Bahtera Raksasa
Daviatul Umam
Di
sebuah ruangan khusus di kantornya, Hendrianto tercenung cukup lama memikirkan
kejadian pagi tadi di lampu merah. Sosok lelaki tua yang tadi tiba-tiba muncul
di samping pintu mobilnya, ternyata tidak berlalu begitu saja usai mengucapkan “terima
kasih” dan mendoakan Hendrianto atas sedekah uang lima ribunya. Alih-alih
berpindah memohon belas kasih kepada para pengendara lain, pengemis itu justru
melempar sebilah pertanyaan yang berhasil membikin Hendrianto tercekat, “Tahu
kisah Nabi Nuh?”
17 detik berjalan menuju lampu hijau. Tanpa menunggu jawaban
dari Hendrianto yang tampak kebingungan, si kakek lanjut berkata-kata, “Tirulah
Nabi Nuh. Buatlah kapal yang sekiranya dapat menampung seluruh penduduk kota
ini. Percayalah, sepuluh tahun mendatang, kota ini akan tenggelam.”
Lampu lalu lintas sudah berganti hijau ketika Hendrianto
hendak melontarkan sejumlah pertanyaan terhadap pengemis renta itu. Tentu saja Hendrianto
akan diteriaki puluhan bunyi klakson, atau bahkan dilempari bermacam pisuhan
jika memaksakan kehendaknya. Sebab itu dia lebih memilih menginjak pedal gas
dengan memikul setumpuk rasa penasaran, berhubung juga khawatir telat tiba di
kantor.
***
Berulang kali Hendrianto berusaha membuang jauh-jauh suatu
hal yang terus mengusik pikirannya, tetapi selalu gagal. Dia tahu, sepuluh
tahun mendatang sudah pasti ini kota bukan urusan dia lagi. Mau tenggelam atau
tidak, itu di luar tanggungjawabnya, untuk tidak mengatakan tidak begitu peduli.
Tapi ucapan kakek sialan itu betul-betul membebaninya, berhari-hari. Hampir
seluruh waktunya digerogoti pertanyaan-pertanyaan ganjil. Siapa sebenarnya
orang itu? Benarkah kota ini bakal tenggelam? Atau omong kosong belaka?
Bagaimana kalau benar-benar terjadi?
Hingga pada suatu malam yang dilanda hujan lebat, Hendrianto
bermimpi. Banjir bandang mengaramkan rumah-rumah penduduk. Orang-orang hanyut terseret
arus. Dari lantai sembilan sebuah apartemen, Hendrianto melihat istri dan
ketiga anaknya juga hanyut dengan mata mendelik dan napas tersengal-sengal.
Sementara ketinggian air semakin naik, merendam apartemen yang dia tempati
sampai lantai enam. Seseorang lalu menepuk pundaknya dari belakang, wajahnya
persis pengemis tua itu, “Saatnya kau menebus dosa-dosamu,” ujarnya dengan
kedua mata melotot.
Hendrianto terperanjat dari tidurnya. Napasnya
terengah-engah. Tubuhnya mengucur keringat, meski di luar sana hujan dan angin
sedang bertengkar hebat, seolah saling ingin menunjukkan siapa di antara mereka
yang lebih perkasa. Hendrianto menatap seorang perempuan di sebelah kanannya
tengah mendengkur. Lantas dia bangkit, bergegas memeriksa tiap kamar ketiga
anaknya. Mereka sama-sama pulas dengan selimut dan bantal gulingnya masing-masing.
Termasuk si bungsu yang masih berumur tujuh bulan, lelap di sisi tubuh bibi
pramusiwi, di kasur mungil berkelambu kurung.
Kemudian, Hendrianto balik ke dalam kamarnya sendiri, duduk
menenangkan diri di tepi ranjang. Ditemani dengkuran istrinya, dia mencoba
menghubung-hubungkan perkataan si pengemis sepekan lalu dengan perkataan dari
orang yang sama di alam mimpinya tadi. Setelah sekian menit berpikir keras,
akhirnya dia membuat kesimpulan.
Barangkali, pikirnya, dia harus segera menebus dosa-dosanya
dengan cara melakukan apa yang kakek itu perintahkan. Dia sadar, betapa memang terlampau
banyak dosa yang dia perbuat selama ini, sejak dilantik sebagai Wali Kota untuk
periode pertama. Tak terbayangkan, entah berapa ton uang yang dia gelapkan
seandainya dikumpulkan dalam bentuk konkret lalu ditimbang. Ajaibnya, sama
sekali tidak ada yang tahu kalau dia adalah salah satu koruptor kelas kakap.
Bahkan istrinya sendiri sekalipun. Tidak pula ada yang tahu kalau dia sering bergumul
dengan gadis-gadis di luar sana, selain gadis-gadis itu sendiri.
Namun, yang menurut Hendrianto sangat konyol dan aneh,
mengapa harus dengan membuat kapal untuk menebus dosa? Apakah semua dosanya
sungguh-sungguh bakal diampuni bilamana dia mewujudkannya? Pertanyaan lain
timbul menyusul. Buat apa dia mengeluarkan uang miliaran rupiah untuk sesuatu
yang tidak jelas kebenarannya? Apa kata rakyatnya nanti? Tidakkah dia akan
dicap gila sebagaimana Nabi Nuh dulu? Dan, sekali lagi, apakah kota yang dia
pimpin betul-betul akan tenggelam kelak?
Hendrianto merasa beban pikirannya akan semakin berat jika
terus-terusan dia pendam. Dia lalu bercerita tentang pengemis serta mimpi buruk
itu kepada istri dan Bapak Wakil Wali Kota. Dari keduanya Hendrianto menerima
tanggapan yang kurang-lebih sama: halusinasi dan bunga tidur semata. Tak puas
akan jawaban tersebut, diam-diam dia pergi bertanya ke beberapa paranormal
termasyhur di kota itu. Hasil terawangan mereka pun dapat dirangkum menjadi
satu asumsi sederhana: tidak perlu dipikirkan.
Maka pulanglah Hendrianto membawa rasa lega yang luar biasa.
Kepalanya terasa seperti bulatan balon. Kosong dan ringan. Berkat kenikmatan
itu, tebersit suatu niatan di hatinya untuk bertobat dan banyak-banyak
bersedekah.
Tapi rupanya Hendrianto lupa, masih banyak dosa lain yang
luput dia sadari. Atau, jangan-jangan dia menganggap perbuatan tercelanya yang
lain tidak termasuk kategori dosa. Sehingga mengizinkan investor asing serta
mendukung para penambang semena-mena mengeksploitasi lingkungan di daerahnya,
dia lumrahkan karena betapa menguntungkannya bagi dirinya. Satu hal lagi,
selama hampir dua periode masa kepemimpinannya, Hendrianto dinilai sangat tidak
becus dalam menangani bencana banjir yang rutin berkunjung setiap tahun.
Warga pun sebenarnya juga susah sekali diatur. Terbukti
bagaimana mereka seenaknya memperlakukan sungai besar yang membelah sepuluh
kecamatan di kota itu. Seperti sudah tidak dibutuhkan lagi, sungai itu kini
menjadi penampungan sampah dan limbah secara besar-besaran.
Semula, cuma pengguna jembatan-jembatan di atasnyalah yang
gemar melempar sampah ke tubuh sungai. Namun, lambat-laun warga tepi sungai
juga rajin melemparinya sampah dan limbah di malam hari. Alhasil, bukan sampah
plastik atau limbah-limbah kecil saja yang mengapung dan mendiami batang
sungai. Tak ayal limbah-limbah berat seperti bantal bekas, kasur bekas, selimut
bekas, tikar bekas, sandal bekas, sepatu bekas, ban motor bekas, dan
barang-barang bekas yang lain, bahkan bangkai-bangkai ayam, makin memperjelas kemustahilan
sungai itu untuk kembali bersih dan jernih sebagaimana sedia kala.
Satu rombongan KKN dari kampus ternama yang dikirim ke kota itu,
pernah memusyawarahkan perihal keironian sungai bersama masyarakat setempat.
Kira-kira langkah apa saja yang harus mereka lakukan, agar warga berhenti
mencemari sungai dan sungai kembali pada kodratnya. Usulan-usulan diajukan
hingga membuahkan beberapa kesepakatan.
Pada hari yang telah ditentukan sesuai hasil musyawarah, para
anggota KKN beserta puluhan masyarakat mulai bergerak menuruni sungai. Mereka
mencopot spanduk-spanduk lama—berisi larangan mengotori sungai sekaligus
peringatan tentang bahayanya merusak sungai—yang sudah pudar dan sobek-sobek,
lalu menggantinya dengan spanduk-spanduk baru dengan bahasa yang lebih sarkastis,
kemudian dilanjutkan dengan mengangkat sampah dan limbah yang bertebaran di
permukaan dan dasar sungai.
Hampir dua minggu mereka membersihkan sungai seiring jumlah sukarelawan
yang semakin berkurang dari hari ke hari, sehingga hanya tinggal segelintir
orang. Mereka yang tersisa pun tampak sangat kewalahan, tak terkecuali anggota
KKN sendiri. Maka dengan terpaksa mereka mengakhiri kegiatan mandiri itu.
Memang, hampir sepanjang sungai yang melintasi satu
kecamatan bisa dibilang sudah bebas sampah kendatipun airnya tetap hitam dan
berbau busuk. Tetapi, kemungkinan itu cuma tujuh persen sampah yang terangkat, dari
keseluruhan sampah yang memadati sungai. Sedangkan pihak pemerintah seolah
tutup mata, dan lebih cenderung mengutamakan proyek pembangunan. Sama sekali
tidak ada upaya penanggulangan ataupun tindakan tegas terhadap orang-orang yang
melakukan pencemaran. Lama-lama, air sungai yang telah bebas sampah di satu
kecamatan tadi kembali ternodai.
***
Dari tahun ke tahun kondisi sungai semakin tragis. Lebih
menyerupai lorong sampah dan limbah ketimbang bentangan sumber daya alam. Di
samping itu, penambangan legal maupun ilegal terus berlangsung di mana-mana.
Sarana publik juga terus dibangun dan dikembangkan sedemikian megah dengan
berbagai akses.
Kemudian tibalah saatnya hujan yang luar biasa dahsyat menyerang
kota yang kepala daerahnya sudah tiga kali berganti itu. Langit hitam-legam
saban hari, nyaris tidak pernah memperlihatkan bulan-bintang dan matahari.
Sampai pada hari kelima, badai datang menyertai hujan yang teramat ganas. Halilintar
menyambar-nyambar, seakan melaknat seluruh isi kota. Tak terelakkan, semua
orang begitu panik dibuatnya. Termasuk Hendrianto yang sudah pensiun dan
sakit-sakitan, yang sudah benar-benar lupa terhadap seorang pengemis misterius
dan mimpi buruknya pada dasawarsa silam.
Selama tiga jam lebih hujan ganas mengguyur dan belum juga
mau mereda. Sungai hitam yang penuh kotoran meluap-luap. Sampah menyebar luas ke
mana-mana, menggenangi seluruh tembok bangunan. Sementara air bah setinggi dada
orang dewasa menggempur kediaman penduduk, membuat orang-orang semakin panik,
menangis, menjerit, menyebut-nyebut asma Tuhan. Mereka naik dan berdiri di atas
kursi, meja, ranjang, dan apa saja yang bisa dijadikan tempat bertumpu untuk
menghindari gelombang maut yang sedang mengepung mereka.
Banjir terus meninggi dan meninggi. Perabotan-perabotan
rumah mengambang. Bangunan-bangunan kayu hancur. Kendaraan-kendaraan hanyut
terguling-guling. Tubuh-tubuh manusia terpental, tak bisa lagi berjejak dan
berpegang pada apa pun. Nasib mereka tak ubahnya bangkai hewan yang
terapung-apung.
Dua puluh dua jam berlalu. Badai kian menyusut tapi hujan tetap
saja meruah-ruah. Belum puas menelan habis seluruh rumah, sekolah, kampus, kantor,
pabrik, restoran, supermarket, mal, hotel, air bah masih berusaha memanjati
gedung-gedung pencakar langit. Sedangkan dari kejauhan, entah dari mana
asalnya, sebuah bahtera raksasa muncul, mengapung di bawah terpaan hujan dengan
sesosok manusia sebagai satu-satunya penumpang. Sosok itulah yang sepuluh tahun
lalu pernah menemui Hendrianto dengan penampakan rupa dan wujud yang berbeda.
Share this