Ini Bukan
Cerita Sedih atau Bahagia
D.
Hardi
Matanya
menilik, mengintip berai awan berarak perlahan-lahan di sekujur langit biru di
angkasa. "Hidup memang selayaknya begitu," gumam Mario nyaris tanpa
suara.
Aku
tak paham artinya sebelum ia bilang, ia hampir saja mampus diterabas AKAP
sialan ketika membayangkan hal-hal saru pada papan reklame di depan gerbang
terminal bus antar kota. Paras jelita yang kerap wara-wiri di televisi itu
memandanginya dari ujung sepatu hingga ujung helm proyek berwarna biru.
"Kau
kelihatan lelah, Mario. Kemarilah," jemari lentiknya menitah.
"Kamu
tahu namaku?" Mario keheranan, tercenung di atas jok Vespa butut berwarna
biru.
"Umur
berapa sih. Belum pikun, kan? Aku Sophia, tetangga kecilmu dulu yang baru
pindah dari Boston."
Sophia.
Boston. Mario hanya ingat Supi'ah dari Bojong Kalong.
"Kau
yang mengajariku menembak lodong, melempar gasing, melumat cempedak."
"Wajahmu
berubah boneka, Pi'ah."
"Segalanya
berubah kecuali dirimu, Mario."
"Aku
tak ingin berubah jadi orang lain."
"Lantas
apa yang sesungguhnya kau mau?" Busa-busa properti iklan sabun di tubuh
moleknya terkupas satu-persatu.
"Kita
kehabisan waktu, selalu kehabisan waktu, Mario ...."
Telolet!
Telolet!
Jerit
klakson menghentak-hentak gendang telinga. Lesatan bus dari kulitnya cuma
setipis jeruk nipis. Adegan tanpa skenario di kepala buyar seketika.
"Kalau
tak mau ngentit, honor menulis cukuplah buat isi lemari dapur. Selevel
Kepala Bagian kok bawaannya cuma Vespa. Orang-orang sudah roda empat semua."
"Habiskan
waktu menulis mahakarya yang tak pernah ada kemudian mati ditonton
monitor?" Mario menyosor segelas es kopyor saat kubilang imajinasi harus
disalurkan bila tak ingin mati di jalan berselimut koran.
"Aku
tak mau bermalam di rumah bordil tapi mengaku, 'Ada rapat mendadak ke luar
kota'," elak Mario sewaktu kubilang imajinasinya sudah kronis, sudah mesti
kawin menata rumah tangga harmonis.
"Aku
tak sudi mati-matian jika mati itu sendiri siapa yang tahu," tangkis Mario
di lain waktu saat kusarankan setidaknya jaga badan. Perutnya makin tambun.
Hidupnya tampak semakin lamban.
"Tapi
temanku hanya satu; yang kepalanya batu." Agak keras kata-kataku.
"Mengapa
semua orang selalu terburu-buru?"
Mengapa
semua orang terburu-buru. Pagi buta sudah melangkah seribu. Menerjang dingin.
Menumbuk kantuk. Di jalanan. Di stasiun kereta. Di terminal. Ditawan macet.
Dikejar target. Dibungkam bacot majikan. Diteror berat badan. Diakali cek
mundur klien. Dihajar gengsi. Diburu tenggat waktu. Ah, tiba-tiba malam lagi.
Setiap hari. Setiap bulan. Setahun. Seperempat abad. Setengah usia sebelum
mangkat tiba-tiba di sebuah sore yang rumpang ketika asyik bermain catur
sendirian.
"Itu
gerak hidup. Bumi pun berputar." Aku melihatnya leyeh-leyeh di sofa bagaikan
seekor kungkang yang menua.
"Berputar-putar
cerita yang sama. Kalau dunia senda gurau belaka, mengapa kita menjadi
serius?" Mario beralih ke muka cermin. Meloloskan kemeja. Keriput halus di
wajahnya serupa reranting anak sungai kering yang ditinggalkan musim.
"Lihatlah,
betapa semua ingin jadi presiden,” sambungnya menggeser saluran acara debat
kusir.
Tidak
semuanya, Mario. Tidak semuanya ingin menjadi presiden sebagaimana tidak
semuanya ingin menjadi seekor kungkang.
Sebagian
hanya tak ingin ketinggalan, memungut remah-remah kesempatan. Sedang kesempatan
bagimu adalah sekotak kado warna-warni penuh kejutan. Bukan di hari ulang
tahun. Bukan perayaan di tanggal merah. Betul-betul seonggok kejutan!
Seperti,
andaikan, suatu hari tiba-tiba datang seseorang asing mengetuk pintu kamarmu.
“Ini
aku, Nak. Ibumu. Ini Ibu yang bertahun-tahun lalu menitipkanmu ke sebuah panti
asuhan dan tak pernah kembali ....”
Atau,
“Ini
aku, Nak. Bapak. Ini Bapak yang bertahun-tahun lalu menodai seseorang yang tak
kucintai, lalu pergi bersama perempuan lain dan tak pernah kembali ....”
Namun
kau hanya mampu menatapnya dengan tatapan sepasang sumur tua yang kehabisan
mata air, Mario.
***
Sebelumnya,
setiap kali ia bangun tidur, keluar rumah, dunia dan seisinya bagaikan fantasi.
Rumah
yang ia tempati bukan rumahnya. Jalan yang ia lewati bukan jalannya.
Kantornya
sekadar kamuflase. Hari-harinya berjalan klise. Tubuhnya cangkang rakitan
seperti gambaran robot polisi besutan meneer Paul Verhoeven. Jika tokoh
Alex Murphy setengah mesin setengah manusia, Mario mungkin setengah kungkang
setengah kacang polong—dengan sisa kenangan yang bolong-bolong.
“Setiap
hari aku berjumpa robot-robot, bercakap, negosiasi ha-ha hi-hi dengan robot
berdasi!” lenguhnya sembari menyambar limun dingin lalu ambruk di atas sofa.
Hari ini ia berulang tahun. Sudah sepatutnya menghadiahi diri: sebotol limun
dan acara kartun dan sekotak donat Amerika yang membikin perutnya selebar
gentong keramik Cina.
“Gula
dan manusia, mereka manis tapi berbahaya.”
“Laki-laki
atau perempuan?” Matanya masih geming pada layar televisi.
“Setiap
ancaman tak bergantung gender.”
“Kalau
cinta?” Tiba-tiba raut mukanya seakan baru saja melihat hantu.
“Lebih
banyak drama.” Baru sekarang, selama tiga tahun bersamanya, aku memoles bedak,
celak, dan gincu. Tiga tahun tanpa sumpah di depan penghulu. Tanpa drama ini
itu. Tanpa khawatir undang-undang kohabitasi—siapa pula bakal menghukum dua
insan yang tak punya siapa-siapa kecuali satu sama lain.
“Kamu
siapa?” mulutnya membentuk huruf O.
“Hai.”
Kulayangkan tanganku.
“Namaku
... Mario,” ucapnya bak terkena sihir.
“Aku
sudah tahu.”
Adegan
ini sudah terjadi puluhan kali. Kami terus memutarnya sejak pertemuan
pertama—di sebuah halte ketika rintik hujan dengan narasi paling romantis yang
mampu ditulis pengarang sentimental paling bedebah mana pun—dan akan terus
melakukannya sampai tua lalu mati bersama di sebuah sore yang rumpang.
Ingatan
kerap berumur pendek. Ingatannya lebih pendek lagi.
“Kamu
cantik.”
“Ini
ulang tahunmu.” Aku mengusap ubun-ubunnya seperti usapan seorang ibu.
“Gitu
dong, sering-seringlah berdandan.”
“Makanya
janji. Hiduplah seribu tahun lagi.”
“Seperti
ubur-ubur?”
“Seperti
api hasrat seorang penyair.”
“Aku
hanya seorang Mario.”
***
Bagai wangsit yang berbisik ke
telinga pengarang sumpek hingga menulis kesetanan, hari itu Mario mencium aroma
eksotis nan mistis di sebuah kakus SPBU dekat puing-puing pertokoan yang hangus
sewaktu kerusuhan.
“Sedap betul baunya. Pakai pewangi
apa ini kakus?” tanya Mario kepada petugas paruh baya yang tampak bergeming kecuali
tekun menempelkan radio mini ke telinga, mendengarkan aksi sandiwara laga.
Aroma itu membuntutinya setiap
waktu. Menghantui jiwa dan raganya, aroma kebangkitan, renaisans, yang hanya
mungkin lahir di belukar rimbunan hutan.
Ia minta cuti mendadak. Minggat ke
pelosok paling terpencil di peta.
Keluar
dari kamarnya yang pengap di sisi jalan protokol penuh asap hitam menuju
semerbak kabut hutan hujan yang asing sekaligus membius, Mario seolah
keruntuhan ilham.
“Homo
homini lupus. Hidup gagah, mati jadi humus.”
Kita
lihat dampaknya beberapa tahun kemudian.
Di
sepotong pagi yang cerah, Mario melangkah dengan langkah tangkas seekor tupai,
melempar senyum iklan pasta gigi, menyapa setiap orang dengan kata-kata penuh
motivasi.
“Sejarah
dimulai pada angka 65,” bulu-bulu putih di sekitar bibirnya bergetar. Para
karyawan bergelagat rikuh di akhir bulan September.
“Kalian
tahu penemu waralaba ayam goreng terkenal itu? Dia sukses di usia manula setelah
ribuan kali gagal!”
“Ooh
persoalan ayam ....”
“Ayam
bukan sekadar Ayam. Itu monumen harga diri, Bung! Jangan mau hidup
sedang-sedang. Jangan mau diganyang keadaan. Bergerak. Lompat. Terbanglah
tinggi seperti burung funiks. Jilati manis getir dunia ini!”
Sesuatu
mungkin menciptakan sejenis gempa di otaknya.
“Kadang
ambisi lebih jujur ketimbang idealisme. Camkan itu.”
Di
depan layar monitor, Mario menyusun kilas balik riwayat menjadi deretan
kata-kata yang menjadi cerita-cerita yang menghuni sepetak demi sepetak halaman
sebuah buku yang tak dikira-kira ludes terjual dalam hitungan minggu: Edisi
bosan jadi karyawan. Kisah inspiratif pemilik waralaba Lele Geprek Kremez
Manja.
Wajahnya pun terpampang di mana-mana; di tabloid,
surat kabar, selebaran, televisi, hingga di sebelah iklan sedot tinja, papan
reklame, oh ya, papan reklame!
Sebagaimana layaknya sebuah kenangan bekerja, Mario
tiba-tiba teringat bayang-bayang samar dari masa lalu. Mobilnya langsung ngacir
dan berhenti di depan gerbang terminal bus antar kota.
Mario terpana, diam seribu bahasa, lantas mengharu
biru di atas Lamborghini berwarna biru. Sosok itu kembali hadir, melayangkan
tangan dan mengusap ubun-ubunnya seperti usapan
seorang ibu. Namun tatapannya adalah
tatapan sepasang sumur tua yang kehabisan mata air.
Para pembaca sekalian tentu bisa menerka, wajah
siapa gerangan di sana.
“Hidup
adalah perkara memerah kotoran agar lebih bermakna.” Jemarinya mengapit bidak
catur membuka permainan. Seorang diri. Di sebuah sore yang rumpang.
Dan
ketika cahaya hari hendak pupus perlahan-lahan, serupa berai awan berarak di
sekujur langit yang biru, Mario jatuh lelap seperti lelapnya mimpi bayi.
Bojongsoang, April 2023