Gunakan
Batu, Bukan Pistol
Mochamad Bayu Ari Sasmita
Sutradara
itu menghentikan adegan ini untuk yang keseratus sembilan puluh enam kali. Dia
membanting pengeras suara dan memakiku sekali lagi dan para kru, termasuk
penulis skrip yang ada di sampingnya. Dia menyuruh kami beristirahat selama
lima belas menit untuk menjernihkan kepala dan, sebelum aku mengambil jatah
istirahat itu, dia memanggilku untuk mendekat: “Gunakan batu, bukan pistol!
Dungu! Sudah berapa kali Aku harus memberitahumu?” Aku berdiri di tempat,
memandanginya berlalu. Punggungnya sudah ringkih, tapi dia masih cukup kuat
untuk membentak orang sepertiku. Dia masih suka marah-marah dan luar biasanya
tensi darahnya tidak pernah melebihi batas. Kondisi tubuh-Nya selalu stabil.
Sebenarnya,
aku sudah tidak cukup percaya diri untuk mengambil bagian dalam proyek film
yang ambisius ini, apalagi harus memerankan peran yang akan dikutuk oleh
segenap orang di dunia ini. Selama beristirahat, aku merokok dan minum kopi.
Langit begitu cerah, udara gerah. Aku membuka kacing paling atas kemejaku dan
berusaha mengipasi diri sendiri dengan print-out
naskah. Jika Sutradara itu melihatku melakukan hal ini, dia pasti akan memakiku
lagi. Sialan. Kuharap seseorang bisa membunuh-Nya kelak.
Pada
saat sesi pembacaan naskah, aku sempat protes kepada-Nya. “Mengapa aku harus
membunuh adikku sendiri? Kau membuatku terlihat jahat. Apalagi ini hanya sebuah
persembahan yang sifatnya tak lebih dari omong kosong.”
“Gunakan
kata-kata yang sopan,” kata lelaki yang berperan sebagai ayahku. “Dia lebih tua
dari kita. Tunjukkan rasa hormat.”
Orang-orang
di dalam ruangan itu setuju kepadanya dan mereka mulai melihatku dengan tatapan
mencemooh. Sial. Kupikir sebaiknya aku menggunakan batu itu untuk menghantam
kepala lelaki itu daripada lelaki yang berperan sebagai adikku. Dia lebih layak
untuk dihabisi.
“Terserah.
Gunakan kata-kata sesukamu. Aku tidak pernah terusik dengan hal remeh semacam
itu. Tapi kuperingatkan kau untuk mematuhi skrip. Jangan coba-coba
berimprovisasi jika tidak Kuperintah. Dua minggu lagi proses pengambilan gambar
akan dimulai. Kuharap kalian benar-benar sudah memahami peran kalian.” Dia
bangkit dan meninggalkan ruangan, meninggalkan kami sebatang kara tanpa
bimbingan lagi.
Tinggal
sepuluh menit lagi sampai jam istirahat berakhir. Seorang lelaki yang berperan
sebagai Iblis duduk di sebelahku.
“Proyek
ini terlalu ambisius,” katanya.
“Apa
kataku dulu?”
“Tapi setelah
ini peranmu bisa segera berakhir dan kau bisa beristirahat. Sementara aku harus
terus menjalankan peran ini sampai film benar-benar berakhir. Kaupikir, berapa
durasi film ini nanti?”
“Sehari
tidak akan cukup untuk menonton film ini. Jadi mungkin promotor akan menyuruh
membaginya dalam beberapa bagian. Tapi Sutradara itu keras kepala. Proses ini
akan panjang dan Dia mungkin akan berkata bahwa kita akan mendapatkan berbagai
pelajaran berharga dalam proses ini. Gombal. Coba pikirkan, kukira membunuh
adikmu sendiri akan terasa lebih mudah jika menggunakan pistol. Itu lebih
ringan. Batu yang ukurannya kecil tidak akan cukup mampu untuk menghabisinya.
Jika menggunakan pistol, kita hanya cukup membidik, kemudian menarik pelatuk.
Dor. Selesai sudah. Darah mengucur. Lalu aku hanya perlu mencari burung gagak
yang menggali tanah untuk menguburkan sesamanya.”
“Pistol
belum ditemukan di latar cerita yang kauperankan.”
“Aku
tahu. Itu menyebalkan. Jadi aku mengambilnya dari pinggang lelaki yang akan
memerankan Anton Chekov dan kusimpan diam-diam di balik pakaianku. Aku
mengeluarkannya setelah membujuk adikku untuk pergi ke suatu tempat sepi. Lalu,
kautahu sendiri, Sutradara itu menghentikan proses pengambilan adegan. Cut!”
“Memang
menyebalkan. Tapi kauharus bertahan. Tidak ada orang lain yang akan
menggantikan peranmu. Kau harus menuntaskannya. Tinggal sedikit lagi, bukan?”
“Ya. Aku
tahu. Setelah peranku selesai, aku akan segera pergi dari sini.”
“Semoga
beruntung.”
Jam
istirahat selesai. Sutradara itu, masih tetap sambil uring-uringan,
memerintahkan setiap aktor dan kru menempati posisi semula.
“Jangan
buat Aku mengulangi yang satu ini.”
Ketika
kata action diucapkan, aku segera
menjadi Kain lagi. Sekarang, aku dan Abel sedang berada di sebuah padang tandus
yang sepi, dikelilingi oleh sejumlah bukit, jauh dari tempat bermukim keluarga
kami. Abel menunjukkan wajah gelisahnya, dia menoleh ke sana-sini,
bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya terjadi. Omong-omong, pistol itu
masih ada di balik pakaianku. Lelaki yang memerankan Anton Chekov kuwanti-wanti
agar tidak memberitahukannya kepada Sutradara itu perihal pistolnya yang kupinjam.
“Apa
yang akan kita lakukan di sini, Kakak? Tidak ada apa pun di sini. Tandus. Tidak
ada binatang buruan satu pun di sini. Hanya ada burung-burung gagak yang
terbang di langit. Astaga, mengapa mereka terbang di atas kita?”
“Entahlah,”
kataku, sambil celingak-celinguk mencari batu. Sialan. Bagian properti tidak
menebarkan batu-batuan di tempat ini. Tempat ini begitu bersih dari hal semacam
itu. Sebenarnya ada satu cara untuk mengatasi hal ini: seseorang di luar sana
bisa melemparkan sebuah batu ke dekatku. Tapi Sutradara itu tidak memerintahkan
hal semacam itu. Dia masih terus melihat adegan ini dengan serius. Kaubisa
melihat kerutan-kerutan di wajahnya semakin banyak daripada yang semestinya
diberikan usia.
“Kita
harus pulang. Ayah dan ibu mungkin khawatir. Tidak ada buruan apa pun di sini.”
“Diamlah.”
Aku
tidak tahan, aku menghantamkan pukulan kepadanya. Benar-benar sebuah pukulan,
bukan lagi bermain peran. Di kejauhan, kulihat Sutradara itu tersenyum sambil
menganggukkan kepala. Dia menyukai ini. Dia menyukai pemahamanku atas peran
yang Dia berikan. Tapi tetap tidak ada batu. Abel mempertahankan diri dari
seranganku. Aku terus menghujaninya dengan tinju, tapi ini tidak akan
benar-benar dapat menghabisinya. “Cepat berikan aku batu atau aku akan menarik pelatukku,”
jeritku dalam hati.
Pada
suatu titik, mungkin karena sudah tidak tahan lagi, Abel melakukan serangan
balik. Dia memukulku mundur. Dia bangkit dengan wajah bonyok dan sedih:
“Mengapa kau menghajarku?”
“Persembahan
konyolmu lebih diterima daripada milikku. Mengapa Dia harus menerima
persembahan terbaik sementara hasil bumi dan ternak terbaik yang kita miliki
dapat digunakan untuk kemaslahatan hidup kita yang terlantar di bumi yang luas
ini?”
“Ini
semua tentang keikhlasan.”
“Omong
kosong.”
Aku
bangkit dan mendaratkan pukulan sekali lagi ke wajahnya. Ini seperti adegan adu
jotos. Barangkali, inilah pertarungan tinju pertama di muka bumi. Kain versus
Abel. Entah apakah penulis sejarah tinju akan merujuk adegan ini atau tidak
nanti. Yang jelas, kami melakukan jual beli serangan. Abel bukan petinju yang
buruk, dia hanya terlalu lemah lembut. Kelemahan terbesarnya adalah hatinya.
Dia tidak memukulku dengan segenap kekuatan yang dia miliki. Malahan, ketika
aku menyerang, dia tampak mengendurkan pertahannya, seolah membiarkan tinjuku
mengenainya. Hal itu juga membuatku semakin kesal kepadanya. Sementara itu,
Iblis terus-menerus berbisik dari kejauhan: “Ambil pistolmu! Ambil pistolmu!
Kau sudah mengingkari-Nya. Mengapa tanggung-tanggung?”
Aku
mengambil pistolku, melepaskan pengamannya, membidik, dan menarik pelatuk
sebelum Sutradara itu bilang cut. Letusan
senjata api menggema di tempat itu. Semua orang tertegun, Sutradara tidak
pernah bilang cut. Setelah melihat
Abel terkapar di tanah dengan darah mengucur dari kepalanya, aku memandangi
Sutradara itu. Kami saling berpandangan, tapi adegan masih terus berjalan.
Mengapa Dia tidak segera bilang cut?
Apa yang Dia tunggu?
“Dia
mati.”
“Ya. Dia
benar-benar mati.”
“Seharusnya
cuma acting, bukan?”
Ini
pistol sungguhan, bukan properti. Anton Chekov bilang ini properti. Seseorang
telah menukarnya. Sekarang aku sudah membunuh orang. Tanganku benar-benar
berlumuran darah.
Sutradara itu masih berdiam diri di kursinya. Dia masih tersenyum dan belum menyuruh berhenti ber-acting. Setelah beberapa saat, Dia bangkit dari tempat duduk-Nya, berjalan menghampiriku. Seluruh orang melihat-Nya berjalan dengan hening. Tidak ada suara lain kecuali langkah kaki-Nya. Setelah sampai kepadaku, Dia merampas pistolku dan berkata kepadaku: “Gunakan batu, bukan pistol. Aku sudah memberitahumu berkali-kali. Sekarang, tinggal menunggu pihak berwajib datang dan meringkusmu. Kau yang keras kepala. Jangan meminta pertolongan kepada-Ku.”
20
Desember 2023