Chairil Anwar: Berayun di antara Patriotisme dan Religiositas - Tjahjono Widarmanto

@kontributor 11/05/2023

Chairil Anwar: Berayun di antara Patriotisme dan Religiositas

Tjahjono Widarmanto



Tak ada puisi-puisi penyair Indonesia yang paling banyak dihafal dan dibaca oleh khalayak, selain puisi-puisi Chairil Anwar. Paling tidak setiap anak sekolahan di sekolah menengah pasti pernah menghafal puisi Aku, atau di setiap tujuhbelasan akan membaca dengan lantang puisi Kerawang-Bekasi. Larik-larik puisi Chairil Anwar pun telah abadi sebagai sebuah jargon, pepatah atau kata-kata mutiara. Misalnya, “Aku mau hidup seribu tahun lagi”, “hidup hanya menunda kekalahan”, “sekali berarti sudah itu mati”, “Ayo, Bung Karno kasih tangan”, “kami Cuma tulang-tulang berserakan”, dan lain-lain.

Pengutipan tersebut larik-larik tersebut yang tidak disertai dengan koteks yang utuh atas pemahaman dan pembacaan sajak-sajaknya secara totalitas, tentu saja tidak bisa dianggap sebagai pembuktian bahwa manusia Indonesia atau masyarakat terpelajar Indonesia akrab dengan jagat puisi. Apalagi menunjukkan pembuktian bahwa masyarakat kita memiliki daya apresiasi yang tinggi terhadap sastranya. Tapi, setidaknya pengutipan-pengutipan itu menunjukkan bahwa sajak-sajak Chairil telah menjadi milik bersama, menjadi warisan bersama.

            Kebanyakan orang mengenal Chairil lewat sajaknya yang mewartakan sifat vitalitas hidup, revolusioner, ekspresif, individualistis dan liar tak gampang tunduk. Yang terwakili dalam sajak AKU (yang pasti dikenal oleh semua orang yang pernah makan sekolahan), berikut ini:

 

AKU

 

Kalau sampai waktuku

‘ku mau tak seorang ‘ kan merayu

Tidak juga kau

 

Tak perlu sedu sedan itu

 

Aku ini binatang jalang

Dari kumpulannya terbuang

 

Biar peluru menembus kulitku

Aku tetap meradang menerjang

 

Luka dan bisa kubawa berlari

Berlari

Hingga hilang pedih peri

 

Dan aku akan lebih tidak perduli

 

Aku mau hidup seribu tahun lagi

 

Maret 1943.

 

           Sungguhpun demikian, tak semua estetika puisi Chairil menyuarakan vitalitas hidup semacam itu. Puisi-puisi Chairilnya juga mempersoalkan persoalan religiositas, kematian dan rindu pada Tuhannya. Perhatikan puisi berikut:

 

NISAN

                        untuk neneknda

 

Bukan kematian benar menusuk kalbu

Keridlaanmu menerima segala tiba

Tak kutahu setinggi itu atas debu

dan duka maha tuan bertahta.

 

Oktober, 1942

 

          Chairil juga menulis puisi-puisi religius. Tentu saja ekspresi religiositas Chairil berbeda dengan penyair lain, karena tafsir Chairil terhadap agama pun boleh jadi berbeda, bahkan sampai pada titik menyoal eksistensi Tuhan. Perhatikan sajak di bawah ini:

 

DI MESJID

 

Kuseru saja Dia

Sehingga datang juga

 

Kami pun bermuka-muka

 

Seterusnya Ia menyala-nyala dalam dada.

Segala daya memadamkannya

 

Bersimpuh peluh diri yang tak bisa diperkuda

 

Ini ruang

Gelanggang kami berperang

 

Binasa-membinasa

Satu menista lain gila.

 

2 Mei 1943

           

Di puisinya yang lain, yang dipersembahkannya kepada kawannya yang disebutnya ‘kepada nasrani sejati’, kekuatan religius tersebut amat kuat. Sebuah puisi yang penuh penghayatan yang ditulis sebagai rasa empati atas sikap religiositas kawannya yang seorang pemeluk nasrani.

ISA

            kepada nasrani sejati

Itu tubuh

Mengucur darah

Mengucur darah

 

Rubuh

Patah

 

Mendampar tanya: aku salah?

 

kulihat Tubuh mengucur darah

aku berkaca dalam darah

 

terbayang terang dimata masa

bertukar rupa ini segara

 

mengatup luka

 

aku bersuka

 

itu Tubuh

mengucur darah

mengucur darah

 

12 November 1943

 

          Seorang sastrawan tak bisa dipisahkan dari milliu atau persoalan sosial di sekelilingnya. Chairil tumbuh di zaman yang penuh pergolakan dan dinamika revolusi. Tak mengherankan, Puisi-puisinya banyak yang sarat menyimpan semangat patriotisme dan revolusi. Mari kita simak sajak berikut:

 

PERSETUJUAN DENGAN BUNG KARNO

 

Ayo! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji

Aku sudah cukup lama dengar bicaramu, dipanggang

atas apimu, digarami oleh lautmu

 

Dari mulai tgl 17 Agustus 1945

Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu

Aku sekarang api aku sekarang laut

 

Bung Karno! Kau dan aku satu zat satu urat

Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar

Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh

 

1948

 

      Demikian juga puisi Chairil yang berjudul Diponegoro dan Krawang Bekasi -walau berbau saduran- menampilkan ekspresi patriotisme dan heroisme kebangsaan yang kuat.

 

KRAWANG-BEKASI

 

Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi

tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi

 

Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,

terbayang kami maju dan berdegup hati?

 

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi

Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.

Kenang, kenanglah kami

 

Kami sudah coba apa yang kami bisa

Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa

Kami sudah beri kami punya jiwa

Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan

arti 4-5 ribu nyawa

 

Kami cuma tulang-tulang berserakan

Tapi adalah kepunyaanmu

Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

 

Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan, harapan

atau tidak untuk apa-apa,

kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata

kaulah sekarang yang berkata.

 

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi

Jika dada rasa hampa dan jam didinding yang berdetak

 

Kenang, kenanglah kami

Teruskan, teruskan jiwa kam

 

Menjaga Bung Karno

Menjaga Bung Hatta

Menjaga Bung Syahrir

 

Kami sekarang mayat

Berilah kami arti

Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

 

Kenang, kenanglah kami

Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu

Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi

 

1948

           

       Akhirnya, membacai puisi-puisi Chairil, kita akan menemukan dua estetika yang tampak kontradiktif. Estetika pertama adalah estetika yang penuh ekspresi revolusioner, semangat jiwa yang membuncah-buncah, spontan, mengagungkan vitalitas dan heroik. Di sisi lain, Chairil juga menulis dengan estetika religius yang kontemplatif, lembut, dan menyentuh. *** 

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »