Mochamad Bayu
Ari Sasmita
Menonton
Manusia di dalam Kotak
Kaca
Aku dan Amy
membolos kuliah Profesor James, sebuah kecerdasan buatan yang berprofesi
sebagai dosen matakuliah Pengantar Antropologi, hanya untuk pergi ke Museum
Nasional di pinggiran kota. Mereka punya koleksi baru dan ia bisa bergerak.
Tiba-tiba saja suku bangsa yang sempat menjadi penghuni sekitar dua per tiga
daratan di bumi ini tinggal sepasang sehingga harus dipindahkan ke museum untuk
mendapatkan pengawasan lebih ketat. Akan konyol jika dua manusia terakhir dari
suku bangsa itu tiba-tiba gantung diri bersama. Sudah terlalu banyak kepunahan
yang dialami atau dilihat umat manusia, mereka tidak ingin ada lagi yang punah.
Pihak museum menempatkan keduanya di sebuah wadah kaca raksasa, seukuran sebuah
kamar di hotel bintang lima.
Kami
sepakat untuk bertemu di depan pahlawan paling mutakhir negeri ini pada pukul
sembilan pagi. Tapi Amy sudah tiba di tempat perjanjian pada pukul setengah
sembilan pagi. Dia sudah tidak sabar untuk melihat mereka, sepasang manusia
Jawa terakhir itu. Kalau saja tidak insaf akan usianya, dia pasti sudah
meloncat-loncat seperti gadis kecil yang akan diajak ke kebun binatang oleh
kedua orang tuanya.
Ada
sebuah taksi berhenti dan dengan segera membuka pintu. Kami masuk. Kecerdasan Buatan
yang ditanam pada mobil taksi memerintah kami untuk memasukkan koordinat yang
kami tuju. Ada sebuah layar yang menunjukkan peta kota ini. Aku sentuh gambar
museum, kemudian memindai kode bar yang tersedia untuk pembayaran. Setelah
selesai, taksi mulai berjalan. Pelan. Sekitar enam puluh kilometer per jam.
Museum tidak terlalu jauh dari tempat kami bertemu. Sekitar sepuluh menit kami
sampai di depan museum. Tidak ada kesulitan berarti di jalan. Kemacetan sudah
musnah di dunia ini. Pintu taksi terbuka dan kami keluar.
“Selamat
menikmat hari Anda,” kata Kecerdasan Buatan.
Kami
mengabaikannya. Aku tidak yakin apakah dia bisa tersinggung atau tidak ketika
diabaikan seperti itu. Tidak pernah ada peristiwa Kecerdasan Buatan merasa
terhina kemudian menyerang manusia. Yang jelas, mobil taksi itu menutup
pintunya lagi dan mulai berjalan lagi entah menuju ke mana, setidaknya dia
tidak akan pernah keluar dari kota ini. Begitulah sistem yang telah diatur
untuk taksi.
Aku
menggamit tangan Amy, lalu kami mulai berjalan menuju museum, menaiki tangga,
dan masuk ke sana setelah menjalani sebuah pemindaian di pintu masuk.
Benda-benda di museum kami berharga, begitu berharga, sehingga setiap
pengunjung yang masuk perlu dipindai terlebih dahulu agar tidak terjadi
kemungkinan terburuk seperti bom bunuh diri, misalnya.
Kami
segera mengabaikan segala koleksi lain di museum itu dan segera berjalan
menghampiri kerumunan di sekitar kotak kaca raksasa. Itu seperti panggung
sebuah sandiwara yang telah disusun sedemikian rupa. Ada tempat tidur, sofa,
televisi, rak buku, kompor, peralatan memasak, lemari pendingin, juga sebuah
bak mandi. Pemandangan itu mengingatkanku akan pementasan klasik dari karya
Anton Chekov (itu benar-benar nama yang begitu lama dan belum ada yang sanggup
menandingi kebesarannya) ketika masih SMA dulu. Sepasang manusia Jawa itu
terlihat masih muda. Mereka tampak gelisah. Sesekali si lelaki memandang ke
arah kerumunan di luar kotak kaca, lalu tertunduk lagi. Mukanya tampak memerah.
Antara malu dan marah. Mungkin juga keduanya.
“Dia
malu-malu,” bisik Amy sambil berjinjit agar mulutnya sampai tepat di dekat
telingaku. “Apa dia hanya akan berdiam diri di sofa saja? Kuharap dia melakukan
sedikit aksi.”
Pihak
museum, tentu saja, tidak bermaksud menjadikan sepasang manusia Jawa itu
sebagai pemain sirkus yang akan menampilkan atraksi-atraksi berbahaya.
Sebaliknya, mereka bermaksud agar sepasang manusia Jawa itu terlindungi dari
berbagai ancaman atau kemungkinan terburuk dalam kehidupan ini. Kotak kaca itu,
kabarnya, terbuat dari kaca antipeluru, bahkan juga tahan ledakan. Jika
tiba-tiba gedung museum ini ambruk, mungkin yang selamat hanya sepasang manusia
Jawa di dalam kotak kaca itu.
Tapi
akan membosankan kalau mereka hanya diam saja. Mereka mestinya bergerak,
melatih otot-otot tubuh mereka agar tetap bugar. Berdiam diri hanya akan
memperburuk kondisi tubuh. Hal itu hanya akan menjadi ironi atas tujuan mulia pihak
museum dan pemerintah.
Beberapa
orang mulai berteriak: “Ayolah, kami tidak datang untuk omong kosong semacam
ini. Lakukan sesuatu, Bung!”
“Hei,
cium si perempuan kalau kau seorang pejantan. Atau, perkosa dia!” kata seorang
pria gemuk berwajah merah dan berjanggut putih. Dia terlihat mabuk, matanya
sayu. Tapi dia tidak sedang membawa botol minuman keras merek apa pun karena
memang tidak ada makanan dan minuman yang boleh masuk ke museum. Dia kemudian
tertawa, terpingkal-pingkal, memegangi perutnya, sampai kemudian jatuh ke
belakang. Tidak ada seorang pun yang bersedia mencegahnya jatuh. Semua orang di
belakangnya menghindar. Dia segera tak sadarkan diri. Dia terlalu mabuk.
Petugas keamanan, yang berupa robot tipe humanoid yang juga ditanami kecerdasan
buatan, menyeret orang mabuk itu keluar dari museum.
“Apa
yang terjadi dengan orang itu?” Tanya Amy.
“Sesuatu
yang selalu terjadi pada seorang bajingan. Lupakan dia, Amy, mari lihat
sepasang manusia Jawa. Lihat, dia mulai bergerak!”
Amy
kembali melihat ke depan. Di sana, di dalam kotak kaca itu, si lelaki mulai
bangkit dari sofanya. Dia berjalan ke lemari pendingin dan mengambil sebotol
air mineral, membuka segel dan tutupnya, kemudian meneguknya langsung tanpa
gelas sampai tandas. Jakunnya naik turun ketika dia meneguk minuman. Ketika aku
mengarahkan penglihatanku ke sekitar untuk sejenak, orang-orang mulai terhibur.
Mereka mulai tersenyum ketika sepasang manusia Jawa, meskipun hanya salah satu
dari mereka, mulai bergerak. Meskipun yang dilakukannya hanyalah gerak normal
sebagaimana yang biasa dilakukan semua orang.
Dia
kemudian melemparkan begitu saja botol kosong itu ke sebuah keranjang sampah.
Lelaki itu kembali duduk di sofa, menyandarkan tubuhnya, dan melihat kepada
kami dengan mata terpicing. Dia kemudian menggelengkan kepalanya berulangkali
dan menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
“Maruti,”
teriaknya kepada si perempuan, “kapan orang-orang itu akan bubar?”
“Nanti,
Maruta,” kata si perempuan, “nanti ketika jam museum tutup.”
“Berapa
jam lagi?”
“Sepuluh
jam lagi. Museum tutup pukul lima.”
“Mereka
semua menyebalkan.” Dia bangkit dan mendekat ke arah kami. “Persetan dengan
kalian. Bubarlah. Berikan aku sedikit privasi, Berengsek!” Setelah mengumpat,
dia kembali ke sofanya, berbaring kemudian tidur menyamping agar bisa
memunggungi kami.
“Kasar
sekali,” kata Amy. “Tapi si perempuan begitu lembut. Lihat! Sekarang dia duduk
di samping si lelaki.”
Si
perempuan menepuk pundak si lelaki dan mengatakan sesuatu kepadanya: “Abaikan
saja mereka.”
“Mana
mungkin?”
Mereka
terus mengobrol. Si perempuan coba untuk menghibur si lelaki. Tapi si lelaki
tetap merajuk dan mengabaikan si perempuan, dia tidak ingin berbalik dan
melihat entah berapa pasang mata yang menatap tajam kepadanya. Si perempuan
tampak tidak terlalu terganggu, dia merasa begitu enjoy dalam menjalani
kehidupannya di dalam kotak kaca dengan sekian pasang mata yang memerhatikan
setiap gerakan tubuhnya, bahkan sampai kedipannya yang begitu singkat sekali
pun.
Amy
berjinjit lagi. “Apa menurutmu mereka juga akan melakukannya di dalam sana?”
“Aku
tidak yakin. Setidaknya, aku yakin mereka tidak akan melakukannya ketika museum
masih buka. Tapi bisa saja ketika museum tutup. Mereka, tentu saja, diharapkan
oleh pihak museum dan pemerintah untuk berkembang biak, menghasilkan sejumlah
bayi yang sehat untuk kemudian dikawinkan secara silang agar kelangsungan hidup
manusia Jawa tetap lestari. Beberapa keturunannya nanti mungkin masih akan
hidup di dalam ‘penangkaran’ itu, sama seperti satwa-satwa langka yang pernah
kita lihat beberapa tahun lalu di kebun binatang.”
Amy
berhenti berjinjit. Dia kemudian melihat pada kotak kaca lagi.
Si
perempuan bangkit dari sofa, kemudian masuk ke toilet (tempat itu juga tembus
pandang), menurunkan celananya, dan duduk pada toilet duduk. Dia bersikap
tenang, bahkan dia sempat melihat kepada kami, para pengunjung museum, dan
tersenyum. Setelah selesai, dia berdiri dan pergi ke wastafel untuk mencuci
tangannya dengan sabun. Segera kemudian dia menghampiri si lelaki.
“Mengapa
tidak kita hibur saja mereka?”
“Gila!
Sinting! Ini pelanggaran hak asasi! Kita juga manusia!”
“Hei,
Betina!” kata seorang pria berkumis tebal dan berjaket kulit. “Cobalah untuk masturbasi
di dekat kaca.”
Para
perempuan yang mendengarnya merasa risi, termasuk Amy, dan segera memprotesnya.
Pria berkumis tebal itu mati-matian membela dirinya bahwa yang dikatakannya
pasti diinginkan oleh semua lelaki mana pun. Dia kemudian menunjuk-nunjuk
setiap lelaki yang ada di museum, termasuk diriku.
“Kau
pasti juga berharap dia melakukan itu, bukan, Bung? Ayo, mengaku saja! Aku ada
di pihakmu. Kita akan bungkam mulut semua betina di tempat ini.”
“Sayang
sekali,” kataku tanpa ragu, “pikiran semacam itu tidak terpikirkan sama sekali
di kepala saya. Omong-omong, saya akan berterima kasih kalau Anda tidak
melontarkan kata-kata semacam itu lagi. Itu mengganggu, sangat mengganggu.”
“Benar.
Benar kata dia. Kau saja yang cabul,” kata lelaki lain.
Semua
orang kemudian serentak mencibirnya. Bahkan ada yang melapor kepada petugas
keamanan agar pria berkumis tebal itu diseret keluar dari museum seperti pria
gemuk berwajah merah tadi. Petugas keamanan itu, tanpa perlu
menimbang lagi, segera menyeret pria berkumis tebal itu. Suasana segera kembali
kondusif. Tapi perempuan Jawa di dalam kotak kaca mulai berjalan
melenggak-lenggok seperti harimau lapar. Aku pernah mendengar hal semacam itu
dari Profesor James. Aku ereksi. Tapi semua itu bisa kusembunyikan dengan
mantel panjangku. Untuk sekarang bulan November. Sudah masuk musim gugur dan
suhu mulai dingin. Aku bersyukur karena mengenakan mantel panjang tadi.
Setidaknya, aku bisa menyembunyikan hal ini dari Amy atau aku akan kena marah
nanti karena ternyata aku tidak ada bedanya dengan pria berkumis tebal yang
telah diseret keluar tadi.
“Apa
yang dia lakukan? Mengapa dia berjalan seperti itu?” Tanya Amy lagi. Kali ini
aku yang menunduk karena dia berkali-kali menarik lengan mantelku sebelumnya.
“Ini
adalah sesuatu yang pernah diceritakan Profesor James. Perhatikan gerakannya.
Begitu pelan, tenang, tapi siap menerkam kapan pun ada kesempatan.”
“Harimau?”
“Benar-benar
harimau. Mungkin, setelah punah pada tahun 1980-an, jiwa harimau Jawa merasuk
pada tiap tubuh perempuan Jawa dan membantu mereka untuk mendapatkan kembali
gerakan semacam itu setelah terlindas oleh gelombang westernisasi.”
Si
lelaki berbalik sejenak, menatap si perempuan dengan tatapan kebingungan.
“Apa
yang kaulakukan? Hentikan! Jangan beri mereka hiburan apa pun!”
Si
perempuan berhenti berjalan, berdiri tegap, kemudian bertanya: “Mengapa?”
“Kau
tidak mematuhiku?”
“Kurasa
masa-masa seperti itu telah begitu lama lewat. Jawab saja pertanyaanku.”
Si
lelaki bangkit, kemudian berjalan menghampiri si perempuan. Dia segera menarik
rambut panjang si perempuan sampai si perempuan terjatuh sambil menjerit. Semua
pengunjung museum, terutama yang perempuan, termasuk Amy, ternganga, tidak
percaya terhadap yang telah mereka saksikan sekian detik yang lalu.
“Jalang,”
kata si lelaki, mengumpati si perempuan. “Kau mau pamer tubuhmu di hadapan para
lelaki berengsek di luar sana?”
“Bukan
seperti itu.”
“Diam
kalau aku sedang bicara!”
Beberapa
kali si lelaki menendang si perempuan sampai si perempuan terguling-guling dan
mengaduh. Si perempuan menangis, air matanya jatuh ke atas karpet berwarna
cokelat muda. Si lelaki terus mengoceh dan memaki-maki si perempuan. Mulutnya
sampai berbusa. Kemudian dia berhenti. Lalu, menghampiri lemari pendingin,
membukanya, dan mengambil sebotol air mineral lagi. Dia meneguknya separuh,
kemudian coba mengatur napasnya dengan baik. Ketika tatapannya tidak sengaja
mengarah kepada kami yang telah memandanginya dengan tajam dan kesal, dia
segera mengalihkan pandangannya. Dia berjalan menyamping seperti kepiting
sambil terus memunggungi kami.
“Dia
tidak bermoral,” kata Amy. Kali ini dia tidak berbisik sehingga beberapa orang
di sekitar kami juga dapat mendengarnya. “Dia lelaki yang tidak bermoral.”
Lalu, setelah menarik napas, dia berteriak: “Mati saja kau! Mati saja! Tidak
ada tempat bagi mereka yang masih suka melakukan kekerasan terhadap perempuan
di dunia ini! Pihak museum mestinya menempatkanmu di kursi listrik atau
memenggal lehermu di alun-alun.”
“Ya.
Benar.”
“Benar.
Gadis ini benar. Mati saja kau lelaki berengsek.”
Semua
orang, tanpa terkecuali, mendukung Amy. Mereka sepakat memaki si lelaki di
dalam kotak kaca. Beberapa dari mereka juga melemparkan beberapa benda tidak
berguna yang dapat mereka temukan di saku celana atau tas mereka meskipun itu
tampak sia-sia. Tapi, secara simbolis, itu adalah bentuk ketidaksukaan
pengunjung museum terhadap si lelaki yang telah melakukan perbuatan aniaya
kepada si perempuan. Si lelaki dalam kotak kaca masih memunggungi kami,
mengabaikan semua makian kami. Dia kemudian menyumbat telinganya dengan kedua
tangannya. Itu gestur yang buruk, yang mestinya tidak dilakukan; sesuatu yang
biasa dilakukan oleh seorang antikritik.
“Penjaga! Penjaga! Seret saja lelaki Jawa itu keluar dari kotak kaca, dari museum ini! Dia tukang onar!”
1 November
2022—22 Oktober 2023