Reaksi Biokimia Sebuah Cerita yang Bagus - Aliurridha

@kontributor 10/01/2023

Reaksi Biokimia Sebuah Cerita yang Bagus

Aliurridha



Bagaimana sebenarnya sinema bekerja di kepala kita? Mengapa ada film yang meninggalkan gema panjang setelah ditonton? Pertanyaan-pertanyaan itu kerap menghantui saya sesudah menonton film yang bagus. Dan pertanyaan itu kembali muncul setelah saya menonton Rebound (Jang Hang Koon, 2023). Film ini, entah mengapa, memberi efek yang membuat saya berusaha untuk mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas.

Cerita dalam Rebound sebenarnya tidaklah istimewa. Ceritanya seperti kebanyakan cerita yang muncul dalam drama olahraga—sebuah pertarungan melawan ketidakmungkinan. Cerita dimulai dari Kang Yang Hyun, seorang mantan pemain basket yang karier profesionalnya tamat dan hendak memulai kembali sebagai pelatih basket di almamater sekolahnya—SMA Jung Ang di Busan. Namun, waktunya tidak tepat. Ketika dia datang, klub basket Jung Ang malah hendak dibubarkan.

Kang Hyun tidak menyerah. Dia berjanji akan membawa Jung Ang ke pergelaran kompetisi nasional. Untuk itu dia harus mencari pemain-pemain yang punya potensi mewujudkan ambisinya. Dia menemukannya di jalanan, di lapangan sepak bola, dan memburunya di sekolah-sekolah lain. Kang Hyun berhasil mengumpulkan pemain yang membuatnya bisa memelihara mimpinya untuk tampil di kompetisi nasional.

Dalam timnya ada Cheon Ki Beom, pemain yang punya teknik bagus, pernah menjadi MVP, namun tubuhnya tidak kunjung bertambah tinggi dan permainannya tak berkembang sehingga klub-klub dari Seoul batal meminangnya. Ada Bae Gyoo Hyuk, pemain yang mampu bermain sangat baik, tapi pergelangan kakinya cedera sehingga terpaksa mencari uang menjadi pemain basket bayaran di jalanan. Ada Hong Soon Kyu dan Jung Kang Ho pemain yang punya fisik yang bagus, tapi tekniknya buruk. Awal yang tidak terlalu buruk untuk klub basket sekolah kecil dari daerah untuk memelihara mimpinya lagi. Namun, seperti yang biasa terjadi, kenyataan tak seindah mimpi, pertandingan pertama kacau, Kang Hyun diusir dari lapangan, Gyoo Hyuk melempar bola ke wasit, dan pertandingan dihentikan di tengah jalan. Klub basket Jung Ang kembali terancam dibubarkan.

Singkat cerita, klub basket Jung Ang berhasil bertahan. Mereka memulai kembali dengan anggota yang lebih sedikit daripada sebelumnya. Orang-orang tua siswa menarik anaknya dari klub basket. Tapi Kang Hyun berhasil mendapat dua anak baru, Heo Jae Yoon dan Jung Jin Wook, untuk menggenapkan anggota tim menjadi enam. Setidaknya mereka punya satu pemain cadangan untuk bisa ikut kompetisi—meski salah satunya, Jae Yoon, tidak punya pengalaman bertanding. Lalu Jin Wook cedera, dan mereka terpaksa memasukan Jae Yoon.

Dengan melawan segala keterbatasannya, mereka berhasil melaju ke babak final. Namun di final mereka kehabisan stamina. Mereka membuat pelanggaran demi pelanggaran hingga terpaksa kehilangan dua pemain. Memang mereka kalah. Namun, dengan hanya tiga pemain, mereka mampu bertahan dari gempuran juara nasional. Selisih skor yang hampir 20 angka pada babak pertama justru berkurang menjadi 10 angka sebelum peluit panjang berakhir.

Sebenarnya cerita ini bukanlah cerita baru. Hampir semua cerita seputar olahraga punya warna cerita yang sama. Namun Rebound punya kelebihan karena cerita ini diangkat dari kisah nyata. Kisah itu benar-benar terjadi di Korea Selatan pada tahun 2010. Tuhan benar-benar sutradara yang baik. Mungkin itu yang terpikir di benak kita. Namun, cerita tetaplah cerita, ia adalah sebuah rekonstruksi atas kenyataan. Tanpa sineas yang cerdik dalam membingkai realitas, film tidak akan menyisakan bekas. Dan sepertinya Jang Hang Joon benar-benar memahaminya.

Formula Cerita yang Bagus

Satu hal yang sama, bahwa cerita yang bagus menghasilkan reaksi kimia di otak yang memberi sensasi puas bagi audiensnya. Bagaimana itu bisa terjadi? Mungkinkah ada formula yang bisa ditiru bagi penulis dalam menghasilkan sebuah cerita yang bagus? Jawabannya, ada. Dan Aristotle bahkan sudah merumuskan formulanya lebih dari 2500 tahun lalu. Formulanya adalah pity-fear-catharsis; sebuah cerita yang berkesan harus menghadirkan perasaan itu bagi audiensnya.

Sebagai penulis, yang perlu kamu lakukan adalah membuat audiensmu mengasihani (pity) nasib tokoh dalam ceritamu. Caranya adalah dengan membuat tokohmu melewati kemalangan demi kemalangan. Dengan ini audiens akan merasa simpati pada nasibnya. Dan begitu kamu berhasil menciptakan hubungan emosional antara audiens dan tokohmu, kamu akan berhasil memegang kendali emosi atas audiensmu. Selanjutnya, tempatkan tokohmu dalam situasi yang lebih buruk lagi dan audiensmu akan merasa takut (fear). Lalu ketika kamu membebaskan tokohmu dari penderitaan atau situasi sulit yang menimpanya, audiensmu merasakan katarsis (catharsis)—semacam perasaan lega ketika manusia lepas dari masalah yang menimpanya. Tidak peduli siapa audiensmu, seberapa intelektual mereka, apa yang mereka rasakan pasti sama—karena katarsis bukanlah sesuatu yang bersifat intelektual, melainkan reaksi biokimia di otak.

Perasaan katarsis hadir ketika sebuah zat kimia (Phenethylamine) mengalir dalam pembuluh darah. Phenethylamine juga dikenal sebagai “obat kebahagiaan”. Obat-obatan ilegal seperti ekstasi mengandung zat kimia ini. Tetapi, kamu bisa juga didapatkan dari aktivitas menyenangkan—seperti berhubungan seks. Jadi, tidak peduli siapa dirimu, seperti apa latar belakangmu, perasaan katarsis akan mendatangimu sepanjang struktur cerita telah disiapkan untuk menghadirkan pity-fear-chatarsis. Dan perasaan katarsis itu yang saya alami ketika menonton Rebound.

Dalam Rebound, tokoh-tokoh utamanya dihadapkan pada kemalangan demi kemalangan. Salah satu yang paling membangkitkan perasaan simpati saya adalah cerita tentang Bae Gyoo Hyuk. Diceritakanlah alasan mengapa Gyoo Hyuk sering berkelahi dan mencari uang di jalan lewat taruhan basket. Cedera pergelangan kakinya membuat karier basket profesionalnya mati. Kemudian diceritakan pula ibunya yang merupakan orang tua tunggal, tidak mampu membiayai operasi, sehingga Gyoo Hyuk melampiaskan emosi dengan berkelahi.

Setelah bergabung dengan SMA Jung Ang, Gyoo Hyuk mulai bisa menerima kondisinya. Dia mulai menikmati kegiatannya di klub basket. Lalu dia dihadapkan pada masalah ketika akhirnya harus memilih, bermain secara eksplosif dengan membebani kakinya yang cedera, atau bermain sewajarnya, menghindari gaya bermain yang memperparah cederanya. Gyoo Hyuk kemudian memilih tim di atas masa depannya. Dengan cederanya Jin Wook, Gyoo Hyuk dan Ki Beom harus bekerja dua kali lipat lebih keras.

Ada satu adegan yang sangat berkesan buat saya. Adegan itu melibatkan Gyu Hyuk dan Ki Beom. Gyu Hyuk meminta Ki Beom untuk memberinya bola lebih banyak agar teman-temannya bisa bernapas sejenak.

“Jika kau memaksakan diri, pergelangan kakimu akan semakin parah,” kata Ki Beum.

“Pergelangan kakiku sudah telanjur parah. Ayo gunakan dengan baik untuk terakhir kalinya,” balas Gyu Hyuk.

Keduanya pun menunjukkan permainan fantastik yang teramat luar biasa untuk level SMA. Meski akhirnya mereka kalah, pertandingan final itu kemudian dikenang oleh publik basket dan berhasil mengangkat derajat semua pemain. Empat dari enam pemain klub basket sekolah itu direkrut oleh klub besar dan mencetak prestasi dalam liga basket nasional. Salah satunya direkrut oleh universitas karena keahlian bermain basket. Pelatihnya kemudian direkrut menjadi pelatih tim nasional remaja. Hanya satu orang dari mereka yang kehilangan kesempatan berkarir di dunia yang mereka cintai—bisa ditebak siapa orangnya? Ya, dia adalah Gyu Hyuk.

Dua kali Gyu Hyuk menjalani operasi pergelangan kaki, tapi itu tidak juga membuatnya bisa bermain basket lagi. Karir basket Gyu Hyuk mungkin tamat, tapi seperti yang dikatakan Kang Hyun, “Basket mungkin berakhir, tapi hidup terus berlanjut.” Bagaimana kehidupan Gyu Hyuk setelah ini? Bagaimana nasibnya setelah film berakhir? Pertanyaan itu bergema, bahkan jauh setelah filmnya selesai. (*)

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »