Paradoks dan Simbol Payung
S. Prasetyo Utomo
Payung, bagi penyair, bisa
menyingkap banyak tafsir. Memaknai payung sebagai tempat manusia berlindung
dari panas dan hujan merupakan realitas sehari-hari. Akan tetapi, bagi para
penyair, payung bisa menghadirkan banyak makna kehidupan dan kekuasaan. Cara pandang
yang berbeda terhadap payung, dengan kekuatan imaji, diksi, dan estetika, menyebabkan
para penyair mengekspresikan kesadaran yang berbeda dalam memandang mikrokosmos
dan makrokosmos.
Buku kumpulan cerpen
dan puisi Sepayung Bumi (Viola! Publisher, 2023) ini diterbitkan dalam
Festival Payung Indonesia 2023 di Surakarta dengan tema “Sepayung Bumi, Alam
adalah Kita”. Dari 26 puisi, saya
tertarik untuk membicarakan puisi “Payung Sejati” (Eka Budianta), “Bumi Kita
Terluka” (Emy Suy), “Lima Sajak tentang Payung” (Joko Pinurbo), “Payung” (Kurnia
Effendi), dan “Payung Hitam” (Naning Scheid). Intensitas penciptaan kelima
penyair ini mengekspresikan daya pikat yang mengusik perhatian saya.
Kelima penyair
yang saya bicarakan ini memiliki kejelian dalam menentukan diksi, yang kadang
memanfaatkan satire, suasana paradoksal, dan simbol yang membawa perenungan
tentang payung, bumi, cinta, dan kekuasaan. Pilihan terhadap kata yang memiliki
makna paradoks telah menjadi bagian utama buku kumpulan puisi ini. Pertaruhan
yang dilakukan penyair fokus pada pilihan kata yang mencipta olok-olok, kritik,
satire terhadap perilaku orang-orang tamak dan penguasa. Mereka mencipta
puisi-puisi dengan muatan kesadaran makrokosmos, hal-hal yang transendental, untuk
menyingkap makna payung yang menyelubunginya. Mereka menyingkap tabir gelap
perilaku orang-orang terhadap bumi. Mereka mencipta puisi untuk membongkar dusta,
kedok, arogansi terhadap bumi. Payung menjadi simbol perlindungan dan kekuasaan
yang menaungi kehidupan manusia. Mereka menawarkan banyak kemungkinan tentang
payung, yang tak terduga dalam pemahaman indera pembaca.
***
Kematangan
dan kesederhanaan diksi yang dikembangkan penyair Eka Budianta dalam puisi
“Payung Sejati” membuka kesadaran kita akan kesejatian cinta. Payung tidak hanya menjadi
mitos tentang cinta, tetapi juga tentang ketulusan, kebesaran hati, dan
perlindungan akan nilai-nilai kesetiaan: “Kabarnya, Lu Ban di Tiongkok/
Membuat payung untuk istrinya/ Yang mengantarkan makanan/ Sejak empat ribu
tahun silam/ Payung sejati untuk cinta sejati//. Payung telah menjadi simbol ketulusan cinta
sejati dalam peradaban manusia yang saling mengasihi, dan ungkapan akan
kebersamaan suami-istri sepanjang zaman.
Kehadiran
Emy Suy dalam puisi “Bumi Kita Terluka” membuka ruang renungan akan keberadaan pepohonan
hutan yang ditebangi. Dia menulis larik-larik puisi tentang orang-orang tamak.
tanpa hati nurani, menebangi hutan, hingga serupa kota tanpa penghuni. Ia
memanfaatkan bahasa paradoks untuk melukiskan konfrontasi suasana antara: bunyi
dan diam, terang dan padam, tangguh dan rapuh, keramaian dan kesepian. Dalam
suasana paradoksal itu, secara tersirat ia melontarkan diksi “hutan” sebagai simbol
“payung bumi” yang dirusak manusia: “Tuhan, bertahun-tahun/ musim-musim kami
lalui/ dengan nyeri dan ngeri/ bumi menjerit/ hutan rimba terbuka/ sebab
pohon-pohonnya/ sibuk digerjaji//. Dalam larik-larik berikutnya, Emy Suy
memberikan kesaksian tentang kerusakan hutan yang menyebabkan bumi mendidih,
terik matahari lebih menyengat.
Puisi Joko Pinurbo
selalu menarik. Ia mengesankan banyak pembaca akan kebiasaannya bermain-main
dengan kata, imaji, suasana paradoksal, dan ekspresi satire yang getir. Saya
tak pernah menduga bila payung hitam bisa menjadi simbol kesedihan seorang ibu,
karena penculikan terhadap anaknya, dalam sebuah pergolakan kekuasaan, dan tak
pernah kembali. Dalam puisi “Lima Sajak tentang Payung”, ia bermain-main imaji:
Seorang ibu berjalan sendirian/ dengan payung hitam di bawah/ terang bulan,
menjinjing/ sekaleng kenangan untuk anaknya/ yang hilang dalam pergolakan/ dan
belum juga dikembalikan//.
Dalam
puisi Kurnia Effendi, payung dimaknai sebagai pengayoman kekuasaan yang
dilakukan raja yang memiliki mahkota untuk menjalankan kekuasaan. Ia tak
sekadar menafsir payung sebagai pelindung dari hujan dan terik matahari, tetapi
payung telah menjadi filosofi kekuasaan, yang mengantarkan keagungan tahta. Dalam
puisi “Payung” ia mengekspresikan kesakralan kekuasaan di keraton: Di negeri
ini, mungkin juga di tempat lain/ Payung mengemban dua makna:/ “Aku yang kuasa,
payung di atas mahkota”/ “Aku yang mengayomi kalian, sejak dulu hingga kini”//.
Kekuasaan dan perlindungan raja disimbolisasikan sebagai payung. Bisa juga payung
menunjukkan pangkat seseorang, bakti pada negara, dukungan pada pemimpin,
sebagai ekspresi budaya, maupun makna keseharian: perlindungan ibu terhadap
bayinya.
Puisi lain yang
tak kalah menarik untuk saya bicarakan berjudul “Payung Hitam” karya Naning
Scheid. Cara pandangnya yang meleburkan simbol payung sebagai langit, masih
menampakkan bahwa ia tak tercerabut dari akar budayanya. Ia menafsir payung
dalam sudut pandang makrokosmos, sebagai langit, dan di bawah langit masih saja
manusia berlaku tamak untuk kepemilikannya, atau kekuasaan yang membunuh
lawan-lawan yang berkonfrontasi dengannya: ketika langit hitam menjelma/
payung raksasa bagi manusia/ di bawah kegelapannya/ mereka terus saja/ memanen
segala/ membunuh segala//.
***
Apakah daya
tarik utama puisi-puisi dalam buku ini? Tentu saja para penyair memiliki
kekuatan tafsir tentang payung dengan memanfaatkan simbol dan cara memandang
makrokosmos secara paradoksal. Dalam kumpulan puisi ini, para penyair menyingkap
dunia paradoks payung dengan berbagai makna sebagai (1) mitos ketulusan cinta, (2)
hutan yang dirusak manusia, (3) simbol cinta kasih seorang ibu yang kehilangan
anaknya, (4) kesakralan kekuasaan dan perlindungan penguasa atas rakyat, dan
(5) langit yang di bawahnya manusia masih berbuat tamak dan membunuh sesamanya.
Dengan kumpulan
puisi ini, para penyair berusaha mengembalikan
kesadaran dan nalar manusia tentang keselamatan bumi, harmoni hidup,
perlindungan kekuasaan, dan ketulusan cinta dalam menjalani hidup keseharian.
Banyak suasana yang bersifat paradoksal, yang dapat disingkap maknanya dengan simbol
payung. Saya menemukan begitu banyak makna tentang payung, yang membawa pada
kesadaran baru tentang hidup.***