Narasi Ketidakbahagiaan (Tribut untuk
Joseph Conrad)
Sarita Rahel Diang Kameluh
Tak ada yang abadi.
Wanita itu menganggap dirinya titisan Bunda Maria. Ia lahir
tanpa ibu, konon dagingnya hanya dari selangkangan seorang tuan tanah yang
bersenggama dengan oak. Alkisah, pohon itu adalah makam peri sungai Thames,
yang diyakini merupakan titisan Frigg dari kepercayaan purba orang Saxon. Sang
tuan tanah, seorang Earl, takut jika putri oak itu lahir tanpa rahim sebab ia
tak lahir dari rahim. Ketika ia lahir, bintang kejora bergemerlap dan lidah api
melintas di langit Croydon, menyihir malam menjadi senja abadi. Langit terus
bercorak darah, menyembur lembayung memar. Ia diberi nama yang musiman: Cathy,
Katya. Katharos. Murni.
Sewaktu kecil ia kerap iba menyaksikan ayahnya berderu air mata,
bertubuh dirasuki sais sekaligus kuda di hadapan Penebus, bergumam bahasa
kuburan dan reruntuhan Venonis, menyeka luka di punggungnya sendiri. Ia berkata
bahwa dosanya mesti membunuhnya, tetapi karena tuan kami maha baik, budak mesti
disiksa saja.
"Banyak yang mati seperti lalat terpapar asap," imbuhnya lirih. Dosa
apa, gadis itu tak tahu. Waktu itu. Para gadis berkerudung putih di Gumley
House juga tetap perawan, berpuasa, membasuh kaki para komandan doa, menafsir
lisan Langit, memetik mawar dan memangkas duri. Pemimpin barak ini juga tak
segan melecut-lecut jika tak senang dengan kuda betinanya.
Ketika tahun pertama ia datang bulan, ia bermimpi, dengan langit
dicarik komet yang sama seperti hari lahirnya, bahwa dia akan melahirkan bayi
penebus dosa. Mungkin ini mimpinya karena tak tega melihat ayahnya menjadi kuda
di tubuhnya sendiri, atau kawan-kawan berkerudungnya, di hadapan ukiran kayu
oak Penebus. Ia yakin bahwa lelaki itu budiman, alumni Eton dan sedang belajar
teologi di tepi Isis, lalu menjadi diaken di Westminster, anggota mimbar atas
yang merangkai hukum surgawi di parlemen.
"Bukan hanya ayah. Seluruh negeri ini berdosa". Barulah ketika ia
beranjak dewasa, saat ia bertemu seorang pengacara berdarah Galilea dari
Vienna, yang menyusu dan bersemi di kawasan Neuilly di Paris, perempuan itu dihadapkan
gelagat ayahnya yang mengerahkan pasukan penginjil James di perkebunan kayu
putih.
“Ayahmu, nona, adalah lintah di bumi selatan.
Ia dan para mualimnya menghisap darah anak-anak Bantu,” sang pengacara menerangkan
tuntutan pada sang ayah.
Sang gadis tak habis pikir dan terperanjat
bahwa seorang pekabar, utusan singa bermahkota dan sabda Tuhan Thames, adalah
lintah haus darah hingga anak-anak dan para ibu mati melahap debu di Selatan,
di kawasan bernama Xhosa. Di kawasan itu hidup orang-orang berselimut merah
yang hidup di gubuk sarang lebah. Serikat sabda ayahnya memiliki tanah untuk
membangun rumah ibadah, namun serikat dagang membeli dan menanam benih pohon
kayu putih. Pepohonan itu menghama tanah Xhosa, memperbudak, menyedot sumur dan
darah hingga desa-desa kering kerontang. Penyebaran sabda dipasok oleh derita,
karena tanpa derita kebun, tak ada sterling untuk membentangkan sabda.
Ayah, yang mengasihi anaknya yang tak beribu, mengangkat bocah-bocah yang luput
dari wabah kentang di tanah Eire ke altarnya, menyumbang harta untuk membangun
sekolah dan rumah ibadah, adalah seorang pembunuh yang mempertuan manusia?
“Apakah ayahmu tak pernah berbicara soal dosa?
Dosa di gelondong kayu-kayu putih?” sahut kembali lelaki itu menahan geram.
Lelaki itu, ia tampak mengenalnya. Bau nafasnya seperti opium dan anggur.
Tubuhnya berbau air mawar, keringat, minyak fenor dan kamper. Rupa pucat,
gelagatnya tampak ingin menancap belati, sekaligus mengasihi yang dilukai. Baginya
orang tertindas semestinya marah memberontak, dan ia menyuarakan derita ribuan
mereka di bawah naungan panji salib St.George. Apa ia datang dari mimpinya?
Gadis itu menjawab bahwa sang ayah kerap melecut diri di hadapan salib kayu,
seperti anak-anak Xhosa yang bergelimang, dilecut. Para wali ini adalah
anak-cucu Wilberforce dan Newton, pendeta yang membubarkan kepemilikan manusia
lima dekade silam.
Dan siapa yang ia tuntut? Kami termasuk yang mengutuk
mengekang manusia seperti kuda, pikir gadis itu gelisah. Tetapi kawanan ayahnya
tidak mengutuk, sebab mereka bukan saudara. Dan kita yang telah dibaptis ke
dalam persekutuan, dibungkus oleh Dia. Mereka tidak dibaptis. Ayah diam
saja sebab ia budak serikat penyabda. Ia juga budak himne, kaca patri dan
wiruk. Budak firman. Bukankah firman adalah wujud pula?
“Aku
menuntut Tuhanmu,” tanggap lelaki itu lagi,
“aku
akan membunuh untuk membebaskan tanah berkayu putih.”
Ia
salah, manusia seperti anjing adalah hasil serikat firma, bukan firman. Mengapa
ia dibutakan oleh kobaran benci? Tanpa benci, takkan ada pergulingan kuasa.
Sejarah tak berroda tanpa benci. Lalu di pekarangan Croydon milik ayahnya,
di mana sang pengacara menetap untuk mengistirahatkan paru-parunya dari jelaga
kepul London, seorang diaken muda Nguni dari Cape Town berkunjung.
Namanya, atau nama baptis semenjak setahun, adalah Samuel
Ajayi. Ia mengenakan jubah Sarum berkancing ganda. Di lehernya, yang dua tahun
lalu tergantung jerat serabut di perkebunan kayu putih, kini bergelantung
Lelaki itu. Berdarah dengan enamel perak. Cathy tak tahu apa yang
diperbincangkan, tetapi jika si pengacara mengulurkan tangan pada si diaken, ia
pasti mempersenjata. Pembebasan Samuel dari pengabdian paksa adalah karena ia
mau bersalut, lalu menjadi penyabda di bawah naungan serikat ayah Cathy.
“Semua
ini takkan terjadi jika mereka bersalut tuhan orang Inggris, katamu?”
“ya,
aku adalah bukti hidupnya,” jawab Samuel tegas. Duka dan gusarnya meminta
uluran tangan si pengacara untuk menuntut serikat dagang dan penyabda. Tetapi,
dengan dibalutnya salut ini, tidakkah ia milik seorang tuan baru? Mereka yang
dilepas belenggunya, menjadi budak Langit Britania.
“Tapi
aku tak mau membenci dan berdarah lagi. Aku berusaha mencintai penyelamatku
sekarang.”
******
Cathy berhadapan muka dengan
ayahnya, yang malam itu berpendar bersimbah anggur merah dan air mata setelah
membaca kabar Samuel. Tangannya terikat, ujarnya lesu, namun pancaran matanya
tetap mengkilat api dan kibar salib merah. Ia juga seketika mengakui merangkai
dongeng kelahiran putrinya.
“Kau
tak lahir di kayu oak dan tanpa ibu. Tak ada komet di langit. Kau adalah buah pencabulan.
Sebelum mengenakan salib Celtic ini, aku menistakan banyak wanita. Salah satu
dari mereka mengandung. Ketika kau lahir, ibumu yang seorang buruh belaka
meminta tebusan untuk biaya dokter dan bidan. Ia juga memeras sebab kita tak
mungkin menikah. Aku menolaknya dengan bengis. Wanita itu menenggelamkan
dirinya di Thames, meninggalkanmu di keranjang buah di Jembatan Richmond.
Tangisanmu mengoyakku hingga aku menjadi abdi gereja sekarang.”
Ia terguncang dengan pengakuan mabuk. Mereka berkata in
vino veritas, ada kebenaran di dalam anggur. Anggapan dirinya titisan Bunda
Perawan rupanya ia sendiri lahir dari pemerkosaan. Angan-angannya bahwa dia
akan melahirkan seorang penebus rupanya ia bertemu lelaki yang ingin
memberantas penebusan. Ia ingin membenci ayahnya, sabda dan aroma minyak kayu
putih yang menghuni tanah asing. Gelondong kayu itu menjajah, mencacah,
meracuni tanah, menghisap air, darah dari bentangan akarnya, membunuh pepohonan
ibu pertiwi, menyusun pemukiman dan rumah doa baru sembari menggusur teratak
orang-orang berselimut merah. Teratak yang disusun dari ranting kayu dan rumput
kering sudah jarang berdiri, semenjak rerumputan mati dan seluruh empulur kayu
digerus menjadi bubur kertas. Tanpa kertas, pengetahuan dan budaya akan sirna.
Eropa tak akan tercatat, dan sabda tak akan tersebar. Tanpa minyak tirisan
daunnya, Eucalyptus, ramuan ajaib itu, tak ada pembasmi hama dan tak ada urapan
untuk demam, nyeri dan sesak Eropa.
Lelaki Nguni berkalung salib itu
terus bersikeras pada lelaki Galilea pembedah hukum. Bulir air mata terus
menghiasi lesung pipi sembari bibir menggumamkan doa peranakan antara sembahan
lama dan baru yang berasal dari penjajahnya, menghantui tembok naungan dengan
tari jilat api dari kegelapan.
“Tuntut
ayahnya. Tuntut naungannya. Keluarga. Firman. Kristus...”
“Tidak!
apa salah gadis itu? Kita akan menghancurkan hidupnya, kita akan melumatkan
surga kecil ini!” seru sang pengacara letih. Nafasnya pendek menciut. Dadanya
terasa terhimpit oleh hantu-hantu dan luka tak tampak. Ia sadar bahwa tuntutan
Samuel akan mengoyak Croydon.
“Beberapa
waktu lalu kau bergairah untuk berperang, kini kau melunak, lesu, tumbang jika
berbicara gadis itu. Siapakah ia bagimu? Naungan? pelarian dari kenyataan bahwa
saudaramu menanam derita bagi saudaraku?”
“Ia
lugu. Hanya kasih sayang yang terpancar, tak ada benci...”
“Ah,
ia perwujudan bunga tidur! Ia adalah mimpi Elysium! Belahan dunia lain
terbakar, diracuni, dijagal dan ia tetap pulas tidur mencium bunganya! Mengapa
kau tak menyodorkan bercak dari tangan ayahnya? Ia pikir darahku hitam dan tak
pantas disebut manusia? Berapa banyak darah mesti tumpah untuk menyadarkan
bahwa warnanya sama merahnya dengan darah kalian? Warna ini tetap lembayung,
kirmizi seperti jubah Kristus.”
Ia tak ingin mati, maka gadis itu adalah naungannya: penawar
nyeri, seperti minyak kayu putih yang menjarah tanah Selatan. Terkadang tulang
rusuknya retak, atau uratnya tercabik, atau seluruh isi dadanya ingin tumpah
ruah. Biasanya guncangan dan nyeri tertusuk mereda ketika sekujur dadanya
diusap dan dipijit oleh tangan lembut sang gadis yang berlumuran minyak itu.
Minyak iblis. Tetapi gadis itu tak di sini. Minyak diperas dari rebusan daun
terkutuk, seperti darah orang Nguni diperas dari tubuhnya.
“Ah,
lukamu terbuka lagi. Lihatlah ludah berdarah itu, apa kau sudah kenyang
mengunyah sanak saudaraku, wahai orang Eropa?”
*****
Jantung
merah langit ini adalah pendar terakhir yang ia saksikan.
“Firman
itu... firman kasih sayang. Mengapa engkau membunuh?”
Cathy
merintih di dalam hati mendengar kisah Samuel melalui suara parau dan lunglai
lelaki Galilea. Kini ia tak bisa hidup tanpa perempuan Abergine, yang kini
sudah bukan gadis lagi. Ketika ia yakin hidupnya tak lama lagi, ia menikahinya
dan bersenggama di luar kehendak sang ayah.
“Ingatlah,
kau bukan Bunda Perawan lagi... dan kau bukan milik ayahmu. Kau milikku.”
Musim panas
berlalu dan anaknya lahir setelah mengejan selama dua hari. Sang ibu mengalami
kejang dan tenaganya terkuras habis. Nyawanya terenggut dan bersemayam di bayi
yang baru dibersihkan ari-arinya itu. Sang lelaki semakin geram pada tuhan
ayahnya, tapi ia lalu teringat bahwa beginilah cara ia melawan dan memberontak
pada naungan Tuan Abergine yang berbau kemenyan dan puji-pujian bahasa Saxon,
“kau
memangsa dan membunuh putriku: benih imanku kepada sabda. Tapi tidak sepenuhnya
padam karena sebagian jiwanya sudah tersemat di dalam dirimu. Sadarkah kau
bahwa Ia hidup di dalam hatimu? Tubuhmu yang menjijikan, yang terkoyak
penyakit, dan jiwamu yang menciut oleh racun Peradaban. Aku tak pernah mengerti
mengapa ia memilihmu sebagai wadah untuk menyimpan warisan Kasihnya,” sang ayah
meracau dalam dukanya. Air matanya ruah tapi ia tak terisak. Hanya muntahan
kata-kata pedih berpadu yang ditujukan pada lelaki ringkih itu. Ia dilarang
menangis karena lendir dan air mata dapat mencekiknya hingga mati.
Semoga kau
mati sesak kehabisan minyak urap.
Ia teringat
kata-kata terakhir ayah mertuanya itu setelah pengadilan negeri menjatuhkan
sangsi penjara. Tetapi sesuai perkataannya, Tuan Abergine membubarkan seluruh
darah daging hidupnya. Kelompok penginjil Raja James sudah mangkat dari Xhosa,
tetapi dengan naifnya ia tidak menyadari bahwa pemegang senar utama perkebunan
itu adalah cabang East Indian Company di Zambia dan Sierra Leone, berdagang
berbagai komoditas bumi Selatan. Niaga dan tanam paksa tetap berlajut, tapi
tidak ada lagi yang takut pada Tuhan. Di pantai timur benua ini, di tanduk,
mereka berjaya menanami pohon kemenyan untuk disadap getahnya menjadi aroma
misa minggu dan minyak suci yang menjelmakan para raja sebagai ilahi di muka
bumi. Para raja dan kaisar diurapi dari cucur getah Semenanjung Somalia. Tak
lama setelah itu, penyabda itu ditemukan terkapar, seperti tidur terlalu dalam,
dengan sebotol minyak Eucalyptus terpampang kosong di meja riasnya, tepat di
hadapan ranjang di mana tubuhnya tergeletak.
Dan
begitulah bagaimana lelaki Galilea, pembedah hukum dan pemberantas derita di
Xhosa, menjadi orang yang paling terkutuk dan tak bahagia. Ia tak kunjung mati.
Draft pertama kali ditulis di St.Ermin’s Hotel, Hyde Park, London, 2 November 2022,
diselesaikan dan disunting di Surabaya, 20 November 2023