Kemerdekaan Tokoh Amba sebagai Perempuan - Muhammad Aziz Rizaldi

@kontributor 10/08/2023

Kemerdekaan Tokoh Amba sebagai Perempuan

Muhammad Aziz Rizaldi



Masalah dalam kehidupan tentu silih berganti dan terus bergulir. Layaknya semut yang mengerumuni gula, permasalahan juga datang untuk menyelimuti umat manusia. Begitu juga permasalahan ketidakadilan gender yang masih menyemarakkan dunia. Sedari dulu, ketidakadilan gender telah muncul dan begitu erat dengan norma yang berlaku di masyarakat. Ketidakadilan gender ini dilakukan dengan cara konstruksi sosial yang begitu masif. konstruksi yang didasari oleh jenis kelamin mengakibatkan pengecapan perilaku manusia dan dijadikan standar dalam pergaulan.

Akibat dari permasalahan itu, lahirlah paham feminisme di negara Barat. Memang di abad 19-an, perempuan di Eropa sudah memiliki adab dan pendirian untuk memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan yang patut diperolehnya. Weedon (Sugihastuti dan Suharto, 2016: 6) menyatakan bahwasanya feminisme merupakan satu dari sekian banyak paham politik yang muncul ke permukaan. Paham ini memiliki pengaruh yang begitu besar di dunia terutama dalam hubungan kaum perempuan dan lelaki. Feminisme memiliki gagasan untuk mencapai cita-cita agar kaum perempuan memperoleh keadilan dan kesetaraan gender dalam hubungannya dengan lelaki (Wiyatmi, 2017: 10).

Permasalahan tersebut menjadikan daya tarik bagi pengarang untuk menjadikannya sebagai pokok bahasan dalam karyanya. Dalam melakukan kritik terhadap masalah sosial tentu pengarang dapat menumpahkan ide-idenya dalam karya sastra. Untuk melakukan kritik terhadap ketidakadilan gender, pengarang dapat memutarbalikan fakta sosial agar hak-hak kaum perempuan diperoleh melalui penokohan. Sudjiman (1992: 23) menyatakan bahwa penokohan sama dengan watak atau karakter dan penciptaan citra tokoh. Istilah citra dan penokohan hampir memiliki hakikat yang sama. Menurut Sugihastuti (2000: 7) citra perempuan adalah kesan yang ditangkap pembaca atas hasil dari luapan ekspresi mental (jiwa) wanita yang tercermin dalam perilaku kesehariannya.

Salah satunya penulis perempuan bernama Laksmi Pamuntjak yang berani mengungkap gagasan mengenai paham feminisme sastra melalui novel berjudul Amba. Sebagai perempuan, tentu Laksmi memiliki ketajaman pikiran dan perasaan yang menimpa kaum perempuan sehingga lahirlah sebuah mahakarya yang luar biasa berjudul Amba. Laksmi membuat citra tokoh utama yang bernama Amba berbeda dengan perempuan pada umumnya, terutama dalam citraan psikisnya. Tidak hanya lelaki yang memiliki kemerdekaan hidup, kaum perempuan juga patut menerimanya. Apalagi negara ini telah merdeka 78 tahun silam, jika masih ada jiwa yang terbelenggu tentu makna kemerdekaan itu bakal muncul dalam hati nurani.

Tokoh Amba sebagai perempuan memiliki citra psikis yang sangat luar biasa. Dengan latar waktu tahun 1950-an, Amba sudah memikirkan jenjang pendidikan tinggi. Padahal perempuan desa di tahun itu masih terjerat budaya setempat. Laksmi Pamuntjak menciptakan sosok Amba sebagai perempuan yang maju dibanding kaum perempuan lain di tahun 50-an. Hal tersebut dibuktikan dalam kutipan berikut:

 

‘Saya belum memutuskan, Mas.’ Amba mencoba tak mengerling ke arah ibunya seperti tak yakin ia akan mengatakan hal yang tepat. ‘Tapi saya gemar menulis dan membaca - di SMA, saya di jurusan A. Saya ingin sekali belajar sastra Inggris. Rencananya, tahun ini saya akan mendaftar ke Gadjah Mada.’ “ (Amba, 2021: 145)

Tokoh Amba sangat luar biasa, pada tahun 1950-an masih sangat jarang orang yang memikirkan kuliah. Sebagai perempuan, Amba sudah mencerminkan jiwa yang beradab dan maju di zamannya. Selain faktor budaya, faktor ekonomi juga menjadi salah satu penyebab orang-orang Indonesia tahun 50-an belum memikirkan arti penting pendidikan. Ditambah usia Indonesia masih 5 tahun sehingga perekonomian negara belum begitu stabil. Berbeda dengan Amba yang berani mengambil keputusan menjadi manusia yang beradab. Keputusan yang diambil Amba sebagai perempuan juga merupakan hal yang istimewa. Bahkan di saat berusia 12 tahun pun Amba sudah sangat berbeda dengan teman seusianya, ia yang lebih senang bersahabat dengan buku memiliki pemikiran yang lebih dewasa dari usianya.


"Amba memilih menjalin persahabatannya dengan buku.

Tak heran, ketika ia berusia dua belas, dia sering terdengar jauh lebih tua dari usianya. Coba simak tema-tema pelik yang diangkatnya. Pada hari yang baik, lidahnya tajam dan tangkas, kadang kejam. Pada hari yang buruk, ia bisa menyebalkan dan tak terbendung; tak jarang ia mengatakan hal-hal yang membuat ibunya menangis. Dan pada sikap ini bukan akting, atau sebuah kompensasi untuk menutupi percaya diri yang kurang - dia seakan begitu saja menjadi seperti itu.” (Amba, 2021: 87)

Dalam kutipan di atas menunjukkan kondisi psikis Amba yang mulai kritis di usia dua belas tahun. Di usia prapubertas perkembangan psikis anak gadis mulai berkembang. Seperti yang dinyatakan Kartono (2006: 44) bahwa banyak tingkah laku anak gadis yang suka menentang dan keras kepala yang karena disebabkan oleh anak gadis yang telah menemukan kemampuan dirinya, harga diri, idealitas dan egonya. Bahkan anak gadis di usia ini berani menentang orang tuanya karena kelabilan emosinya. Kutipan di atas menunjukkan adanya perkembangan kepribadian tokoh Amba di usia dua belas tahun. Di usianya yang kedua belas, ia terlihat lebih dewasa daripada teman-temannya karena pola pikirnya. Amba yang memilih berteman dengan buku telah menemukan idealitas dirinya sehingga ia berani melontarkan kalimat-kalimat kritis terhadap orang tuanya sampai-sampai membuat ibunya menangis.

Ketidakadilan gender yang menimpa perempuan membuat mereka bergantung kepada lelaki dalam mengambil keputusan. Kalau perempuan tersebut masih memiliki orang tua tentu segala keputusan yang menyangkut masa depannya pasti bakal ditentukan oleh orang tuanya terutama Bapaknya. Hal itu tidak berlaku pada diri Amba. Sebagai anak dari priyayi, Amba begitu berani mengambil keputusan hebat yang sangat mempengaruhi kehidupannya di masa yang akan datang. Setelah keputusan untuk meneruskan pendidikan, Amba mengambil keputusan lagi untuk memutuskan segala bentuk hubungan dengan orang-orang terdekatnya.


Tetapi tiap keputusan besar yang aku ambil, aku ambil untuk satu atau beberapa bentuk kebahagiaan - kebahagiaanku sendiri, tentu saja, tetapi secara tidak langsung, juga kebahagiaan Bapak dan Ibu. Bapak harus tahu, tidak setitik pun aku pernah punya keinginan membuat Bapak, Ibu, dan adik-adik, sedih karena aku.” (Amba, 2021:358)

Dalam surat yang baru pernah Amba tulis untuk keluarganya selama menempuh perkuliahan di Yogya, ia menuliskan keputusan besarnya untuk memutus hubungan dengan keluarga yang sedari kecil telah menemaninya. Sebelum bekerja sebagai penerjemah, Amba yang mengenal lelaki menjadi buta dan melakukan kesalahan. Kepribadian Amba selepas mencintai Bhisma berbanding terbalik dengan kondisi jiwanya dulu saat belum berkuliah. Bhisma yang menjadi simpatisan dalam organisasi komunis yang dianggap memberontak pemerintah di tahun 60-an, ia ditangkap dan dibuang ke pulau Buru. Hal itu membuat kehidupan Amba berubah drastis. Amba sebagai perempuan sangat berani memutus hubungan dengan keluarganya demi kemerdekaan dirinya. Selain itu, ia juga tak mau keluarganya terkena imbasnya. Keputusan yang begitu luar biasa dari seorang perempuan di zamannya. Perempuan pada umumnya di usia muda sangat terobsesi dengan kecantikan, namun tidak berlaku bagi Amba dalam kutipan berikut.

Melalui beberapa kutipan di atas dapat dibuktikan bahwa perjuangan perempuan dalam novel Amba karya Laksmi Pamuntjak memiliki nilai feminisme yang tinggi. Laksmi Pamuntjak berhasil memunculkan tokoh utamanya sebagai tokoh yang pro terhadap gerakan feminisme. Amba sebagai perempuan sudah menjadi sosok yang maju di zamannya, ia juga berani dalam mengambil keputusan, bahkan di saat masih kecil ia sudah memiliki pemikiran yang sangat kritis. Nilai feminisme tersebut sangat jarang ditemui pada perempuan umumnya. Perjuangan kaum perempuan berhasil disisipkan dalam novel yang sangat menarik ini.


Daftar Pustaka

 

Kartono, Kartini. (2006). Psikologi Wanita Mengenal Gadis Remaja dan Wanita Dewasa. Cetakan VI. (Cetakan I 1977). Bandung: CV. Mandar Maju.

 

Pamuntjak, Laksmi. (2021). Amba. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

 

Sudjiman, Panuti. (1992). Memahami Cerita Rekaan. Cetakan II. (Cetakan I 1988).Jakarta Pusat: PT. Dunia Pustaka Jaya.

 

Sugihastuti dan Pradopo, Rachmat Djoko. (2000). Wanita di Mata Wanita: Perspektif Sajak-Sajak Toeti Heraty. Bandung: Nuansa Cendekia.

 

Sugihastuti dan Suharto. (2016). Kritik Sastra Feminis: Teori dan Aplikasinya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

 

Wiyatmi. (2017). Perempuan dan Bumi dalam Sastra: dari Kritik Sastra Feminis, Ekokritik, sampai Ekofeminis. Yogyakarta: Cantrik Pustaka.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »