Emi Suy
Hidup
Terbuat dari Perkara-Perkara yang Nyaris Puitis
: Pembacaan atas Perkara-Perkara Nyaris Puitis Hilmi Faiq
Membicarakan buku puisi Hilmi Faiq “Perkara-Perkara
Nyaris Puitis” (Gramedia Pustaka Utama, 2023) cetakan pertama -- dengan tampilan
sampul unik berwarna hijau toska dan gambar bermacam benda tenggelam dalam
kaleng mirip sarden -- ini sungguh menarik dan menggugah. Buku ini memuat
sajak-sajak tanpa disertai nomor urut dan keterangan letak halaman, bisa jadi ini
strategi penulis dan penerbit agar supaya pembaca dibuatnya makin penasaran.
Buku ini juga hanya menyertakan judul dan gambar di sampul (bagian depan) tanpa
disertai nama penulis juga keterangan genre buku (puisi) yang biasa terletak di
pojok kanan bawah halaman belakang buku, tepatnya di bawah barcode.
Tapi saya tidak akan
melakukan penafsiran atas tampilan visual (fisik) buku Hilmi Faiq yang unik
tersebut menggunakan teori semiotik, misalnya. Saya lebih tertarik untuk
menilik lebih jauh beberapa puisi (batin bukunya) di dalamnya dengan
interpretasi bebas sebagai konsekuensi pembacaan yang kreatif. Kita tahu bahwa
menulis sajak atau puisi adalah suatu kegiatan kreatif juga sebuah
upaya memuliakan kehidupan, mengatasi rasa tidak baik-baik saja -- demi menjaga
kewarasan dan keseimbangan dalam hidup. Kata-kata memang bisa hilang, tapi tulisan
akan dikenang dan dibaca ulang serta bisa memberikan pelajaran tentang
kepekaan, empati dan inspirasi pada semua orang.
Puisi ialah milik semua
orang, seperti udara bersih atau pemandangan langit malam, meski bagi setiap
orang puisi dirasakan dan diterima (maknanya) dengan cara berbeda-beda. Termasuk
perkara-perkara dalam hidup juga milik masing-masing orang dengan perbedaan penerimaannya.
Tidak semua perkara dalam hidup kita maknai dengan puitis, meski nyaris. Mungkin
hanya penyair atau penikmat puisi sejati yang dapat sampai pada momen puitik
itu, tetapi orang awam pun bukan tidak mungkin sampai pada penghayatan yang
puitis, mungkin bisa dikatakan nyaris, artinya tidak benar-benar tepat.
Menurut saya menulis puisi
ialah salah satu upaya memeluk diri sendiri -- memaknai proses menulis puisi sebagai
upaya memeluk “luka” sendiri untuk menyembuhkannya. Syukur-syukur puisi dapat
memeluk atau paling tidak dapat menyentuh ruang batin orang-orang yang
membacanya -- mendengarkan suara-suara yang diungkapkan oleh penulisnya
kemudian tercerahkan, itu sebuah harapan yang besar. Saya kira puisi-puisi
Hilmi Faiq telah melakukan tugas puisi dengan baik, yaitu menyentuh batin
pembacanya, setidaknya bagi saya sendiri.
Puisi adalah bentuk seni
yang telah ada selama berabad-abad. Bahwa puisi begitu penting dalam kehidupan
ini, itu jelas. Betapa banyak orang yang mengaku setelah membaca puisi Jokpin
merasa ditumbuhkan kembali harapan hidupnya yang sebelumnya porak poranda. Puisi
juga dapat meningkatkan empati dan pengertian terhadap orang lain. Puisi
memiliki kekuatan untuk menyentuh hati dan pikiran kita, mempunyai kelebihan
sebagai media untuk mengekspresikan diri dengan cara yang sehat dan bisa
membuat kita seolah katarsis -- mengalami suatu pencerahan.
Perkara-perkara dalam
hidup seringkali kita alami, kita jumpai saban hari, ia melintas, bahkan
singgah dalam hidup kita. Kita berada di tengah arus kehidupan yang bukan hanya
kadang-kadang, tetapi seringkali tidak baik-baik saja. Cuaca iklim politik saat
ini relevan sekali dengan sajak-sajak dalam buku “Perkara-Perkara Nyaris Puitis”,
dengan kalimat pembuka semacam BAB: Tuhan Tak Mati dan Yang Dekat-Dekat.
Katanya, setelah ini kita tahu hidup perlu ditertawakan bersama, sebab sudah
lama dia menertawakan kita.
Segala kisah di lini
kehidupan disajikan dengan sangat menarik dan saya kerap merasa "makjleb"
dihunjami tusuk-tusukan tepat di ceruk hati oleh
sajak-sajak Hilmi Faiq, terutama melalui sajaknya yang berjudul Negeri
Jerami.
Hilmi Faiq telah berhasil menggunakan puisi sebagai media untuk menyampaikan kritikan terhadap permasalahan sosial yang terjadi antara pemerintahan dengan masyarakat (negara dan rakyat). Mengenai kenyataan-kenyataan, baik tentang rasa pahit, manis, getir, asin, asem, bahkan pedas, tidak hanya dijumpai di rumah makan atau di warung Tegal, namun tidak perlu jauh mencarinya sebab saban hari kita menyaksikannya dan sebagian kita lalui tanpa sadar. Seperti tampak dalam sajak berjudul Nyamuk.
Nyamuk
Seekor nyamuk hinggap di
paha yang terlupa
: kau biarkan terbuka
menggoda.
Sudah lama kiranya dia di
sana,
Sampai kembung minta
ampun.
Sekonyong-konyong kau
sambar buku
: berkhotbah tentang
kebaikan manusia.
Buk! Lalu tinggal tersisa
merah saga.
Buku tentang kebaikan
manusia
kau ajak sekongkol untuk
membunuh.
2020
Betapa sederhana sajak Nyamuk
di atas, kita seperti baru tersadar bahwa di hadapan seekor nyamuk kita
hanyalah manusia yang mudah lalai dan kejam. Kita sering menggunakan buku --
yang bisa dimaknai sebagai kitab atau apa saja yang mengajarkan kebaikan dengan
ganjaran pahala, misalnya – untuk mengajari orang lain tentang keharusan ini
dan itu, tetapi dalam praktiknya kita justru menggunakannya untuk memukul
seekor nyamuk yang lapar dan haus, nyamuk yang tengah meminum darah kita untuk
meredakan derita lapar-hausnya, seakan kita menolak untuk mengamalkan kebaikan
alih-alih lebih suka mengkhotbahkannya kepada orang lain.
Hal yang sama berlaku
dalam kehidupan sosial kita, betapa sering kita mendengar dan melihat orang
mengkhotbahkan agar kita bersikap adil dan jujur, misalnya, ‘jangan korupsi
karena itu kejahatan’ (kata pejabat A), tetapi faktanya yang menganjurkannya
malah suka berbohong dan koruptif.
Kondisi ketidakpedulian dan ketidakpekaan sosial yang secara faktual terjadi di sekitar kita juga tampak dalam puisi berjudul Pemancing Lapar, di sana penyair menggunakan metafor “buah segar” untuk menggambarkannya. Ketidakpedulian sosial itu terlihat di tiga baris penghabisan sajak Pemancing Lapar:
…
Tetapi itu tabiatmu sejak
dulu
: Berbagi harum.
Tak pernah menyuguhkan buah ranum.
2022
Membaca puisi Hilmi Faiq
membuat saya seperti tengah menonton film pendek tentang ketimpangan sosial,
menjumpai hal-hal yang mengenaskan, terjadi di sekitar kita. Seperti dalam
sajak yang lain, gambaran seorang remaja yang lusuh, rambut gimbal,
berhari-hari tidak mandi, mungkin aroma itulah yang mengundang lalat silih
berganti menghinggapi tubuhnya. Ia tak lagi khawatir dengan lapar, sebab ia bisa
tidur pulas dan tenang, meski saya mencurigai si Bana menghisap aroma aibon
sebelum terlelap. Tak peduli panas dan hujan si Bana tetap tenang.
Puisi-puisi Hilmi Faiq
juga banyak yang menyinggung soal peran negara dan pemerintah yang absen.
Seperti terjadi di negara kita yang para elit politiknya sudah duduk lupa
berdiri, yang para aparatur negaranya korupsi dan tidak amanah. Cerita ini
saya temukan dalam sajak Di Bawah Lindungan Tuhan, Tentang Seorang
Polisi Ibukota, Jaga Jarak, dan Hikayat Seorang Wakil Rakyat.
Sekeras-kerasnya batu
gunung, mungkin lebih keras hidup ini yang saban hari banyak kali dinamika
hidup sosial dan politik yang acap menggembleng, membentur-benturkan hidup kita
yang akan melahirkan banyak luka mengendap dalam perasaan-perasaan dan pikiran
kita. Bagaimana pun kita tetap berusaha menjaga kewarasan di segala cuaca ini.
Mungkin sebuah doa menjadi penguat -- menjadi penyemangat bahwa apa pun hidup
ini mesti berlanjut, hal ini saya jumpai di sajak Kepala Batu. Sebuah doa
untuk menguatkan diri di tengah iklim politik yang tidak baik-baik saja.
Suara yang hilang, jeritan
yang lama-lama tak terdengar dan tak lagi didengar, namun terus bergerak --
kendati babak belur, tapi tidak sendirian digencet aturan-aturan yang kian mencekik
-- ia terus berjuang, tak peduli tubuhnya yang menyala akan dipadam oleh
pengendali kuasa dalam sebuah permainan. Cerita ini saya temukan pada sajak Di
Negeri Saya.
Ada kalanya
perasaan-perasaan gelisah -- misalnya, saat melihat ketimpangan sosial -- itu
muncul, tapi tak jarang sebagian kita lebih suka bereaksi apa adanya atas
realita sehari-hari, malah sebagian lain memilih sikap cuek daripada empati. Menjaga
nyala “kegelisahan etis” itulah yang hendak dilakukan oleh puisi, dan Hilmi
Faiq berupaya melakukannya.
Alangkah lebih indah jika
“pesan” sajak yang dimaksud itu tak sebatas (pen-)citraan atau kemunafikan, tapi
suatu kebenaran yang dinarasikan dengan jujur dan tepat, seperti kejadian-kejadian
yang saya temukan di dalam buku kumpulan puisi Hilmi Faiq ini. Buku puisi yang
memuat potret realita sosial yang dikemas dalam sajak-sajak yang setelah kita
baca ada ledakan di penghujung kata, bukan ledakan emosi, namun ledakan tawa
dan ledakan inspirasi.
Kiranya hanya hati yang
jernih dan pikiran yang bersih yang mampu membaca potret realita dan
menuangkannya ke dalam sajak-sajak humor yang menggelitik, mencerahkan dan
secara langsung dapat memengaruhi -- mengubah paradigma dan perspektif kita.
Buku puisi tanpa daftar isi dan kata pengantar ini menarik bahkan telah membawa
saya pada arus kegelisahan penulisnya. Yang mahal dari buku ini adalah cara
pandang dan gagasan yang dituliskan begitu asik, dengan diksi-diksi yang
bertenaga, ringan tapi nendang, konyol dan lucu tanpa melupakan pesan
kritik sosial yang ingin disampaikan pada pembaca.
Jika puisi-puisi itu
terluka, saya ingin menjahitnya dengan ulasan yang solutif. Namun, ada juga
saya menemukan sajak yang belum selesai, seperti masih menyisakan ambigu dan
tanda tanya besar, salah satunya sajak yang berjudul Pneumonia.
Pneumonia
Dadaku terdiri dari senin
dan kamis
Pneumonia adalah infeksi
atau peradangan paru-paru, dadanya yang terkena radang terdiri dari senin dan
kamis? Apakah nafasnya yang senin kamis ataukah keriuhan di dadanya yang berlangsung
dari senin sampai kamis? Ini ambigu. Kalau napasnya yang senin kamis pastilah
yang mengidap pneunomina sudah meninggal dunia. Jadi saya gagal mencerna
-- meresapi sajak tersebut.
Buku “Perkara-Perkara
Nyaris Puitis” layak dimiliki dan dibaca, mengapa? Membaca buku ini kita tak
perlu mengernyitkan dahi, bahkan tidak akan sakit kepala karena diksi-diksinya
mengalir. Ada yang dikemas dengan humor (humor gelap), walaupun kerap menemukan
kata-kata yang menendang atau menampar kita atas rekam kejadian yang ada di
dalamnya.
Di halaman 27, sajak yang
berjudul Beda Keyakinan telah digubah Mas Ananda Sukarlan menjadi
partitur -- not balok. Puisi yang menceritakan tentang perjumpaan dengan
seseorang yang menawan yang menyebabkan terjangkitnya korona.
Dari semua sajak, ada sajak
yang paling saya suka. Saya kutipkan utuh di sini, sajak yang berjudul Kaleng
Khong Guan:
Kaleng Khong Guan
: Untuk Jokpin
Tak ada yang lebih tabah
daripada kaleng Khong Guan
Dia tetap senang diisi
kerupuk, kacang
Peyek maupun rengginang
2021
Mengingatkan pada buku
Jokpin yang berjudul “Perjamuan Khong Guan”, sajak Kaleng Khong Guan
mengangkat realita yang terjadi di bulan Lebaran. Bahwa saat lebaran kerap
terjadi banyak penipuan yang halal, yang tidak mengandung unsur pidana, yakni
penipuan yang legal karena hampir sudah menjadi tradisi di setiap rumah yang
anggota keluarganya merayakan lebaran dan menunggu sungkeman tetangga atau
sanak saudara. Kaleng Khong Guan yang tersaji adalah kaleng refil dari tahun ke
tahun dengan isi bervariasi sesuai selera -- bukanlah isi biskuit seperti asli
pada umumnya dan paling atas ada wafer yang kerap jadi rebutan. Tapi kaleng
berisi kerupuk, kacang, peyek dan rengginang. Sajak yang menggelitik,
mengandung humor tapi serius ini sejatinya di dalamnya menyimpan makna yang
lain, bahwa saat lebaran bukanlah ditandai dengan kemewahan baju baru, makanan
mewah, dan segala sesuatu yang glamor. Lebaran ditandai oleh kemenangan kembali
pada fitrah-Nya -- setelah sebulan penuh kita berpuasa, kita
merayakan dengan kesederhanaan dengan kemenangan sejati, kebersihan hati dan
jiwa. Di sisi lain, kumpulan sajak Khong Guan milik Jokpin dimaksudkan
mengangkat perihal pentingnya toleransi antar umat beragama, terutama antar
manusia.
Bait-bait dalam sajak-sajak
Hilmi Faiq tidak hanya membuat saya tenggelam di kedalaman makna namun turut
hanyut oleh derasnya arus suasana batin penulisnya. Dari berbagai sudut pandang
bahkan dengan kacamata seorang jurnalis Hilmi Faiq telah berhasil mengungkapkan
suara-suara batin, kegelisahan dan menerjemahkan lanskap kehidupan kota lewat
sajak-sajak yang asik untuk dibaca.
Hilmi Faiq mampu
menjadikan sajak sebagai ruang penghubung yang mempertemukan suara-suara batin
-- kegelisahan penulis dengan realita yang dipotretnya melalui sebuah proses
kristalisasi, kontemplasi jiwa dan mengungkapkan kembali peristiwa nyata itu dengan
begitu apik dan estetik. Puisi itu sendiri sebagai ruang sunyi -- ruang yang
sarat dengan perenungan dan permenungan. Puisi sebagai cermin, sebagai mozaik,
sebagai instrumen, sebagai puzzle, sebagai alarm, sebagai embun, sebagai sari
pati kehidupan, sebagai jembatan, sebagai jalan sunyi, sebagai arus deras yang
menghayutkan. Puisi sebagai apa yang kita pikirkan dan rasakan, sebagai
kehidupan itu sendiri.
Saya teringat Seno Gumira
Ajidarma yang mengatakan bahwa, "Setiap kali ada orang Indonesia menulis
puisi, kita harus bersyukur, karena kalau toh ia tidak berhasil menyelamatkan
jiwa orang lain, setidaknya ia telah menyelamatkan jiwanya sendiri. Puisi
memang tidak bisa menunda kematian manusia yang sampai kepada akhir hidupnya,
tapi puisi jelas menunda kematian jiwa dalam diri manusia yang masih hidup."
Akhirnya saya jatuh hati berkali-kali dan bertubi-tubi pada buku “Perkara-Perkara Nyaris Puitis”, mengapa? Sebab hidup saya juga puitis -- kiranya perlu dan penting dirayakan dengan membaca buku puisi ini. Selamat menunaikan perkara-perkara yang puitis. Salam.
Jakarta,
31 Oktober 2023