Agamamu Apa? Agamaku Cinta dan Air
Ilham Wahyudi
Seseorang memberikan aku korek, ulah kebodohanku yang lupa
membawa korekku sendiri. Dia sama sekali tidak mengenalku. Bahkan melihatku,
pun mungkin kali pertama. Aku pikir perlakuannya padaku manis sekali; semanis
senyumnya kala memberikan aku korek, “Ambil saja, aku punya dua!”
Tentu saja aku ambil. Bagaimana mungkin aku menolak
pemberian seorang bidadari yang entah karena alasan apa Tuhan menurunkannya
tepat di hadapanku, yang sedang kepayahan mencari korek. Selain dia memang
cantik bagai bidadari, perbuatannya memberikan aku korek, layak kusebut sebagai
bidadari. Aku jadi teringat sebuah puisi yang ditulis seorang penyair besar
yang begitu dicintai banyak orang, kalau tidak salah nama beliau Joko Pinurbo. Begini
bunyinya, Agamamu apa? Agamaku adalah air yang membersihkan pertanyaanmu.
Betapa dia (bidadari itu) tak perlu lebih dulu tahu apa
keyakinanku, partai politik pilihanku, bahkan status pernikahanku, bidadari itu
mudah saja memberikan satu koreknya kepadaku. Mungkin aku terkesan berlebihan,
apalagi dia sememang memiliki dua buah korek. Namun zaman sekarang, jangankan
memberi korek, rokok saja kadang bagai pedang yang meluncur dari sarung:
satu-satu keluar melalui saku baju atau celana.
Begitulah momen pertamaku bertemu dengan Merah. Ya,
namanya memang Merah; Merah Cinta Pertamaku. Dan Merah ternyata memang anak
pertama dari tiga bersaudara. Aku pikir keluarganya pastilah keluarga yang
unik. Bagaimana tidak? Adik perempuan tepat di bawahnya bernama Biru Laut
Hatiku, sedangkan adik bungsunya bernama Kuning Matahari Pagiku. Awalnya aku
menduga ayahnya pastilah seorang penyair, atau paling tidak penyuka karya
sastra. Kemudian hari, setelah kami semakin akrab, dan mulai saling bertukar
kabar melalui pesan WA, aku pun tahu ayahnya ternyata seorang mantan preman
yang insyaf, yang kemudian menjadi pengusaha mobil bekas di Surabaya.
Maka, setelah peristiwa pemberian korek itu, aku pun mati-matian
mengejar Merah. Aku bersumpah, tak kan kubiarkan dia menjadi milik orang lain,
selain aku. Dan demi apa pun, tak sekalipun kubuat dia bersedih, konon pula
kecewa.
Kini, Merah senyata telah menjadi bidadariku. Bidadari
yang selalu mendukung, dan mendorongku untuk kokoh pada pilihan hidupku menjadi
penulis; penulis puisi. Cobalah pikir baik-baik, apa yang bisa diharapkan pada
seorang penulis puisi, selain mungkin kesabaran. Sahih, tanpa kesabaran tentu
saja sulit bagi seorang penyair melahirkan karya puisi-puisi dahsyatnya. Dan dengan
kesabaran itu pula penyair mampu menyusun, menjahit, mengubah, menyusun lagi,
menjahit lagi, kata demi kata menjadi baris-baris puisi mustajab; yang bunyi
dan baunya menembus langit.
Meskipun aku hanya seorang penyair, sungguh Tuhan, ya
Tuhan yang pengasih dan penyayang, yang mengatur segala takdir bagi manusia,
telah pula melempangkan jalanku memiliki Merah tanpa gangguan, dan hambatan
yang berarti.
Bukan tanpa alasan aku mengatakan demikian. Bayangkan
saja, sudah belasan lamaran dari lelaki mapan ulang berulang mengetuk pintu
rumah orang tua Merah. Tetapi tak sekalipun gayung lamaran itu bersambut angguk
setuju. Ayah Merah sungguh tidak gelap mata akan harta yang ditonjolkan para
pelamar Merah. Sehingga bila setiap satu lamaran menjulur, selalu ayah Merah mengajak
Merah berdiskusi. Dan tentu saja, semuanya ditolak Merah, sebab aku, sungguh
cinta pertama Merah. Cinta yang telah membakar sekujur tubuhnya, mungkin juga
jiwanya, hingga dia pun merasa pantas bernama Merah.
Akan tetapi, bagaimana pun, aku tetaplah harus menghadapkan
wajah ke hadapan kedua orang tua Merah. Menceritakan semua tentangku, tentang
keluargaku, dan juga tentang cita-citaku di masa depan.
”Apa kau takut bertemu ayahku, Anggara?” tanya Merah penuh
khawatir.
”Tentu saja tidak, sayang. Apa yang harus aku takutkan?
Aku tidak pernah melukaimu, aku tak pernah meninggalkanmu kala kau
membutuhkanku, aku pun tidak pernah pula melakukan apa yang belum pantas aku
lakukan. Dan yang paling penting, aku bukan kriminal,” jawabku.
Merah tersenyum lega.
”Kalau begitu, kapan kau akan datang melamarku,
Anggara?” tanya Merah lagi penasaran.
”Kau mau kapan, sayang? Besok, minggu depan, bulan
depan, atau saat ini juga kita berangkat ke Surabaya?” kataku penuh semangat.
Merah tertawa. Tentu saja dia terlihat semakin cantik. Aku
pikir, sepanjang hidupku yang sebenarnya pendek ini, tak pernah kulihat
perempuan di dunia ini yang apabila tertawa, kecantikannya tak berkurang sedikitpun,
dan malah semakin-makin cantiknya. Dan bila itu kukatakan kepadanya (meski
ulang berulang), tetap saja wajahnya menjadi tampak semakin merona merah. Ah,
bagaimana tak gila aku padanya.
“Tidak juga mesti hari ini, Anggara. Tapi, apa kau sudah
siap bila ayahku bertanya-tanya soal pekerjaan kamu, misalnya?”
”Selama ini apa yang sudah kamu sampaikan kepada Ayah
tentangku, Merah?”
”Semua. Semuanya sudah aku katakan, Anggara.”
”Nah, apa lagi masalahnya. Aku pun akan mengatakan hal
yang sama, bahwa aku seorang penyair dan siap menikahimu sekaligus mengambil
peran menggantikan tanggung jawab ayahmu menjadi tanggung jawabku sepenuhnya.”
”Baguslah. Aku selalu suka pada kepercayaan dirimu. Dan
kau tahu, Anggara, kepercayaan dirimu itulah yang membuat aku jatuh cinta
kepadamu, Anggara.”
Ah, gantian, aku pula yang merah merona mendapat pujian
Merahku. Kami pun tertawa. Tentu saja menertawai wajah kami yang sudah pula
sama-sama merah, bersebab kami saling menyodorkan puji-pujian.
Tepat sebulan kemudian, dengan kereta ekonomi kami
berangkat ke Surabaya. Aku pikir tak ada bedanya antara kereta ekonomi dan
kereta eksekutif, selain soal waktu tempuh, stasiun tempat kami turun, dan
tentu saja harga yang terang benderang menjelaskan kondisi kantong kami (lebih
tepatnya kantongku). Apalagi di kereta berdua dengan Merah bidadariku, aku merasa
seperti naik jet pribadi khas konglomerat. Dan sungguh, betapa waktu sebelas
jam lebih tiga menit dari Stasiun Pasar Senen menuju Stasiun Pasar Turi, tak
sedikitpun melahirkan lelah di wajah kami berdua.
Setelah selesai (sebentar kami) minum kopi dan menghisap
sebatang rokok, kami pun langsung gegas menuju rumah orang tua Merah. Orang tua
Merah tinggal di daerah Ketintang, tak jauh dari Mal Royal Plaza. Aku yang baru
pertama kali ke Surabaya tentu saja tidak mau terlalu banyak tanya, alias ikut
saja apa kata bidadariku. Hampir pukul sembilan malam, kami sampai juga di
depan pintu rumah orang tua Merah. Tadi kami berangkat dari Senen pukul 08.40
dan tiba di Turi pukul 19.43.
Sopan adik bungsu Merah menyambut kami, dan menyilakan
aku masuk. Di dalam aku sudah ditunggu kedua orang tua Merah. Langsung aku
bersalaman dengan ayah Merah, lalu lanjut menyalami ibu Merah. Mereka
menyilakan aku duduk. Merah sudah masuk ke dalam kamarnya mengganti pakaian. Aku
pun sendiri saja tanpa Merah, tatkala Biru adiknya datang membawakan teh
hangat.
”Masnya, tidur di sini kan? Kuning bisa tidur di kamar
kakaknya Biru kok malam ini. Jadi besok Masnya tidak perlu repot-repot balik kemari,” kata ibu Merah.
”Terima kasih tawarannya, Bu. Tapi tadi di jalan, saya
sudah melihat penginapan yang tak jauh dari sini. Saya menginap di sana saja,
Bu,” jawabku sopan.
”Benar, sudah benar kata Mas itu, Bu,” sambung ayah
Merah.
Jujur, aku tak tahu tawaran tadi itu apakah semacam tes
pertamaku atau tidak. Tapi aku merasa lega memilih menginap di penginapan.
Apalagi pilihanku pun mendapat dukungan ayah Merah.
Setelah beberapa saat berbicara seputar perjalananku dan
Merah, aku izin pamit ke penginapan kepada kedua orang tua Merah. Di depan
pintu pagar, Merah meremas jariku. Dia berkata, ”Besok tidak usah terlalu pagi.
Istirahat saja dulu. Jam 10 tak soal kamu datang.” Aku mengangguk, kemudian meninggalkan
rumah orang tua Merah.
Di penginapan malam terasa panjang sekali. Aku sungguh
tak sabar menunggu matahari pagi, dan segera kembali ke rumah orang tua Merah
untuk menyampaikan niat suciku yang ingin menikahi Merah. Mungkin pukul dua
dini hari aku baru tertidur. Tapi jam lima pagi, aku sudah terbangun, dan
langsung mandi.
Sejak mandi sampai pukul sembilan tiga puluh, waktu
sungguh terasa sangat lambat. Aku sengaja berencana berangkat pukul sembilan
tiga puluh, agar pukul sepuluh tepat aku sudah sampai di rumah orang tua Merah.
Tadi malam, aku hitung dengan berjalan kaki, butuh waktu 30 menit untuk sampai
ke penginapan. Maka, tepat pukul 09.30, aku check out lalu menuju rumah
orang tua Merah. Aku memang hanya memesan satu malam saja, sebab nanti malam
pukul sembilan lewat empat puluh lima menit, aku balik kembali ke Jakarta.
”Jadi, di mana dulu Mas kenal Merah anak saya?” tanya
ayah Merah setelah lebih dulu bertanya perihal istirahatku semalam di penginapan.
Aku tentu saja tidak mungkin menjawab secara gamblang
pertemuan pertamaku dengan Merah. Maka dengan niat baik (agar ayah merah tidak
salah sangka) aku sedikit mengarang cerita. Perihal ini sebelumnya juga sudah
aku bicarakan dengan Merah. Dan dia pun setuju.
”Saya dikenalkan
oleh seorang teman Merah, Pak,” jawabku singkat.
Tanpa memberi jeda, ayah Merah langsung menodongku
dengan pertanyaan inti.
”Oh..., jadi kalau boleh bapak tahu, apa niat Mas
Anggara datang kemari?” tanya ayah Merah kembali yang sepertinya merasakan hal
yang sama denganku: sama-sama ingin semua ini segera tuntas. Toh dia juga sudah
tahu kalau Merah anaknya memilihku. Tanpa basa-basi aku pun menjawab tegas.
”Saya datang kemari dengan niat baik, ingin menikahi
putri Bapak, Merah Cinta Pertamaku,” jawabku lagi-lagi singkat.
Aku lihat ayah Merah manggut-manggut. Sementara ibu Merah
tampak sedikit khawatir. Tapi tak lama kemudian kulihat wajahnya menerbitkan kelegaan
setelah mendengar jawabanku yang singkat padat itu.
”Sebelum kita terlalu jauh berbicara, perlu saya
sampaikan Mas Anggara, saya bukanlah orang yang paham agama secara baik. Masa
lalu saya juga tak baik-baik sekali. Tapi penting bagi saya memastikan anak
saya akan bersama orang yang kelak bisa membimbingnya secara benar dalam
beragama. Boleh saya tahu apa agama, Mas Anggara?”
Sungguh kaget aku mendengar pertanyaan ayah Merah. Aku
pikir pastilah Merah sudah cerita soal agamaku. Tapi karena dalam kondisi
segera harus menjawab, aku pun berkesimpulan, pertanyaan itu pastilah bukan
tanpa maksud. Dengan cepat dan singkat juga, kujawab, ”Agama saya Cinta dan
Air, Pak.”
Mendadak suasana menjadi hening. Tapi aku tetap bergeming. Kemudian, di luar dugaanku sesuatu terjadi. Ayah Merah meledakkan tawa, begitu juga dengan ibunya. Setelah itu, tentu saja sudah bisa ditebak ke mana akhirnya.
Akasia, 2023