Korrie Layun Rampan: Pancaran Sastra yang Sunyi - Mawaidi D. Mas

@kontributor 12/17/2023

Korrie Layun Rampan: Pancaran Sastra yang Sunyi

Mawaidi D. Mas

 

Delapan tahun yang lalu, tepatnya 19 November 2015, kritikus Korrie Layun Rampan meninggal dunia. Karya yang paling berpengaruh bagi studi sastra adalah sejumlah buku kajian sastra, juga buku yang dieditorinya berjudul Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia (2000). Korrie bisa dikatakan orang kedua setelah H.B. Jassin yang telaten mengurusi kesusastraan kita. Di samping itu, Korrie juga turut memberikan sumbangsih terhadap perumusan angkatan para pengarang sastra.

Korrie memang bukanlah H.B. Jassin; si dokumentator kesusastraan. Kita bisa melihat kegigihan H.B. Jassin pada dokumentasi surat-suratnya dengan para pengarang terdahulu di dalam Surat-Surat 1943-1983 (1984). Kehadiran Korrie seolah melengkapi gairah kerja-kerja pengarsipan yang bersifat kritik dan apresiatif. Bagian ini dapat kita lacak di dalam trilogi seri esai-kritik Korrie, antara lain Kritik Sastra Indonesia Mutakhir (1982), Perjalanan Sastra Indonesia (1983), dan Suara Pancaran Sastra (1984).

Sejak Korrie pergi, pembicaraan atas karya-karyanya pun sunyi. Petilasan berupa buku-buku Korrie juga kini tak banyak yang mengaksesnya. Mengingat pertemuan terakhir dengan Korrie pada Juni 2015, saya yakin karya-karyanya masih banyak yang tersimpan; baik dalam bentuk tulisan tangan maupun yang sudah dalam bentuk ketikan. Di hadapan saya, di usianya yang cukup senja, ditambah kondisinya yang kurang sehat, pergi ke tempat mana pun Korrie selalu membawa tas yang berisi laptop dan berlembar-lembar karyanya yang belum selesai diketik.

Sebagai kritikus, Korrie tipe pribadi yang totalitas terhadap kegemarannya. Untuk menghidupi kesusastraan, Korrie tidak tanggung-tanggung terlibat di politik praktis. Pada pemilu 2004, Korrie sempat menjadi anggota Panwaslu Kutai Barat. Tetapi, menjadi Panwaslu tidak lama karena Korrie mengikuti pencalonan DPRD. Selama periode 2004-2009 itulah Korrie menjadi anggota dewan daerah dan menjabat ketua di Komisi I.

Pundi-pundi selama menjadi anggota dewan dikumpulkan untuk membiayai penerbitan buku-bukunya. Korrie menyadari dunia penerbitan semakin hari kian lesu. Penerbitan buku mau tidak mau harus dibiayai secara mandiri.

Perjumpaan kami diperantarai oleh kegiatan yang bertajuk “Dialog Susastra: Bedah Buku Pisau (Antologi 27 Cerpen Perempuan Cerpenis Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia)”. Buku ini, sayangnya tidak terdistribusikan secara baik. Saya menyaksikan sendiri betapa Korrie sedih setelah tahu buku yang akan didiskusikan pada Senin, 8 Juni 2015 di Fakultas Bahasa dan Seni UNY itu tidak terbit; yang seharusnya dapat dibeli dan dibaca oleh peserta.

Apa sebab buku tersebut tidak terbit? Saat itu, Korrie pun tidak tahu. Bahkan, kami mahasiswa yang belum mengerti seluk-beluk dunia penerbitan. Sehari sebelum acara, Korrie tampak gelisah. Beberapa nomor di gawainya dihubungi berkali-kali, namun berkali-kali pula tidak aktif. Korrie hanya menyebut bahwa buku Pisau seharusnya tiba di Jogja hari itu untuk dipakai pada esok harinya. Menjelang siang, Korrie pupus harapan; dia ditipu oleh penerbit, buku hangus, uang yang Korrie kumpulkan dari hasil bekerja untuk membiayai penerbitan buku lenyap.

Tidak mungkin acara ditunda, sementara itu poster-poster sudah melayang ke publik. Akhirnya, tak ada rotan akar pun jadi; fail PDF yang beberapa hari lalu diterima Korrie dari penerbit dicetak secara stensilan ala kadarnya. Itu pun dicetak untuk dibaca Suminto A. Sayuti, pemateri pada acara itu. Sempat tebersit versi stensilan akan diperbanyak untuk sejumlah peserta. Tetapi, layakkah pembaca mendapatkan buku dari hasil fotokopian?

Sebagaimana judulnya, buku Pisau berisi 27 cerpen karya penulis perempuan yang dianggap memiliki bentuk ucap dan pendalaman inovasi yang berbeda daripada pengarang cerpen sebelum dekade 2000-an. Dengan diwakili 27 cerpen tersebut, mereka telah melakukan suatu pembaruan; Akidah Gauzillah (“Aku Ingin Sebening Embun”), Cicik Novita (“Gadis Kecil di Jembatan”), Cicilia Anggraini Oday (“Serumpun Bunga Ilalang untuk Mama”), Chairani (“Purnamaku Terlukis di Langit”), Chen Chen (“Bola Api yang Bergulir”), Dinar Rahayu (“Dabur”), Djenar Maesa Ayu (“Tunggu!”), Dwi Kartika Sari (“Dua Kekalahan”), Evi Idawati (“Di Meja Perjamuan”), Faradina Izdhihary (“Lelaki yang Mencintai Bulan”), Fina Sato (“Ada yang Terisak dalam Dekap”), Hanna Fransisca (“Kuburan Kota Bunga”), Iis Wiati (“Pension Welgelegen”), Juwairiyah Mawardy (“Mariah”), Maya Wulan (“Pisau”), Murparsaulian (“Tulip di Gunung Balkan”), Nenden Lilis A. (“Bong”), Novieta Christina “Gnomon”, Nukila Amal (“Surat Seorang Seniman Tua Kepada Anaknya”), Nurul Lathiffah (“Pernikahan Langit yang Asing”), Pudji Isdriani K (“Sepatu Ben”), Ratih Kumala (“Nach Westen”), Riesca Dwi Putri Dhamayanti (“Monolog”), Shantined (“Perahu”), Tetet Cahyati (“Dalam Kereta Pagi”), Yuni Kristyaningsih (“Dalam Hujan”), dan Wa Ode Wulan Ratna (“Bulan Gendut di Tepi Gangsal”).

Di atas, saya menyebutkan buku Pisau tidak terdistribusikan secara baik. Mungkin lebih tepatnya buku ini bernasib tidak baik-baik saja. Sudah delapan tahun berlalu, para pengarang di buku ini, Juwairiyah Mawardy dan Yuni Kristyaningsih, tidak pernah mendapatkan bukti terbitnya. Anehnya, kalau kita buka Google dan mengetik judul lengkap buku ini, akan ditemukan pada urutan teratas dijual di Google Books.

Acara pada 8 Juni 2015 begitu membekas. Waktu itu, sebagai panitia, saya berkesempatan menemani Korrie selama berada di Jogja. Selama itu pula kesedihan di mata Korrie masih terbayang di ingatan.***

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »