Bumi Semakin Panas - WS. Djambak

@kontributor 10/29/2023

Bumi Semakin Panas

WS. Djambak



Pernah Pudin mengutarakan kecurigaannya bahwa sebenarnya grup kasidah Nasida Ria adalah peramal yang menyamar jadi penyanyi. Tentu saja Geren, temannya sesama mahasiswa Ilmu Lingkungan, keheranan dan bertanya mengenai alasan dia menuding tanpa dasar tersebut.

Geren—sambil sibuk mengipaskan buku ke arah dada dan leher yang sudah terbuka kancing bagian atas kemejanya—bertanya dengan pandangan mata heran bercampur sinis, “Bagaimana kau punya pemikiran pandir begitu?”

Kalau bukan karena ingat Geren sudah tingkat Dan-II Taekwondo, barangkali sudah dimakinya karena emosi dibilang pandir.

“Kau tahu lagunya yang berjudul Tahun 2000?”

“Ya, salah satu lagu kesukaanku ketika masih mengaji di MDA dulu. Ada apa dengan lagu itu?”

”Bagaimana mungkin lagu yang diciptakan tahun 1982 itu mampu meramalkan dengan tepat kondisi pada tahun 2000-an hingga sekarang? Lalu disambung oleh Cucu Cahyati dengan lagu Bumi Semakin Panas. Terkutuknya, lirik pada lagu itu menjadi kenyataan. Sebenarnya, mereka ini musisi atau peramal? Mengingatkanku pada Nostradamus saja.”

“Lalu apa hubungannya denganmu?” tanya Geren lagi.

Pudin mengela napas sejenak sebelum melanjutkan lagi.

“Begini. Apa kau tidak merasa akhir-akhir ini bumi memang semakin panas berdengkang? Suasana kota semakin sumpek, jalanan semakin macet. Belum lagi ketika hujan melanda, banjir pun tiba. Ah, andai James Watt sialan tidak menciptakan mesin uap, tentu revolusi industri yang menjadi induk bagi polusi tidak terjadi. Sepertinya aku memahami alasan Thanos meski tidak sepakat dengannya.”

“Ya, kalau mesin uap tidak ada, industri tidak akan berkembang seperti sekarang. Barangkali untuk mendapat foto cewek saja, kau harus mencuri terlebih dahulu dari formulir pendaftaran organisasi kampus. Patut juga kau bersyukur, dengan berkembangnya teknologi, semua orang suka pamer dan semakin hobi melanggakkan diri. Kau bisa beroleh foto selfie sebanyak yang kau mau, hanya bermodalkan akun media sosial. Tinggal kau cari saja nama bapaknya—tentu dengan modal media sosial juga—untuk mengirimkan jampi-jampi penanggang mata, agar kau selalu hinggap di pelupuk matanya.”

“Sialan, kau. Tidak sebegitunya juga. Bagaimanapun, aku tidak suka panas yang menggelegak seperti jahanam ini!”

“Ketimbang merutuki gelap, baik kau nyalakan lilin. Itu lebih bermanfaat.”

“Kau kan tahu, bukan sekali dua kali aku berbuat untuk lingkungan. Kau pun turut serta kegiatan-kegiatan kita,” cecar Pudin.

Bukan tanpa alasan Pudin merasa muak dengan situasi pemanasan global dan bencana lingkungan belakangan ini. Saban tahun anak tetangganya masuk rumah sakit gara-gara ISPA akibat kabut asap pembakaran lahan. Belum lagi udara yang semakin panas tak berangin membuat kulitnya serasa melepuh dan gatal-gatal, nyaris membuat tak bisa beraktivitas di luar ruangan. Mengurung diri di ruangan ber-AC pun bukan solusi, malahan menimbulkan masalah yang lebih rumit. Konon, dampak jangka panjang penggunaan AC juga berakibat terhadap penipisan lapizan ozon—yang barang tentu diikuti dengan kenaikan suhu yang lebih lagi.

Pudin tak kuasa membayangkan bagaimana nasib anak-cucunya kelak jika kondisi ini terus berlanjut—apalagi dia sudah beranda-andai hendak melamar Haryani, gadis manis kembang kampus selepas wisuda nanti. Tak tanggung, ia ingin memiliki lima orang anak bersama Haryani.

Bulu kuduknya yang remang menerawang itu selalu ereksi tiap kali diskusi tentang mendapat isu-isu lingkungan. Misalkan di daerah pesisir pemanfaatan bakau telah membuat kerusakan yang sangat menakutkan. Abrasi dan penurunan muka tanah, kemudian dilanjut dengan intrusi air laut, ditambah dengan pencemaran air, tanah, dan udara. Di darat pun juga demikian. Pohon ditebangi oleh para pengusaha besar dan menyisakan banjir dan longsor bagi masyarakat sekitar. Belum lagi permasalahan konflik antara manusia dan satwa liar yang semakin terdesak. Juga polusi yang semakin pekat akibat asap pabrik dan kendaraan. Hendak melarang penggunaan bahan bakar fosil? Tentu mustahil, sebab untuk mengakomodasi bahan bakar ramah energi belum memungkinkan, dan biayanya tentu lebih mahal serta tidak bisa diterapkan bagi kalangan mayoritas di Indonesia yang menengah ke bawah.

Pernah ia dan kawan-kawannya mengadakan acara penanaman pohon bersama pejabat provinsi. Seperti yang diduga, kegiatan berlangsung ramai dan meriah dengan pentas musik dan turut mengundang artis ibukota.

Acara penanaman hanya dilakukan secara simbolis dengan penanaman sebuah pohon oleh sekretaris daerah—yang terlihat kepayahan memegang cangkul—yang diikuti oleh jajarannya, lalu kemudian setelahnya ia menggelar konferensi pers tentang betapa pentingnya penanaman pohon dan bagaimana upaya pemerintah menyelamatkan lingkungan untuk mengurangi dampak polusi.

Sungguh lucu, baru menanam satu buah pohon—itu pun bibit pohon berukuran kurang dari satu meter—sudah merasa bisa mengurangi polusi udara yang sudah serupa daki korupsi para pejabat tersebut?

Pernah juga di lain kesempatan ia berdemonstrasi mendesak DPRD mengeluarkan perda tentang emisi karbondioksida. Salah satu poin bahasan adalah tentang pembakaran lahan dan juga kompensasi dari perusahaan dan para pelanggar atas dampak polusi yang terjadi. Setelah uji materi oleh para ahli, ternyata itu juga bukan sebuah solusi yang pasti.

Dampak dari kompensasi tersebut lebih membuat ngeri; pengusaha cukup membayar sejumlah pungutan, kemudian ia bebas membakar (katakanlah memanfaatkan) lahan. Lalu, uang tersebut ke mana? Tentu masuk kas negara sebagai PNBP. Syukur-syukur jika tidak digunakan oleh pejabat untuk pelesiran ke luar negri, katanya studi banding yang sangat penting.

“Maka, lakukan lagi dan lagi sampai kau tidak punya waktu untuk mengeluh,” tegas Geren membuyarkan lamunannya. Pudin diam. Seperti biasa, kata-kata sinis dan logis dari Geren tak mampu dibantahnya dengan argumentasi apapun.

***

Sore itu, Pudin, Geren, dan beberapa orang lainnya bertemu di kantin samping kampus, kepunyaan seorang duda tua yang memiliki anak gadis jelita. Di sana, Pudin dan kawan-kawannya betah berlama-lama, hanya memesan kopi segelas, mereka duduk bercengkrama. Suara tawanya membahana dan percakapan menggunakan istilah-istilah berat seolah ingin menonjolkan kualitas mereka sebagai mahasiswa yang melek dengan isu terkini.

Sambil mengisap rokoknya, Pudin mulai bercerita. Asap rokok berwana putih kekuningan itu turut mengepul seiring mulutnya yang terbuka.

“Bagaimana jika kita buat lagi kegiatan penanaman pohon dan sosialisasi ke sekolah-sekolah tentang bahaya emisi gas rumah kaca? Kemudian dilanjutkan aksi bersih pantai dengan cara pemungutan sampah.”

“Dari mana duitnya? Dari mana?” timpal Geren menirukan gaya seorang pelawak yang tengah viral di media sosial.

“Seperti biasa, kita buat proposal lalu ajukan kepada para donatur,” jawab Pudin yakin.

“Atau kita todong perusahaan-perusahaan perusak lingkungan untuk mengeluarkan dana CSR-nya. Tentu dana untuk kegiatan kita tidak sebanding dengan keuntungan yang diperoleh mereka dari hasil merusak lingkungan,” timpal salah seorang teman mereka.

“Aku tak yakin bakal berhasil,” sahut Geren lagi.

“Kalau mereka tidak mau memberikan bantuan dana, gampang, tinggal kita viralkan dan buat heboh ke media sosial dengan mengorek isu pembuangan limbah dan pengrusakan lingkungan yang dilakukan. Lalu buat petisi penghentian izin usaha, pasti mereka kalang-kabut.”

“Ide bagus. Sepakat.”

“Paling penting, tidak perlu mengundang pejabat, baik untuk peresmian acara atau apapun namanya. Aku muak melihat politisasi kegiatan oleh mereka,” ujar Pudin kembali. Yang lain mengamini.

***

Suatu pagi yang sangat cerah, meski malas, Pudin terpaksa pergi keluar dari rumahnya untuk membeli paket internet. Mengenakan jaket buluk organisasi, Pudin menyalakan sepeda motor matic kesayangannya. Motor yang—sudah tak terhitung lagi berapa pantat wanita yang mendudukinya—menemaninya pergi mengapel, hingga mengajak malam mingguan ke semak-semak dekat terminal AKAP di sudut kota.

Tak berapa jauh dari rumahnya, di depan TPU yang sepi, Pudin dicegat oleh sebuah mobil Jeep hitam yang memaksakannya menyingkir ke pinggir tanpa sempat kabur menarik gas. Beberapa pria berbadan tegap berpakaian gelap keluar dan dengan sigap menyekap mulutnya. Ia dipaksa masuk ke dalam mobil, setelah itu tak sadarkan diri.

Sebuah benda keras mendarat di punggung kaki Pudin memaksanya bangun dan menjerit—saking sakit hingga suaranya tak terdengar, hanya mulutnya yang menganga lebar dan mata yang membeliak serta urat leher yang menyembul menandakan sakit teramat sangat.

Di hadapannya berdiri beberapa orang yang tersenyum, lebih tepat menyeringai, memandangnya. Ia kenal dengan salah seorang dari mereka. Seorang tokoh masyarakat yang beberapa waktu silam diusik Pudin dan teman-temannya atas kasus pembalakan liar. Kasus itu berlanjut hingga ke meja hijau. Meski kemudian majelis hakim memutuskan tidak bersalah, tentu ia teramat dendam terhadap Pudin. Tak terhitung kerugian moril dan materiel yang timbul atas kasus tersebut.

Walaupun selama ini Pudin terlihat gahar ketika memegang megafon dan berorasi dengan lantang menyuarakan keadilan, namun kali ini ia gentar, badannya gemetar. Situasi ini di luar kendalinya.

Dengan sebuah jentikan jari dari sang tokoh masyarakat itu, beberapa lelaki maju. Salah seorang darinya menjambak rambut Pudin, dan beberapa lagi menggotong tubuh Pudin yang lemas dengan kondisi tangan terikat ke belakang dan kaki yang dikebat kuat. Pudin baru sadar jika mereka tengah berada di atas sebuah kapal mewah di tengah samudra, entah samudra mana, yang pasti, nyawanya dalam bahaya. Tanpa menunggu lebih lama, para lelaki tersebut melemparkan tubuh Pudin ke laut.

Bunyi empasan badan Pudin cukup keras dan memercikkan air yang cukup tinggi, hampir menyerupai kisah Archimedes—tentu tanpa teriakan Eureka dan mahkota raja.

Pudin meronta dan tersentak bangun dengan napas megap-megap seperti ikan membutuhkan air. Seluruh tubuh dan ranjangnya basah. Di sudut dipan, ibunya berdiri berkacak pinggang, di kakinya terlihat ember merah tertelungkup dengan tumpahan air di sekitarnya.

“Bangun juga kau, Pemalas! Ngakunya agen perubahan, aktivis dan segala macam hantu belau yang terdengar hebat, namun mengatur diri sendiri saja tidak bisa. Sekarang, selesaikan urusan skripsimu. Jika tidak tamat tahun ini, silakan angkat kaki dari rumah ini.”

Pudin diam, badannya lemas dan gemetar, entah karena marah, atau malah lapar. [*]

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »