Paradoks dan Simbol Payung - S. Prasetyo Utomo

@kontributor 10/22/2023

Paradoks dan Simbol Payung

S. Prasetyo Utomo



Payung, bagi penyair, bisa menyingkap banyak tafsir. Memaknai payung sebagai tempat manusia berlindung dari panas dan hujan merupakan realitas sehari-hari. Akan tetapi, bagi para penyair, payung bisa menghadirkan banyak makna kehidupan dan kekuasaan. Cara pandang yang berbeda terhadap payung, dengan kekuatan imaji, diksi, dan estetika, menyebabkan para penyair mengekspresikan kesadaran yang berbeda dalam memandang mikrokosmos dan makrokosmos.   

Buku kumpulan cerpen dan puisi Sepayung Bumi (Viola! Publisher, 2023) ini diterbitkan dalam Festival Payung Indonesia 2023 di Surakarta dengan tema “Sepayung Bumi, Alam adalah Kita”.  Dari 26 puisi, saya tertarik untuk membicarakan puisi “Payung Sejati” (Eka Budianta), “Bumi Kita Terluka” (Emy Suy), “Lima Sajak tentang Payung” (Joko Pinurbo), “Payung” (Kurnia Effendi), dan “Payung Hitam” (Naning Scheid). Intensitas penciptaan kelima penyair ini mengekspresikan daya pikat yang mengusik perhatian saya.

Kelima penyair yang saya bicarakan ini memiliki kejelian dalam menentukan diksi, yang kadang memanfaatkan satire, suasana paradoksal, dan simbol yang membawa perenungan tentang payung, bumi, cinta, dan kekuasaan. Pilihan terhadap kata yang memiliki makna paradoks telah menjadi bagian utama buku kumpulan puisi ini. Pertaruhan yang dilakukan penyair fokus pada pilihan kata yang mencipta olok-olok, kritik, satire terhadap perilaku orang-orang tamak dan penguasa. Mereka mencipta puisi-puisi dengan muatan kesadaran makrokosmos, hal-hal yang transendental, untuk menyingkap makna payung yang menyelubunginya. Mereka menyingkap tabir gelap perilaku orang-orang terhadap bumi. Mereka mencipta puisi untuk membongkar dusta, kedok, arogansi terhadap bumi. Payung menjadi simbol perlindungan dan kekuasaan yang menaungi kehidupan manusia. Mereka menawarkan banyak kemungkinan tentang payung, yang tak terduga dalam pemahaman indera pembaca.

                             ***   

            Kematangan dan kesederhanaan diksi yang dikembangkan penyair Eka Budianta dalam puisi “Payung Sejati” membuka kesadaran kita akan  kesejatian cinta. Payung tidak hanya menjadi mitos tentang cinta, tetapi juga tentang ketulusan, kebesaran hati, dan perlindungan akan nilai-nilai kesetiaan: “Kabarnya, Lu Ban di Tiongkok/ Membuat payung untuk istrinya/ Yang mengantarkan makanan/ Sejak empat ribu tahun silam/ Payung sejati untuk cinta sejati//.  Payung telah menjadi simbol ketulusan cinta sejati dalam peradaban manusia yang saling mengasihi, dan ungkapan akan kebersamaan suami-istri sepanjang zaman.      

            Kehadiran Emy Suy dalam puisi “Bumi Kita Terluka” membuka ruang renungan akan keberadaan pepohonan hutan yang ditebangi. Dia menulis larik-larik puisi tentang orang-orang tamak. tanpa hati nurani, menebangi hutan, hingga serupa kota tanpa penghuni. Ia memanfaatkan bahasa paradoks untuk melukiskan konfrontasi suasana antara: bunyi dan diam, terang dan padam, tangguh dan rapuh, keramaian dan kesepian. Dalam suasana paradoksal itu, secara tersirat ia melontarkan diksi “hutan” sebagai simbol “payung bumi” yang dirusak manusia: “Tuhan, bertahun-tahun/ musim-musim kami lalui/ dengan nyeri dan ngeri/ bumi menjerit/ hutan rimba terbuka/ sebab pohon-pohonnya/ sibuk digerjaji//. Dalam larik-larik berikutnya, Emy Suy memberikan kesaksian tentang kerusakan hutan yang menyebabkan bumi mendidih, terik matahari lebih menyengat.   

Puisi Joko Pinurbo selalu menarik. Ia mengesankan banyak pembaca akan kebiasaannya bermain-main dengan kata, imaji, suasana paradoksal, dan ekspresi satire yang getir. Saya tak pernah menduga bila payung hitam bisa menjadi simbol kesedihan seorang ibu, karena penculikan terhadap anaknya, dalam sebuah pergolakan kekuasaan, dan tak pernah kembali. Dalam puisi “Lima Sajak tentang Payung”, ia bermain-main imaji: Seorang ibu berjalan sendirian/ dengan payung hitam di bawah/ terang bulan, menjinjing/ sekaleng kenangan untuk anaknya/ yang hilang dalam pergolakan/ dan belum juga dikembalikan//. 

            Dalam puisi Kurnia Effendi, payung dimaknai sebagai pengayoman kekuasaan yang dilakukan raja yang memiliki mahkota untuk menjalankan kekuasaan. Ia tak sekadar menafsir payung sebagai pelindung dari hujan dan terik matahari, tetapi payung telah menjadi filosofi kekuasaan, yang mengantarkan keagungan tahta. Dalam puisi “Payung” ia mengekspresikan kesakralan kekuasaan di keraton: Di negeri ini, mungkin juga di tempat lain/ Payung mengemban dua makna:/ “Aku yang kuasa, payung di atas mahkota”/ “Aku yang mengayomi kalian, sejak dulu hingga kini”//. Kekuasaan dan perlindungan raja disimbolisasikan sebagai payung. Bisa juga payung menunjukkan pangkat seseorang, bakti pada negara, dukungan pada pemimpin, sebagai ekspresi budaya, maupun makna keseharian: perlindungan ibu terhadap bayinya.

Puisi lain yang tak kalah menarik untuk saya bicarakan berjudul “Payung Hitam” karya Naning Scheid. Cara pandangnya yang meleburkan simbol payung sebagai langit, masih menampakkan bahwa ia tak tercerabut dari akar budayanya. Ia menafsir payung dalam sudut pandang makrokosmos, sebagai langit, dan di bawah langit masih saja manusia berlaku tamak untuk kepemilikannya, atau kekuasaan yang membunuh lawan-lawan yang berkonfrontasi dengannya: ketika langit hitam menjelma/ payung raksasa bagi manusia/ di bawah kegelapannya/ mereka terus saja/ memanen segala/ membunuh segala//.

                            ***

Apakah daya tarik utama puisi-puisi dalam buku ini? Tentu saja para penyair memiliki kekuatan tafsir tentang payung dengan memanfaatkan simbol dan cara memandang makrokosmos secara paradoksal. Dalam kumpulan puisi ini, para penyair menyingkap dunia paradoks payung dengan berbagai makna sebagai (1) mitos ketulusan cinta, (2) hutan yang dirusak manusia, (3) simbol cinta kasih seorang ibu yang kehilangan anaknya, (4) kesakralan kekuasaan dan perlindungan penguasa atas rakyat, dan (5) langit yang di bawahnya manusia masih berbuat tamak dan membunuh sesamanya.  

Dengan kumpulan puisi ini, para penyair berusaha mengembalikan kesadaran dan nalar manusia tentang keselamatan bumi, harmoni hidup, perlindungan kekuasaan, dan ketulusan cinta dalam menjalani hidup keseharian. Banyak suasana yang bersifat paradoksal, yang dapat disingkap maknanya dengan simbol payung. Saya menemukan begitu banyak makna tentang payung, yang membawa pada kesadaran baru tentang hidup.***

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »