Tidak Mungkin Yon - Jeli Manalu

@kontributor 10/08/2023

Tidak Mungkin Yon

Jeli Manalu 



Setiap keran wastafel mampat, Hirima menelepon tukang servis dan permasalahan segera berakhir. Hari ini ia berdiam saja meski air berhenti menetes bahkan di kamar mandi, ia tak turun ke dapur mencabut colokan Sanyo, tak ia pedulikan rooftop tergenang air. Segenap perhatiannya sekarang tersedot pemandangan joging sore lelaki bersama istri hamil tua yang entah sudah berapa putaran melewati jalan depan rumah Hirima.

Setelah pasutri hilang dari pandangan, mata Hirima bergeser ke rumah paling ujung. Sepasang nenek-kakek menemani cucu main layangan di mana bentuk layangannya menyerupai martabak terlipat dua, makanan favorit Hirima bersama Jo dalam perjalanan kereta sehabis kuliah malam 10 tahun lalu. Di titik lainnya ada juga serombongan ibu tertawa-tawa karena sudah beres memasak sembari menunggu orang tersayang kembali ke rumah—ini hari Minggu, hari di mana setiap anggota keluarga bertukar cerita di meja makan.

Ada curhat mengenai target penjualan yang sulit digapai. Cerita kemacetan di pusat kota, atau apa saja yang bisa dituangkan sehingga rumah tetap bernyala. Dan Hirima, tidak punya semua itu. Dalam dapur yang berminggu tak lagi pernah ia sentuh hanya ada cangkir berkerak kopi dan panci jamuran. Dalam kulkas tersisa sebatang wortel busuk, jeruk keriput, dan cabai yang tak lagi merah.

Saat hari gelap dan tak seorang pun lagi tampak di luar rumah, Hirima turun dari rooftop. Peralatan makan kotor ia masukkan dalam kantong sampah, juga wortel busuk, jeruk keriput, cabai yang tak lagi merah. Kulkas kosong. Colokan listrik dicabut. Magic com dimasukkan ke kardus. Kardus digeser-geser. Pada satu sisi kardus Hirima menatap separagraf kalimat: Untuk Hirima dan Jo. Bila suatu hari rumah kalian sepi karena mungkin terjadi perang dingin, pecahkan saja panci magic com ini biar ramai. Tapi semoga langgeng hingga rambut memutih dan gigi kalian tanggal semua. Hirima mencoba mengeja si pemberi hadiah—itu lelaki yang pernah istimewa di kepalanya (namanya Yon) bukan sebab Hirima punya perasaan spesial terhadap Yon namun karena Hirima mengagumi Yon sebagai orang merdeka.

“Merdeka dari perbudakan cinta,” ujar Yon, si pemilik senyum manis—Hirima menusukkan kelingkingnya ke lesung pipi kanan Yon sampai Yon meringis kesakitan dan ia bilang akan berhenti mengolok Hirima, sahabat kecilnya itu. Dan Yon, benar adanya. Dua belas tahun Yon di biara, Hirima belum lupa bila sejak delapan bulan lalu lelaki itu telah resmi menjadi pastor. Artinya Yon merdeka dari ikatan antara laki-laki dan perempuan. Hirima lalu mencoba mengatur napas. Dalam ingatannya, dahulu, Hirima percaya diri sekali cerita kepada Yon bila Jo merupakan orang yang tepat untuk dimateraikan jadi teman hidup.

Hirima menuduh Yon sebagai lelaki pengecut yang tak berani jatuh cinta lagi seusai patah hati sampai-sampai harus rela masuk biara.

Untuk Hirima dan Jo, tulisan itu Hirima baca-baca lagi.

Di tahun-tahun awal pernikahan ia bangun pukul 05.15. Sekitar 07.00 ia merasa bangga bisa menyiapkan sarapan untuk Jo. Sore hari Hirima berpikir keras, berusaha bikin masakan baru yang ia pelajari dari majalah. Begitu tiap harinya, ia tidak keberatan manakala harus resign dari tempat kerja supaya bisa fokus mengurus rumah terlebih karena sedang mengikuti program hamil—mertuanya mendukung penuh hal itu dan si mertua sering menelepon apa Hirima sudah ada tanda-tanda hamil supaya si mertua segera menimang cucu.

Setahun, dua, empat, lima. Hari-hari berlalu tanpa adanya tanda-tanda itu.

“Maaf, tadi aku buru-buru ke kantor dan tak sempat sarapan,” pesan yang diterima Hirima pada suatu hari menjelang siang.

Hari lain Jo mengirim pesan agar Hirima tak perlu masak makan malam untuknya karena diundang teman kantor atas syukuran anak keempat dan kelima yang lahir kembar dan menurut cerita, istri temannya itu menjadi kesayangan mertua karena melahirkan cucu laki-laki sebagai penerus marga bagi keturunannya. Dan Hirima tak sempat diajak karena Jo bilang undangan itu datang mendadak.

“O-oke. Tidak apa-apa,” balas Hirima dalam pesan suara, padahal ia baru tuntas mencoba resep baru dan ia sangat bangga atas hal itu.

Enam hari lamanya Jo bekerja. Tiba Minggu ia habiskan waktu dengan tidur-tidur. Jika tidak, ia pergi mancing bersama teman. Ikan didapat biasanya gabus. Gabus montok dengan telur-telur di perutnya nikmat sekali dibakar di tepi sungai. Bila dapat banyak, Jo memberikannya kepada teman. Ia tak pernah bawa gabus segar (hidup) ke Hirima. Walau Hirima sedang rajin-rajinnya belajar memasak, Jo hafal Hirima tak pandai menyiangi gabus. Hirima tidak seperti istri teman Jo yang mahir pukul kepala gabus supaya siap masuk kuali.

“Aduh Hirima, temanku ini istrinya makan banyak. Mereka punya anak empat. Malam ini aku makan di rumah temanku itu,” cerita Jo di telepon, sambil merasa sudah melakukan hal terbaik dengan tak perlu merepot-repotkan tangan Hirima menyiapkan makan malam untuknya.

Hirima tersedu. Ia teringat benda-benda dalam kulkas. Jeruk keriput, wortel busuk, dan cabai yang tak lagi merah, pada masa tertentu ia mengeluarkan benda-benda itu kemudian memasukkannya ke kantung sampah.

Hirima tak kunjung beri bayi untuk Jo, juga mertuanya. Setiap bangun pagi Hirima memegangi perut. Perut itu tetap tipis tak mau menggendut. Pernah satu kali ia dinyatakan hamil. Tiga migggu berikutnya ia menstruasi. Dokter bilang keguguran. Kandungannya lemah. Mulai saat itu segalanya perlahan berubah. Jo mulai sering menginap di rumah ibunya. Hingga satu ketika Hirima dengar kabar Jo akan pindah tugas ke kota lain, dan Jo tak pernah mendiskusikannya dengan Hirima.

Air yang luber di rooftop sudah berhenti. Hirima mendorong kardus ke sudut rumah. Galeri ponsel dibuka setelahnya. Foto rumah tampak depan. Tampak samping kiri, kanan, dan belakang. Ada juga detail kamar dan dapur. Ia mengetik: Dijual cepat. Setelah urusan selesai, ia akan pergi ke tempat lain, tempat yang sama sekali belum ada dalam bayangan. Mungkin sebuah kota dingin berharap kota ini membekukan ingatannya akan pernikahan.

Di dekat pintu tiga koper menunggunya untuk berlalu. Di luar pintu malam teramat pekat. Hirima mengatur napas agar tabah, bahwa hal buruk akan berhenti seperti keran-keran di rumahnya berhenti meneteskan air. Tapi seketika, ia mendamba ada ketukan di pintu. Apakah Yon? Bila Yon, ia hendak curhat dan bilang ingin jadi orang merdeka serupa Yon, ingin punya hidup seperti hidup Yon. Tapi tidak mungkin Yon. Tidak mungkin Yon mengetuk pintu rumah perempuan.

Riau, Februari 2021

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »