Agamamu Apa? Agamaku Cinta dan Air - Ilham Wahyudi

@kontributor 12/03/2023

Agamamu Apa? Agamaku Cinta dan Air

Ilham Wahyudi


 

Seseorang memberikan aku korek, ulah kebodohanku yang lupa membawa korekku sendiri. Dia sama sekali tidak mengenalku. Bahkan melihatku, pun mungkin kali pertama. Aku pikir perlakuannya padaku manis sekali; semanis senyumnya kala memberikan aku korek, “Ambil saja, aku punya dua!”

Tentu saja aku ambil. Bagaimana mungkin aku menolak pemberian seorang bidadari yang entah karena alasan apa Tuhan menurunkannya tepat di hadapanku, yang sedang kepayahan mencari korek. Selain dia memang cantik bagai bidadari, perbuatannya memberikan aku korek, layak kusebut sebagai bidadari. Aku jadi teringat sebuah puisi yang ditulis seorang penyair besar yang begitu dicintai banyak orang, kalau tidak salah nama beliau Joko Pinurbo. Begini bunyinya, Agamamu apa? Agamaku adalah air yang membersihkan pertanyaanmu.

Betapa dia (bidadari itu) tak perlu lebih dulu tahu apa keyakinanku, partai politik pilihanku, bahkan status pernikahanku, bidadari itu mudah saja memberikan satu koreknya kepadaku. Mungkin aku terkesan berlebihan, apalagi dia sememang memiliki dua buah korek. Namun zaman sekarang, jangankan memberi korek, rokok saja kadang bagai pedang yang meluncur dari sarung: satu-satu keluar melalui saku baju atau celana.

Begitulah momen pertamaku bertemu dengan Merah. Ya, namanya memang Merah; Merah Cinta Pertamaku. Dan Merah ternyata memang anak pertama dari tiga bersaudara. Aku pikir keluarganya pastilah keluarga yang unik. Bagaimana tidak? Adik perempuan tepat di bawahnya bernama Biru Laut Hatiku, sedangkan adik bungsunya bernama Kuning Matahari Pagiku. Awalnya aku menduga ayahnya pastilah seorang penyair, atau paling tidak penyuka karya sastra. Kemudian hari, setelah kami semakin akrab, dan mulai saling bertukar kabar melalui pesan WA, aku pun tahu ayahnya ternyata seorang mantan preman yang insyaf, yang kemudian menjadi pengusaha mobil bekas di Surabaya.

Maka, setelah peristiwa pemberian korek itu, aku pun mati-matian mengejar Merah. Aku bersumpah, tak kan kubiarkan dia menjadi milik orang lain, selain aku. Dan demi apa pun, tak sekalipun kubuat dia bersedih, konon pula kecewa.

Kini, Merah senyata telah menjadi bidadariku. Bidadari yang selalu mendukung, dan mendorongku untuk kokoh pada pilihan hidupku menjadi penulis; penulis puisi. Cobalah pikir baik-baik, apa yang bisa diharapkan pada seorang penulis puisi, selain mungkin kesabaran. Sahih, tanpa kesabaran tentu saja sulit bagi seorang penyair melahirkan karya puisi-puisi dahsyatnya. Dan dengan kesabaran itu pula penyair mampu menyusun, menjahit, mengubah, menyusun lagi, menjahit lagi, kata demi kata menjadi baris-baris puisi mustajab; yang bunyi dan baunya menembus langit.

Meskipun aku hanya seorang penyair, sungguh Tuhan, ya Tuhan yang pengasih dan penyayang, yang mengatur segala takdir bagi manusia, telah pula melempangkan jalanku memiliki Merah tanpa gangguan, dan hambatan yang berarti.

Bukan tanpa alasan aku mengatakan demikian. Bayangkan saja, sudah belasan lamaran dari lelaki mapan ulang berulang mengetuk pintu rumah orang tua Merah. Tetapi tak sekalipun gayung lamaran itu bersambut angguk setuju. Ayah Merah sungguh tidak gelap mata akan harta yang ditonjolkan para pelamar Merah. Sehingga bila setiap satu lamaran menjulur, selalu ayah Merah mengajak Merah berdiskusi. Dan tentu saja, semuanya ditolak Merah, sebab aku, sungguh cinta pertama Merah. Cinta yang telah membakar sekujur tubuhnya, mungkin juga jiwanya, hingga dia pun merasa pantas bernama Merah.

Akan tetapi, bagaimana pun, aku tetaplah harus menghadapkan wajah ke hadapan kedua orang tua Merah. Menceritakan semua tentangku, tentang keluargaku, dan juga tentang cita-citaku di masa depan.

”Apa kau takut bertemu ayahku, Anggara?” tanya Merah penuh khawatir.

”Tentu saja tidak, sayang. Apa yang harus aku takutkan? Aku tidak pernah melukaimu, aku tak pernah meninggalkanmu kala kau membutuhkanku, aku pun tidak pernah pula melakukan apa yang belum pantas aku lakukan. Dan yang paling penting, aku bukan kriminal,” jawabku.

Merah tersenyum lega.

”Kalau begitu, kapan kau akan datang melamarku, Anggara?” tanya Merah lagi penasaran.

”Kau mau kapan, sayang? Besok, minggu depan, bulan depan, atau saat ini juga kita berangkat ke Surabaya?” kataku penuh semangat.

Merah tertawa. Tentu saja dia terlihat semakin cantik. Aku pikir, sepanjang hidupku yang sebenarnya pendek ini, tak pernah kulihat perempuan di dunia ini yang apabila tertawa, kecantikannya tak berkurang sedikitpun, dan malah semakin-makin cantiknya. Dan bila itu kukatakan kepadanya (meski ulang berulang), tetap saja wajahnya menjadi tampak semakin merona merah. Ah, bagaimana tak gila aku padanya.

“Tidak juga mesti hari ini, Anggara. Tapi, apa kau sudah siap bila ayahku bertanya-tanya soal pekerjaan kamu, misalnya?”

”Selama ini apa yang sudah kamu sampaikan kepada Ayah tentangku, Merah?”

”Semua. Semuanya sudah aku katakan, Anggara.”

”Nah, apa lagi masalahnya. Aku pun akan mengatakan hal yang sama, bahwa aku seorang penyair dan siap menikahimu sekaligus mengambil peran menggantikan tanggung jawab ayahmu menjadi tanggung jawabku sepenuhnya.”

”Baguslah. Aku selalu suka pada kepercayaan dirimu. Dan kau tahu, Anggara, kepercayaan dirimu itulah yang membuat aku jatuh cinta kepadamu, Anggara.”

Ah, gantian, aku pula yang merah merona mendapat pujian Merahku. Kami pun tertawa. Tentu saja menertawai wajah kami yang sudah pula sama-sama merah, bersebab kami saling menyodorkan puji-pujian.

Tepat sebulan kemudian, dengan kereta ekonomi kami berangkat ke Surabaya. Aku pikir tak ada bedanya antara kereta ekonomi dan kereta eksekutif, selain soal waktu tempuh, stasiun tempat kami turun, dan tentu saja harga yang terang benderang menjelaskan kondisi kantong kami (lebih tepatnya kantongku). Apalagi di kereta berdua dengan Merah bidadariku, aku merasa seperti naik jet pribadi khas konglomerat. Dan sungguh, betapa waktu sebelas jam lebih tiga menit dari Stasiun Pasar Senen menuju Stasiun Pasar Turi, tak sedikitpun melahirkan lelah di wajah kami berdua.

Setelah selesai (sebentar kami) minum kopi dan menghisap sebatang rokok, kami pun langsung gegas menuju rumah orang tua Merah. Orang tua Merah tinggal di daerah Ketintang, tak jauh dari Mal Royal Plaza. Aku yang baru pertama kali ke Surabaya tentu saja tidak mau terlalu banyak tanya, alias ikut saja apa kata bidadariku. Hampir pukul sembilan malam, kami sampai juga di depan pintu rumah orang tua Merah. Tadi kami berangkat dari Senen pukul 08.40 dan tiba di Turi pukul 19.43.

Sopan adik bungsu Merah menyambut kami, dan menyilakan aku masuk. Di dalam aku sudah ditunggu kedua orang tua Merah. Langsung aku bersalaman dengan ayah Merah, lalu lanjut menyalami ibu Merah. Mereka menyilakan aku duduk. Merah sudah masuk ke dalam kamarnya mengganti pakaian. Aku pun sendiri saja tanpa Merah, tatkala Biru adiknya datang membawakan teh hangat.

”Masnya, tidur di sini kan? Kuning bisa tidur di kamar kakaknya Biru kok malam ini. Jadi besok Masnya tidak perlu repot-repot balik kemari,” kata ibu Merah.

”Terima kasih tawarannya, Bu. Tapi tadi di jalan, saya sudah melihat penginapan yang tak jauh dari sini. Saya menginap di sana saja, Bu,” jawabku sopan.

”Benar, sudah benar kata Mas itu, Bu,” sambung ayah Merah.

Jujur, aku tak tahu tawaran tadi itu apakah semacam tes pertamaku atau tidak. Tapi aku merasa lega memilih menginap di penginapan. Apalagi pilihanku pun mendapat dukungan ayah Merah.

Setelah beberapa saat berbicara seputar perjalananku dan Merah, aku izin pamit ke penginapan kepada kedua orang tua Merah. Di depan pintu pagar, Merah meremas jariku. Dia berkata, ”Besok tidak usah terlalu pagi. Istirahat saja dulu. Jam 10 tak soal kamu datang.” Aku mengangguk, kemudian meninggalkan rumah orang tua Merah.

Di penginapan malam terasa panjang sekali. Aku sungguh tak sabar menunggu matahari pagi, dan segera kembali ke rumah orang tua Merah untuk menyampaikan niat suciku yang ingin menikahi Merah. Mungkin pukul dua dini hari aku baru tertidur. Tapi jam lima pagi, aku sudah terbangun, dan langsung mandi.

Sejak mandi sampai pukul sembilan tiga puluh, waktu sungguh terasa sangat lambat. Aku sengaja berencana berangkat pukul sembilan tiga puluh, agar pukul sepuluh tepat aku sudah sampai di rumah orang tua Merah. Tadi malam, aku hitung dengan berjalan kaki, butuh waktu 30 menit untuk sampai ke penginapan. Maka, tepat pukul 09.30, aku check out lalu menuju rumah orang tua Merah. Aku memang hanya memesan satu malam saja, sebab nanti malam pukul sembilan lewat empat puluh lima menit, aku balik kembali ke Jakarta.

”Jadi, di mana dulu Mas kenal Merah anak saya?” tanya ayah Merah setelah lebih dulu bertanya perihal istirahatku semalam di penginapan.

Aku tentu saja tidak mungkin menjawab secara gamblang pertemuan pertamaku dengan Merah. Maka dengan niat baik (agar ayah merah tidak salah sangka) aku sedikit mengarang cerita. Perihal ini sebelumnya juga sudah aku bicarakan dengan Merah. Dan dia pun setuju.

 ”Saya dikenalkan oleh seorang teman Merah, Pak,” jawabku singkat.

Tanpa memberi jeda, ayah Merah langsung menodongku dengan pertanyaan inti.

”Oh..., jadi kalau boleh bapak tahu, apa niat Mas Anggara datang kemari?” tanya ayah Merah kembali yang sepertinya merasakan hal yang sama denganku: sama-sama ingin semua ini segera tuntas. Toh dia juga sudah tahu kalau Merah anaknya memilihku. Tanpa basa-basi aku pun menjawab tegas.

”Saya datang kemari dengan niat baik, ingin menikahi putri Bapak, Merah Cinta Pertamaku,” jawabku lagi-lagi singkat.

Aku lihat ayah Merah manggut-manggut. Sementara ibu Merah tampak sedikit khawatir. Tapi tak lama kemudian kulihat wajahnya menerbitkan kelegaan setelah mendengar jawabanku yang singkat padat itu.

”Sebelum kita terlalu jauh berbicara, perlu saya sampaikan Mas Anggara, saya bukanlah orang yang paham agama secara baik. Masa lalu saya juga tak baik-baik sekali. Tapi penting bagi saya memastikan anak saya akan bersama orang yang kelak bisa membimbingnya secara benar dalam beragama. Boleh saya tahu apa agama, Mas Anggara?”

Sungguh kaget aku mendengar pertanyaan ayah Merah. Aku pikir pastilah Merah sudah cerita soal agamaku. Tapi karena dalam kondisi segera harus menjawab, aku pun berkesimpulan, pertanyaan itu pastilah bukan tanpa maksud. Dengan cepat dan singkat juga, kujawab, ”Agama saya Cinta dan Air, Pak.”

Mendadak suasana menjadi hening. Tapi aku tetap bergeming. Kemudian, di luar dugaanku sesuatu terjadi. Ayah Merah meledakkan tawa, begitu juga dengan ibunya. Setelah itu, tentu saja sudah bisa ditebak ke mana akhirnya.

Akasia, 2023

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »