Dammahum dan Arbitrerisme Prosa - Hasan Al Banna

@kontributor 10/29/2023

Dammahum dan Arbitrerisme Prosa

Hasan Al Banna



Membaca umpulan cerita pendek Dammahum (Diva Press, Maret 2023) tak ubah seperti membaca novel dengan lapisan bab yang abritrer, yang manasuka (bisa juga dibaca: suka-suka). Benny Arnas, semula, seolah-olah berhadap-hadap dengan buku tulis kosong isi 192 lembar, kemudian dengan sesukanya menuliskan cerita pada lembaran mana saja dan pada waktu kapan saja. Usai satu cerita, sesukanya pula dia melompat ke lembaran lain untuk meninggalkan cerita yang lain pula.  

Namun, suka-sukanya penulis bukan tanpa cetak biru (blue print). Dia mencecerkan tokoh-tokoh dan latar (tempat dan waktu) yang terbit-tenggelam, masalah yang kait-mengait, bahkan kesimpulan yang tarik-menarik. Tokoh-tokoh semacam Damahum, Kiai, Mang Dalim, Patah, Omar, Amir, perempuan kembar, Venn, Sika, dan nama lainnya secara acak bertunas pada sejumlah judul cerita. Pun latar Lubuklinggau, Jakarta, Slovenia, Turki, Pakistan, pesantren, dan latar lainnya—seperti halnya penunjuk waktu, terkonfirmasi secara gelap-terang pada belasan cerpen yang termaktub dalam buku ini.

Keusilan penulis buku Dammahum menyodorkan permainan yang menggembirakan bagi pembaca yang sadar bahwa katakanlah 'dunia tidak selebar daun kelor' itu sesungguhnya anomali dari betapa tak berdayanya kita menebak kekuasaan-Nya, sekalipun kita tetap berlomba tawakal menerimanya. Pun bak 'cerita tak selebar daun kelor' menunjukkan betapa tak kuasanya pembaca menebak kemauan(nya) penulis dan sekalipun dengan segala kekritisan kita toh akhirnya diam-diam sudi berdamai, sekonyong-konyong menerima.

Ulang-alik kerja kreatif Benny mengisi buku tulis kosong isi 192 lembar pada akhirnya menunjukkan betapa leluasanya penulis melebarkan ceritanya melalui judul lain dan begitu seterusnya. Tokoh sekunder pada salah satu cerpen misalnya akan menjelma tokoh primer pada cerpen yang lain dengan mengangkut soalan dan latar (tempat dan waktu) yang berbeda tetapi jangan-jangan berkaitan? Pun bisa terjadi sebaliknya, tokoh primer pada judul ini akan menjadi pelengkap pada cerpen yang itu.

Geser-angkat yang demikian tentu menghadiahkan keberagaman perspektif yang salip-menyalip ke hadapan pembaca. Laiknya masing-masing kita bebas bertindak sebagai subjek pencerita pada satu waktu, tetapi pada waktu yang lain kita malah menjadi objek cerita. Tokoh-tokoh dalam deretan cerpen dalam buku ini saling menceritakan (baik buruk) masing-masing di judul cerpen yang berbeda. Atau malah sadar atau tidak, sedang terlibat aktif menceritakan kurang lebihnya sendiri?

Pada pemikiran lain, kerja kreatif Benny mendesain cerita demi cerita berimbas kepada kreativitas tokoh-tokohnya. Mereka hadir, bertindak-laku, dan berintegrasi sesuka hati (ini tentu ulah Benny sendiri) sehingga terdapat ribuan milikedip penanda yang menyala antara hitam dengan putih, baik dengan buruk, laba dengan bala, alim dengan zalim, bahkan surga dengan neraka? Kedip penanda yang jumlahnya ribuan milikedip ini menjadikan jarak antara hitam dengan putih, baik dengan buruk, laba dengan bala, alim dengan zalim, bahkan surga dengan neraka menjadi panjang dan berkelok.

Oleh sebab itu masing-masing persoalan atau apapun itu yang menyertai cerita tidak serta-merta menjadi serba mutlak. Tidak ada kebaikan mutlak atau keburukan mutlak. Pun tidak semudah itu Kiai guru spritual Damahum dalam cerpen "Menjadi Mercusuar" mutlak sebagai pemuka agama yang ideal, yang agung, atau yang tak bercela. Bukankah ketakjuban kita membaca risalah tobat tokoh Damahum kembali terban (bagai rubuh sebinasanya) setelah membaca riwayat lanjutannya dalam cerpen dimaksud atau pada judul lainnya? Namun seturut sifat fluktuatif, pertukaran nilai masing-masing tokoh bisa berubah-ubah, termasuk Kiai. Konon lagi yang lain. Atau jangan-jangan, kerja simpul kita sebagai pembaca yang mudah goyah setelah sibuk tabayun ke cerita yang sana dan ke cerita yang sini?

Terlepas dari itu, dinyana atau tidak, kefluktuatifan multicerita yang berpola siklus 'rantai makanan' dalam buku Dammahum memberi ruang bagi pembaca untuk menguji kerja kohesi dan koherensinya, baik dalam cerpen itu sendiri, antarcerpen, sekaligus keempat belas cerpen secara utuh. Langsung atau tidak langsung, deretan cerpen yang sudah kelar dibaca seenaknya saja menyusup ke cerpen lainnya—dengan komposisi yang sudah diatur Benny secara saksama. Cerita-cerita pun leluasa sebagai bunglon genre prosa!

Semisal pembaca sepakat buku ini adalah novel yang berkamuflase, jangan kira cerita-cerita (baca: bab-bab) yang berjudul “Parang Patah”, “Lebaran Haji Neknang”, “Panggung Paramitha Rusady”, “Saudara yang Sempurna”, atau “Di Ruang Tamu, Hanya Aku dan Van Houten” hanya hadir sebagai bab pelengkap. Sejumlah judul tersebut bahkan menjadi referensi tambahan penting untuk melengkapi rekam jejak (curriculum vitae) sosok Damahum misalnya, atau Kiai, Omar, Amir, atau Venn? Sekali lagi, inilah ujian untuk memonten kecakapan kohesi dan koherensi pembaca terhadap keempat belas karya dalam buku Dammahum, tanpa terkecuali. Atau, jangan-jangan pembaca yang tengah memonten kerja 'main-main' Benny; berhasil, lumayan atau cuma canda yang tak jelas?

Terlepas dari cekcok pertanyaan remeh di atas, tentu, tentu masing-masing cerpen dalam buku Dammahum tetap bisa hidup secara mandiri, tak tergantung cerpen yang lain. Namun tidak dapat dipungkiri, berkumpulnya mereka dalam sebuah ‘arisan’ Dammahum ini menawarkan kenikmatan yang lain, yang mungkin tidak mudah untuk diuraikan. Penulis prosa sekaliber Benny memang tidak (boleh) lagi menulis cerita-cerita dengan konflik satu variabel atau kisah dengan kejutan ala-ala selamat ulang tahun yang ecek-ecek.

Akhirnya, menyitir ungkapan tokoh Serkan Yusuf bahwa ‘politik adalah kelas akting terbaik’, bisa jadi buku Dammahum—kumpulan cerita pendek Benny Arnas ini sedang menjalankan siasat akting: cerpen-cerpen yang aktingnya bahu-membahu agar purna menjadi novel atau novel yang berakting melalui cerpen-cerpen yang sekonyong-konyong datang dari tempat dan waktu manasuka?

Allahu a’lam bish shawaf?

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »