Kontribusi Pesantren dan Sastra di Indonesia terhadap Moderasi Beragama - Abdul Wachid B.S.

@kontributor 12/03/2023

Kontribusi Pesantren dan Sastra di Indonesia terhadap Moderasi Beragama

Abdul Wachid B.S. 




Fenomena keberagaman di Indonesia memberikan landasan bagi semangat Bhinneka Tunggal Ika, yang berarti "Berbeda-beda tetapi tetap satu". Keberagaman ini menjadi salah satu kekayaan bangsa Indonesia dan menjadi landasan untuk membangun kesatuan dan harmoni dalam masyarakat. Keberagaman ini merupakan kekayaan bangsa, tetapi juga menuntut upaya untuk mempertahankan harmoni dan mengatasi potensi konflik agama.

Pesantren memiliki peranan yang cukup menarik dalam kontribusi pengembangan nilai-nilai Islam di Nusantara karena telah memberikan pemahaman moderasi agama melalui akomodasi dengan budaya lokal (Azra, 2005).

 

Pokok Persoalan

Islam hadir sebagai jalan tengah (tawassut) dengan berbagai konsep yang meneduhkan dalam bidang akidah, ibadah, akhlak, hubungan antar-sesama manusia, dan perundang-undangan. Meski begitu, ektrimisme beragama menjadi fenomena yang tak terelakkan. Ekstrimesme lahir dari segala dimensi kehidupan manusia, termasuk cara memahami Islam (Ali Nurdin, 2019).

Sayangnya, seseorang yang berpaham ekstrim acapkali dipandang simetris dengan ritual keagamaan yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Asumsi ini berpengaruh negatif terhadap kehidupan beragama. Jika seseorang tersebut menganut agama Islam, maka sikap ekstrem tersebut, tidak jarang menjadi stereotip bagi umat Islam secara keseluruhan. Tentu saja, hal ini menjadi problem mendasar yang harus diselesaikan.

Pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam kehidupan masyarakat, berdampak pesatnya peredaran radikalisme dan liberalisme dalam kehidupan beragama. Demi mengkounter kedua paham tersebut, diperlukan langkah yang tepat agar umat Islam tak terperosok dalam kehancuran lantaran ekstremisme. Adapun langkah yang diperlukan di antaranya: Pertama, penanaman dan penguatan nilai ajaran Islam sebagai dasar filosofi kehidupan dalam bermasyarakat dan membentuk tradisi keilmuan Islam; Kedua, menjauhkan pemikiran yang bersifat dikotomis; Ketiga, penguatan dalam pendekatan wasatiyah (Pujiati, 2018).

Pondok pesantren sangat kental dengan dimensi moderasi beragama yang dibingkai dengan tradisi keserba-ibadahan, kemandirian, kesederhanaan, yang bersumber dari Al-Qur’an, hadits, dan hasil intrepretasi para ulama dahulu. Pesantren merupakan basis penanaman paham moderat, membentuk umat yang penengah (ummatan wasatan). Ciri khas paham keagamaan yang dikembangkan oleh pesantren yakni ahlussunah wal jama’ah, yang moderat, menampilkan corak Islam yang santun, damai, serta tak memaksa.

Moderasi beragama merupakan konsep yang mendasar dalam menjaga harmoni kerukunan antarumat beragama di Indonesia. Di tengah masyarakat yang multikultural dan multireligius, penting bagi pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam untuk memainkan peran dalam mempromosikan moderasi beragama. Salah satu cara yang digunakan adalah melalui pengajaran sastra Indonesia di pesantren. Melalui sastra, pesantren dapat membantu santri mengembangkan pemahaman yang lebih luas tentang agama dan budaya, serta mempromosikan nilai toleransi, dan saling menghormati terhadap perbedaan agama.

 

Pesantren dan Moderasi Beragama

Moderasi beragama adalah konsep yang mendorong umat beragama untuk mengadopsi sikap tengah, seimbang, dan moderat dalam menjalankan ajaran agama mereka. Moderasi beragama bertujuan meminimalisir konflik antaragama, menghormati perbedaan keyakinan, mempromosikan dialog dan kerjasama antarumat beragama. Moderasi beragama mengajarkan pentingnya menghargai pluralitas, menghindari ekstremisme serta radikalisme.

Istilah moderasi secara etimologi berasal dari bahasa Latin, moderatio, yang berarti ke-sedang-an (tidak kelebihan dan tidak kekurangan). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), moderasi memiliki dua pengertian: Pengurangan kekerasan; Penghindaran keekstreman. Dalam bahasa Inggris, kata moderation digunakan dalam pengertian average (rata-rata), core (inti), standard (baku), non-aligned (tidak memihak) (Tim Penyusun, 2019).

Istilah moderasi beragama dari dua kata, moderasi dan beragama. Moderasi berasal dari kata moderat, berarti menghindarkan perilaku yang ekstrim, berkecenderungan ke arah “jalan tengah. Dalam bahasa Arab (Al-Qur’an) moderasi disebut dengan istilah wasathiyah, berasal dari kata al-wasth atau al-wasath, keduanya merupakan bentuk infinitive (mashdar) dari kata kerja wasatha. Maka, kata al-wasthiyah berdasarkan makna etimologisnya, suatu karakter/sifat terpuji, yang menjaga dari bersikap ekstrim (Zamimah, 2008).

Praktik moderasi beragama di pesantren merupakan kajian yang penting dilakukan secara lintas disiplin ilmu. Pesantren memiliki tradisi intelektual yang sangat kuat, dalam hal aktivitas literasi sastra. Sejak awal berdirinya, pesantren sudah memiliki tradisi literasi teks yang sangat bagus, yaitu kajian kitab kuning. Sistem pendidikan pesantren juga identik dengan aktivitas bersastra, seperti singiran, kidung, bersyair, atau nadhom. Dalam konteks kekinian, aktivitas tersebut terus berkembang, santri di pesantren tidak hanya mengkaji kitab kuning sebagai literasi teks. Para santri juga mengembangkan aktivitas literasi sastra Indonesia sebagai bagian tradisi intelektual. Aktivitas ini menjadi alternatif pengembangan moderasi beragama di pesantren.

 

Pengembangan Literasi Sastra Indonesia di Pesantren sebagai Upaya Moderasi Beragama

Pada buku esainya Menggerakan Tradisi, Gus Dur menulis tentang sastra dan pesantren. Gus Dur mengetengahkan karya Djamil Suherman yang bernuansa agama (di pesantren) (Wahid, 2016). Gus Dur tentunya bukan kritikus sastra, tetapi pembacaannya atas literasi sastra sangat baik. Gus Dur mengatakan, sastra di pesantren, dan pesantren sebagai tema karya sastra, belum digarap optimal. Banyak karya sastra bertema agama, tetapi sedikit yang menyinggung kehidupan pesantren sebagai lokus dan modus penciptaan.

Terlepas dari kritik Gus Dur, pesantren sebenarnya sudah “membangun” konsep sastra dalam proses pembelajarannya. Bahkan, sejak semula, pesantren sering dijadikan tempat diskusi oleh pujangga Keraton Surakarta seperti Yasadipura 1, Yasadipura 2, hingga Ranggawarsita. Ilmu tasawuf, fiqh, aqidah, akhlak, diajarkan di pesantren melalui kitab-kitab berbahasa Jawa (Pegon). Beberapa kitab seperti aqidatul awam, alfiyah ibn al-malik, dibaca menggunakan langgam/nadhom, di samping wirid/ hizib yang panjang (Abdullah, 2011; Muzakka, 1999; Tabroni, 2019).

Semua suara dari dalam pesantren sangat bermakna, kata Raedu Basha dalam Pidato Kebudayaannya “Sastra Pesantren, Semua Suara Berharga.” Seluruh karya yang dihasilkan melalui pesantren, dengan intensi sastra yang baik, tetaplah akan menjadi karya sastra Indonesia yang indah. Dewasa ini, novel Hati Suhita karya Khilma Anis, bisa dijadikan contoh (Basha, 2020). Suara-suara yang keluar dari dalam pesantren ialah suara keindahan, “Susungguhnya Allah itu indah dan mencintai keindahan” (H.R. Thabrani).

Hubungan pesantren dan sastra juga diteliti secara etnografis oleh Badrus Shaleh, yang mengangkat Pesantren Annuqayah, Sumenep, Madura, lumbungnya para santri-penulis. Di pesantren tersebut, kitab dan nadhom dibacakan setiap hari, siang dan malam. Tradisi kepenulisan di Annuqayah mulai era 1980-an. Pesantren tersebut sama halnya dengan pesantren lain, salaf dan tidak mengajarkan pelajaran Bahasa Indonesia. Tradisi menulis muncul karena aktivitas mengaji yang telah lama dilakukan oleh para kiai dan santri. Bahkan, mulanya, aktivitas menulis hanya dilakukan oleh para kiai yang keilmuannya matang. Karya berbahasa Indonesia mulai masuk karena Kiai M. Ashim Ilyas mengikuti pelatihan jurnalistik tahun 1970-an akhir yang diadakan oleh Departemen Agama. Dari sanalah muncul ide mengenai media publikasi dan majalah dinding (Shaleh, 2020).

Sastra, Pesantren, dan moderasi beragama sama-sama mengedepankan makna hikmah dalam praktiknya. Hal ini ditengarai Abdul Hadi W.M., karena sastra (pesantren) selalu mampu membangkitkan sikap optimis, demokratis, dan menjunjung tinggi budaya bangsa dalam lokus penciptaan (2014). Tidak ada yang tidak sastra di pesantren, bahkan Al-Qur’an merupakan “kitab sastra” terbesar, kata Nasr Hamid Abu Zayd (2005).

Narasi moderasi agama dalam karya sastra selalu dibangun melalui “modus penciptaan” penulisnya. Gagasannya banyak dipengaruhi oleh pemahaman, ideologi, kecenderungan mazhab penulisnya. Kita bisa melihat dalam karya K. H. A. Mustofa Bisri (Gus Mus), yang kerap mengedepankan cinta dan tasawuf sebagai modus penciptaan. Pada cerpen Gus Jakfar, Gus Mus mengurai persoalan hakikat ketuhanan dan kemanusiaan yang selalu paradoks, bila dinilai sesama manusia. Gus Mus ingin mengatakan bahwa semua orang berpotensi memperoleh surga yang abadi (Wachid B.S., 2019).

Persoalan moderasi merupakan persoalan kesadaran. Setidaknya, kesadaran ini dinisbatkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan keagungan akhlaknya, di samping penghayatan atas firman Allah yang banyak menyinggung persoalan muamalah (Abdullah, 2019). Pertanyaan yang muncul kemudian, bagaimanakah moderasi di pesantren dengan sastra sebagai representasinya?

Untuk menjawab pertanyaan itu, konsep Wali Sanga perlu dikemukakan. Pada zaman Wali Sanga, Sunan Giri adalah sosok ulama yang menggunakan pesantren dan sastra sebagai media berdakwah. Sunan Giri, dalam Serat Walisana, adalah putra dari Syekh Maulana Ishak. Setelah dewasa dan keilmuannya meningkat, Sunan Giri mendirikan “Pesantren Giri” yang memiliki pengaruh kuat di berbagai daerah, dari Jawa Timur, Jawa Tengah, Kalimantan, Makassar, Lombok, Sumbawa, Sumba, Flores sampai ke Ternate. Selain pesantren, Sunan Giri juga mahir menciptakan karya sastra dalam bentuk tembang, seperti Padang Bulan, “Jor, “Gula Ganti, serta Cublak-cublak Suweng. Melalui dua entitas itu, pesantren dan seni (sastra tembang), Sunan Giri berdakwah dengan nilai rahmah (kasih-sayang) dan kearifan lokal (Ismail, 2021). Sisi moderasi Sunan Giri terlihat dari prinsipnya yang adil dan berimbang, tidak menjustifikasi masyarakat di sekitarnya. Sunan Muria juga melakukan hal yang nyaris sama, mendirikan pesantren, dan menggunakan “Suluk Pambukaning Tata Malige Betal Mukaram. Salah satu isinya ialah ora kena dhahar iwak ati (tidak boleh makan hati). Suluk tersebut bisa juga disebut dengan proses penyucian jiwa (Arafat, 2020).

Kedua tokoh yang masyhur sebagai ulama dan wali tersebut menggunakan pesantren dan seni (sastra) sebagai pendekatan dakwahnya. Artinya, pola mereka menemukan kontekstualisasinya, bila melihat fenomena pesantren sekarang ini. Sikap moderasi yang mengedepankan rahmah (kasih-sayang) sebagaimana konsep Sunan Giri, bisa dibangun melalui pesantren dan sastra.

Pada konteks Indonesia, di tahun 1960-an muncul nama Syu’bah Asa, Djamil Suherman dan Fudoli Zaini. Pada tahun 1970-an muncul Emha Ainun Nadjib (Cak Nun, alumni Pesantren Gontor). Tahun 1980-an dan 1990-an muncul K.H.A. Mustofa Bisri (Gus Mus, Pengasuh Ponpes Raudlatuttolibin, Rembang), Jamal D. Rahman, Acep Zamzam Noor (Putra mantan Rois Syuriyah PBNU, K.H. M. Ilyas Ruhiat, Tasikmalaya), Ahmad Syubbanuddin Alwy (putra kiai dari Cirebon), Abidah El-Khaliqy, Ahmad Tohari, Abdul Hadi W.M., D. Zawawi Imron, Hamdy Salad, H.M. Nasruddin Anshory Ch., Kuswaidi Syafi’ie, dan lainnya. Pada era 2000-an muncul novelis Habiburrahman El-Shirazy, Ahmad Fuadi, dan lainnya. Meraka adalah sastrawan yang pernah belajar di pesantren, dan karya mereka bernafaskan nilai-nilai religius pesantren.

Kontribusi pesantren terhadap perkembangan sastra di Indonesia masih terus berlanjut hingga saat ini. Geliat tradisi bersastra di pesantren semakin tampak nyata. Pesantren terbukti telah banyak andil dalam melahirkan dan membentuk para santri yang berjiwa sastrawan. Mereka kemudian benar-benar jadi sastrawan, yang terus mengembangkan kreativitas berkarya. Melalui karya sastra yang ditulis, mereka menjalankan misi dakwah, syiar keagamaan sekaligus misi ibadah.

 

Epilog

Pesantren menyediakan lingkungan pembelajaran yang kuat dengan pendekatan kontekstual dalam pemahaman agama. Hal ini berarti pesantren mengajarkan nilai-nilai agama dengan memperhatikan realitas sosial, kultural, dan sejarah Indonesia. Dalam konteks moderasi beragama, pesantren memberikan pemahaman yang lebih luas tentang ajaran Islam yang mengedepankan rahmatan lil'alamin (rahmat bagi seluruh alam) dan prinsip-prinsip persaudaraan.

Pimpinan pesantren, kiai atau ulama yang dihormati, memiliki pengaruh besar dalam membentuk sikap dan pemahaman umat pesantren. Pimpinan pesantren yang menganut prinsip moderasi beragama dapat memberikan contoh dan arahan yang tepat kepada santri dalam menerapkan moderasi dalam kehidupan keagamaan mereka.

Melalui pendidikan, pembelajaran, dialog antaragama, dan peran pemimpin pesantren, pesantren berperan penting dalam mendorong moderasi beragama. Pesantren memberikan dasar pemahaman yang kokoh tentang agama sekaligus mengajarkan pentingnya toleransi, saling menghormati, dan kerjasama antarumat beragama. Pesantren memiliki potensi besar untuk memperkuat moderasi beragama di Indonesia dan membangun masyarakat yang inklusif, toleran, dan harmonis.

Sementara itu, sastra Indonesia memiliki kontribusi yang signifikan dalam memperkuat praktik moderasi beragama di pesantren. Melalui pengajaran dan pemahaman sastra Indonesia, pesantren dapat menciptakan lingkungan pendidikan yang mempromosikan toleransi, pemahaman yang lebih luas tentang keberagaman agama, dan penghargaan terhadap perbedaan.

Sastra Indonesia, dengan beragam genre seperti puisi, cerpen, novel, dan drama, tidak hanya mencerminkan kehidupan sehari-hari, namun juga memperkaya pemahaman tentang nilai-nilai kemanusiaan, moralitas, dan agama. Dalam konteks pesantren, sastra Indonesia dapat digunakan sebagai sarana untuk menggali pemahaman yang lebih dalam tentang agama Islam yang moderat, serta membangun hubungan saling menghormati dengan agama dan budaya lainnya.

Melalui pembacaan dan diskusi tentang karya sastra Indonesia, santri dapat mengembangkan pemahaman yang mendalam tentang tema-tema yang relevan, seperti keadilan sosial, toleransi, kehidupan beragama yang seimbang, dan resolusi konflik. Pesantren juga dapat menggunakan karya sastra yang berasal dari berbagai budaya dan agama untuk memperluas perspektif santri, menghormati perbedaan, dan mendorong kerjasama antarumat beragama.

Hubungan antara pesantren dan literasi sastra sangat dekat dan erat. Pesantren memiliki peran penting dalam literasi sastra santri, yaitu melalui pembelajaran keterampilan membaca, menulis, dan memberi penghargaan terhadap karya sastra. Literasi sastra Indonesia membantu santri memahami budaya, sejarah, dan nilai-nilai agama serta penerapannya dalam masyarakat. Literasi sastra mendorong imajinasi dan kreativitas santri melalui penulisan karya sastra sehingga merangsang pemikiran kritis, ekspresi diri, dan kreativitas dalam menyampaikan gagasan dan pemikiran.

Melalui literasi sastra di Pesantren, seorang santri dapat mengembangkan keterampilan membaca dan menulis, memperoleh pemahaman mendalam tentang budaya dan agama, mengembangkan imajinasi dan kreativitas, serta mengapresiasi karya-karya sastra Islami. Hal ini tidak hanya meningkatkan pemahaman mereka tentang keagamaan, tetapi juga memberikan manfaat dalam pengembangan pribadi, peningkatan kemampuan berbahasa, dan pemahaman yang lebih luas tentang dunia dan kehidupan manusia.

Sementara itu, kontribusi sastra Indonesia dalam memperkuat praktik moderasi beragama di pesantren adalah sebagai berikut. Pertama, sastra Indonesia memperluas perspektif tentang agama dengan menyajikan cerita dan tokoh dari berbagai latar-belakang agama. Kedua, sastra Indonesia mencitrakan kehidupan beragama yang moderat dengan menggambarkan karakter-karakter yang menghargai perbedaan dan mendorong dialog antarumat beragama. Ketiga, sastra Indonesia mendorong empati dan pemahaman antarbudaya dengan mengangkat isu-isu kehidupan yang kompleks. Keempat, sastra Indonesia menggali nilai-nilai agama dengan pendekatan budaya sehingga santri dapat memahami penerapan nilai-nilai agama dalam kehidupan nyata. Kelima, melalui prosa dan puisi, sastra Indonesia menginspirasi dan mendorong refleksi diri santri dalam memahami praktik moderasi beragama.

Praktik moderasi beragama melalui literasi sastra Indonesia oleh santri di pondok pesantren berangkat dari tradisi pembacaan kitab yang dilaksanakan secara bandongan dan sorogan. Literasi sastra sangat penting diajarkan di pesantren karena sastra memiliki kesamaan dengan tasawuf, yaitu mendekatkan hati manusia kepada Allah Swt. Kemampuan bersastra dalam diri santri dapat melembutkan hati, pikiran, dan perilaku. Hati, pikiran, dan perilaku yang lembut merupakan pangkal dari sikap keberagamaan yang moderat (tengah). Sikap moderat merupakan salah satu sikap Nabi Muhammad saw. yang patut diteladani karena beliau adalah sosok yang adil bagi kaumnya dan bagi orang lain. Dengan pengetahuan agama dan sastra yang mendalam, santri memiliki kepekaan perasaan, kejernihan pikiran, dan sikap egaliter yang kuat.***

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »