Kontribusi Pesantren dan Sastra
di Indonesia terhadap Moderasi Beragama
Abdul Wachid B.S.
Fenomena
keberagaman di Indonesia memberikan landasan bagi semangat Bhinneka Tunggal
Ika, yang berarti "Berbeda-beda tetapi tetap satu". Keberagaman ini menjadi salah satu
kekayaan bangsa Indonesia dan menjadi landasan untuk membangun kesatuan dan
harmoni dalam masyarakat. Keberagaman ini merupakan kekayaan bangsa, tetapi
juga menuntut upaya untuk mempertahankan harmoni dan mengatasi potensi konflik
agama.
Pesantren memiliki peranan yang cukup menarik dalam kontribusi
pengembangan nilai-nilai Islam di Nusantara karena telah memberikan pemahaman
moderasi agama melalui akomodasi dengan budaya lokal (Azra, 2005).
Pokok Persoalan
Islam hadir sebagai jalan tengah (tawassut) dengan berbagai
konsep yang meneduhkan dalam bidang akidah, ibadah, akhlak, hubungan antar-sesama manusia, dan
perundang-undangan. Meski begitu, ektrimisme beragama menjadi fenomena yang tak
terelakkan. Ekstrimesme
lahir dari segala dimensi kehidupan manusia, termasuk cara memahami Islam (Ali Nurdin, 2019).
Sayangnya,
seseorang yang berpaham ekstrim acapkali dipandang simetris dengan ritual keagamaan yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Asumsi ini berpengaruh negatif
terhadap kehidupan beragama. Jika seseorang tersebut menganut agama Islam, maka
sikap ekstrem tersebut, tidak jarang menjadi stereotip bagi umat Islam
secara keseluruhan. Tentu saja, hal ini menjadi problem mendasar yang harus
diselesaikan.
Pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi dalam kehidupan masyarakat, berdampak pesatnya peredaran
radikalisme dan
liberalisme dalam
kehidupan beragama. Demi
mengkounter kedua paham tersebut, diperlukan langkah yang tepat agar umat Islam
tak terperosok dalam kehancuran lantaran
ekstremisme. Adapun langkah yang diperlukan di antaranya: Pertama,
penanaman dan penguatan nilai ajaran Islam sebagai dasar filosofi kehidupan
dalam bermasyarakat dan membentuk tradisi keilmuan Islam; Kedua,
menjauhkan pemikiran yang bersifat dikotomis; Ketiga, penguatan dalam
pendekatan wasatiyah (Pujiati,
2018).
Pondok pesantren sangat kental dengan dimensi moderasi beragama yang
dibingkai dengan tradisi keserba-ibadahan, kemandirian, kesederhanaan, yang bersumber dari
Al-Qur’an, hadits, dan hasil intrepretasi para ulama dahulu. Pesantren merupakan basis penanaman
paham moderat, membentuk
umat yang penengah (ummatan wasatan).
Ciri khas paham keagamaan yang dikembangkan oleh pesantren yakni ahlussunah wal jama’ah, yang moderat, menampilkan corak Islam yang santun, damai,
serta tak memaksa.
Moderasi beragama
merupakan konsep yang mendasar dalam menjaga harmoni kerukunan antarumat
beragama di Indonesia. Di tengah masyarakat yang multikultural dan
multireligius, penting bagi pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam untuk
memainkan peran dalam mempromosikan moderasi beragama. Salah satu cara yang
digunakan adalah melalui pengajaran sastra Indonesia di pesantren. Melalui
sastra, pesantren dapat membantu santri mengembangkan pemahaman yang lebih luas
tentang agama dan budaya, serta mempromosikan nilai toleransi, dan saling menghormati terhadap perbedaan agama.
Pesantren dan Moderasi Beragama
Moderasi beragama adalah konsep yang mendorong umat beragama untuk
mengadopsi sikap tengah, seimbang, dan moderat dalam menjalankan ajaran agama
mereka. Moderasi beragama bertujuan meminimalisir konflik antaragama,
menghormati perbedaan keyakinan, mempromosikan dialog dan kerjasama antarumat
beragama. Moderasi beragama mengajarkan pentingnya menghargai pluralitas, menghindari ekstremisme
serta radikalisme.
Istilah moderasi secara etimologi berasal dari bahasa Latin, moderatio, yang berarti ke-sedang-an (tidak
kelebihan dan tidak kekurangan). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), moderasi
memiliki dua pengertian: Pengurangan
kekerasan; Penghindaran keekstreman. Dalam bahasa Inggris, kata ‘moderation’ digunakan
dalam pengertian ‘average’
(rata-rata), core (inti), standard
(baku), non-aligned (tidak memihak)
(Tim Penyusun, 2019).
Istilah moderasi beragama dari dua kata, “moderasi” dan “beragama”.
Moderasi berasal dari kata moderat, berarti menghindarkan perilaku yang ekstrim, berkecenderungan ke arah “jalan tengah”. Dalam bahasa Arab
(Al-Qur’an) moderasi disebut dengan istilah wasathiyah, berasal dari kata al-wasth atau
al-wasath, keduanya merupakan bentuk infinitive (mashdar) dari
kata kerja wasatha. Maka,
kata al-wasthiyah berdasarkan makna etimologisnya, suatu karakter/sifat terpuji, yang menjaga dari bersikap ekstrim
(Zamimah, 2008).
Praktik moderasi beragama di pesantren merupakan kajian yang penting
dilakukan secara lintas disiplin ilmu. Pesantren memiliki tradisi intelektual
yang sangat kuat, dalam
hal aktivitas literasi sastra. Sejak awal berdirinya, pesantren sudah memiliki tradisi
literasi teks yang sangat bagus,
yaitu kajian kitab kuning. Sistem pendidikan pesantren juga identik
dengan aktivitas bersastra, seperti singiran, kidung, bersyair, atau nadhom.
Dalam konteks kekinian, aktivitas tersebut terus berkembang, santri di pesantren tidak hanya
mengkaji kitab kuning sebagai literasi teks. Para santri juga mengembangkan
aktivitas literasi sastra Indonesia sebagai bagian tradisi intelektual. Aktivitas ini menjadi alternatif pengembangan moderasi beragama di pesantren.
Pengembangan Literasi Sastra Indonesia di Pesantren sebagai Upaya
Moderasi Beragama
Pada buku esainya Menggerakan
Tradisi, Gus Dur menulis tentang sastra dan pesantren. Gus Dur mengetengahkan karya Djamil
Suherman yang bernuansa agama (di pesantren) (Wahid, 2016). Gus Dur tentunya bukan kritikus sastra, tetapi pembacaannya atas
literasi sastra sangat baik. Gus
Dur mengatakan, sastra di pesantren, dan pesantren sebagai tema karya sastra, belum digarap optimal. Banyak karya
sastra bertema agama, tetapi sedikit
yang menyinggung kehidupan pesantren sebagai lokus dan modus penciptaan.
Terlepas dari kritik Gus
Dur, pesantren sebenarnya sudah “membangun” konsep sastra dalam proses
pembelajarannya. Bahkan, sejak semula,
pesantren sering dijadikan tempat diskusi oleh pujangga Keraton Surakarta
seperti Yasadipura 1, Yasadipura
2, hingga Ranggawarsita. Ilmu tasawuf, fiqh, aqidah, akhlak, diajarkan di pesantren melalui
kitab-kitab berbahasa Jawa (Pegon). Beberapa kitab seperti aqidatul awam,
alfiyah ibn al-malik, dibaca menggunakan langgam/nadhom, di samping wirid/ hizib yang panjang (Abdullah, 2011;
Muzakka, 1999; Tabroni, 2019).
Semua suara dari dalam pesantren sangat bermakna, kata Raedu Basha
dalam Pidato Kebudayaannya “Sastra Pesantren, Semua Suara Berharga.” Seluruh
karya yang dihasilkan melalui
pesantren, dengan intensi sastra yang baik, tetaplah akan menjadi karya sastra
Indonesia yang indah. Dewasa ini, novel Hati Suhita karya Khilma Anis, bisa dijadikan contoh
(Basha, 2020). Suara-suara yang keluar dari dalam pesantren ialah suara
keindahan, “Susungguhnya
Allah itu indah dan mencintai keindahan” (H.R. Thabrani).
Hubungan pesantren dan sastra juga diteliti secara etnografis oleh
Badrus Shaleh, yang mengangkat
Pesantren Annuqayah, Sumenep, Madura,
lumbungnya para santri-penulis. Di pesantren tersebut, kitab dan nadhom dibacakan setiap hari, siang dan malam. Tradisi kepenulisan di Annuqayah mulai era 1980-an. Pesantren tersebut
sama halnya dengan pesantren lain, salaf dan tidak mengajarkan pelajaran Bahasa
Indonesia. Tradisi menulis muncul karena aktivitas mengaji yang telah lama
dilakukan oleh para kiai dan santri. Bahkan, mulanya, aktivitas menulis
hanya dilakukan oleh para kiai yang keilmuannya matang. Karya berbahasa
Indonesia mulai masuk karena Kiai M. Ashim Ilyas mengikuti pelatihan
jurnalistik tahun 1970-an akhir
yang diadakan oleh Departemen Agama. Dari sanalah muncul ide mengenai media
publikasi dan majalah dinding (Shaleh, 2020).
Sastra, Pesantren,
dan moderasi beragama
sama-sama mengedepankan makna hikmah
dalam praktiknya. Hal ini ditengarai Abdul
Hadi W.M., karena sastra (pesantren) selalu mampu membangkitkan sikap optimis,
demokratis, dan
menjunjung tinggi budaya bangsa
dalam lokus penciptaan (2014). Tidak ada yang tidak sastra di pesantren, bahkan Al-Qur’an merupakan “kitab
sastra” terbesar, kata Nasr Hamid Abu Zayd (2005).
Narasi moderasi agama dalam karya sastra selalu dibangun melalui “modus
penciptaan” penulisnya. Gagasannya
banyak dipengaruhi oleh
pemahaman, ideologi, kecenderungan mazhab penulisnya. Kita bisa melihat dalam
karya K. H. A. Mustofa Bisri (Gus Mus), yang kerap mengedepankan cinta dan tasawuf sebagai modus
penciptaan. Pada cerpen “Gus
Jakfar”, Gus Mus
mengurai persoalan hakikat ketuhanan dan kemanusiaan yang selalu paradoks, bila
dinilai sesama manusia. Gus Mus ingin mengatakan bahwa semua orang berpotensi
memperoleh surga yang abadi (Wachid B.S., 2019).
Persoalan moderasi merupakan persoalan kesadaran. Setidaknya,
kesadaran ini dinisbatkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan keagungan akhlaknya,
di samping penghayatan atas firman Allah yang banyak menyinggung persoalan
muamalah (Abdullah, 2019). Pertanyaan
yang muncul kemudian, bagaimanakah moderasi di pesantren
dengan sastra sebagai representasinya?
Untuk menjawab pertanyaan itu, konsep Wali Sanga perlu dikemukakan. Pada zaman Wali Sanga, Sunan Giri adalah sosok
ulama yang menggunakan pesantren dan sastra sebagai media berdakwah. Sunan Giri, dalam Serat Walisana,
adalah putra dari Syekh
Maulana Ishak. Setelah dewasa dan
keilmuannya meningkat, Sunan Giri mendirikan “Pesantren Giri” yang memiliki
pengaruh kuat di berbagai daerah, dari Jawa Timur, Jawa Tengah, Kalimantan,
Makassar, Lombok, Sumbawa, Sumba, Flores sampai ke Ternate. Selain pesantren,
Sunan Giri juga mahir menciptakan karya sastra dalam bentuk tembang, seperti “Padang Bulan”, “Jor”, “Gula Ganti”, serta Cublak-cublak Suweng. Melalui dua entitas itu,
pesantren dan seni (sastra tembang), Sunan Giri berdakwah dengan nilai rahmah
(kasih-sayang) dan
kearifan lokal (Ismail, 2021). Sisi moderasi Sunan Giri terlihat dari
prinsipnya yang adil dan berimbang, tidak menjustifikasi masyarakat di sekitarnya. Sunan Muria juga melakukan hal yang
nyaris sama, mendirikan
pesantren, dan menggunakan
“Suluk Pambukaning
Tata Malige Betal Mukaram”.
Salah satu isinya ialah ora kena dhahar iwak ati (tidak boleh makan
hati). Suluk tersebut bisa juga disebut dengan proses penyucian jiwa (Arafat,
2020).
Kedua tokoh yang masyhur sebagai ulama dan wali tersebut menggunakan
pesantren dan seni (sastra) sebagai pendekatan dakwahnya. Artinya, pola mereka
menemukan kontekstualisasinya,
bila melihat fenomena pesantren sekarang ini. Sikap moderasi yang mengedepankan rahmah
(kasih-sayang) sebagaimana konsep Sunan Giri, bisa dibangun melalui pesantren
dan sastra.
Pada konteks
Indonesia, di tahun 1960-an muncul nama Syu’bah Asa, Djamil Suherman dan
Fudoli Zaini. Pada tahun 1970-an muncul Emha Ainun Nadjib (Cak Nun, alumni Pesantren Gontor). Tahun
1980-an dan 1990-an muncul K.H.A.
Mustofa Bisri (Gus
Mus, Pengasuh Ponpes
Raudlatuttolibin, Rembang), Jamal D. Rahman, Acep Zamzam Noor (Putra mantan Rois Syuriyah PBNU, K.H. M. Ilyas Ruhiat, Tasikmalaya), Ahmad Syubbanuddin Alwy (putra kiai dari
Cirebon), Abidah El-Khaliqy, Ahmad Tohari, Abdul Hadi W.M., D.
Zawawi Imron, Hamdy
Salad, H.M. Nasruddin
Anshory Ch., Kuswaidi
Syafi’ie, dan lainnya. Pada era 2000-an muncul novelis Habiburrahman
El-Shirazy, Ahmad Fuadi, dan lainnya.
Meraka adalah sastrawan yang pernah belajar di pesantren, dan karya mereka bernafaskan
nilai-nilai religius pesantren.
Kontribusi pesantren terhadap perkembangan sastra di Indonesia masih
terus berlanjut hingga saat ini. Geliat tradisi bersastra di pesantren semakin
tampak nyata. Pesantren terbukti telah banyak andil dalam melahirkan dan membentuk para santri
yang berjiwa sastrawan. Mereka kemudian benar-benar jadi sastrawan,
yang terus mengembangkan kreativitas berkarya. Melalui karya sastra yang
ditulis, mereka menjalankan misi dakwah, syiar keagamaan sekaligus misi ibadah.
Epilog
Pesantren menyediakan lingkungan pembelajaran yang kuat dengan
pendekatan kontekstual dalam pemahaman agama. Hal ini berarti pesantren
mengajarkan nilai-nilai agama dengan memperhatikan realitas sosial, kultural,
dan sejarah Indonesia. Dalam konteks moderasi beragama, pesantren memberikan
pemahaman yang lebih luas tentang ajaran Islam yang mengedepankan rahmatan
lil'alamin (rahmat bagi seluruh alam) dan prinsip-prinsip persaudaraan.
Pimpinan pesantren, kiai atau ulama yang dihormati, memiliki pengaruh besar dalam membentuk
sikap dan pemahaman umat pesantren. Pimpinan pesantren yang menganut prinsip
moderasi beragama dapat memberikan contoh dan arahan yang tepat kepada santri
dalam menerapkan moderasi dalam kehidupan keagamaan mereka.
Melalui pendidikan, pembelajaran, dialog antaragama, dan peran
pemimpin pesantren, pesantren berperan penting dalam mendorong moderasi
beragama. Pesantren memberikan dasar pemahaman yang kokoh tentang agama sekaligus mengajarkan pentingnya
toleransi, saling menghormati, dan kerjasama antarumat beragama. Pesantren
memiliki potensi besar untuk memperkuat moderasi beragama di Indonesia dan
membangun masyarakat yang inklusif, toleran, dan harmonis.
Sementara itu, sastra
Indonesia memiliki kontribusi yang signifikan dalam memperkuat praktik moderasi
beragama di pesantren. Melalui pengajaran dan pemahaman sastra Indonesia,
pesantren dapat menciptakan lingkungan pendidikan yang mempromosikan toleransi,
pemahaman yang lebih luas tentang keberagaman agama, dan penghargaan terhadap
perbedaan.
Sastra Indonesia, dengan beragam genre seperti puisi, cerpen,
novel, dan drama, tidak hanya mencerminkan kehidupan sehari-hari, namun juga memperkaya
pemahaman tentang nilai-nilai kemanusiaan, moralitas, dan agama. Dalam konteks
pesantren, sastra Indonesia dapat digunakan sebagai sarana untuk menggali
pemahaman yang lebih dalam tentang agama Islam yang moderat, serta membangun
hubungan saling menghormati dengan agama dan budaya lainnya.
Melalui pembacaan dan diskusi tentang karya sastra Indonesia,
santri dapat mengembangkan pemahaman yang mendalam tentang tema-tema yang
relevan, seperti keadilan sosial, toleransi, kehidupan beragama yang seimbang,
dan resolusi konflik. Pesantren juga dapat menggunakan karya sastra yang
berasal dari berbagai budaya dan agama untuk memperluas perspektif santri,
menghormati perbedaan, dan mendorong kerjasama antarumat beragama.
Hubungan antara pesantren dan literasi sastra sangat dekat dan erat. Pesantren
memiliki peran penting dalam literasi sastra santri, yaitu melalui pembelajaran keterampilan
membaca, menulis, dan memberi penghargaan terhadap
karya sastra. Literasi sastra
Indonesia membantu santri memahami budaya, sejarah, dan nilai-nilai agama serta penerapannya dalam
masyarakat. Literasi sastra mendorong imajinasi dan kreativitas santri melalui penulisan karya sastra sehingga merangsang pemikiran
kritis, ekspresi diri, dan kreativitas dalam menyampaikan gagasan dan
pemikiran.
Melalui literasi
sastra di Pesantren, seorang santri dapat mengembangkan keterampilan
membaca dan menulis, memperoleh pemahaman mendalam tentang budaya dan
agama, mengembangkan imajinasi dan kreativitas, serta mengapresiasi karya-karya
sastra Islami. Hal ini tidak hanya meningkatkan pemahaman mereka tentang
keagamaan, tetapi juga memberikan manfaat dalam pengembangan pribadi,
peningkatan kemampuan berbahasa, dan pemahaman yang lebih luas tentang dunia
dan kehidupan manusia.
Sementara itu, kontribusi
sastra Indonesia dalam memperkuat praktik moderasi beragama di pesantren adalah sebagai berikut. Pertama, sastra Indonesia memperluas
perspektif tentang agama dengan menyajikan cerita dan tokoh dari berbagai
latar-belakang agama. Kedua, sastra
Indonesia mencitrakan kehidupan beragama yang moderat dengan menggambarkan
karakter-karakter yang menghargai perbedaan dan mendorong dialog antarumat
beragama. Ketiga, sastra Indonesia
mendorong empati dan pemahaman antarbudaya dengan mengangkat isu-isu kehidupan
yang kompleks. Keempat, sastra
Indonesia menggali nilai-nilai agama dengan pendekatan budaya sehingga santri dapat memahami
penerapan nilai-nilai agama dalam kehidupan nyata. Kelima, melalui prosa dan puisi, sastra Indonesia menginspirasi dan
mendorong refleksi diri santri dalam memahami praktik moderasi beragama.
Praktik moderasi beragama melalui literasi sastra Indonesia oleh
santri di pondok pesantren berangkat dari tradisi pembacaan kitab yang
dilaksanakan secara bandongan dan sorogan. Literasi sastra sangat penting
diajarkan di pesantren karena sastra memiliki kesamaan dengan tasawuf, yaitu mendekatkan
hati manusia kepada Allah Swt. Kemampuan bersastra dalam diri santri dapat
melembutkan hati, pikiran, dan perilaku. Hati, pikiran, dan perilaku yang
lembut merupakan pangkal dari sikap keberagamaan yang moderat (tengah). Sikap moderat merupakan salah satu
sikap Nabi Muhammad saw. yang patut diteladani karena beliau adalah sosok yang adil bagi kaumnya dan bagi orang
lain. Dengan pengetahuan agama dan sastra yang mendalam, santri memiliki
kepekaan perasaan, kejernihan pikiran, dan sikap egaliter yang kuat.***