Di Depan Galeri,
Di Jalan Braga
Hasan Aspahani
Apabila Tanto, sang ketua OSIS itu bilang oke, mau jadi ketua panitia, maka selebihnya Arna dan Suri, dua seksi sibuk yang paling bisa diandalkan, yang mengatur segalanya. Termasuk memastikan reuni di sekolah sebelah itu dilakukan pada waktu yang sama. Jika itu tak terjadi, semua rencana mereka menyelesaikan dan melepas beban masa lalu itu buyar.
“Makasih, ya, To…” Mereka menyalami dan mengucapkan terima kasih pada
Tanto, setelah seluruh rangkaian acara reuni itu selesai. Tanto menjawab dengan
ucapan yang sama hangat dan tulusnya, memeluk teman-teman SMA itu satu per
satu. Tak ada yang tahu, seluruh biaya reuni itu didanai oleh Eva, termasuk
biaya hotel untuk beberapa teman yang menginap di Bandung. Tak ada yang tahu,
Eva meminta itu dirahasiakan, ketika ia mengusulkan reuni pada Arna dan Suri.
“Sekolah sebelah gimana? Jadi reunian juga?” tanya Eva, di grup yang
hanya berisi mereka bertiga. “Jadi. Anak-anak cowoknya lanjut touring dan
menginap di Jayagiri,” kata Arna. Reza tak mungkin tak ikut, kalau tak mau
disumpahi seumur hidup oleh teman-temannya anak-anak cowok sekolah sebelah,
yang kini sebagian besar telah jadi pejabat-pejabat dan pengusaha penting. Itu
artinya ada waktu seharian bagi Eva untuk tidak bersama Reza. Waktu yang cukup
untuk rencana mereka.
Bagian penting lainnya dari rencana mereka itu adalah memastikan Rian
datang. Rian yang tak pernah datang reuni setelah mereka lulus tiga puluh tahun
yang lalu. Suri yang bertugas memastikan hal itu. Rian yang menetap di Paris
dan bahkan mungkin sudah jadi warga negara Prancis, akan berada di Bandung
dalam beberapa minggu, untuk satu pameran besar dan persiapan sebuah galeri
seni baru di sebuah bangunan lama di Jalan Braga.
Kalian mungkin bertanya, kalau hanya untuk mempertemukan Rian dan Eva,
kenapa harus serumit itu caranya? Apa mau dikata, cerita ini memang telah rumit
sejak awal. Kerumitan itulah yang tak pernah terselesaikan, menjadi beban bagi
Eva, dan kini saatnya ia harus melepaskannya. Eva adalah bintang di sekolah.
Pintar, pandai menari, bersuara bagus, berbagai seni peran, dan siapa yang tahu
keluarga besarnya? Pemilik sejumlah aset properti, jaringan hotel, dan
perkebunan di Jawa Barat. Rian adalah bintang yang lain. Sama pintarnya dengan
Eva, bakat melukis dan menulis sama besarnya ada dalam dirinya. Ayahnya pendiri
dan pemilik sekolah dan perguruan tinggi swasta di Bandung. Ia diharapkan kelak
menjadi penerus aset pendidikan dengan belasan ribu mahasiswa itu. Harapan yang
tampaknya tak menarik baginya. Ketika Eva dan Rian berpacaran seluruh siswa di
sekolah mereka seperti merayakan pertunangan putri dan pangeran. Semua
merasakan sudah sepantasnya mereka berpasangan.
Sementara itu, di sekolah sebelah, yang terpisah sekeping tembok beton,
ada Reza, bintang lain, pangeran lain. Reza teman Tanto satu SMP. Reza yang
juga pintar, yang ketika dia jadi model sampul majalah remaja satu hari
majalahnya ludes, tak tampak lagi di toko dan di lapak-lapak koran di Bandung.
Ia pandai bermain gitar dan punya band dengan beberapa temannya. Ayahnya
memberinya sebuah studio untuk berlatih, tapi tak pernah berharap dia jadi
musisi profesional. Ia diharapkan meneruskan kerajaan bisnis ayahnya, yang
membentang di seluruh tanah Parahyangan. Ayahnya kontraktor proyek-proyek besar
pembangunan infrastruktur di Jawa Barat.
Ketika mereka duduk di kelas dua, Eva dan Reza terpilih menjadi Mojang
dan Jajaka Jawa Barat. Dari sinilah kerumitan itu bermula. Reza jatuh cinta
pada Eva. Dia melakukan apa saja, melimpahi perhatian dan kebaikan yang
menyudutkan dan menjebak Eva.
Rian tahu benar kekuatan cintanya pada Eva dan percaya pada kesetian
Eva. Sampai tangan keluarga Eva dan Reza terulur mencampuri urusan mereka. Hingga
mereka tamat SMA, Eva dan Rian seperti menjalani hubungan gelap. Bertemu pun
kucing-kucingan. Eva dan Rian sesungguhnya
tak pernah berpisah. Tapi mereka tak pernah juga bersatu. Reza terlalu kuat,
terlalu baik, dan tak pernah ada cukup alasan bagi Eva untuk menolak dan
menghindar dari semua rencana baik dua keluarga besar, yang hendak menyatukan
mereka, menyatukan dua keluarga: keluarganya dan keluarga Reza. Rian dan Eva
tak pernah membayangkan punya rencana untuk lari dari takdir yang tak memihak
mereka itu. Mereka terlalu baik untuk pemberontakan seperti itu. Rian hanya
pergi menyingkir. Ia sekolah seni di Prancis. Dan membangun reputasi sebagai
perupa global di sana.
Cinta yang tumbuh sekuat itu, yang tak pernah tercerabut akar-akarnya,
yang terus tumbuh meskipun telah berkali-kali berusaha dibunuh oleh Rian,
dengan berbagai cara, oleh beberapa perempuan lain, akhirnya ia biarkan saja
menyemak, merimbun, meliar. Hal yang sama terjadi pada Eva. Di hari akhir
pertemuan mereka, di Jalan Braga, Eva minta agar Rian memutuskannya. Tapi Rian
tidak mau. Rian tidak bisa. Dia pergi dan Eva menangis di bangku restoran
klasik di bangunan warisan era kolonial itu. Eva tak melihat, Rian juga
meneteskan air mata, sambil melangkah pergi dengan motornya. Mereka tak pernah
lagi berhubungan setelah itu.
“Apa kabar, Seniman?” kata Eva menyapa Rian. Rian tersenyum hangat dan
Eva melihat cahaya rindu memancar terang di matanya. Eva nyaris tak tahan
melihatnya. Seberat dan serapih itukah kamu menahan dan menyimpan perasaan yang
dulu itu, Rian.
“Hai, Eva. Baik. Reza gimana?” tanya Rian. Eva tahu dengan pertanyaan
itu, Rian ingin mengatakan bahwa dia masih terluka, luka dengan perih yang
mungkin masih sama dengan apa yang ia rasakan 30 tahun lalu. Ketika Eva
menjelaskan bahwa dia tak bisa mengelak dari apa yang dirancang oleh
keluarganya dan keluarga Reza. Rian tak bisa melakukan apa-apa dan tak bisa
melepaskan Eva, dia tak bisa menghentikan cintanya pada Eva. Apa pun yang
terjadi pada kekasihnya itu.
Percakapan itu seperti basa-basi dua sahabat lama di tengah riuh
kegembiraan reuni angkatan, setelah tiga dekade terpisah. Tempat reuni itu,
sebuah lapangan luas dengan panggung terbuka yang teduh tersedia bagi mereka
berkat kebaikan salah seorang alumni yang jadi bupati di wilayah itu. Ada
banyak hiburan, band yang memainkan lagu-lagu awal 90-an. Eva dan Rian yang tak
pernah berjauhan di sepanjang reuni itu saling lirik dan senyum ketika lagu 2D
dibawakan. Haruskah kuteteskan air mata di pipi, harusnya kucurahkan segala
isi di hati. Lagu yang sering mereka rekues untuk diputar di radio Oz.
“Nanti mau ke Green Gallery ya, Rian?”
“Kamu nggak dikawal?” Rian seperti mengingatkan bagaimana bulan-bulan
terakhir sebelum lulus, Eva ke mana-mana diantar dan dikawal supir. Begitulah
Reza dan keluarga mengejawantahkan perhatian dan cinta pada Eva. Dan membangun
tembok di sekeliling Eva dari jangkauan Rian.
“Nggak. Reza sama teman-temannya di Jayagiri sampai besok pagi.” Eva
seperti sengaja memberi isyarat pada Rian, bahwa dia ingin memanfaatkan waktu
tanpa Reza itu bersamanya.
Tentang galeri itu, bagaimana Eva bisa melupakannya? Di situlah dulu
mereka berpisah, dan Rian meninggalkannya menangis sendiri di meja, dengan kopi
dan kentang goreng yang tak sempat dia sentuh.
Setelah tutup beberapa tahun, bangunan di Jalan Braga itu hendak dibuka
menjadi galeri dan restoran. Tak banyak yang berubah pada interiornya.
Konsepnya memadukan yang klasik dan yang kontemporer. Banyak perupa muda
memajang karya tiap kali pameran digelar pameran di sana. Green Gallery
sesungguhnya belum resmi dibuka.
Tanto, Arna, dan Suri mengantar Eva dan Rian ke Braga, ke Green Gallery.
Setelah tiga sahabat itu menjauh, bergabung dengan acara lain dengan
teman-teman lain, dengan geng masing-masing, Eva dan Rian segera terlempar ke
masa lalu. Eva seperti menjelma menjadi remaja yang bebas, 30 tahun lalu,
sebelum Reza masuk ke dalam kehidupannya. Ia menggandeng erat lengan Rian.
Menuntunya duduk di kursi, kira-kira persis tempat seperti dulu terakhir mereka
berpisah. Eva memasan kopi dan kentang, persis seperti dulu yang dipesan Rian,
apa yang tak sempat disentuh oleh Rian, hingga Rian pergi. Sejurus mereka
terdiam. Tapi Rian melihat senyum di wajah Eva begitu penuh. Eva menikmati
benar momen pertemuan itu.
“Aku ditawari mengelola galeri ini, jadi kurator tetap. Kawan-kawan
seniman di sini pengen banget aku menerima tawaran itu. Gimana menurutmu?”
tanya Rian. Rian tak berubah. Ia masih seperti Rian yang dahulu. Dia bukan
orang yang peragu, dia tahu benar apa yang dia mau, dia selalu matang memutuskan
ketika ambil satu langkah penting dalam hidupnya. Tapi dia selalu melihatkan
Eva, dengan bertanya, meminta pendapatnya.
“Terima aja, Rian. Bagus, dong. Balik aja ke sini, kamu bisa jadi
penghubung teman-teman di sini dan buka jalan bagi mereka ke jejaringmu di
Eropa.”
Mereka terdiam lagi. Kemauan yang mereka perlukan. Senyap yang menerjemahkan semua kenangan
lama. “Minum, dong. Nanti tak sempat lagi….” kata Eva. Rian tersenyum dan
meminumnya. Juga mengambil sepotong kentang, mencocolnya ke saos tomat dan
mengunyahnya.
Mereka bertatapan. Seperti saling menerjemahkan dan menumpahkan apa yang
terjadi selama 30 tahun memisahkan mereka. “Rian, kali ini aku benar-benar
ingin kamu memenuhi permintaanku. Katakan kita putus ya… dan beri tahu aku kamu
mencintai perempuan lain.”
“Buat apa, Eva? Kita sudah berpisah selama ini dan sejauh ini…”
“Tapi kamu pergi dengan luka, dan itu karena aku. Aku tak bisa
menanggung rasa bersalahku, Rian….”
“Saya kira itu setimpal kan? Kita sama-sama terluka… Aku tak bisa
berhenti mencintaimu. Sejak dulu, kamu tahu itu. Apapun yang terjadi padamu.
Aku hanya bisa mencintaimu. Ini bukan cinta monyet anak SMA. Aku bukan orang
yang seperti itu. Aku juga ingin bisa akhirnya melupakan cintaku itu, tapi nyatanya tidak, Eva.”
“Katakan aja kita putus. Katakan aja kami tak lagi mencintaiku.’
“Kamu menyuruh aku berbohong?”
“Berbohong aja, Rian. Bohongi saja aku….”
“Tapi aku tak bisa membohongi diriku sendiri, Eva. Aku mencintaimu. Itu
sudah cukup menyakitiku, jangan suruh aku mengingkari itu karena hanya akan
menambah sakit yang kuderita, Eva.”
Eva menangis. Rian menyeka air matanya. Ia melakukan itu dengan tulus.
Dengan cinta yang mengalir dan Eva merasakannya, tak berbeda seperti apa yang
ia rasakan dulu. Rian tidak berdusta, dia memang tak pernah berubah.
Eva memaksakan diri untuk tersenyum ketika mereka berpisah. Kentang itu
mereka habiskan, dan kopi itu tandas diteguk Rian. Tapi ada yang tak bisa
disampaikan oleh Eva. Beban masa lalu yang hendak ia sampaikan itu tak bisa
dilepaskan oleh Eva. Di kursi panjang di depan galeri, Eva dan Rian menunggu.
Tanto, Arna, dan Suri akan menjemput mereka. Sudah 15 menit mereka menunggu. Eva
baru sadar tas dan ponselnya tertinggal di mobil Tanto. Sementara Rian tak tahu
nomor mereka. Eva gelisah. Dia ingin lekas-lekas menemui Reza. Dia ingin
menyusul Reza ke Jayagiri. Apa yang semula tak ia rencanakan. Dia merasa tak
tahan dan tersiksa berlama-lama dengan Rian. Dia tak menyalahkan Rian. Rian tak
salah dengan kekuatan cintanya itu. Dia juga tak mau menyalahkan dirinya
sendiri. Tapi itulah yang memenuhi dadanya, rasa bersalah. Dia merasa egoistis
sekali, meminta sesuatu yang tak mungkin dipenuhi Rian, meminta Rian melepaskan
beban rasa bersalah di hatinya.
Untungnya, seorang perempuan singgah di depan galeri dan mengenal Rian.
Rian tadi sudah memberi tahu Eva bahwa dia juga ingin bertemu seseorang di
situ. Dia diperkenalkan oleh Rian kepada Eva sebagai seorang art dealer Indonesia
di pasar seni dunia. Dia bekerja sama dengan pemilik Green Gallery, dan sangat
ingin Rian juga membantu galeri itu. Rian dan si perempuan dengan wangi yang
memenuhi sepanjang jalan Braga itu kembali masuk ke galeri.
Eva tiba-tiba merasakan Jalan Braga kosong. Dia perlahan-lahan merasakan kesendirian, hanya dia yang tegak mematung di situ, di depan galeri itu. Eva tak sadar ketika Tanto, Arna, dan Suri datang menjemputnya.
Jakarta, 18
Oktober 2023.