Korrie Layun Rampan: Pancaran
Sastra yang Sunyi
Mawaidi D. Mas
Delapan tahun yang lalu, tepatnya 19 November 2015, kritikus Korrie
Layun Rampan meninggal dunia. Karya yang paling berpengaruh bagi studi sastra
adalah sejumlah buku kajian sastra, juga buku yang dieditorinya berjudul Angkatan 2000
dalam Sastra Indonesia (2000). Korrie
bisa dikatakan orang kedua setelah H.B. Jassin yang telaten mengurusi
kesusastraan kita. Di samping itu, Korrie juga turut memberikan sumbangsih
terhadap perumusan angkatan para pengarang sastra.
Korrie memang bukanlah H.B.
Jassin; si dokumentator kesusastraan. Kita bisa melihat kegigihan H.B. Jassin
pada dokumentasi surat-suratnya dengan para pengarang terdahulu di dalam Surat-Surat 1943-1983 (1984). Kehadiran
Korrie seolah melengkapi gairah kerja-kerja pengarsipan yang bersifat kritik
dan apresiatif. Bagian ini dapat kita lacak di dalam trilogi seri esai-kritik
Korrie, antara lain Kritik Sastra
Indonesia Mutakhir (1982), Perjalanan
Sastra Indonesia (1983), dan Suara
Pancaran Sastra (1984).
Sejak Korrie pergi, pembicaraan
atas karya-karyanya pun sunyi. Petilasan berupa buku-buku Korrie juga kini tak
banyak yang mengaksesnya. Mengingat pertemuan terakhir dengan Korrie pada Juni
2015, saya yakin karya-karyanya masih banyak yang tersimpan; baik dalam bentuk
tulisan tangan maupun yang sudah dalam bentuk ketikan. Di hadapan saya, di
usianya yang cukup senja, ditambah kondisinya yang kurang sehat, pergi ke
tempat mana pun Korrie selalu membawa tas yang berisi laptop dan
berlembar-lembar karyanya yang belum selesai diketik.
Sebagai kritikus, Korrie tipe
pribadi yang totalitas terhadap kegemarannya. Untuk menghidupi kesusastraan,
Korrie tidak tanggung-tanggung terlibat di politik praktis. Pada pemilu 2004,
Korrie sempat menjadi anggota Panwaslu Kutai Barat. Tetapi, menjadi Panwaslu
tidak lama karena Korrie mengikuti pencalonan DPRD. Selama periode 2004-2009
itulah Korrie menjadi anggota dewan daerah dan menjabat ketua di Komisi I.
Pundi-pundi selama menjadi
anggota dewan dikumpulkan untuk membiayai penerbitan buku-bukunya. Korrie
menyadari dunia penerbitan semakin hari kian lesu. Penerbitan buku mau tidak
mau harus dibiayai secara mandiri.
Perjumpaan kami diperantarai
oleh kegiatan yang bertajuk “Dialog Susastra: Bedah Buku Pisau (Antologi 27
Cerpen Perempuan Cerpenis Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia)”. Buku ini,
sayangnya tidak terdistribusikan secara baik. Saya menyaksikan sendiri betapa
Korrie sedih setelah tahu buku yang akan didiskusikan pada Senin, 8 Juni 2015 di
Fakultas Bahasa dan Seni UNY itu tidak terbit; yang seharusnya dapat dibeli dan
dibaca oleh peserta.
Apa sebab buku tersebut tidak
terbit? Saat itu, Korrie pun tidak tahu. Bahkan, kami mahasiswa yang belum
mengerti seluk-beluk dunia penerbitan. Sehari sebelum acara, Korrie tampak
gelisah. Beberapa nomor di gawainya dihubungi berkali-kali, namun berkali-kali
pula tidak aktif. Korrie hanya menyebut bahwa buku Pisau seharusnya tiba di Jogja hari itu untuk dipakai pada esok
harinya. Menjelang siang, Korrie pupus harapan; dia ditipu oleh penerbit, buku
hangus, uang yang Korrie kumpulkan dari hasil bekerja untuk membiayai
penerbitan buku lenyap.
Tidak mungkin acara ditunda,
sementara itu poster-poster sudah melayang ke publik. Akhirnya, tak ada rotan
akar pun jadi; fail PDF yang beberapa hari lalu diterima Korrie dari penerbit
dicetak secara stensilan ala kadarnya. Itu pun dicetak untuk dibaca Suminto A.
Sayuti, pemateri pada acara itu. Sempat tebersit versi stensilan akan
diperbanyak untuk sejumlah peserta. Tetapi, layakkah pembaca mendapatkan buku
dari hasil fotokopian?
Sebagaimana judulnya, buku Pisau berisi 27 cerpen karya penulis
perempuan yang dianggap memiliki bentuk ucap dan pendalaman inovasi yang
berbeda daripada pengarang cerpen sebelum dekade 2000-an. Dengan diwakili 27
cerpen tersebut, mereka telah melakukan suatu pembaruan; Akidah Gauzillah (“Aku
Ingin Sebening Embun”), Cicik Novita (“Gadis Kecil di Jembatan”), Cicilia
Anggraini Oday (“Serumpun Bunga Ilalang untuk Mama”), Chairani (“Purnamaku
Terlukis di Langit”), Chen Chen (“Bola Api yang Bergulir”), Dinar Rahayu
(“Dabur”), Djenar Maesa Ayu (“Tunggu!”), Dwi Kartika Sari (“Dua Kekalahan”),
Evi Idawati (“Di Meja Perjamuan”), Faradina Izdhihary (“Lelaki yang Mencintai
Bulan”), Fina Sato (“Ada yang Terisak dalam Dekap”), Hanna Fransisca (“Kuburan
Kota Bunga”), Iis Wiati (“Pension Welgelegen”), Juwairiyah Mawardy (“Mariah”),
Maya Wulan (“Pisau”), Murparsaulian (“Tulip di Gunung Balkan”), Nenden Lilis A.
(“Bong”), Novieta Christina “Gnomon”, Nukila Amal (“Surat Seorang Seniman Tua
Kepada Anaknya”), Nurul Lathiffah (“Pernikahan Langit yang Asing”), Pudji
Isdriani K (“Sepatu Ben”), Ratih Kumala (“Nach Westen”), Riesca Dwi Putri
Dhamayanti (“Monolog”), Shantined (“Perahu”), Tetet Cahyati (“Dalam Kereta
Pagi”), Yuni Kristyaningsih (“Dalam Hujan”), dan Wa Ode Wulan Ratna (“Bulan
Gendut di Tepi Gangsal”).
Di atas, saya menyebutkan buku Pisau tidak terdistribusikan secara
baik. Mungkin lebih tepatnya buku ini bernasib tidak baik-baik saja. Sudah
delapan tahun berlalu, para pengarang di buku ini, Juwairiyah Mawardy dan Yuni
Kristyaningsih, tidak pernah mendapatkan bukti terbitnya. Anehnya, kalau kita
buka Google dan mengetik judul
lengkap buku ini, akan ditemukan pada urutan teratas dijual di Google Books.
Acara pada 8 Juni 2015 begitu
membekas. Waktu itu, sebagai panitia, saya berkesempatan menemani Korrie selama
berada di Jogja. Selama itu pula kesedihan di mata Korrie masih terbayang di
ingatan.***