Kemerdekaan
Tokoh Amba sebagai Perempuan
Muhammad Aziz Rizaldi
Masalah dalam
kehidupan tentu silih berganti dan terus bergulir. Layaknya semut yang
mengerumuni gula, permasalahan juga datang untuk menyelimuti umat manusia.
Begitu juga permasalahan ketidakadilan gender yang masih menyemarakkan dunia.
Sedari dulu, ketidakadilan gender telah muncul dan begitu erat dengan norma
yang berlaku di masyarakat. Ketidakadilan gender ini dilakukan dengan cara konstruksi
sosial yang begitu masif. konstruksi yang didasari oleh jenis kelamin
mengakibatkan pengecapan perilaku manusia dan dijadikan standar dalam
pergaulan.
Akibat dari permasalahan itu, lahirlah paham feminisme
di negara Barat. Memang di abad 19-an, perempuan di Eropa sudah memiliki adab
dan pendirian untuk memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan yang patut
diperolehnya. Weedon (Sugihastuti dan Suharto, 2016: 6) menyatakan bahwasanya
feminisme merupakan satu dari sekian banyak paham politik yang muncul ke
permukaan. Paham ini memiliki pengaruh yang begitu besar di dunia terutama
dalam hubungan kaum perempuan dan lelaki. Feminisme memiliki gagasan untuk
mencapai cita-cita agar kaum perempuan memperoleh keadilan dan kesetaraan
gender dalam hubungannya dengan lelaki (Wiyatmi, 2017: 10).
Permasalahan tersebut menjadikan daya tarik bagi
pengarang untuk menjadikannya sebagai pokok bahasan dalam karyanya. Dalam
melakukan kritik terhadap masalah sosial tentu pengarang dapat menumpahkan
ide-idenya dalam karya sastra. Untuk melakukan kritik terhadap ketidakadilan
gender, pengarang dapat memutarbalikan fakta sosial agar hak-hak kaum perempuan
diperoleh melalui penokohan. Sudjiman (1992: 23) menyatakan bahwa penokohan
sama dengan watak atau karakter dan penciptaan citra tokoh. Istilah citra dan
penokohan hampir memiliki hakikat yang sama. Menurut Sugihastuti (2000: 7)
citra perempuan adalah kesan yang ditangkap pembaca atas hasil dari luapan
ekspresi mental (jiwa) wanita yang tercermin dalam perilaku kesehariannya.
Salah satunya penulis perempuan bernama Laksmi
Pamuntjak yang berani mengungkap gagasan mengenai paham feminisme sastra
melalui novel berjudul Amba. Sebagai perempuan, tentu Laksmi memiliki
ketajaman pikiran dan perasaan yang menimpa kaum perempuan sehingga lahirlah
sebuah mahakarya yang luar biasa berjudul Amba. Laksmi membuat citra
tokoh utama yang bernama Amba berbeda dengan perempuan pada umumnya, terutama
dalam citraan psikisnya. Tidak hanya lelaki yang memiliki kemerdekaan hidup,
kaum perempuan juga patut menerimanya. Apalagi negara ini telah merdeka 78
tahun silam, jika masih ada jiwa yang terbelenggu tentu makna kemerdekaan itu
bakal muncul dalam hati nurani.
Tokoh Amba sebagai perempuan memiliki citra psikis
yang sangat luar biasa. Dengan latar waktu tahun 1950-an, Amba sudah memikirkan
jenjang pendidikan tinggi. Padahal perempuan desa di tahun itu masih terjerat
budaya setempat. Laksmi Pamuntjak menciptakan sosok Amba sebagai perempuan yang
maju dibanding kaum perempuan lain di tahun 50-an. Hal tersebut dibuktikan
dalam kutipan berikut:
“ ‘Saya belum memutuskan, Mas.’ Amba mencoba tak mengerling ke arah ibunya seperti tak yakin ia akan mengatakan hal yang tepat. ‘Tapi saya gemar menulis dan membaca - di SMA, saya di jurusan A. Saya ingin sekali belajar sastra Inggris. Rencananya, tahun ini saya akan mendaftar ke Gadjah Mada.’ “ (Amba, 2021: 145)
Tokoh Amba sangat luar biasa, pada tahun 1950-an masih sangat jarang orang yang memikirkan kuliah. Sebagai perempuan, Amba sudah mencerminkan jiwa yang beradab dan maju di zamannya. Selain faktor budaya, faktor ekonomi juga menjadi salah satu penyebab orang-orang Indonesia tahun 50-an belum memikirkan arti penting pendidikan. Ditambah usia Indonesia masih 5 tahun sehingga perekonomian negara belum begitu stabil. Berbeda dengan Amba yang berani mengambil keputusan menjadi manusia yang beradab. Keputusan yang diambil Amba sebagai perempuan juga merupakan hal yang istimewa. Bahkan di saat berusia 12 tahun pun Amba sudah sangat berbeda dengan teman seusianya, ia yang lebih senang bersahabat dengan buku memiliki pemikiran yang lebih dewasa dari usianya.
"Amba memilih menjalin persahabatannya dengan
buku.
Tak heran, ketika ia berusia dua belas, dia sering terdengar jauh lebih tua dari usianya. Coba simak tema-tema pelik yang diangkatnya. Pada hari yang baik, lidahnya tajam dan tangkas, kadang kejam. Pada hari yang buruk, ia bisa menyebalkan dan tak terbendung; tak jarang ia mengatakan hal-hal yang membuat ibunya menangis. Dan pada sikap ini bukan akting, atau sebuah kompensasi untuk menutupi percaya diri yang kurang - dia seakan begitu saja menjadi seperti itu.” (Amba, 2021: 87)
Dalam kutipan di atas menunjukkan kondisi psikis Amba
yang mulai kritis di usia dua belas tahun. Di usia prapubertas perkembangan
psikis anak gadis mulai berkembang. Seperti yang dinyatakan Kartono (2006: 44)
bahwa banyak tingkah laku anak gadis yang suka menentang dan keras kepala yang
karena disebabkan oleh anak gadis yang telah menemukan kemampuan dirinya, harga
diri, idealitas dan egonya. Bahkan anak gadis di usia ini berani menentang
orang tuanya karena kelabilan emosinya. Kutipan di atas menunjukkan adanya
perkembangan kepribadian tokoh Amba di usia dua belas tahun. Di usianya yang
kedua belas, ia terlihat lebih dewasa daripada teman-temannya karena pola
pikirnya. Amba yang memilih berteman dengan buku telah menemukan idealitas
dirinya sehingga ia berani melontarkan kalimat-kalimat kritis terhadap orang
tuanya sampai-sampai membuat ibunya menangis.
Ketidakadilan gender yang menimpa perempuan membuat mereka bergantung kepada lelaki dalam mengambil keputusan. Kalau perempuan tersebut masih memiliki orang tua tentu segala keputusan yang menyangkut masa depannya pasti bakal ditentukan oleh orang tuanya terutama Bapaknya. Hal itu tidak berlaku pada diri Amba. Sebagai anak dari priyayi, Amba begitu berani mengambil keputusan hebat yang sangat mempengaruhi kehidupannya di masa yang akan datang. Setelah keputusan untuk meneruskan pendidikan, Amba mengambil keputusan lagi untuk memutuskan segala bentuk hubungan dengan orang-orang terdekatnya.
“Tetapi tiap keputusan besar yang aku ambil, aku ambil untuk satu atau beberapa bentuk kebahagiaan - kebahagiaanku sendiri, tentu saja, tetapi secara tidak langsung, juga kebahagiaan Bapak dan Ibu. Bapak harus tahu, tidak setitik pun aku pernah punya keinginan membuat Bapak, Ibu, dan adik-adik, sedih karena aku.” (Amba, 2021:358)
Dalam surat yang baru pernah Amba tulis untuk
keluarganya selama menempuh perkuliahan di Yogya, ia menuliskan keputusan
besarnya untuk memutus hubungan dengan keluarga yang sedari kecil telah menemaninya.
Sebelum bekerja sebagai penerjemah, Amba yang mengenal lelaki menjadi buta dan
melakukan kesalahan. Kepribadian Amba selepas mencintai Bhisma berbanding
terbalik dengan kondisi jiwanya dulu saat belum berkuliah. Bhisma yang menjadi
simpatisan dalam organisasi komunis yang dianggap memberontak pemerintah di
tahun 60-an, ia ditangkap dan dibuang ke pulau Buru. Hal itu membuat kehidupan
Amba berubah drastis. Amba sebagai perempuan sangat berani memutus hubungan
dengan keluarganya demi kemerdekaan dirinya. Selain itu, ia juga tak mau
keluarganya terkena imbasnya. Keputusan yang begitu luar biasa dari seorang
perempuan di zamannya. Perempuan pada umumnya di usia muda sangat terobsesi
dengan kecantikan, namun tidak berlaku bagi Amba dalam kutipan berikut.
Melalui beberapa kutipan di atas dapat dibuktikan bahwa perjuangan perempuan dalam novel Amba karya Laksmi Pamuntjak memiliki nilai feminisme yang tinggi. Laksmi Pamuntjak berhasil memunculkan tokoh utamanya sebagai tokoh yang pro terhadap gerakan feminisme. Amba sebagai perempuan sudah menjadi sosok yang maju di zamannya, ia juga berani dalam mengambil keputusan, bahkan di saat masih kecil ia sudah memiliki pemikiran yang sangat kritis. Nilai feminisme tersebut sangat jarang ditemui pada perempuan umumnya. Perjuangan kaum perempuan berhasil disisipkan dalam novel yang sangat menarik ini.
Daftar Pustaka
Kartono, Kartini. (2006). Psikologi
Wanita Mengenal Gadis Remaja dan Wanita Dewasa. Cetakan VI. (Cetakan I
1977). Bandung: CV. Mandar Maju.
Pamuntjak, Laksmi. (2021). Amba. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama.
Sudjiman, Panuti. (1992). Memahami
Cerita Rekaan. Cetakan II. (Cetakan I 1988).Jakarta Pusat: PT. Dunia
Pustaka Jaya.
Sugihastuti dan Pradopo, Rachmat
Djoko. (2000). Wanita di Mata Wanita: Perspektif Sajak-Sajak Toeti Heraty.
Bandung: Nuansa Cendekia.
Sugihastuti dan Suharto. (2016). Kritik
Sastra Feminis: Teori dan Aplikasinya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Wiyatmi. (2017). Perempuan dan Bumi dalam Sastra: dari Kritik Sastra Feminis, Ekokritik, sampai Ekofeminis. Yogyakarta: Cantrik Pustaka.