Gunakan Batu, Bukan Pistol - Mochamad Bayu Ari Sasmita

@kontributor 12/31/2023

Gunakan Batu, Bukan Pistol

Mochamad Bayu Ari Sasmita



Sutradara itu menghentikan adegan ini untuk yang keseratus sembilan puluh enam kali. Dia membanting pengeras suara dan memakiku sekali lagi dan para kru, termasuk penulis skrip yang ada di sampingnya. Dia menyuruh kami beristirahat selama lima belas menit untuk menjernihkan kepala dan, sebelum aku mengambil jatah istirahat itu, dia memanggilku untuk mendekat: “Gunakan batu, bukan pistol! Dungu! Sudah berapa kali Aku harus memberitahumu?” Aku berdiri di tempat, memandanginya berlalu. Punggungnya sudah ringkih, tapi dia masih cukup kuat untuk membentak orang sepertiku. Dia masih suka marah-marah dan luar biasanya tensi darahnya tidak pernah melebihi batas. Kondisi tubuh-Nya selalu stabil.

Sebenarnya, aku sudah tidak cukup percaya diri untuk mengambil bagian dalam proyek film yang ambisius ini, apalagi harus memerankan peran yang akan dikutuk oleh segenap orang di dunia ini. Selama beristirahat, aku merokok dan minum kopi. Langit begitu cerah, udara gerah. Aku membuka kacing paling atas kemejaku dan berusaha mengipasi diri sendiri dengan print-out naskah. Jika Sutradara itu melihatku melakukan hal ini, dia pasti akan memakiku lagi. Sialan. Kuharap seseorang bisa membunuh-Nya kelak.

Pada saat sesi pembacaan naskah, aku sempat protes kepada-Nya. “Mengapa aku harus membunuh adikku sendiri? Kau membuatku terlihat jahat. Apalagi ini hanya sebuah persembahan yang sifatnya tak lebih dari omong kosong.”

“Gunakan kata-kata yang sopan,” kata lelaki yang berperan sebagai ayahku. “Dia lebih tua dari kita. Tunjukkan rasa hormat.”

Orang-orang di dalam ruangan itu setuju kepadanya dan mereka mulai melihatku dengan tatapan mencemooh. Sial. Kupikir sebaiknya aku menggunakan batu itu untuk menghantam kepala lelaki itu daripada lelaki yang berperan sebagai adikku. Dia lebih layak untuk dihabisi.

“Terserah. Gunakan kata-kata sesukamu. Aku tidak pernah terusik dengan hal remeh semacam itu. Tapi kuperingatkan kau untuk mematuhi skrip. Jangan coba-coba berimprovisasi jika tidak Kuperintah. Dua minggu lagi proses pengambilan gambar akan dimulai. Kuharap kalian benar-benar sudah memahami peran kalian.” Dia bangkit dan meninggalkan ruangan, meninggalkan kami sebatang kara tanpa bimbingan lagi.

Tinggal sepuluh menit lagi sampai jam istirahat berakhir. Seorang lelaki yang berperan sebagai Iblis duduk di sebelahku.

“Proyek ini terlalu ambisius,” katanya.

“Apa kataku dulu?”

“Tapi setelah ini peranmu bisa segera berakhir dan kau bisa beristirahat. Sementara aku harus terus menjalankan peran ini sampai film benar-benar berakhir. Kaupikir, berapa durasi film ini nanti?”

“Sehari tidak akan cukup untuk menonton film ini. Jadi mungkin promotor akan menyuruh membaginya dalam beberapa bagian. Tapi Sutradara itu keras kepala. Proses ini akan panjang dan Dia mungkin akan berkata bahwa kita akan mendapatkan berbagai pelajaran berharga dalam proses ini. Gombal. Coba pikirkan, kukira membunuh adikmu sendiri akan terasa lebih mudah jika menggunakan pistol. Itu lebih ringan. Batu yang ukurannya kecil tidak akan cukup mampu untuk menghabisinya. Jika menggunakan pistol, kita hanya cukup membidik, kemudian menarik pelatuk. Dor. Selesai sudah. Darah mengucur. Lalu aku hanya perlu mencari burung gagak yang menggali tanah untuk menguburkan sesamanya.”

“Pistol belum ditemukan di latar cerita yang kauperankan.”

“Aku tahu. Itu menyebalkan. Jadi aku mengambilnya dari pinggang lelaki yang akan memerankan Anton Chekov dan kusimpan diam-diam di balik pakaianku. Aku mengeluarkannya setelah membujuk adikku untuk pergi ke suatu tempat sepi. Lalu, kautahu sendiri, Sutradara itu menghentikan proses pengambilan adegan. Cut!

“Memang menyebalkan. Tapi kauharus bertahan. Tidak ada orang lain yang akan menggantikan peranmu. Kau harus menuntaskannya. Tinggal sedikit lagi, bukan?”

“Ya. Aku tahu. Setelah peranku selesai, aku akan segera pergi dari sini.”

“Semoga beruntung.”

Jam istirahat selesai. Sutradara itu, masih tetap sambil uring-uringan, memerintahkan setiap aktor dan kru menempati posisi semula.

“Jangan buat Aku mengulangi yang satu ini.”

Ketika kata action diucapkan, aku segera menjadi Kain lagi. Sekarang, aku dan Abel sedang berada di sebuah padang tandus yang sepi, dikelilingi oleh sejumlah bukit, jauh dari tempat bermukim keluarga kami. Abel menunjukkan wajah gelisahnya, dia menoleh ke sana-sini, bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya terjadi. Omong-omong, pistol itu masih ada di balik pakaianku. Lelaki yang memerankan Anton Chekov kuwanti-wanti agar tidak memberitahukannya kepada Sutradara itu perihal pistolnya yang kupinjam.

“Apa yang akan kita lakukan di sini, Kakak? Tidak ada apa pun di sini. Tandus. Tidak ada binatang buruan satu pun di sini. Hanya ada burung-burung gagak yang terbang di langit. Astaga, mengapa mereka terbang di atas kita?”

“Entahlah,” kataku, sambil celingak-celinguk mencari batu. Sialan. Bagian properti tidak menebarkan batu-batuan di tempat ini. Tempat ini begitu bersih dari hal semacam itu. Sebenarnya ada satu cara untuk mengatasi hal ini: seseorang di luar sana bisa melemparkan sebuah batu ke dekatku. Tapi Sutradara itu tidak memerintahkan hal semacam itu. Dia masih terus melihat adegan ini dengan serius. Kaubisa melihat kerutan-kerutan di wajahnya semakin banyak daripada yang semestinya diberikan usia.

“Kita harus pulang. Ayah dan ibu mungkin khawatir. Tidak ada buruan apa pun di sini.”

“Diamlah.”

Aku tidak tahan, aku menghantamkan pukulan kepadanya. Benar-benar sebuah pukulan, bukan lagi bermain peran. Di kejauhan, kulihat Sutradara itu tersenyum sambil menganggukkan kepala. Dia menyukai ini. Dia menyukai pemahamanku atas peran yang Dia berikan. Tapi tetap tidak ada batu. Abel mempertahankan diri dari seranganku. Aku terus menghujaninya dengan tinju, tapi ini tidak akan benar-benar dapat menghabisinya. “Cepat berikan aku batu atau aku akan menarik pelatukku,” jeritku dalam hati.

Pada suatu titik, mungkin karena sudah tidak tahan lagi, Abel melakukan serangan balik. Dia memukulku mundur. Dia bangkit dengan wajah bonyok dan sedih: “Mengapa kau menghajarku?”

“Persembahan konyolmu lebih diterima daripada milikku. Mengapa Dia harus menerima persembahan terbaik sementara hasil bumi dan ternak terbaik yang kita miliki dapat digunakan untuk kemaslahatan hidup kita yang terlantar di bumi yang luas ini?”

“Ini semua tentang keikhlasan.”

“Omong kosong.”

Aku bangkit dan mendaratkan pukulan sekali lagi ke wajahnya. Ini seperti adegan adu jotos. Barangkali, inilah pertarungan tinju pertama di muka bumi. Kain versus Abel. Entah apakah penulis sejarah tinju akan merujuk adegan ini atau tidak nanti. Yang jelas, kami melakukan jual beli serangan. Abel bukan petinju yang buruk, dia hanya terlalu lemah lembut. Kelemahan terbesarnya adalah hatinya. Dia tidak memukulku dengan segenap kekuatan yang dia miliki. Malahan, ketika aku menyerang, dia tampak mengendurkan pertahannya, seolah membiarkan tinjuku mengenainya. Hal itu juga membuatku semakin kesal kepadanya. Sementara itu, Iblis terus-menerus berbisik dari kejauhan: “Ambil pistolmu! Ambil pistolmu! Kau sudah mengingkari-Nya. Mengapa tanggung-tanggung?”

Aku mengambil pistolku, melepaskan pengamannya, membidik, dan menarik pelatuk sebelum Sutradara itu bilang cut. Letusan senjata api menggema di tempat itu. Semua orang tertegun, Sutradara tidak pernah bilang cut. Setelah melihat Abel terkapar di tanah dengan darah mengucur dari kepalanya, aku memandangi Sutradara itu. Kami saling berpandangan, tapi adegan masih terus berjalan. Mengapa Dia tidak segera bilang cut? Apa yang Dia tunggu?

“Dia mati.”

“Ya. Dia benar-benar mati.”

“Seharusnya cuma acting, bukan?”

Ini pistol sungguhan, bukan properti. Anton Chekov bilang ini properti. Seseorang telah menukarnya. Sekarang aku sudah membunuh orang. Tanganku benar-benar berlumuran darah.

Sutradara itu masih berdiam diri di kursinya. Dia masih tersenyum dan belum menyuruh berhenti ber-acting. Setelah beberapa saat, Dia bangkit dari tempat duduk-Nya, berjalan menghampiriku. Seluruh orang melihat-Nya berjalan dengan hening. Tidak ada suara lain kecuali langkah kaki-Nya. Setelah sampai kepadaku, Dia merampas pistolku dan berkata kepadaku: “Gunakan batu, bukan pistol. Aku sudah memberitahumu berkali-kali. Sekarang, tinggal menunggu pihak berwajib datang dan meringkusmu. Kau yang keras kepala. Jangan meminta pertolongan kepada-Ku.”

20 Desember 2023

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »