Senjakala Kritik Sastra - Khanafi

@kontributor 11/12/2023

Senjakala Kritik Sastra

Khanafi

 


/1/

Kehidupan sastra Indonesia kita hari ini dihantui kritik sastra yang perlahan menunjukkan gejala akan senjakala. Para kritikus yang begitu mempercayai mutu sastra perlahan kecewa karena hasil kritik sastra mereka tidak diserap sebagaimana spons menyerap air, tidak ada pembacanya, tidak best seller, seperti kata Arif Bagus Prasetyo dalam bincang-bincangnya di Siniar Salihara. Di sisi lain buah-buah sastra tetap diproduksi dan dijual di pasar dengan kesuksesan yang beragam, sedang kritik sastra sendiri hanya mengawang-awang di awan, kadang lepas jadi terik, tetapi tidak pernah menyegarkan, kadang membuat galau karena suasana yang mendung-mendung tapi tak jadi hujan.

Memang kritik sastra kita hari ini tidak hanya ditulis dalam bentuk-bentuknya yang konvensional dan sederhana, seperti resensi, berita, atau artikel. Kritik sastra kita di era kontemporer masuk di dalam Spotify, Youtube, Facebook, media online, zoom meeting, dst. Apa yang sebelumnya tidak terjadi di dunia kritik sastra Indonesia. Kritik sastra kita tidak hanya bisa berdebat melalui tulisan dan kemudian dibukukan menjadi polemik, tetapi bisa melalui media sosial, audio visual dan dilangsungkan secara online atau tayangan ulang melalui kanal-kanal digital. Pendapat tentang sastra tidak lagi terkungkung pada teks, tetapi pada konteks-konteks sesuai kemajuan teknologi sekarang.

Kritik sastra kita sudah bukan lagi sebagai jembatan sebagaimana HB Jassin dulu melakukan ikhtiar untuk mendekatkan sastra kepada pembaca. Sekarang pembaca bebas memilih sendiri sastra mana yang ingin mereka konsumsi, walaupun oleh beberapa kalangan itu dianggap bukan sastra, atau sekadar sastra pop, siapa peduli dengan standar penilaian seperti itu di era kontemporer ini? Ya, mungkin bagi mereka yang ngebet ingin jadi sastrawan yang berpandangan bahwa membaca sastra pop itu buruk, singkatnya lebih baik baca karya mereka. Begitu.

Bahwa dengan majunya teknologi, penerbitan pun melakukan usaha promosi dengan lebih baik dibanding sebelumnya. Begitu pula dengan para penulis yang adaptif, dapat semakin dekat dengan para pembacanya melalui, misalnya, media sosial Instagram. Atau melalui platform-platform digital, dan grup-grup WhatsApp, dst. Tapi kritik sastra hari ini tetaplah suatu kritik sastra yang kurang dibaca dan kurang didengarkan, singkatnya, kurang disimak. Kritik sastra kita masih jauh dari publik pembaca dan pendengarnya secara luas, walaupun penikmatnya yang segelintir masih akan terus memburu “fatwa” terbaru kritik sastra. Dan hal seperti itu membuat para kritikus kreatif kita memilih untuk menyibukkan diri dengan kegiatan sastra yang lebih disambut, atau lebih memilih bincang-bincang pada beberapa media “pusat” daripada berpendapat secara sistematis melalui tulisan, walaupun kemudian pendapat-pendapat itu toh dibukukan juga.

 

/2/

Sekarang, marilah kita pandang dari jauh dunia sastra kita yang hingar tetapi sepi kritik itu. Di sebuah tepi, seorang kritikus yang memandangi kritik sastra yang hampir tenggelam, ia menyaksikan burung-burung esai pulang ke sarangnya yang tidak ada. Dan di malam yang senyap, kerlip-kerlap bintang yang menyimpan masa lalu kritik sastra Indonesia dan kegelisahan kritikus itu, yang mengharap mimpi dan cita seperti doa yang menunggu dikabulkan lewat jatuhnya satu bintang, tetapi sia-sia. Malam tetap diam, dan milik kebisuan, tidak menyahut pun pada kritikus kita yang gamang.

Sastra Indonesia kita kini hampir kehilangan kritik sastra entah sampai kapan, seperti malam yang panjang dengan insomnia. Keadaan demikian disebabkan, pertama, karena kita tidak banyak membaca karya sastra kita sendiri sehingga kita tidak punya pandangan yang cukup berarti tentang karya sastra kita. Kedua, karena kita sibuk bertengkar di “siang bolong” (bisa dilihat melalui sejarah perdebatan baik yang kreatif maupun yang stagnan) alih-alih sibuk belajar, mempraktikkan kritik sastra dengan pener (sebab seringkali hanya argumen abstrak, teori tanpa praktik), dan membandingkan hasil-hasil sastra kita dengan benar. Misalnya, membandingkan sastra kita dengan sastra luar, atau apa saja “yang mungkin” bisa dibicarakan untuk membuat sastra kita bergairah, seperti menghubungkannya dengan seni lain atau disiplin ilmu yang lain, keadaan semacam itu yang juga diharapkan Budi Darma dan Nirwan Dewanto, yaitu sastra mesti menyublim.

Kondisi kritik sastra tertulis kita yang kendur juga disebabkan karena sebagian kritikus kita sibuk “berpolemik” alih-alih menulis kritik sastra, yang akhirnya mereka menjadi cepat lelah, dan kritik sastra berjalan menuju senjakala, sebelum sempat dipandang oleh khalayak luas sastra Indonesia. Suasana senjakala yang membuat kita ngantuk dan lekas tidur. Sehingga semua mudah lelap dan bermimpi, bahwa esok kritik sastra akan terbit lagi pada suatu pagi (di hari yang dinantikan bersama, tapi ternyata tak pernah ada). Dan kritikus kita akan melongoknya sebentar, sepintas-lalu lagi, kata Budi Darma, dan kemudian “bertengkar” lagi sampai sore, kelelahan, kehausan, lapar, dan kehabisan tenaga untuk berpikir, dan kemudian siklus itu berulang dan kembali berulang. Atau ketika malam telah tiba, membuat mereka merasa dihantui lagi olehnya. Akhirnya, esoknya kritikus kita menulis lagi dan mengirimnya ke media-media, dengan tidak lebih baik, atau malah lebih jelek.

Di malam itu, kritikus sastra kita yang tak lelap dan bermimpi malah menderita insomnia, dan kembali berangan-angan tentang kritik sastra di masa depan Suasana gelap ketika itu membuat ia merindukan apa-apa yang lebih terang dan indah untuk memandang “alam” sastra yang selalu dibayangkan hijau dan segar. Atau sekadar bernostalgia tentang pencapaian kritik sastra di masa silam yang kini tidak mungkin terulang, kecuali sebagai kedip bintang. Mereka tidak sibuk belajar tentang perkembangan sastra dan kritik sastra kekinian. Tapi kritikus kita masih juga tergoda dan dihantui pendapat-pendapat yang ingin ia bantah dari kritikus lain yang bersuara di media tertentu, di hari besoknya, dengan palu yang menganggap segalanya sebagai paku. Akhirnya pendapat-pendapat itulah yang kemudian tercatat sebagai sejarah, bahwa kritik sastra kita mengalami gejala “kurang sehat”.

Kritik sastra yang hampir tenggelam itu dipandang oleh kritikus sastra kita dengan gusar, dan kita dibuatnya selalu berharap, harap-harap cemas, bahwa esok akan terbit lagi, ya, ketika ada sayembara kritik sastra yang diadakan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), oleh Badan Bahasa, atau oleh PDS HB Jassin, dst. Kritikus “berbakat” kita (yang bisa siapa saja) itu bersemangat lagi menyambutnya seperti burung pagi bernyanyi menyambut cahaya matahari, mereka berpikir kereas dan menelurkan gagasan-gagasan yang cepat menetas, tapi setelah pagi berlalu, siang membuat agen sastra kita panas lagi, keadaan membuat kita gerah dan ribut lagi, karena sehari selepas pengumuman hasil pemenang, ada ketidaksetujuan, misalnya, kenapa si itu-itu (terus) yang memenangkan sayembara, bukannya si itu (yang lain), padahal esai kritiknya cuma sekadar begini dan begitu, mengulang apa-apa yang lalu, atau hanya pendapat kosong yang tidak ada buktinya, dan blablabla. Dan setelah hari terik itu, senjakala kembali menina-bobokan kritikus sastra kita itu, dan kritik sastra pun tenggelam.

 

/3/

Betapa ganjil dunia sastra kita ketika membayangkan keadaannya semacam itu; sebuah senjakala dan hantu. Tetapi itu pun menghibur, ketika siang hari dihabiskan untuk berbalas dan berdebat alih-alih mengerjakan kritik sastra yang mendalam, agaknya bisa mengisi kekosongan hidup sastra kita yang memang terasa kering dan agak hambar. Itulah sebabnya eksperimen di bidang puisi (terutama, seperti misal cara Martin Suryajaya yang melakukan “penulisan jauh” dengan Chat GTP-nya) atau prosa selalu dilakukan (meski lebih lambat), walaupun sebagian penyair yang tidak lagi produktif merasa tersinggung, dan lekas menganggap bahwa “musim puisi” itu lekas akan berakhir dan berganti tema. Tetapi tidak di dalam lapangan kritik sastra yang hampir tidak terjadi produktivitas yang berarti sebagaimana puisi yang selalu semarak akan eksperimentasi itu, meski tidak tumbuh dalam bentuk-bentuk yang berganti dan cukup berarti.

Di panorama malam alam sastra kita di mana kritik sastra telah padam, kritikus masih melihat kritik sastra sebagai bintang-bintang yang bersinar di masa lalu, sedang karya sastra seperti benda-benda langit yang terabaikan, yang tidak pernah diteropong oleh seorang ilmuwan pun, atau tidak (pernah) ada yang berniat menjadi seorang ilmuwan di lapangan sastra? Agaknya sulit kita membayangkan seorang Einstein, Newton atau Thomas Alva Edison, yang lahir di Jawa atau Jakarta atau di bagian Indonesia yang lain, yang kemudian merumuskan suatu teori untuk membicarakan sastra Indonesia secara ilmiah sekaligus kreatif dan imajinatif.

Para kritikus yang serius dan kreatif (yang notabene bukan anak muda lagi) menjadi gusar ketika melihat bahwa di kandang-kandang akademik pun kritik sastra tidak dihasilkan dengan cukup baik, malah tidak pernah baik, menurut sebagian kritikus itu. Alih-alih berfikir positif tentang bagaimana membuat kritik sastra bisa dikonsumsi luas dan keluar dari kotak-kotaknya, mereka justru pesimis bahkan ada yang mengatakan bahwa kritik sastra kita sudah betul-betul tamat, meski belum kiamat. Keadaan semacam itu membuat kritik sastra tampak seperti senjakala yang tertahan (atau sudah benar-benar ambrol?), tapi tak kunjung tenggelam, samar-samar bahkan menciptakan hantu yang terus menerus datang sebagai momok bagi dunia sastra kita yang terus berproses ke masa depan.

Sebutlah orang-orang yang kreatif dan cukup intens menulis kritik sastranya dengan mendalam seperti Budi Darma, Sapardi Djoko Damono, Subagio Sastrowardoyo almarhum, atau yang masih tersisa; Nirwan Dewanto, Zen Hae, Arif Bagus Prasetyo, Anton Kurnia, dan Goenawan Mohamad. Mereka yang notabene pengarang sekaligus kritikus sastra, mereka yang sudah bertungkus lumus dengan wawasan sastra sejak lama, tentu saja sekarang sulit dicari gantinya, apalagi di era digital ini dengan kecepatan yang mustahil membuat kita menyerap semua pengetahuan lama membuat calon kritikus kreatif harus mengurungkan niat atau malah berbelok arah.

Pada beberapa pandangan, di satu sisi, Arif Bagus Prasetyo mengatakan kritik sastra sudah mati, padam, di sisi lain Nirwan Dewanto masih memimpikan babak baru kritik sastra kita, meski terdengar positif, ia sebenarnya berharap agar kritik sastra tidak kaku, beku, dan dingin, tetapi hangat, tajam dan mengesankan. Walaupun harapan itu tinggallah suatu harapan yang dikerjakan sebagian kecil daripada penulis dan kritikus sastra kita (yang kebanyakan tidak lagi muda). Akhirnya, kritikus sastra laiknya ronin yang berjuang menjalankan tugas ke-samurai-an dengan pedang kritisnya di tengah era yang sudah berubah dan terus menerus berubah, dan pertanyaannya adakah samurai yang seperti ronin itu lagi di era kontemporer ini, di Jepang, misalnya?

Kritik sastra selain kegiatan ilmiah juga adalah seni, orang bebas berpikir untuk menafsirkan teks. Tetapi wawasan seorang kritikus yang minim akan membuat sastra semakin jauh dari pandangan mata para pembaca, bahkan jika argumen itu benar pun akan tetap memiskinkan sastra kita, mereduksinya menjadi semakin kabur. Sebagai seni mestinya kritik sastra kita, apa pun namanya, mestilah bersifat kreatif dan imajinatif, ingin memperkaya kehidupan kesusastraan kita. Atau sebenarnya tidak lagi penting membicarakan topik ini sekarang, sebab pembaca telah bebas menentukan apa saja yang mereka ingin konsumsi, meski itu bukan buku kritik sastra, atau satu dua buah esai kritik sastra, bukan pula sastra “serius” tetapi komik dan manga, novela tentang cinta, dst. Sedangkan untuk menjadi kritikus tidak mungkin mereguk khasanah yang sudah tidak tahu di mana rimbanya, dan waktu pun tidak lagi sempat.

 

/4/

Kritik sastra kita yang menurut Budi Darma jauh dari kritisis, analitis, estetis, disebabkan karena kita lebih banyak mengkonsumsi teori tanpa memahami konteksnya, sedangkan usaha membaca karya sastra kita sendiri masih terbatas, belum lagi pembacaan keluar. Padahal teori sastra lahir setelah orang sibuk membaca sastra, bukan sebaliknya. Atau karena waktu kini memang sudah tidak bisa lagi diulur dalam dunia digital yang serba was wis wus itu, waktu tidak dapat dilipat, walaupun jarak sudah bisa dilipat-lipat, waktu terus bergerak bersama sastra yang terseok, dan kritik sastra yang lebih terseok-seok lagi.

Sebagian lain kritik sastra kita yang gagah-gagahan telah menyebabkan kita terperosok dan tidak bisa mengadakan suatu penglihatan dengan jelas terhadap karya sastra. Agaknya kajian sastra bandingan itulah yang diperlukan dalam membicarakan karya sastra kita agar supaya ada suatu pengenalan lebih kepada karya sastra Indonesia itu sendiri, seperti yang pernah dilakukan HB Jassin terhadap Chairil, walaupun terbatas. Agar terlihat kejelasan kita dalam melihat perkembangan sastra kita ke depan.

Agaknya keinginan untuk belajar itulah sebenarnya yang penting dan akan menopang dunia sastra kita. Jika para pengarang berhenti belajar, berhenti latihan, maka akibatnya tidak ada gairah di dalam dunia kritik sastra. Itu artinya memimpikan babak baru kritik sastra hanyalah sebagai angan-angan yang tidak akan pernah terwujud. Karena kelesuan dan tidak adanya gairah itu, karena suasana yang senjakala dan sudah benar-benar malam, sehingga para kritikus lelap hanya memimpikan babak baru kritik sastra atau dihantui terus menerus olehnya. Alih-alih ketika bangun, ia hanya melihat penampakan hantu kritik sastra yang semakin mengerikan, tapi itu pun kritikus kita tidak pernah bisa membukitkannya, apakah hantu itu benar-benar ada, ataukah hanya ilusi, artinya masih merajalelanya mitos daripada logika yang rasional dan ilmiah, dan mereka pun kembali terlelap.

Kritik sastra kreatif kita sebenarnya hendak mengimbangi apa yang sebetulnya tidak bisa dilakukan kritik sastra kita selama ini, yaitu memunculkan seorang ilmuwan bagi kritik sastra Indonesia. Nihilnya ilmuwan sastra kita itu membuat kekuatan “mitos” masih mengakar kuat pada kehidupan sastra kita daripada sikap ilmiah yang terukur.

Ibarat kita di tepi sungai, kita pun kadang membutuhkan “jembatan” untuk menyeberang, sebelum malam benar-benar membuat segalanya gelap. Hal membuat “jembatan” sebagaimana HB Jassin itu pun perlu dilakukan, misalnya, para “pengamat” sastra yang baik, seperti Linus, Jokpin, Umbu, dst, dst.

Meski demikian, ada yang tidak berubah dari senjakala kritik sastra kita yang tertahan begitu lama membawa kita pada suasana murung dan gamang. Ada yang terus bergerak ke depan walaupun membabi buta, seperti politik dan sastra. Tapi dalam keadaan malam begini kelam, hantu kritik sastra toh muncul kembali menggoda kita untuk mengerjakan kritik menyambut cahaya esok pagi melalui sayembara-sayembara kritik sastra, lomba kritik sastra, dan mengisi ruang-ruang di kolom media massa, meski kita tak pernah benar-benar akan menjadi kritikus sastra.@

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »