Mengolah Fakta dan Data secara Kreatif menjadi Puitis - Riri Satria

@kontributor 11/26/2023

MENGOLAH FAKTA DAN DATA SECARA KREATIF MENJADI PUITIS:

Sebuah Catatan Kuratorial untuk Antologi Puisi Menolak Korupsi 9, Mencari Presiden Anti Korupsi

Riri Satria

 


Menulis puisi tematik buat Sebagian penyair memang tidak mudah. Penyair yang terbiasa berpikir bebas tiba-tiba ruang berpikirnya dibatasi oleh sebuah tema tertentu. Ini sudah merupakan persoalan tersendiri. Apalagi jika tema itu merupakan sesuatu yang harus dicermati dengan baik fakta dan datanya, maka semakin lengkaplah tingkat kesulitannya. Bamun ini sekaligus menjadi tantangan dalam menulis puisi tematik seperti ini.

Puisi memang bukanlah laporan jurnalistik yang harus jelas deskripsi kejadian atau fenomenanya. Secara generik, proses penciptaan puisi itu melewati empat tahapan, yaitu (1) observasi, (2) kontemplasi, (3) penyaringan emosi, serta (4) komposisi atau konstruksi. Semuanya dilakukan dengan melibatkan rasa, hati, dan pendalaman batiniah oleh manusia. Itulah yang membuat puisi memiliki daya gugah yang tinggi. Penyair yang baik itu memiliki pengetahuan tentang dunia nyata dan imajinasi atau the knowledge of reality and imagination ketika membuat puisi. Puisi bukanlah sekadar konstruksi bahasa semata, melainkan memberi roh kepada bahasa tersebut melalui realitas dan imajinasi, supaya memiliki daya gugah yang tinggi ketika dibaca.

Saya sepakat dengan pendapat yang mengatakan bahwa yang paling mahal dari seorang penyair itu adalah cara pandang, dan yang paling berat dari seorang penyair itu adalah menulis, yaitu bagaimana mengungkapkan apa yang dipikirkan, apa yang dirasakan, apa yang dilihat, apa yang didengar, dengan kata-kata yang tepat yang puitik dan memiliki daya gugah yang tinggi. Itulah sesungguhnya tugasnya penyair. Sepintas lalu terlihat tugasnya sederhana, tetapi sesungguhnya berat. Intinya bagaimana seorang penyair dituntut mengungkapkan apa yang ingin disampaikan kepada pembaca melalui kata-kata secara tepat, tentu saja maksudnya kata-kata yang puitik, sehingga orang mengerti.

Dengan demikian, ketika seorang penyair ingin menulis puisi dengan tema mencari Presiden Anti Korupsi, dia dihadapkan kepada tantangan awal, yaitu fakta dan data, observasi, serta cara pandang atau perspektif. Buat sebagian penyair, ini tidaklah mudah. Jika mereka gagal menangkap fakta dan data, tidak bagus melakukan observasi, serta tidak memiliki cara pandang yang menarik atau bahkan berbeda dengan orang lain, maka tentu puisi yang dihasilkan hanya klise, walaupun secara estetika bahasa sangat puitik.

Tantangan kedua adalah ketika menuliskan puisi itu sendiri. Tentu saja ini adalah keahlian para penyair, namun sebagian penyair masih memiliki masalah dengan hal ini. Katakanlah mereka berhasil menangkap fakta dan data melalui observasi yang baik, serta cara pandang atau perspektif yang baik pula, namun tidak terlalu bagus dalam mengungkapkan atau menuliskan dengan estetika bahasa yang puitik. Maka yang dihasilkan mirip-mirip dengan naskah pidato yang format penulisannya berbentuk sajak, namun tidak puitik.

Salah satu buku kumpulan puisi tematik yang sangat bagus menurut saya, di mana si penyair mampu melakukan semua proses di atas dengan baik adalah Potret Pembangunan Dalam Puisi karya Rendra yang terbit pada tahun 1980. Puisi-puisi dalam buku tersebut sangat luar biasa, mampu menggabungkan antara fenomena sosial berupa pembangunan ekonomi dengan segala persoalannya ke dalam bahasa yang sangat menggugah, keras dan tegas, ada kemarahan, namun sangat puitik. Menurut saya, tidak mungkin seorang Rendra mampu menulis puisi seperti itu jika tidak berhasil menangkap fakta dan data melalui observasi yang baik, serta membangun cara pandang atau perspektif tersendiri mengenai pembangunan ekonomi, pendidikan, persoalan sosial, dan sebagainya.

Ketika melakukan proses kurasi untuk ratusan puisi yang dikirimkan para penyair untuk antologi Puisi Menolak Korupsi 9, Mencari Presiden Anti Korupsi, saya melakukan dua kali iterasi. Proses iterasi pertama adalah terkait kesesuaian tema, yaitu ‘Mencari Presiden Anti Korupsi’. Ada dua kata-kata kunci di sini, yaitu ‘Presiden Anti Korupsi’ dan ‘Mencari’. Nah, bagaimana penyair melakukan elaborasi kedua kata-kata kunci tersebut. Sebagian penyair mengungkapkan optimis bahwa sosok presiden seperti itu ada, namun sebagian lain penyair mengungkapkan kegelisahan bahkan rasa putus asa bahwa mencari presiden seperti itu adalah hal yang mustahil. Apapun itu, demikianlah cara pandang khas masing-masing penyair. Sah-sah saja bukan?

Kemudian terkait konstruksi puisi, ini tentu tidak hanya sekadar menempelkan kata-kata ‘Presiden Anti Korupsi’ dalam tubuh puisinya. Bahkan dalam beberapa puisi, kata-kata ini seolah dipaksakan untuk ditempelkan, sementara tidak menghasilkan suatu bangun yang utuh atau kohesivitas dengan bagian-bagian lain pada puisinya.

Akhirnya, sebagai orang yang juga berkecimpung di dunia sains dan teknologi, saya menyadari bahwa puisi ini bukanlah sepenuhnya ilmu eksakta yang dapat dijelaskan secara deterministik seperti halnya matematika. Puisi bukanlah sekadar rekayasa kata-kata atau word engineering, juga bukan sekadar bermanis-manis kata seperti word salad. Ada roh di sana dalam wujud rasa yang mampu memberikan daya gugah yang kuat. Kalau sudah berbicara rasa, maka muncul unsur subjektivitas.

Itulah sebabnya menilai puisi tidak dapat dilakukan secara eksak seperti permainan sepak bola atau bulu tangkis di mana skor dapat dihitung secara eksak. Menilai puisi itu mesti dilakukan dengan pendekatan proxy, seperti halnya menilai lomba loncat indah dan senam gimnastik, di mana ada unsur subjektivitas di sana. Itulah sebabnya kurator puisi itu harus beberapa orang supaya terjadi saling koreksi dalam penilaian bersifat proxy tersebut.

Seperti halnya penilaian proxy lainnya, seperti juri menilai lomba loncat indah, senam gimnastik, hasil pertandingan tinju yang tidak KO, selalu ada silang pendapat, bahkan perbedaan pendapat. Untuk itulah catatan kuratorial ini dibuat untuk menjelaskan bagaimana proses yang dilakukan oleh seorang kurator dalam menilai puisi. Harapannya subjektivitas kolektif para kurator akan mendekati objektivitas, namun selalu ada ruang untuk perbedaan pendapat dan perdebatan. Ini adalah hal yang wajar.

Saya mengucapkan selamat kepada para sahabat penyair yang karyanya lolos kurasi untuk buku Antologi Puisi Menolak Korupsi 9: Mencari Presiden Anti Korupsi ini. Semoga apa yang kita lakukan ini memperkuat gerakan moral untuk pemberantasan korupsi di Indonesia. Puisi memang tidak bisa memberantas korupsi. Undang-undang dengan sanksi yang tegas sekalipun tidak membuat takut para koruptor, apalagi puisi. Namun puisi dapat menjadi wahana penggugah untuk menyadarkan masyarakat betapa bahayanya korupsi tersebut dan mengajak untuk tidak melakukannya.

Demikianlah, terima kasih. Satu hati, tolak korupsi.

Bogor, 14 September 2023

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »