Narasi Ketidakbahagiaan (Tribut untuk Joseph Conrad) - Sarita Rahel Diang Kameluh

@kontributor 11/26/2023

Narasi Ketidakbahagiaan (Tribut untuk Joseph Conrad)


Sarita Rahel Diang Kameluh





Tak ada yang abadi.

Wanita itu menganggap dirinya titisan Bunda Maria. Ia lahir tanpa ibu, konon dagingnya hanya dari selangkangan seorang tuan tanah yang bersenggama dengan oak. Alkisah, pohon itu adalah makam peri sungai Thames, yang diyakini merupakan titisan Frigg dari kepercayaan purba orang Saxon. Sang tuan tanah, seorang Earl, takut jika putri oak itu lahir tanpa rahim sebab ia tak lahir dari rahim. Ketika ia lahir, bintang kejora bergemerlap dan lidah api melintas di langit Croydon, menyihir malam menjadi senja abadi. Langit terus bercorak darah, menyembur lembayung memar. Ia diberi nama yang musiman: Cathy, Katya. Katharos. Murni.

Sewaktu kecil ia kerap iba menyaksikan ayahnya berderu air mata, bertubuh dirasuki sais sekaligus kuda di hadapan Penebus, bergumam bahasa kuburan dan reruntuhan Venonis, menyeka luka di punggungnya sendiri. Ia berkata bahwa dosanya mesti membunuhnya, tetapi karena tuan kami maha baik, budak mesti disiksa saja.
"Banyak yang mati seperti lalat terpapar asap," imbuhnya lirih. Dosa apa, gadis itu tak tahu. Waktu itu. Para gadis berkerudung putih di Gumley House juga tetap perawan, berpuasa, membasuh kaki para komandan doa, menafsir lisan Langit, memetik mawar dan memangkas duri. Pemimpin barak ini juga tak segan melecut-lecut jika tak senang dengan kuda betinanya.

Ketika tahun pertama ia datang bulan, ia bermimpi, dengan langit dicarik komet yang sama seperti hari lahirnya, bahwa dia akan melahirkan bayi penebus dosa. Mungkin ini mimpinya karena tak tega melihat ayahnya menjadi kuda di tubuhnya sendiri, atau kawan-kawan berkerudungnya, di hadapan ukiran kayu oak Penebus. Ia yakin bahwa lelaki itu budiman, alumni Eton dan sedang belajar teologi di tepi Isis, lalu menjadi diaken di Westminster, anggota mimbar atas yang merangkai hukum surgawi di parlemen.
"Bukan hanya ayah. Seluruh negeri ini berdosa". Barulah ketika ia beranjak dewasa, saat ia bertemu seorang pengacara berdarah Galilea dari Vienna, yang menyusu dan bersemi di kawasan
Neuilly di Paris, perempuan itu dihadapkan gelagat ayahnya yang mengerahkan pasukan penginjil James di perkebunan kayu putih.

“Ayahmu, nona, adalah lintah di bumi selatan. Ia dan para mualimnya menghisap darah anak-anak Bantu,” sang pengacara menerangkan tuntutan pada sang ayah.

Sang gadis tak habis pikir dan terperanjat bahwa seorang pekabar, utusan singa bermahkota dan sabda Tuhan Thames, adalah lintah haus darah hingga anak-anak dan para ibu mati melahap debu di Selatan, di kawasan bernama Xhosa. Di kawasan itu hidup orang-orang berselimut merah yang hidup di gubuk sarang lebah. Serikat sabda ayahnya memiliki tanah untuk membangun rumah ibadah, namun serikat dagang membeli dan menanam benih pohon kayu putih. Pepohonan itu menghama tanah Xhosa, memperbudak, menyedot sumur dan darah hingga desa-desa kering kerontang. Penyebaran sabda dipasok oleh derita, karena tanpa derita kebun, tak ada sterling untuk membentangkan sabda. Ayah, yang mengasihi anaknya yang tak beribu, mengangkat bocah-bocah yang luput dari wabah kentang di tanah Eire ke altarnya, menyumbang harta untuk membangun sekolah dan rumah ibadah, adalah seorang pembunuh yang mempertuan manusia?

“Apakah ayahmu tak pernah berbicara soal dosa? Dosa di gelondong kayu-kayu putih?” sahut kembali lelaki itu menahan geram. Lelaki itu, ia tampak mengenalnya. Bau nafasnya seperti opium dan anggur. Tubuhnya berbau air mawar, keringat, minyak fenor dan kamper. Rupa pucat, gelagatnya tampak ingin menancap belati, sekaligus mengasihi yang dilukai. Baginya orang tertindas semestinya marah memberontak, dan ia menyuarakan derita ribuan mereka di bawah naungan panji salib St.George. Apa ia datang dari mimpinya? Gadis itu menjawab bahwa sang ayah kerap melecut diri di hadapan salib kayu, seperti anak-anak Xhosa yang bergelimang, dilecut. Para wali ini adalah anak-cucu Wilberforce dan Newton, pendeta yang membubarkan kepemilikan manusia lima dekade silam.

Dan siapa yang ia tuntut? Kami termasuk yang mengutuk mengekang manusia seperti kuda, pikir gadis itu gelisah. Tetapi kawanan ayahnya tidak mengutuk, sebab mereka bukan saudara. Dan kita yang telah dibaptis ke dalam persekutuan, dibungkus oleh Dia. Mereka tidak dibaptis. Ayah diam saja sebab ia budak serikat penyabda. Ia juga budak himne, kaca patri dan wiruk. Budak firman. Bukankah firman adalah wujud pula?

“Aku menuntut Tuhanmu,” tanggap lelaki itu lagi,

“aku akan membunuh untuk membebaskan tanah berkayu putih.”

Ia salah, manusia seperti anjing adalah hasil serikat firma, bukan firman. Mengapa ia dibutakan oleh kobaran benci? Tanpa benci, takkan ada pergulingan kuasa. Sejarah tak berroda tanpa benci. Lalu di pekarangan Croydon milik ayahnya, di mana sang pengacara menetap untuk mengistirahatkan paru-parunya dari jelaga kepul London, seorang diaken muda Nguni dari Cape Town berkunjung.

Namanya, atau nama baptis semenjak setahun, adalah Samuel Ajayi. Ia mengenakan jubah Sarum berkancing ganda. Di lehernya, yang dua tahun lalu tergantung jerat serabut di perkebunan kayu putih, kini bergelantung Lelaki itu. Berdarah dengan enamel perak. Cathy tak tahu apa yang diperbincangkan, tetapi jika si pengacara mengulurkan tangan pada si diaken, ia pasti mempersenjata. Pembebasan Samuel dari pengabdian paksa adalah karena ia mau bersalut, lalu menjadi penyabda di bawah naungan serikat ayah Cathy.

“Semua ini takkan terjadi jika mereka bersalut tuhan orang Inggris, katamu?”

“ya, aku adalah bukti hidupnya,” jawab Samuel tegas. Duka dan gusarnya meminta uluran tangan si pengacara untuk menuntut serikat dagang dan penyabda. Tetapi, dengan dibalutnya salut ini, tidakkah ia milik seorang tuan baru? Mereka yang dilepas belenggunya, menjadi budak Langit Britania.

“Tapi aku tak mau membenci dan berdarah lagi. Aku berusaha mencintai penyelamatku sekarang.”

******

 

            Cathy berhadapan muka dengan ayahnya, yang malam itu berpendar bersimbah anggur merah dan air mata setelah membaca kabar Samuel. Tangannya terikat, ujarnya lesu, namun pancaran matanya tetap mengkilat api dan kibar salib merah. Ia juga seketika mengakui merangkai dongeng kelahiran putrinya.

“Kau tak lahir di kayu oak dan tanpa ibu. Tak ada komet di langit. Kau adalah buah pencabulan. Sebelum mengenakan salib Celtic ini, aku menistakan banyak wanita. Salah satu dari mereka mengandung. Ketika kau lahir, ibumu yang seorang buruh belaka meminta tebusan untuk biaya dokter dan bidan. Ia juga memeras sebab kita tak mungkin menikah. Aku menolaknya dengan bengis. Wanita itu menenggelamkan dirinya di Thames, meninggalkanmu di keranjang buah di Jembatan Richmond. Tangisanmu mengoyakku hingga aku menjadi abdi gereja sekarang.”

Ia terguncang dengan pengakuan mabuk. Mereka berkata in vino veritas, ada kebenaran di dalam anggur. Anggapan dirinya titisan Bunda Perawan rupanya ia sendiri lahir dari pemerkosaan. Angan-angannya bahwa dia akan melahirkan seorang penebus rupanya ia bertemu lelaki yang ingin memberantas penebusan. Ia ingin membenci ayahnya, sabda dan aroma minyak kayu putih yang menghuni tanah asing. Gelondong kayu itu menjajah, mencacah, meracuni tanah, menghisap air, darah dari bentangan akarnya, membunuh pepohonan ibu pertiwi, menyusun pemukiman dan rumah doa baru sembari menggusur teratak orang-orang berselimut merah. Teratak yang disusun dari ranting kayu dan rumput kering sudah jarang berdiri, semenjak rerumputan mati dan seluruh empulur kayu digerus menjadi bubur kertas. Tanpa kertas, pengetahuan dan budaya akan sirna. Eropa tak akan tercatat, dan sabda tak akan tersebar. Tanpa minyak tirisan daunnya, Eucalyptus, ramuan ajaib itu, tak ada pembasmi hama dan tak ada urapan untuk demam, nyeri dan sesak Eropa.

 

            Lelaki Nguni berkalung salib itu terus bersikeras pada lelaki Galilea pembedah hukum. Bulir air mata terus menghiasi lesung pipi sembari bibir menggumamkan doa peranakan antara sembahan lama dan baru yang berasal dari penjajahnya, menghantui tembok naungan dengan tari jilat api dari kegelapan.

“Tuntut ayahnya. Tuntut naungannya. Keluarga. Firman. Kristus...”

“Tidak! apa salah gadis itu? Kita akan menghancurkan hidupnya, kita akan melumatkan surga kecil ini!” seru sang pengacara letih. Nafasnya pendek menciut. Dadanya terasa terhimpit oleh hantu-hantu dan luka tak tampak. Ia sadar bahwa tuntutan Samuel akan mengoyak Croydon.

“Beberapa waktu lalu kau bergairah untuk berperang, kini kau melunak, lesu, tumbang jika berbicara gadis itu. Siapakah ia bagimu? Naungan? pelarian dari kenyataan bahwa saudaramu menanam derita bagi saudaraku?”

“Ia lugu. Hanya kasih sayang yang terpancar, tak ada benci...”

“Ah, ia perwujudan bunga tidur! Ia adalah mimpi Elysium! Belahan dunia lain terbakar, diracuni, dijagal dan ia tetap pulas tidur mencium bunganya! Mengapa kau tak menyodorkan bercak dari tangan ayahnya? Ia pikir darahku hitam dan tak pantas disebut manusia? Berapa banyak darah mesti tumpah untuk menyadarkan bahwa warnanya sama merahnya dengan darah kalian? Warna ini tetap lembayung, kirmizi seperti jubah Kristus.”

 

Ia tak ingin mati, maka gadis itu adalah naungannya: penawar nyeri, seperti minyak kayu putih yang menjarah tanah Selatan. Terkadang tulang rusuknya retak, atau uratnya tercabik, atau seluruh isi dadanya ingin tumpah ruah. Biasanya guncangan dan nyeri tertusuk mereda ketika sekujur dadanya diusap dan dipijit oleh tangan lembut sang gadis yang berlumuran minyak itu. Minyak iblis. Tetapi gadis itu tak di sini. Minyak diperas dari rebusan daun terkutuk, seperti darah orang Nguni diperas dari tubuhnya.        

“Ah, lukamu terbuka lagi. Lihatlah ludah berdarah itu, apa kau sudah kenyang mengunyah sanak saudaraku, wahai orang Eropa?”

*****

Jantung merah langit ini adalah pendar terakhir yang ia saksikan. 

“Firman itu... firman kasih sayang. Mengapa engkau membunuh?”

Cathy merintih di dalam hati mendengar kisah Samuel melalui suara parau dan lunglai lelaki Galilea. Kini ia tak bisa hidup tanpa perempuan Abergine, yang kini sudah bukan gadis lagi. Ketika ia yakin hidupnya tak lama lagi, ia menikahinya dan bersenggama di luar kehendak sang ayah.

“Ingatlah, kau bukan Bunda Perawan lagi... dan kau bukan milik ayahmu. Kau milikku.”

Musim panas berlalu dan anaknya lahir setelah mengejan selama dua hari. Sang ibu mengalami kejang dan tenaganya terkuras habis. Nyawanya terenggut dan bersemayam di bayi yang baru dibersihkan ari-arinya itu. Sang lelaki semakin geram pada tuhan ayahnya, tapi ia lalu teringat bahwa beginilah cara ia melawan dan memberontak pada naungan Tuan Abergine yang berbau kemenyan dan puji-pujian bahasa Saxon,

“kau memangsa dan membunuh putriku: benih imanku kepada sabda. Tapi tidak sepenuhnya padam karena sebagian jiwanya sudah tersemat di dalam dirimu. Sadarkah kau bahwa Ia hidup di dalam hatimu? Tubuhmu yang menjijikan, yang terkoyak penyakit, dan jiwamu yang menciut oleh racun Peradaban. Aku tak pernah mengerti mengapa ia memilihmu sebagai wadah untuk menyimpan warisan Kasihnya,” sang ayah meracau dalam dukanya. Air matanya ruah tapi ia tak terisak. Hanya muntahan kata-kata pedih berpadu yang ditujukan pada lelaki ringkih itu. Ia dilarang menangis karena lendir dan air mata dapat mencekiknya hingga mati.

Semoga kau mati sesak kehabisan minyak urap.

Ia teringat kata-kata terakhir ayah mertuanya itu setelah pengadilan negeri menjatuhkan sangsi penjara. Tetapi sesuai perkataannya, Tuan Abergine membubarkan seluruh darah daging hidupnya. Kelompok penginjil Raja James sudah mangkat dari Xhosa, tetapi dengan naifnya ia tidak menyadari bahwa pemegang senar utama perkebunan itu adalah cabang East Indian Company di Zambia dan Sierra Leone, berdagang berbagai komoditas bumi Selatan. Niaga dan tanam paksa tetap berlajut, tapi tidak ada lagi yang takut pada Tuhan. Di pantai timur benua ini, di tanduk, mereka berjaya menanami pohon kemenyan untuk disadap getahnya menjadi aroma misa minggu dan minyak suci yang menjelmakan para raja sebagai ilahi di muka bumi. Para raja dan kaisar diurapi dari cucur getah Semenanjung Somalia. Tak lama setelah itu, penyabda itu ditemukan terkapar, seperti tidur terlalu dalam, dengan sebotol minyak Eucalyptus terpampang kosong di meja riasnya, tepat di hadapan ranjang di mana tubuhnya tergeletak.

Dan begitulah bagaimana lelaki Galilea, pembedah hukum dan pemberantas derita di Xhosa, menjadi orang yang paling terkutuk dan tak bahagia. Ia tak kunjung mati.

 

Draft pertama kali ditulis di St.Ermin’s Hotel, Hyde Park, London, 2 November 2022

diselesaikan dan disunting di Surabaya, 20 November 2023

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »