Perempuan dari Tujuh Musim, Nunung Noor El Niel - Rissa Churria

@kontributor 10/15/2023
Perempuan dari Tujuh Musim, Nunung Noor El Niel

Rissa Churria




Sejarah awal sastra Indonesia didominasi oleh sastrawan pria. Kiranya, alasan yang paling kuat adalah bahwa pada saat itu hanya laki-laki yang bisa menikmati pendidikan. Sementara itu, kaum perempuan terkungkung di lingkungan rumah tangga karena sistem sosial budaya yang berlaku. Jadi, dunia sastra Indonesia adalah dunia laki-laki. Situasi sedikit berbalik pada tahun 1990-an dengan munculnya perempuan muda yang menjadi penyair, cerpenis, dan novelis, seperti Dorothea Rosa Herliany, Oka Rusmini, Ayu Utami, dan Djenar Maesa Ayu, yang melontarkan pandangan feminis dan kesetaraan gender dalam karya mereka. Beberapa tahun silam ketika pemenang Sayembara Mengarang Novel yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta semuanya perempuan, Sapardi Djoko Damono sebagai juri langsung berkomentar, “Inilah saatnya kebangkitan perempuan dalam perkembangan sastra kita.” 

Salah satunya adalah Nunung Noor El Niel, sebagai penyair yang perempuan Indonesia yang aktif menekuni dunia sastra terutama bidang puisi. Buku-buku yang lahir dari rahim karyanya tentu menunjukkan keberpihakannya kepada kaum perempuan. Karya-karya yang dilahirkan begitu kuat. Nunung terhitung sangat produktif dalam menulis. Karya-karyanya banyak tersebar di beberapa media massa tanah air seperti: Media Indonesia, Jawa Pos, Indo Pos, PR Bandung, Bali Pos, dan lain-lain. Juga menulis di berbagai antologi bersama yang sudah tak terhitung jumlahnya. 

Antologi tunggal yang lahir dari rahim karyanya antara lain adalah: Sumur Umur (2022), Solitude terbit pada tahun 2012, menyusul Perempuan Gerhana tahun 2014, Kisas tahun 2015 dan Perempuan dari Tujuh Musim lahir pada tahun 2016. Saat ini sedang mempersiapkan buku antologi tunggal berikutnya. 

Dalam buku Perempuan dari Tujuh Musim ini, Nunung Noor El Niel berusaha mengungkapkan pikiran dan perasaan dengan mengutamakan keindahan kata-kata. Pemilihan diksi yang sangat kuat sehingga puisinya terasa begitu lentur dan beralur. Dalam puisi-puisinya, Nunung mengungkapkan berbagai hal, seperti kerinduan, kegelisahan, atau pengagungan yang diungkapkan dalam bahasa indah. Antologi puisi ini beraroma perempuan, sangat feminin dan melibatkan emosional perempuan dalam setiap larik dan bait yang menyusun lekuk tubuh puisinya.

Buku ini terbagi menjadi dua bagian: “Di Bawah Langit” dan “Napas Perempuan”. Di sini kita bisa melihat kepekaan dan kepedulian penulis terhadap lingkungan sampai kepada hal-hal yang sangat pribadi sekalipun. Secara spesifik puisi-puisinya dapat dikelompokkan secara tematik, isi dan gaya bahasa yang khas. Kekhasan kepenulisannya tidak terpengaruh oleh gairah dan napas penulis lainnya, seluruh karakter tulisan adalah khas miliknya. Nunung telah berhasil meracik bumbu tersendiri sehinga aroma sedap yang tercipta, rasa dan kualitas dalam diksi puisinya adalah dirinya sendiri. Kita lihat puisi yang berjudul “Jadilah” terletak di halaman perdana buku ini;

JADILAH

Di manakah laut yang teduh
Jika ombak menggulung
Terhempas semua di tepian

Di manakah sukma tersembunyi
Jika raga terkulai
Di antara angkara murka

Di manakah tuhan sekalian alam
Bagi jiwa jiwa yang keruh
Untuk dinubuatkan

Tuhan kusebutkan nama-mu
Dalam kepasrahan yang teguh
Sesudah dan sebelum kuaminkan

Dan atas seluruh kaumku
Di atas semua keperempuanan
:jadilah!

Denpasar,28.04.2016

Dalam puisi "Jadilah" kental sekali dengan aroma keperempuanan, dan sungguh meyakinkan bahwa keberpihakan si aku lirik dalam puisi di atas lebih kepada perempuan. Nunung mengibaratkan dunia perempuan seperti laut yang teduh, tetapi di balik kelembutan dan ketenangan seorang perempuan terdapat kekuatan yang sangat dahsyat serupa “ombak menggulung / terhempas semua di tepian”. 

Lalu dalam bait selanjutnya Nunung berusaha mengagungkan Tuhannya yaitu: Tuhan akan selalu dapat menyucikan jiwa-jiwa yang keruh dengan kalimat, di manakah tuhan sekalian alam / bagi jiwa yang keruh / untuk dinubuatkan. Bait selanjutnya menguatkan pernyataan pengagungan Nunung pada Tuhannya; Tuhan kusebutkan nama-mu / dalam kepasrahan yang teguh / sesudah dan sebelum kuaminkan/. 

Puisi ini ditutup dengan kalimat yang cantik yaitu kalimat sumpah sebagai penguat kepasrahannya kepada Tuhan; /dan atas seluruh kaumku /di atas semua keperempuanan; jadilah!/. Roda selalu berputar seiring dengan berjalannya waktu, usia makin bertambah dan akhirnya menua lalu berganti dengan generasi berikutnya. 

Dunia pun berubah dan berkembang dari masa ke masa. Sudah menjadi sunatullah hidup kita juga berangsur-angsur berubah seiring perkembangan kebudayaan, teknologi dan lain lain. Bahasa, budaya dan sastra yang merupakan salah satu perantara perekaman kehidupan selalu mencari bentuk yang lebih baru.Hal tersebut sejalan dengan sifat seniman yang selalu ingin menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda dengan yang telah ada sebelumnya. Seperti halnya puisi-puisi Nunung yang mengalir serupa air, tidak monoton dan selalu ada kebaruan di dalamnya.

Kendati pun Nunung seorang perempuan, dia tetap mempunyai eksistensi tersendiri di bidang kepenyairan yang awalnya memang didominasi oleh kaum Adam. Eksistensinya itu tertuang jelas pada puisinya yang berjudul “Perempuan dari Tujuh Musim” sebagai berikut:

PEREMPUAN DARI TUJUH MUSIM

Perempuan di balik jendela itu
Telah duduk di sana selama
Tujuh musim bunga
Selama tujuh purnama

Dan lengkung pelangi telah
Menghiasi kelopak matanya
Dengan manik manik gerimis
Pada setiap sudutnya
Menjelang senja hari

Kini, ia ingin tetap duduk di sana
Melayari seluruh impian
Melampaui batas cakrawala
Melampaui seluruh impian 
Dari pulau kenangan yang hilang
Dari pandangan mata

Di rambutnya yang terurai
Tinggal malam yang membelai
Di mana ia hanya dapat terkulai
Dari harapan yang selalu lalai

Tujuh musim, tujuh purnama
Dia masih duduk di sana
Mengulum doa dalam diam
Serupa mantera dari bibir peri
Membisikkan keikhlasan

:Aku akan menunggumu di sini
Hingga batas waktu....

Denpasar,050913 

Puisi Perempuan dari Tujuh Musim menggambarkan eksistensi perempuan dalam segala hal, menurut saya puisi ini cukup mewakili, sesungguhnya siapa perempuan. Perempuan itu rela menunggu dari musim ke musim demi untuk sesuatu yang dia tuju, dia sabar dan ikhlas mengabdikan seluruh waktunya untuk sesuatu yang ditunggunya itu. Dan dia teguh memegang janji-janjinya. Dalam puisi ini Nunung menggunakan penggambaran orang ketiga yaitu dengan kata ganti perempuan itu. Perempuan di balik jendela itu / Telah duduk di sana selama / Tujuh musim bunga / Selama tujuh purnama/. 

Baris kedua adalah pengukuhan bahwa perempuan selalu berharap sesuatu yang indah pada akhir sebuah perjalanan walau kadang harap itu menjadi air mata yang tertahan atau menetes dari sudut matanya. Hingga bait terakhir pun Nunung masih bersikeras bahwa perempuan sesuai dengan kodratnya adalah mahluk rela menunggu hingga waktu yang tak terbatas, bahkan sampai jiwa merenggut nyawa.

Puisi-puisi Nunung El Niel sangat lentur, terlihat dalam deretan-deretan diksi yang digunakan, pemilihan metafor yang pas sehingga citraan yang dihadirkan betul-betul hidup, memiliki daya magis dan mempunyai ruh. Kata terakhir sebagai pembuktian bahwa perempuan mempunyai eksistensi sendiri dalam kepenulisan Nunung adalah deretan isi dan judul puisi-puisinya sangat kental dengan aroma keperempuanan. Keberpihakannya kepada kaum perempuan sangat kentara, total dalam buku antologi ini eksistensi perempuan dari segala sudut telah disajikan dalam puisi-puisinya dengan sangat kuat.###

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »