Ini Bukan Cerita Sedih atau Bahagia - D. Hardi

@kontributor 10/22/2023

Ini Bukan Cerita Sedih atau Bahagia

D. Hardi



Matanya menilik, mengintip berai awan berarak perlahan-lahan di sekujur langit biru di angkasa. "Hidup memang selayaknya begitu," gumam Mario nyaris tanpa suara.

Aku tak paham artinya sebelum ia bilang, ia hampir saja mampus diterabas AKAP sialan ketika membayangkan hal-hal saru pada papan reklame di depan gerbang terminal bus antar kota. Paras jelita yang kerap wara-wiri di televisi itu memandanginya dari ujung sepatu hingga ujung helm proyek berwarna biru.

"Kau kelihatan lelah, Mario. Kemarilah," jemari lentiknya menitah.

"Kamu tahu namaku?" Mario keheranan, tercenung di atas jok Vespa butut berwarna biru.

"Umur berapa sih. Belum pikun, kan? Aku Sophia, tetangga kecilmu dulu yang baru pindah dari Boston."

Sophia. Boston. Mario hanya ingat Supi'ah dari Bojong Kalong.

"Kau yang mengajariku menembak lodong, melempar gasing, melumat cempedak."

"Wajahmu berubah boneka, Pi'ah."

"Segalanya berubah kecuali dirimu, Mario."

"Aku tak ingin berubah jadi orang lain."

"Lantas apa yang sesungguhnya kau mau?" Busa-busa properti iklan sabun di tubuh moleknya terkupas satu-persatu.

"Kita kehabisan waktu, selalu kehabisan waktu, Mario ...."

Telolet! Telolet!

Jerit klakson menghentak-hentak gendang telinga. Lesatan bus dari kulitnya cuma setipis jeruk nipis. Adegan tanpa skenario di kepala buyar seketika.

"Kalau tak mau ngentit, honor menulis cukuplah buat isi lemari dapur. Selevel Kepala Bagian kok bawaannya cuma Vespa. Orang-orang sudah roda empat semua."

"Habiskan waktu menulis mahakarya yang tak pernah ada kemudian mati ditonton monitor?" Mario menyosor segelas es kopyor saat kubilang imajinasi harus disalurkan bila tak ingin mati di jalan berselimut koran.

"Aku tak mau bermalam di rumah bordil tapi mengaku, 'Ada rapat mendadak ke luar kota'," elak Mario sewaktu kubilang imajinasinya sudah kronis, sudah mesti kawin menata rumah tangga harmonis.

"Aku tak sudi mati-matian jika mati itu sendiri siapa yang tahu," tangkis Mario di lain waktu saat kusarankan setidaknya jaga badan. Perutnya makin tambun. Hidupnya tampak semakin lamban.

"Tapi temanku hanya satu; yang kepalanya batu." Agak keras kata-kataku.

"Mengapa semua orang selalu terburu-buru?"

Mengapa semua orang terburu-buru. Pagi buta sudah melangkah seribu. Menerjang dingin. Menumbuk kantuk. Di jalanan. Di stasiun kereta. Di terminal. Ditawan macet. Dikejar target. Dibungkam bacot majikan. Diteror berat badan. Diakali cek mundur klien. Dihajar gengsi. Diburu tenggat waktu. Ah, tiba-tiba malam lagi. Setiap hari. Setiap bulan. Setahun. Seperempat abad. Setengah usia sebelum mangkat tiba-tiba di sebuah sore yang rumpang ketika asyik bermain catur sendirian.

"Itu gerak hidup. Bumi pun berputar." Aku melihatnya leyeh-leyeh di sofa bagaikan seekor kungkang yang menua.

"Berputar-putar cerita yang sama. Kalau dunia senda gurau belaka, mengapa kita menjadi serius?" Mario beralih ke muka cermin. Meloloskan kemeja. Keriput halus di wajahnya serupa reranting anak sungai kering yang ditinggalkan musim.

"Lihatlah, betapa semua ingin jadi presiden,” sambungnya menggeser saluran acara debat kusir.

Tidak semuanya, Mario. Tidak semuanya ingin menjadi presiden sebagaimana tidak semuanya ingin menjadi seekor kungkang.

Sebagian hanya tak ingin ketinggalan, memungut remah-remah kesempatan. Sedang kesempatan bagimu adalah sekotak kado warna-warni penuh kejutan. Bukan di hari ulang tahun. Bukan perayaan di tanggal merah. Betul-betul seonggok kejutan!

Seperti, andaikan, suatu hari tiba-tiba datang seseorang asing mengetuk pintu kamarmu.

“Ini aku, Nak. Ibumu. Ini Ibu yang bertahun-tahun lalu menitipkanmu ke sebuah panti asuhan dan tak pernah kembali ....”

Atau,

“Ini aku, Nak. Bapak. Ini Bapak yang bertahun-tahun lalu menodai seseorang yang tak kucintai, lalu pergi bersama perempuan lain dan tak pernah kembali ....”

Namun kau hanya mampu menatapnya dengan tatapan sepasang sumur tua yang kehabisan mata air, Mario.

***

Sebelumnya, setiap kali ia bangun tidur, keluar rumah, dunia dan seisinya bagaikan fantasi.

Rumah yang ia tempati bukan rumahnya. Jalan yang ia lewati bukan jalannya.

Kantornya sekadar kamuflase. Hari-harinya berjalan klise. Tubuhnya cangkang rakitan seperti gambaran robot polisi besutan meneer Paul Verhoeven. Jika tokoh Alex Murphy setengah mesin setengah manusia, Mario mungkin setengah kungkang setengah kacang polong—dengan sisa kenangan yang bolong-bolong.

“Setiap hari aku berjumpa robot-robot, bercakap, negosiasi ha-ha hi-hi dengan robot berdasi!” lenguhnya sembari menyambar limun dingin lalu ambruk di atas sofa. Hari ini ia berulang tahun. Sudah sepatutnya menghadiahi diri: sebotol limun dan acara kartun dan sekotak donat Amerika yang membikin perutnya selebar gentong keramik Cina.

“Gula dan manusia, mereka manis tapi berbahaya.”

“Laki-laki atau perempuan?” Matanya masih geming pada layar televisi.

“Setiap ancaman tak bergantung gender.”

“Kalau cinta?” Tiba-tiba raut mukanya seakan baru saja melihat hantu.

“Lebih banyak drama.” Baru sekarang, selama tiga tahun bersamanya, aku memoles bedak, celak, dan gincu. Tiga tahun tanpa sumpah di depan penghulu. Tanpa drama ini itu. Tanpa khawatir undang-undang kohabitasi—siapa pula bakal menghukum dua insan yang tak punya siapa-siapa kecuali satu sama lain.

“Kamu siapa?” mulutnya membentuk huruf O.

“Hai.” Kulayangkan tanganku.

“Namaku ... Mario,” ucapnya bak terkena sihir.

“Aku sudah tahu.”

Adegan ini sudah terjadi puluhan kali. Kami terus memutarnya sejak pertemuan pertama—di sebuah halte ketika rintik hujan dengan narasi paling romantis yang mampu ditulis pengarang sentimental paling bedebah mana pun—dan akan terus melakukannya sampai tua lalu mati bersama di sebuah sore yang rumpang.

Ingatan kerap berumur pendek. Ingatannya lebih pendek lagi.

“Kamu cantik.”

“Ini ulang tahunmu.” Aku mengusap ubun-ubunnya seperti usapan seorang ibu.

“Gitu dong, sering-seringlah berdandan.”

“Makanya janji. Hiduplah seribu tahun lagi.”

“Seperti ubur-ubur?”

“Seperti api hasrat seorang penyair.”

“Aku hanya seorang Mario.”

***

            Bagai wangsit yang berbisik ke telinga pengarang sumpek hingga menulis kesetanan, hari itu Mario mencium aroma eksotis nan mistis di sebuah kakus SPBU dekat puing-puing pertokoan yang hangus sewaktu kerusuhan.

            “Sedap betul baunya. Pakai pewangi apa ini kakus?” tanya Mario kepada petugas paruh baya yang tampak bergeming kecuali tekun menempelkan radio mini ke telinga, mendengarkan aksi sandiwara laga.

            Aroma itu membuntutinya setiap waktu. Menghantui jiwa dan raganya, aroma kebangkitan, renaisans, yang hanya mungkin lahir di belukar rimbunan hutan.

            Ia minta cuti mendadak. Minggat ke pelosok paling terpencil di peta.

Keluar dari kamarnya yang pengap di sisi jalan protokol penuh asap hitam menuju semerbak kabut hutan hujan yang asing sekaligus membius, Mario seolah keruntuhan ilham.

Homo homini lupus. Hidup gagah, mati jadi humus.”

Kita lihat dampaknya beberapa tahun kemudian.

Di sepotong pagi yang cerah, Mario melangkah dengan langkah tangkas seekor tupai, melempar senyum iklan pasta gigi, menyapa setiap orang dengan kata-kata penuh motivasi.

“Sejarah dimulai pada angka 65,” bulu-bulu putih di sekitar bibirnya bergetar. Para karyawan bergelagat rikuh di akhir bulan September.

“Kalian tahu penemu waralaba ayam goreng terkenal itu? Dia sukses di usia manula setelah ribuan kali gagal!”

“Ooh persoalan ayam ....”

“Ayam bukan sekadar Ayam. Itu monumen harga diri, Bung! Jangan mau hidup sedang-sedang. Jangan mau diganyang keadaan. Bergerak. Lompat. Terbanglah tinggi seperti burung funiks. Jilati manis getir dunia ini!”

Sesuatu mungkin menciptakan sejenis gempa di otaknya.

“Kadang ambisi lebih jujur ketimbang idealisme. Camkan itu.”

Di depan layar monitor, Mario menyusun kilas balik riwayat menjadi deretan kata-kata yang menjadi cerita-cerita yang menghuni sepetak demi sepetak halaman sebuah buku yang tak dikira-kira ludes terjual dalam hitungan minggu: Edisi bosan jadi karyawan. Kisah inspiratif pemilik waralaba Lele Geprek Kremez Manja.

Wajahnya pun terpampang di mana-mana; di tabloid, surat kabar, selebaran, televisi, hingga di sebelah iklan sedot tinja, papan reklame, oh ya, papan reklame!

Sebagaimana layaknya sebuah kenangan bekerja, Mario tiba-tiba teringat bayang-bayang samar dari masa lalu. Mobilnya langsung ngacir dan berhenti di depan gerbang terminal bus antar kota.

Mario terpana, diam seribu bahasa, lantas mengharu biru di atas Lamborghini berwarna biru. Sosok itu kembali hadir, melayangkan tangan dan mengusap ubun-ubunnya seperti usapan seorang ibu. Namun tatapannya adalah tatapan sepasang sumur tua yang kehabisan mata air.

Para pembaca sekalian tentu bisa menerka, wajah siapa gerangan di sana.

“Hidup adalah perkara memerah kotoran agar lebih bermakna.” Jemarinya mengapit bidak catur membuka permainan. Seorang diri. Di sebuah sore yang rumpang.

Dan ketika cahaya hari hendak pupus perlahan-lahan, serupa berai awan berarak di sekujur langit yang biru, Mario jatuh lelap seperti lelapnya mimpi bayi.

 

Bojongsoang, April 2023

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »