Bumi Semakin Panas
WS. Djambak
Pernah Pudin mengutarakan kecurigaannya bahwa
sebenarnya grup kasidah Nasida Ria adalah peramal yang menyamar jadi penyanyi.
Tentu saja Geren, temannya sesama mahasiswa Ilmu Lingkungan, keheranan dan
bertanya mengenai alasan dia menuding tanpa dasar tersebut.
Geren—sambil sibuk mengipaskan buku ke arah dada dan
leher yang sudah terbuka kancing bagian atas kemejanya—bertanya dengan
pandangan mata heran bercampur sinis, “Bagaimana kau punya pemikiran pandir begitu?”
Kalau bukan karena ingat Geren sudah tingkat Dan-II
Taekwondo, barangkali sudah dimakinya karena emosi dibilang pandir.
“Kau tahu lagunya yang berjudul Tahun 2000?”
“Ya, salah satu lagu kesukaanku ketika masih mengaji di
MDA dulu. Ada apa dengan lagu itu?”
”Bagaimana mungkin lagu yang diciptakan tahun 1982 itu
mampu meramalkan dengan tepat kondisi pada tahun 2000-an hingga sekarang? Lalu
disambung oleh Cucu Cahyati dengan lagu Bumi Semakin Panas. Terkutuknya,
lirik pada lagu itu menjadi kenyataan. Sebenarnya, mereka ini musisi atau
peramal? Mengingatkanku pada Nostradamus saja.”
“Lalu apa hubungannya denganmu?” tanya Geren lagi.
Pudin mengela napas sejenak sebelum melanjutkan lagi.
“Begini. Apa kau tidak merasa akhir-akhir ini bumi memang
semakin panas berdengkang? Suasana kota semakin sumpek, jalanan semakin
macet. Belum lagi ketika hujan melanda, banjir pun tiba. Ah, andai James Watt
sialan tidak menciptakan mesin uap, tentu revolusi industri yang menjadi induk
bagi polusi tidak terjadi. Sepertinya aku memahami alasan Thanos meski tidak
sepakat dengannya.”
“Ya, kalau mesin uap tidak ada, industri tidak akan berkembang
seperti sekarang. Barangkali untuk mendapat foto cewek saja, kau harus mencuri
terlebih dahulu dari formulir pendaftaran organisasi kampus. Patut juga kau
bersyukur, dengan berkembangnya teknologi, semua orang suka pamer dan semakin
hobi melanggakkan diri. Kau bisa beroleh foto selfie sebanyak
yang kau mau, hanya bermodalkan akun media sosial. Tinggal kau cari saja nama
bapaknya—tentu dengan modal media sosial juga—untuk mengirimkan jampi-jampi
penanggang mata, agar kau selalu hinggap di pelupuk matanya.”
“Sialan, kau. Tidak sebegitunya juga. Bagaimanapun, aku
tidak suka panas yang menggelegak seperti jahanam ini!”
“Ketimbang merutuki gelap, baik kau nyalakan lilin. Itu
lebih bermanfaat.”
“Kau kan tahu, bukan sekali dua kali aku berbuat untuk
lingkungan. Kau pun turut serta kegiatan-kegiatan kita,” cecar Pudin.
Bukan tanpa alasan Pudin merasa muak dengan situasi
pemanasan global dan bencana lingkungan belakangan ini. Saban tahun anak
tetangganya masuk rumah sakit gara-gara ISPA akibat kabut asap pembakaran
lahan. Belum lagi udara yang semakin panas tak berangin membuat kulitnya serasa
melepuh dan gatal-gatal, nyaris membuat tak bisa beraktivitas di luar ruangan.
Mengurung diri di ruangan ber-AC pun bukan solusi, malahan menimbulkan masalah
yang lebih rumit. Konon, dampak jangka panjang penggunaan AC juga berakibat
terhadap penipisan lapizan ozon—yang barang tentu diikuti dengan kenaikan suhu
yang lebih lagi.
Pudin tak kuasa membayangkan bagaimana nasib anak-cucunya
kelak jika kondisi ini terus berlanjut—apalagi dia sudah beranda-andai hendak
melamar Haryani, gadis manis kembang kampus selepas wisuda nanti. Tak tanggung,
ia ingin memiliki lima orang anak bersama Haryani.
Bulu kuduknya yang remang menerawang itu selalu ereksi
tiap kali diskusi tentang mendapat isu-isu lingkungan. Misalkan di daerah
pesisir pemanfaatan bakau telah membuat kerusakan yang sangat menakutkan.
Abrasi dan penurunan muka tanah, kemudian dilanjut dengan intrusi air laut,
ditambah dengan pencemaran air, tanah, dan udara. Di darat pun juga demikian. Pohon
ditebangi oleh para pengusaha besar dan menyisakan banjir dan longsor bagi
masyarakat sekitar. Belum lagi permasalahan konflik antara manusia dan satwa
liar yang semakin terdesak. Juga polusi yang semakin pekat akibat asap pabrik
dan kendaraan. Hendak melarang penggunaan bahan bakar fosil? Tentu mustahil,
sebab untuk mengakomodasi bahan bakar ramah energi belum memungkinkan, dan
biayanya tentu lebih mahal serta tidak bisa diterapkan bagi kalangan mayoritas
di Indonesia yang menengah ke bawah.
Pernah ia dan kawan-kawannya mengadakan acara penanaman
pohon bersama pejabat provinsi. Seperti yang diduga, kegiatan berlangsung ramai
dan meriah dengan pentas musik dan turut mengundang artis ibukota.
Acara penanaman hanya dilakukan secara simbolis dengan
penanaman sebuah pohon oleh sekretaris daerah—yang terlihat kepayahan memegang
cangkul—yang diikuti oleh jajarannya, lalu kemudian setelahnya ia menggelar
konferensi pers tentang betapa pentingnya penanaman pohon dan bagaimana upaya
pemerintah menyelamatkan lingkungan untuk mengurangi dampak polusi.
Sungguh lucu, baru menanam satu buah pohon—itu pun bibit
pohon berukuran kurang dari satu meter—sudah merasa bisa mengurangi polusi udara
yang sudah serupa daki korupsi para pejabat tersebut?
Pernah juga di lain kesempatan ia berdemonstrasi mendesak
DPRD mengeluarkan perda tentang emisi karbondioksida. Salah satu poin bahasan
adalah tentang pembakaran lahan dan juga kompensasi dari perusahaan dan para pelanggar
atas dampak polusi yang terjadi. Setelah uji materi oleh para ahli, ternyata itu
juga bukan sebuah solusi yang pasti.
Dampak dari kompensasi tersebut lebih membuat ngeri; pengusaha
cukup membayar sejumlah pungutan, kemudian ia bebas membakar (katakanlah
memanfaatkan) lahan. Lalu, uang tersebut ke mana? Tentu masuk kas negara
sebagai PNBP. Syukur-syukur jika tidak digunakan oleh pejabat untuk pelesiran
ke luar negri, katanya studi banding yang sangat penting.
“Maka, lakukan lagi dan lagi sampai kau tidak punya waktu
untuk mengeluh,” tegas Geren membuyarkan lamunannya. Pudin diam. Seperti biasa,
kata-kata sinis dan logis dari Geren tak mampu dibantahnya dengan argumentasi
apapun.
***
Sore itu, Pudin, Geren, dan beberapa orang lainnya
bertemu di kantin samping kampus, kepunyaan seorang duda tua yang memiliki anak
gadis jelita. Di sana, Pudin dan kawan-kawannya betah berlama-lama, hanya
memesan kopi segelas, mereka duduk bercengkrama. Suara tawanya membahana dan percakapan
menggunakan istilah-istilah berat seolah ingin menonjolkan kualitas mereka
sebagai mahasiswa yang melek dengan isu terkini.
Sambil mengisap rokoknya, Pudin mulai bercerita. Asap
rokok berwana putih kekuningan itu turut mengepul seiring mulutnya yang
terbuka.
“Bagaimana jika kita buat lagi kegiatan penanaman pohon
dan sosialisasi ke sekolah-sekolah tentang bahaya emisi gas rumah kaca? Kemudian
dilanjutkan aksi bersih pantai dengan cara pemungutan sampah.”
“Dari mana duitnya? Dari mana?” timpal Geren menirukan
gaya seorang pelawak yang tengah viral di media sosial.
“Seperti biasa, kita buat proposal lalu ajukan kepada para
donatur,” jawab Pudin yakin.
“Atau kita todong perusahaan-perusahaan perusak
lingkungan untuk mengeluarkan dana CSR-nya. Tentu dana untuk kegiatan
kita tidak sebanding dengan keuntungan yang diperoleh mereka dari hasil merusak
lingkungan,” timpal salah seorang teman mereka.
“Aku tak yakin bakal berhasil,” sahut Geren lagi.
“Kalau mereka tidak mau memberikan bantuan dana, gampang,
tinggal kita viralkan dan buat heboh ke media sosial dengan mengorek isu
pembuangan limbah dan pengrusakan lingkungan yang dilakukan. Lalu buat petisi
penghentian izin usaha, pasti mereka kalang-kabut.”
“Ide bagus. Sepakat.”
“Paling penting, tidak perlu mengundang pejabat, baik
untuk peresmian acara atau apapun namanya. Aku muak melihat politisasi kegiatan
oleh mereka,” ujar Pudin kembali. Yang lain mengamini.
***
Suatu pagi yang sangat cerah, meski malas, Pudin terpaksa
pergi keluar dari rumahnya untuk membeli paket internet. Mengenakan jaket buluk
organisasi, Pudin menyalakan sepeda motor matic kesayangannya. Motor
yang—sudah tak terhitung lagi berapa pantat wanita yang
mendudukinya—menemaninya pergi mengapel, hingga mengajak malam mingguan ke
semak-semak dekat terminal AKAP di sudut kota.
Tak berapa jauh dari rumahnya, di depan TPU yang sepi,
Pudin dicegat oleh sebuah mobil Jeep hitam yang memaksakannya menyingkir ke pinggir
tanpa sempat kabur menarik gas. Beberapa pria berbadan tegap berpakaian gelap
keluar dan dengan sigap menyekap mulutnya. Ia dipaksa masuk ke dalam mobil,
setelah itu tak sadarkan diri.
Sebuah benda keras mendarat di punggung kaki Pudin
memaksanya bangun dan menjerit—saking sakit hingga suaranya tak terdengar,
hanya mulutnya yang menganga lebar dan mata yang membeliak serta urat leher
yang menyembul menandakan sakit teramat sangat.
Di hadapannya berdiri beberapa orang yang tersenyum,
lebih tepat menyeringai, memandangnya. Ia kenal dengan salah seorang dari
mereka. Seorang tokoh masyarakat yang beberapa waktu silam diusik Pudin dan
teman-temannya atas kasus pembalakan liar. Kasus itu berlanjut hingga ke meja
hijau. Meski kemudian majelis hakim memutuskan tidak bersalah, tentu ia teramat
dendam terhadap Pudin. Tak terhitung kerugian moril dan materiel yang timbul
atas kasus tersebut.
Walaupun selama ini Pudin terlihat gahar ketika memegang
megafon dan berorasi dengan lantang menyuarakan keadilan, namun kali ini ia
gentar, badannya gemetar. Situasi ini di luar kendalinya.
Dengan sebuah jentikan jari dari sang tokoh masyarakat
itu, beberapa lelaki maju. Salah seorang darinya menjambak rambut Pudin, dan
beberapa lagi menggotong tubuh Pudin yang lemas dengan kondisi tangan terikat
ke belakang dan kaki yang dikebat kuat. Pudin baru sadar jika mereka tengah
berada di atas sebuah kapal mewah di tengah samudra, entah samudra mana, yang
pasti, nyawanya dalam bahaya. Tanpa menunggu lebih lama, para lelaki tersebut
melemparkan tubuh Pudin ke laut.
Bunyi empasan badan Pudin cukup keras dan memercikkan air
yang cukup tinggi, hampir menyerupai kisah Archimedes—tentu tanpa teriakan
Eureka dan mahkota raja.
Pudin meronta dan tersentak bangun dengan napas
megap-megap seperti ikan membutuhkan air. Seluruh tubuh dan ranjangnya basah.
Di sudut dipan, ibunya berdiri berkacak pinggang, di kakinya terlihat ember
merah tertelungkup dengan tumpahan air di sekitarnya.
“Bangun juga kau, Pemalas! Ngakunya agen
perubahan, aktivis dan segala macam hantu belau yang terdengar hebat, namun mengatur
diri sendiri saja tidak bisa. Sekarang, selesaikan urusan skripsimu. Jika tidak
tamat tahun ini, silakan angkat kaki dari rumah ini.”
Pudin diam, badannya lemas dan gemetar, entah karena
marah, atau malah lapar. [*]