Dammahum dan Arbitrerisme Prosa
Hasan Al Banna
Membaca umpulan cerita pendek Dammahum (Diva Press, Maret 2023) tak ubah seperti membaca novel dengan
lapisan bab yang abritrer, yang manasuka (bisa juga dibaca: suka-suka). Benny Arnas,
semula, seolah-olah berhadap-hadap dengan buku tulis kosong isi 192 lembar,
kemudian dengan sesukanya menuliskan cerita pada lembaran mana saja dan pada
waktu kapan saja. Usai satu cerita, sesukanya pula dia melompat ke lembaran lain untuk meninggalkan cerita
yang lain pula.
Namun,
suka-sukanya penulis bukan tanpa cetak biru (blue print). Dia mencecerkan tokoh-tokoh dan latar (tempat dan
waktu) yang terbit-tenggelam, masalah yang kait-mengait, bahkan kesimpulan yang
tarik-menarik. Tokoh-tokoh semacam Damahum, Kiai, Mang Dalim, Patah, Omar,
Amir, perempuan kembar, Venn, Sika, dan nama lainnya secara acak bertunas pada
sejumlah judul cerita. Pun latar Lubuklinggau, Jakarta, Slovenia, Turki,
Pakistan, pesantren, dan latar lainnya—seperti halnya penunjuk waktu,
terkonfirmasi secara gelap-terang pada belasan cerpen yang termaktub dalam buku
ini.
Keusilan penulis
buku Dammahum menyodorkan
permainan yang menggembirakan bagi pembaca yang sadar bahwa katakanlah 'dunia tidak
selebar daun kelor' itu sesungguhnya anomali dari betapa tak berdayanya kita
menebak kekuasaan-Nya, sekalipun kita tetap berlomba tawakal menerimanya. Pun
bak 'cerita tak selebar daun kelor' menunjukkan betapa tak kuasanya pembaca
menebak kemauan(nya) penulis dan sekalipun dengan segala kekritisan kita toh akhirnya diam-diam sudi berdamai, sekonyong-konyong
menerima.
Ulang-alik kerja
kreatif Benny mengisi buku tulis kosong isi 192 lembar pada akhirnya
menunjukkan betapa leluasanya penulis melebarkan ceritanya melalui judul lain
dan begitu seterusnya. Tokoh sekunder pada salah satu cerpen misalnya akan
menjelma tokoh primer pada cerpen yang lain dengan mengangkut soalan dan latar
(tempat dan waktu) yang berbeda tetapi jangan-jangan berkaitan? Pun bisa terjadi
sebaliknya, tokoh primer pada judul ini
akan menjadi pelengkap pada cerpen yang itu.
Geser-angkat yang
demikian tentu menghadiahkan keberagaman perspektif yang salip-menyalip ke
hadapan pembaca. Laiknya masing-masing kita bebas bertindak sebagai subjek
pencerita pada satu waktu, tetapi pada waktu yang lain kita malah menjadi objek
cerita. Tokoh-tokoh dalam deretan cerpen dalam buku ini saling menceritakan
(baik buruk) masing-masing di judul cerpen yang berbeda. Atau malah sadar atau
tidak, sedang terlibat aktif menceritakan kurang lebihnya sendiri?
Pada pemikiran
lain, kerja kreatif Benny mendesain cerita demi cerita berimbas kepada
kreativitas tokoh-tokohnya. Mereka hadir, bertindak-laku, dan berintegrasi
sesuka hati (ini tentu ulah Benny sendiri) sehingga terdapat ribuan milikedip penanda
yang menyala antara hitam dengan putih, baik dengan buruk, laba dengan bala, alim
dengan zalim, bahkan surga dengan neraka? Kedip penanda yang jumlahnya ribuan
milikedip ini menjadikan jarak antara hitam dengan putih, baik dengan buruk,
laba dengan bala, alim dengan zalim, bahkan surga dengan neraka menjadi panjang
dan berkelok.
Oleh sebab itu
masing-masing persoalan atau apapun itu yang menyertai cerita tidak serta-merta
menjadi serba mutlak. Tidak ada kebaikan mutlak atau keburukan mutlak. Pun
tidak semudah itu Kiai guru spritual Damahum dalam cerpen "Menjadi
Mercusuar" mutlak sebagai pemuka agama yang ideal, yang agung, atau yang
tak bercela. Bukankah ketakjuban kita membaca risalah tobat tokoh Damahum
kembali terban (bagai rubuh
sebinasanya) setelah membaca riwayat lanjutannya dalam cerpen dimaksud atau
pada judul lainnya? Namun seturut sifat fluktuatif, pertukaran nilai
masing-masing tokoh bisa berubah-ubah, termasuk Kiai. Konon lagi yang lain.
Atau jangan-jangan, kerja simpul kita sebagai pembaca yang mudah goyah setelah
sibuk tabayun ke cerita yang sana dan ke cerita yang sini?
Terlepas dari itu,
dinyana atau tidak, kefluktuatifan multicerita yang berpola siklus 'rantai
makanan' dalam buku Dammahum
memberi ruang bagi pembaca untuk menguji kerja kohesi dan koherensinya, baik
dalam cerpen itu sendiri, antarcerpen, sekaligus keempat belas cerpen secara
utuh. Langsung atau tidak langsung, deretan cerpen yang sudah kelar dibaca
seenaknya saja menyusup ke cerpen lainnya—dengan komposisi yang sudah diatur
Benny secara saksama. Cerita-cerita pun leluasa sebagai bunglon genre prosa!
Semisal pembaca
sepakat buku ini adalah novel yang berkamuflase, jangan kira cerita-cerita
(baca: bab-bab) yang berjudul “Parang Patah”, “Lebaran Haji Neknang”, “Panggung
Paramitha Rusady”, “Saudara yang Sempurna”, atau “Di Ruang Tamu, Hanya Aku dan
Van Houten” hanya hadir sebagai bab pelengkap. Sejumlah judul tersebut bahkan
menjadi referensi tambahan penting untuk melengkapi rekam jejak (curriculum vitae) sosok Damahum
misalnya, atau Kiai, Omar, Amir, atau Venn? Sekali lagi, inilah ujian untuk
memonten kecakapan kohesi dan koherensi pembaca terhadap keempat belas karya
dalam buku Dammahum, tanpa
terkecuali. Atau, jangan-jangan pembaca yang tengah memonten kerja 'main-main'
Benny; berhasil, lumayan atau cuma canda yang tak jelas?
Terlepas dari cekcok
pertanyaan remeh di atas, tentu, tentu masing-masing cerpen dalam buku Dammahum tetap bisa hidup secara
mandiri, tak tergantung cerpen yang lain. Namun tidak dapat dipungkiri,
berkumpulnya mereka dalam sebuah ‘arisan’ Dammahum
ini menawarkan kenikmatan yang lain, yang mungkin tidak mudah untuk diuraikan.
Penulis prosa sekaliber Benny memang tidak (boleh) lagi menulis cerita-cerita
dengan konflik satu variabel atau kisah dengan kejutan ala-ala selamat ulang
tahun yang ecek-ecek.
Akhirnya, menyitir
ungkapan tokoh Serkan Yusuf bahwa ‘politik adalah kelas akting terbaik’, bisa
jadi buku Dammahum—kumpulan
cerita pendek Benny Arnas ini sedang menjalankan siasat akting: cerpen-cerpen
yang aktingnya bahu-membahu agar purna menjadi novel atau novel yang berakting
melalui cerpen-cerpen yang sekonyong-konyong datang dari tempat dan waktu
manasuka?
Allahu
a’lam bish shawaf?