Senjakala
Kritik Sastra
Khanafi
/1/
Kehidupan sastra Indonesia kita hari ini
dihantui kritik sastra yang perlahan menunjukkan gejala akan senjakala. Para
kritikus yang begitu mempercayai mutu sastra perlahan kecewa karena hasil
kritik sastra mereka tidak diserap sebagaimana spons menyerap air, tidak ada
pembacanya, tidak best seller, seperti kata Arif Bagus Prasetyo dalam
bincang-bincangnya di Siniar Salihara. Di sisi lain buah-buah sastra tetap
diproduksi dan dijual di pasar dengan kesuksesan yang beragam, sedang kritik
sastra sendiri hanya mengawang-awang di awan, kadang lepas jadi terik, tetapi
tidak pernah menyegarkan, kadang membuat galau karena suasana yang
mendung-mendung tapi tak jadi hujan.
Memang kritik
sastra kita hari ini tidak hanya ditulis dalam bentuk-bentuknya yang
konvensional dan sederhana, seperti resensi, berita, atau artikel. Kritik
sastra kita di era kontemporer masuk di dalam Spotify, Youtube, Facebook, media
online, zoom meeting, dst. Apa yang sebelumnya tidak terjadi di dunia kritik
sastra Indonesia. Kritik sastra kita tidak hanya bisa berdebat melalui tulisan
dan kemudian dibukukan menjadi polemik, tetapi bisa melalui media sosial, audio
visual dan dilangsungkan secara online atau tayangan ulang melalui kanal-kanal
digital. Pendapat tentang sastra tidak lagi terkungkung pada teks, tetapi pada
konteks-konteks sesuai kemajuan teknologi sekarang.
Kritik sastra kita
sudah bukan lagi sebagai jembatan sebagaimana HB Jassin dulu melakukan ikhtiar
untuk mendekatkan sastra kepada pembaca. Sekarang pembaca bebas memilih sendiri
sastra mana yang ingin mereka konsumsi, walaupun oleh beberapa kalangan itu
dianggap bukan sastra, atau sekadar sastra pop, siapa peduli dengan standar
penilaian seperti itu di era kontemporer ini? Ya, mungkin bagi mereka yang ngebet
ingin jadi sastrawan yang berpandangan bahwa membaca sastra pop itu buruk,
singkatnya lebih baik baca karya mereka. Begitu.
Bahwa dengan
majunya teknologi, penerbitan pun melakukan usaha promosi dengan lebih baik
dibanding sebelumnya. Begitu pula dengan para penulis yang adaptif, dapat
semakin dekat dengan para pembacanya melalui, misalnya, media sosial Instagram.
Atau melalui platform-platform digital, dan grup-grup WhatsApp, dst. Tapi
kritik sastra hari ini tetaplah suatu kritik sastra yang kurang dibaca dan
kurang didengarkan, singkatnya, kurang disimak. Kritik sastra kita masih jauh
dari publik pembaca dan pendengarnya secara luas, walaupun penikmatnya yang
segelintir masih akan terus memburu “fatwa” terbaru kritik sastra. Dan hal
seperti itu membuat para kritikus kreatif kita memilih untuk menyibukkan diri
dengan kegiatan sastra yang lebih disambut, atau lebih memilih bincang-bincang pada
beberapa media “pusat” daripada berpendapat secara sistematis melalui tulisan,
walaupun kemudian pendapat-pendapat itu toh dibukukan juga.
/2/
Sekarang, marilah
kita pandang dari jauh dunia sastra kita yang hingar tetapi sepi kritik itu. Di
sebuah tepi, seorang kritikus yang memandangi kritik sastra yang hampir
tenggelam, ia menyaksikan burung-burung esai pulang ke sarangnya yang tidak
ada. Dan di malam yang senyap, kerlip-kerlap bintang yang menyimpan masa lalu kritik
sastra Indonesia dan kegelisahan kritikus itu, yang mengharap mimpi dan cita
seperti doa yang menunggu dikabulkan lewat jatuhnya satu bintang, tetapi
sia-sia. Malam tetap diam, dan milik kebisuan, tidak menyahut pun pada kritikus
kita yang gamang.
Sastra Indonesia kita
kini hampir kehilangan kritik sastra entah sampai kapan, seperti malam yang
panjang dengan insomnia. Keadaan demikian disebabkan, pertama, karena kita
tidak banyak membaca karya sastra kita sendiri sehingga kita tidak punya
pandangan yang cukup berarti tentang karya sastra kita. Kedua, karena kita
sibuk bertengkar di “siang bolong” (bisa dilihat melalui sejarah perdebatan
baik yang kreatif maupun yang stagnan) alih-alih sibuk belajar, mempraktikkan
kritik sastra dengan pener (sebab seringkali hanya argumen abstrak, teori tanpa
praktik), dan membandingkan hasil-hasil sastra kita dengan benar. Misalnya,
membandingkan sastra kita dengan sastra luar, atau apa saja “yang mungkin” bisa
dibicarakan untuk membuat sastra kita bergairah, seperti menghubungkannya
dengan seni lain atau disiplin ilmu yang lain, keadaan semacam itu yang juga diharapkan
Budi Darma dan Nirwan Dewanto, yaitu sastra mesti menyublim.
Kondisi kritik
sastra tertulis kita yang kendur juga disebabkan karena sebagian kritikus kita
sibuk “berpolemik” alih-alih menulis kritik sastra, yang akhirnya mereka menjadi
cepat lelah, dan kritik sastra berjalan menuju senjakala, sebelum sempat
dipandang oleh khalayak luas sastra Indonesia. Suasana senjakala yang membuat
kita ngantuk dan lekas tidur. Sehingga semua mudah lelap dan bermimpi,
bahwa esok kritik sastra akan terbit lagi pada suatu pagi (di hari yang
dinantikan bersama, tapi ternyata tak pernah ada). Dan kritikus kita akan
melongoknya sebentar, sepintas-lalu lagi, kata Budi Darma, dan kemudian “bertengkar”
lagi sampai sore, kelelahan, kehausan, lapar, dan kehabisan tenaga untuk
berpikir, dan kemudian siklus itu berulang dan kembali berulang. Atau ketika
malam telah tiba, membuat mereka merasa dihantui lagi olehnya. Akhirnya,
esoknya kritikus kita menulis lagi dan mengirimnya ke media-media, dengan tidak
lebih baik, atau malah lebih jelek.
Di malam itu, kritikus
sastra kita yang tak lelap dan bermimpi malah menderita insomnia, dan kembali
berangan-angan tentang kritik sastra di masa depan Suasana gelap ketika itu
membuat ia merindukan apa-apa yang lebih terang dan indah untuk memandang
“alam” sastra yang selalu dibayangkan hijau dan segar. Atau sekadar
bernostalgia tentang pencapaian kritik sastra di masa silam yang kini tidak
mungkin terulang, kecuali sebagai kedip bintang. Mereka tidak sibuk belajar
tentang perkembangan sastra dan kritik sastra kekinian. Tapi kritikus kita
masih juga tergoda dan dihantui pendapat-pendapat yang ingin ia bantah dari
kritikus lain yang bersuara di media tertentu, di hari besoknya, dengan palu
yang menganggap segalanya sebagai paku. Akhirnya pendapat-pendapat itulah
yang kemudian tercatat sebagai sejarah, bahwa kritik sastra kita mengalami
gejala “kurang sehat”.
Kritik sastra yang
hampir tenggelam itu dipandang oleh kritikus sastra kita dengan gusar, dan kita
dibuatnya selalu berharap, harap-harap cemas, bahwa esok akan terbit lagi, ya,
ketika ada sayembara kritik sastra yang diadakan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ),
oleh Badan Bahasa, atau oleh PDS HB Jassin, dst. Kritikus “berbakat” kita (yang
bisa siapa saja) itu bersemangat lagi menyambutnya seperti burung pagi
bernyanyi menyambut cahaya matahari, mereka berpikir kereas dan menelurkan
gagasan-gagasan yang cepat menetas, tapi setelah pagi berlalu, siang membuat agen
sastra kita panas lagi, keadaan membuat kita gerah dan ribut lagi, karena sehari
selepas pengumuman hasil pemenang, ada ketidaksetujuan, misalnya, kenapa si itu-itu
(terus) yang memenangkan sayembara, bukannya si itu (yang lain), padahal esai
kritiknya cuma sekadar begini dan begitu, mengulang apa-apa yang lalu, atau
hanya pendapat kosong yang tidak ada buktinya, dan blablabla. Dan setelah hari
terik itu, senjakala kembali menina-bobokan kritikus sastra kita itu, dan
kritik sastra pun tenggelam.
/3/
Betapa ganjil
dunia sastra kita ketika membayangkan keadaannya semacam itu; sebuah senjakala
dan hantu. Tetapi itu pun menghibur, ketika siang hari dihabiskan untuk berbalas
dan berdebat alih-alih mengerjakan kritik sastra yang mendalam, agaknya bisa mengisi
kekosongan hidup sastra kita yang memang terasa kering dan agak hambar. Itulah
sebabnya eksperimen di bidang puisi (terutama, seperti misal cara Martin
Suryajaya yang melakukan “penulisan jauh” dengan Chat GTP-nya) atau prosa
selalu dilakukan (meski lebih lambat), walaupun sebagian penyair yang tidak
lagi produktif merasa tersinggung, dan lekas menganggap bahwa “musim puisi” itu
lekas akan berakhir dan berganti tema. Tetapi tidak di dalam lapangan kritik
sastra yang hampir tidak terjadi produktivitas yang berarti sebagaimana puisi
yang selalu semarak akan eksperimentasi itu, meski tidak tumbuh dalam
bentuk-bentuk yang berganti dan cukup berarti.
Di panorama malam
alam sastra kita di mana kritik sastra telah padam, kritikus masih melihat
kritik sastra sebagai bintang-bintang yang bersinar di masa lalu, sedang karya
sastra seperti benda-benda langit yang terabaikan, yang tidak pernah diteropong
oleh seorang ilmuwan pun, atau tidak (pernah) ada yang berniat menjadi seorang
ilmuwan di lapangan sastra? Agaknya sulit kita membayangkan seorang Einstein, Newton
atau Thomas Alva Edison, yang lahir di Jawa atau Jakarta atau di bagian
Indonesia yang lain, yang kemudian merumuskan suatu teori untuk membicarakan
sastra Indonesia secara ilmiah sekaligus kreatif dan imajinatif.
Para kritikus yang
serius dan kreatif (yang notabene bukan anak muda lagi) menjadi gusar ketika
melihat bahwa di kandang-kandang akademik pun kritik sastra tidak dihasilkan
dengan cukup baik, malah tidak pernah baik, menurut sebagian kritikus itu. Alih-alih
berfikir positif tentang bagaimana membuat kritik sastra bisa dikonsumsi luas dan
keluar dari kotak-kotaknya, mereka justru pesimis bahkan ada yang mengatakan
bahwa kritik sastra kita sudah betul-betul tamat, meski belum kiamat. Keadaan
semacam itu membuat kritik sastra tampak seperti senjakala yang tertahan (atau
sudah benar-benar ambrol?), tapi tak kunjung tenggelam, samar-samar bahkan
menciptakan hantu yang terus menerus datang sebagai momok bagi dunia sastra
kita yang terus berproses ke masa depan.
Sebutlah
orang-orang yang kreatif dan cukup intens menulis kritik sastranya dengan
mendalam seperti Budi Darma, Sapardi Djoko Damono, Subagio Sastrowardoyo
almarhum, atau yang masih tersisa; Nirwan Dewanto, Zen Hae, Arif Bagus
Prasetyo, Anton Kurnia, dan Goenawan Mohamad. Mereka yang notabene pengarang
sekaligus kritikus sastra, mereka yang sudah bertungkus lumus dengan wawasan
sastra sejak lama, tentu saja sekarang sulit dicari gantinya, apalagi di era
digital ini dengan kecepatan yang mustahil membuat kita menyerap semua
pengetahuan lama membuat calon kritikus kreatif harus mengurungkan niat atau
malah berbelok arah.
Pada beberapa
pandangan, di satu sisi, Arif Bagus Prasetyo mengatakan kritik sastra sudah
mati, padam, di sisi lain Nirwan Dewanto masih memimpikan babak baru kritik
sastra kita, meski terdengar positif, ia sebenarnya berharap agar kritik sastra
tidak kaku, beku, dan dingin, tetapi hangat, tajam dan mengesankan. Walaupun
harapan itu tinggallah suatu harapan yang dikerjakan sebagian kecil daripada
penulis dan kritikus sastra kita (yang kebanyakan tidak lagi muda). Akhirnya, kritikus
sastra laiknya ronin yang berjuang menjalankan tugas ke-samurai-an dengan
pedang kritisnya di tengah era yang sudah berubah dan terus menerus berubah,
dan pertanyaannya adakah samurai yang seperti ronin itu lagi di era kontemporer
ini, di Jepang, misalnya?
Kritik sastra
selain kegiatan ilmiah juga adalah seni, orang bebas berpikir untuk menafsirkan
teks. Tetapi wawasan seorang kritikus yang minim akan membuat sastra semakin
jauh dari pandangan mata para pembaca, bahkan jika argumen itu benar pun akan tetap
memiskinkan sastra kita, mereduksinya menjadi semakin kabur. Sebagai seni
mestinya kritik sastra kita, apa pun namanya, mestilah bersifat kreatif dan
imajinatif, ingin memperkaya kehidupan kesusastraan kita. Atau sebenarnya tidak
lagi penting membicarakan topik ini sekarang, sebab pembaca telah bebas
menentukan apa saja yang mereka ingin konsumsi, meski itu bukan buku kritik
sastra, atau satu dua buah esai kritik sastra, bukan pula sastra “serius”
tetapi komik dan manga, novela tentang cinta, dst. Sedangkan untuk menjadi
kritikus tidak mungkin mereguk khasanah yang sudah tidak tahu di mana rimbanya,
dan waktu pun tidak lagi sempat.
/4/
Kritik sastra kita
yang menurut Budi Darma jauh dari kritisis, analitis, estetis, disebabkan
karena kita lebih banyak mengkonsumsi teori tanpa memahami konteksnya,
sedangkan usaha membaca karya sastra kita sendiri masih terbatas, belum lagi
pembacaan keluar. Padahal teori sastra lahir setelah orang sibuk membaca
sastra, bukan sebaliknya. Atau karena waktu kini memang sudah tidak bisa lagi
diulur dalam dunia digital yang serba was wis wus itu, waktu tidak dapat
dilipat, walaupun jarak sudah bisa dilipat-lipat, waktu terus bergerak bersama
sastra yang terseok, dan kritik sastra yang lebih terseok-seok lagi.
Sebagian lain kritik
sastra kita yang gagah-gagahan telah menyebabkan kita terperosok dan tidak bisa
mengadakan suatu penglihatan dengan jelas terhadap karya sastra. Agaknya kajian
sastra bandingan itulah yang diperlukan dalam membicarakan karya sastra kita
agar supaya ada suatu pengenalan lebih kepada karya sastra Indonesia itu
sendiri, seperti yang pernah dilakukan HB Jassin terhadap Chairil, walaupun
terbatas. Agar terlihat kejelasan kita dalam melihat perkembangan sastra kita
ke depan.
Agaknya keinginan
untuk belajar itulah sebenarnya yang penting dan akan menopang dunia sastra
kita. Jika para pengarang berhenti belajar, berhenti latihan, maka akibatnya
tidak ada gairah di dalam dunia kritik sastra. Itu artinya memimpikan babak
baru kritik sastra hanyalah sebagai angan-angan yang tidak akan pernah terwujud.
Karena kelesuan dan tidak adanya gairah itu, karena suasana yang senjakala dan
sudah benar-benar malam, sehingga para kritikus lelap hanya memimpikan babak
baru kritik sastra atau dihantui terus menerus olehnya. Alih-alih ketika bangun,
ia hanya melihat penampakan hantu kritik sastra yang semakin mengerikan, tapi
itu pun kritikus kita tidak pernah bisa membukitkannya, apakah hantu itu
benar-benar ada, ataukah hanya ilusi, artinya masih merajalelanya mitos
daripada logika yang rasional dan ilmiah, dan mereka pun kembali terlelap.
Kritik sastra
kreatif kita sebenarnya hendak mengimbangi apa yang sebetulnya tidak bisa
dilakukan kritik sastra kita selama ini, yaitu memunculkan seorang ilmuwan bagi
kritik sastra Indonesia. Nihilnya ilmuwan sastra kita itu membuat kekuatan
“mitos” masih mengakar kuat pada kehidupan sastra kita daripada sikap ilmiah
yang terukur.
Ibarat kita di
tepi sungai, kita pun kadang membutuhkan “jembatan” untuk menyeberang, sebelum
malam benar-benar membuat segalanya gelap. Hal membuat “jembatan” sebagaimana
HB Jassin itu pun perlu dilakukan, misalnya, para “pengamat” sastra yang baik,
seperti Linus, Jokpin, Umbu, dst, dst.
Meski demikian,
ada yang tidak berubah dari senjakala kritik sastra kita yang tertahan begitu
lama membawa kita pada suasana murung dan gamang. Ada yang terus bergerak ke
depan walaupun membabi buta, seperti politik dan sastra. Tapi dalam keadaan
malam begini kelam, hantu kritik sastra toh muncul kembali menggoda kita untuk
mengerjakan kritik menyambut cahaya esok pagi melalui sayembara-sayembara
kritik sastra, lomba kritik sastra, dan mengisi ruang-ruang di kolom media
massa, meski kita tak pernah benar-benar akan menjadi kritikus sastra.@