ini. Dengan alis yang masih terangkat, saya teruskan lagi membaca surat teman baik saya itu.

Hehehe... aku sangat mengenalmu, Kawan. Cepat sekali revolusimu berakhir, dan singkat sekali ingatanmu pada pelajaran-pelajaran yang kita curi malam-malam dari diskusi-diskusi panjang kita bersama senior-senior kita.

Akan tetapi semuanya memang telah menjadi benar. Hanya saja pesanku, Kawan, tidak perlulah membuka aurat setelanjang-telanjangnya di hadapan khalayak. Malu kita jadinya, kan?

Baiklah Kawanku, kupikir sudah dulu suratku kepadamu. O, ya, sesekali perlu juga kita bertemu sambil menghisap cerutu. Mata tahu romantisme masih bisa sedikit membantu. Tenang Kawan, aku tidak akan meminta cerutu yang kau hisap. Cerutuku lebih nikmat, sebab aku gulung dari tembakau-tembakau hasil perkebunan tembakau di kampung kita yang aroma dan rasanya sudah masyhur sampai ke Benua Biru. Jadi jangan terlalu repot kau membawa cerutumu bila nanti kita bertemu,” begitu teman baik saya mengakhiri surat elektroniknya.

Jujur saya sangat mengapresiasi perkembangan teman baik saya itu dalam menulis. Kata-kata serta susunan kalimat yang dia rangkai dalam surat elektroniknya itu sama sekali tidak mencerminkan jika dia dulu seorang yang sama sekali tidak pandai menulis.

Saya benar-benar kagum pada perubahan drastis teman baik saya itu. Pribadinya yang kalem dan pemalu senyata jauh berubah melampaui derajat-derajat perubahan. Jangankan menulis seperti itu, mengatakan perutnya lapar saja, dia dulu sangat sungkan. Padahal saya tahu, dia itu anak mama yang tidak bisa sedikit saja telat makan. Sehingga saya sering membagi jatah makan saya, atau uang pribadi saya untuk membeli makan bila dia kelaparan saat kami larut dalam diskusi-diskusi panjang di kampus. Apa jangan-jangan dia kini sudah menjadi sastrawan?

Mungkin sebenarnya maksud surat itu bukan ingin minta uang secara langsung kepada saya sebagai usahanya memenuhi kebutuhan hidupnya yang semakin parah dan mencemaskan, melainkan semacam kecerdasan dalam membujuk saya menjadi sponsor buku kumpulan puisi atau cerpennya. Atau bisa juga sebenarnya dia bukan sedang meminta pada saya, tapi melalui saya memohon untuk mencarikannya koneksi dari teman-teman separtai saya, maupun teman-teman pejabat yang saya kenal untuk ikut terlibat membantu produksi bukunya. Ah, saya jadi jatuh kasihan padanya.  

Baiklah, demi efektifitas dan efisiensi solusi, sepertinya saya telepon saja dia langsung, Jangan dibikin repot. Hitung-hitung silahturahmi setelah sekian lama tidak bertukar kabar. Akan tetapi, persis saat mau meneleponnya, saya mendadak punya pikiran lain. Apa saya balas saja surat elektroniknya dengan sebuah puisi atau cerpen yang menceritakan bagaimana saya saat ini, dan bagaimana menyikapi keterbatasan dana dalam memproduksi sebuah buku sastra?

Maka saya pun mencoba menulis puisi.

”.....”

Hampir satu jam saya duduk di hadapan laptop, tidak satu kata pun berhasil saya temukan untuk saya jadikan kata pertama bagi puisi yang ingin saya kirim kepadanya. Kata-kata kok sepertinya enggan menghampiri. Apa ini sebuah tanda dari alam semesta kalau teman seperti teman saya itu hari-hari ini memang banyak di luar sana, dan seharusnya tidak perlu ditanggapi serius. Alias buang-buang waktu. Mending saya merancang rencana-rencana pembangunan yang nantinya bermanfaat bagi rakyat yang memilih saya.

Akhirnya, setelah lelah saya menunggu. Kemudian berlanjut dengan kembali mempertimbangkan manfaat dan mudaratnya (sambil membaca berulang-ulang isi surat teman baik saya itu) saya pun bulat memutuskan menghapus surat elektronik teman baik saya itu dari kotak surat elektronik saya yang penuh dengan proposal pengajuan sponsor acara-acara seminar di kampus saya dulu.

Selesai memencet ‘Delete’. Segera saya ambil ponsel dan mengirim WA ke salah satu menteri teman saya, “Brother, arah politik kian tak menentu, kita harus buru-buru cari sekoci, kalau tidak ingin tenggelam!” 

Dalam hati saya menyeletuk. Untung teman lugu saya itu mengingatkan saya sebelum semuanya tenggelam diterjang badai perubahan.

Akasia, 2023

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »