Menutup Tahun Puitik dan Musikal 2023 - Ananda Sukarlan

@kontributor 12/31/2023

Menutup Tahun Puitik dan Musikal 2023

Ananda Sukarlan




Saya bahagia dan berterima kasih sekali atas tulisan para penyair (yang ternyata juga esais andal) yang saya kagumi, Sofyan RH. Zaid, Rissa Churria dan Emi Suy mengenai hubungan musik dan puisi. Tulisan yang terpicu oleh konser terakhir saya tahun ini di Galeri Seni Hadiprana. Saya jadi tergelitik menulis juga, untuk mengklarifikasi atau mengelaborasi beberapa hal guna melengkapi ulasan mereka yang sudah sangat jitu dan teliti.

Sebetulnya, elemen apapun itu buat saya berbunyi musik, tinggal definisi dari "musik" itu sendiri saja yang harus jelas. Rekening listrik, tagihan kartu kredit atau resep dokter (kalau bisa terbaca tulisannya), atau hal-hal visual seperti kopi yang tumpah di taplak meja putih pun berbunyi musik buat saya. Hanya saja saya yakin 1000% bahwa musik yang berasal dari hal-hal itu tidak menarik atau layak saya lemparkan ke pendengar. Jadi kriteria saya adalah lebih ke nilai artistik.

Nah, kadang-kadang dengan karya sastra yang sangat hebat pun saya tidak berniat untuk menjadikannya musik. Karena karya itu sudah sangat padat dan metaforanya sudah sangat abstrak sehingga musik yang saya dengar dari situ pun akan terdengar terlalu kompleks atau jenuh.

Mau tahu contohnya? Sonet-nya William Shakespeare, misalnya. Sampai saat ini saya hanya membuat dua tembang puitik dari sonetnya sang pujangga besar Inggris ini. Tetapi ada beberapa karyanya yang saya buat musik instrumental tanpa teks, kebanyakan untuk piano solo, atau yang sudah sangat terkenal di kalangan para pemain biola, seperti "Sweet Sorrow" dari kata-kata Juliet kepada Romeo di act 2 scene 2: “Good night! Good night! Parting is such sweet sorrow / That I shall say goodnight till it be morrow.” Kesedihan yang berasa manis ini sangat bisa memicu akord A mayor dengan sentuhan disonan, di mana kata-kata itu sudah melebur karena saya memang menggunakan nuansa kesedihan di balkon tempat dua sejoli itu mau berpisah. Ini permainan Vivienne Thamrin, pianis muda dari Makassar pemenang Ananda Sukarlan Award tingkat Junior bertahun-tahun lalu  yang kini menjadi mahasiswa musik di University of British Columbia

https://www.youtube.com/watch?v=Yz4CuvDQOMY

Saya sekalian ingin menjelaskan tentang Tembang Puitik ya, yang ternyata belum ada di wikipedia. Ini adalah istilah terjemahan dari bahasa Inggris "art song" (yang sudah ada di wikipedia bahasa Inggris) yang kini populer mendefinisikan karya-karya klasik yang berdasarkan puisi yang ditulis oleh penyair (bukan oleh sang komponisnya sendiri). Banyak komponis, saya salah satu contohnya, sebetulnya adalah "penyair frustrasi" yang tidak bisa mengekspresikan perasaan lewat kata-kata, tapi pengagum kata-kata.

Kata-kata itu melukiskan hal-hal yang tidak bisa dilukis secara visual, jadi kami para komponislah yang melukisnya, dengan kanvas kesunyian dan kami cipratkan bunyi-bunyi di situ. Tokoh pelopor tembang puitik adalah komponis Austria, Franz Schubert (1797-1828) yang telah menuliskan 700-an tembang puitik (atau "lieder" dalam bahasa Jerman) dari puisi-puisi Johann Wolfgang von Goethe, Friedrich Schiller, Heinrich Heine, dan banyak lagi.

Di Indonesia, memang saya yang kelihatannya paling banyak menulis dalam bentuk ini. Sudah lewat dari 400 tembang puitik saya tulis sejak saya kuliah. Di abad ke-20, dalam jumlah yang hanya mencapai puluhan karya, adalah Mochtar Embut dari puisi-puisi Rendra, FX Sutopo dan Trisutji Kamal, dan setelah meninggalnya Trisutji Kamal, kelihatannya tidak ada penerusnya. Sebelum adanya internet, saya hanya menulis dari puisi-puisi yang bukunya saya miliki: Walt Whitman, Emily Dickinson, Federico Garcia Lorca dan puluhan lagi puisi berbahasa Inggris dan Spanyol. Di Eropa memang tradisi ini terus berlanjut. Kalau saya tidak tinggal di Eropa, mungkin saya juga tidak mengenalnya dan tidak berkarya dalam hal ini.

Setelah adanya internet, tahun 2002 ke atas, saya mulai "menemukan" puisi-puisi Sapardi Djoko Damono, Joko Pinurbo "Jokpin", Eka Budianta, Hasan Aspahani, Nanang Suryadi, Umbu Landu Paranggi dan sekarang sudah ratusan penyair lainnya. Awalnya saya kesulitan membuat musik karena bahasa Indonesia saya yang sudah tidak "mendarah daging" lagi, tapi akhirnya saya justru menemukan keunikannya, di mana aksen di kata-kata bahasa Indonesia bisa berpindah-pindah, jadi tidak adanya ritme seperti Iambic dalam bahasa Inggris. Dari situlah saya menemukan identitas musik yang baru, yang beda dari tembang puitik Schubert, Benjamin Britten atau Claude Debussy dengan bahasa mereka masing-masing.

Ada beberapa anekdot dan hal unik yang saya dapati dalam proses selama ini. Misalnya, saya tidak pernah tertarik dengan puisi-puisi Sirikit Syah, tapi begitu membaca "Aku Ingin Menjadi Malam", puisi itu langsung menyengat bahkan menyetrum saya, dan kurang dari setengah jam, musiknya sudah jadi. Karya itu bahkan pernah dijadikan bahan tesis doktoral oleh seorang bariton Amerika, Daniel Tuutau. 

Saya sendiri menganggap lagu itu salah satu yang paling membingungkan; saya merasa tidak pernah menulisnya, lagu itu seperti tertulis sendiri. 

Sampai sekarang, saya masih ada rasa takut bahwa saya menjiplak dari musik lain, karena benar-benar sewaktu menuliskannya, saya seperti telah mendengarnya dengan sangat jelas. Dengarkan deh, ini dinyanyikan oleh bariton dari Peru, Rudi Fernandez-Cardenas: 

https://www.youtube.com/watch?v=TXVp3LwafLM

Kalau itu terlalu "medok" aksen spanyolnya, ini seorang putra bangsa kita yang menyanyikannya, Kadek Ari Ananda, setelah lagu pertama "Nostalgia" (dari puisi Eka Budianta): 

https://www.youtube.com/watch?v=hIJXRZoLQuQ

Setelah bu Sirikit Syah wafat, saya baca-baca lagi puisinya, dan tetap tidak bisa "menyalakan" api musikal saya. Aneh ya?

Joko Pinurbo banyak menulis puisi pendek. Itu sebabnya saya jarang membuat lagu dari 1 puisi utuh. Saya telah membuat dua karya paduan suara: Jokpiniana no. 1 dan no. 2. Yang no. 1 untuk a cappella, sedangkan yang no. 2 paduan suara dengan piano. Jokpiniana itu terdiri dari berbagai puisi pendek yang saya gabung-gabungkan: 

https://www.youtube.com/watch?v=vkC4V3fWDWk

Kalau yang puisi utuh, yang saya sudah bikin lagu antara lain adalah "Kekasihku" yang saya buat untuk soprano dan bariton. Itu puisi jenaka, dan jadinya lebih lucu lagi karena yang menyanyikannya dua penyanyi Amerika dengan bahasa Indonesia yang medok aksen amerikanya! Di sini mereka tidak menuliskan nama penyairnya (hiks!), tapi lagu pertama itu dari Sapardi dan Jokpin lagu ke-3: 

https://www.youtube.com/watch?v=nguaj05dTt0

Mau tahu, siapa penyair Indonesia menurut saya yang metaforanya paling liar? Adimas Immanuel. Kalau baca berbagai puisinya, anda tidak akan mengerti apa-apa, tapi daya deskriptifnya, seabstrak apapun, sangat kuat. Setiap puisi, bahkan hanya setiap padanan dua atau tiga kata itu "suara musik"nya kuat sekali. Ini juga salah satu lagu saya yang lagi-lagi "tertulis sendiri", yang membuktikan bahwa ada jenis-jenis metafora itu langsung bertransformasi jadi bunyi di otak seorang komponis tanpa harus dihitung-hitung. Mendengar kata-katanya, apakah Anda mengerti? Saya rasa tidak perlu. Nikmati saja puisinya "Iras" ini dinyanyikan oleh soprano brilyan yang baru berusia 14 tahun ini: 

https://www.youtube.com/watch?v=55MCqHDRQw8

Puisi Adimas Immanuel buat saya, antitesis dari puisi Riri Satria dan Hilmi Faiq yang konkrit dan gamblang, walaupun Riri Satria dan Hilmi Faiq juga menggunakan metafora, simile dan satire bahkan sarkasme dengan brilyan. Ini sebabnya saya tertarik kepada karya dua penyair yang dapat menggali bahasa musik di dalam diri saya yang bertolak belakang dan tadinya tidak saya sadari ada tersembunyi nun jauh di belukar otak saya yang kusut ini. Puisi Riri Satria punya fungsi menjadi dokumentasi sejarah, seperti yang ditulis oleh Emi Suy ini: 

https://majalahelipsis.com/puisi-sebagai-dokumen-sejarah-dalam-bentuk-metafora-yang-bisa-menyentuh-palung-hati/

Di tengah-tengah spektrum ini ada banyak penyair, misalnya Hasan Aspahani yang bisa dengan gamblangnya menulis tentang "Palestina" tapi juga sangat metaforik di "Bibirku Bersujud di Bibirmu" yang sebetulnya mengisahkan tentang tsunami Aceh.Yang juga menarik terjadi di liburan menjelang tahun 2024 ini adalah, saya mengeksplorasi dua tema: tentang "Ibu" dari tiga penyair: Mustari Irawan, Muhammad Subhan dan Sofyan RH. Zaid, serta tentang "Sungai" dari puisi Dorothea Rosa Herliany (Konser Sungai-Sungai) dan Ubai Dillah Al Anshori (Surat-surat Sungai).

Di masa lalu, saya juga telah membuat musik dari tema "Ibu" dari sajak Wiji Thukul dan Emi Suy. Tadinya saya mengira bahwa saya akan menulis musik yang mirip-mirip karena saya berniat menuliskan lima tembang ini dalam empat hari libur saya, tapi ternyata tidak. Memang sering nuansa "adem" dari kenangan seorang ibu (yang tercipta dari akord yang berulang secara lembut) muncul, juga unsur "mengalir" di kedua lagu saya tentang sungai, tapi berbagai progresi harmoni dan modulasi yang unik mulai bermunculan karena gaya bahasa setiap penyair, ibaratnya saya swafoto bersama lima penyair yang berwajah dan berkarakter berbeda-beda ini.

Pujangga besar Yunani, Quintus Horatius dalam bukunya Ars Poetica menyatakan bahwa sastra punya dua fungsi: dulce et utile / indah dan bermanfaat (bagi pembacanya, bukan hanya penyairnya). Tapi saya tidak setuju kalau puisi Adimas Immanuel misalnya, dianggap "tidak bermanfaat" karena tidak mengacu kepada hal-hal nyata atau sejarah seperti puisi Riri Satria & Hilmi Faiq. Puisi Adimas sangat bermanfaat untuk membuat kita bisa liar berimajinasi. Imajinasi yang sangat abstrak, yang Artificial Intelligence tidak akan bisa mencernanya. Metafora seperti inilah senjata seniman melawan AI, yang saya yakini, sampai kapanpun tidak akan bisa menandingi kecerdasan manusia penyair dengan segala kekurangannya.

Adimas Immanuel dan Riri Satria mungkin memiliki konsep bertolak belakang, tapi mereka (dan semua puisi di dalam spektrum ini yang mengandung nilai artistik tinggi lainnya) memiliki kesamaan manfaat yang lain, yaitu sebagai katarsis. Katarsis untuk ketidakpuasan, kesedihan, kesepian dan kekurangan. Jadi ada "utile" di dalam "dulce", karena semua yang indah itu (harusnya) membawa kebahagiaan.

Kebahagiaan adalah hal yang tidak dimiliki seniman, itu sebabnya kami memiliki kebutuhan untuk berkarya. Ekspresi kami hanya bisa lewat karya seni yang diharapkan membahagiakan senimannya (dan kadang memang berhasil, tapi selalu pupus setelah kami menyelesaikan karya tersebut dan kamipun kembali tenggelam di jurang kesedihan terdalam sampai memulai karya baru) dan penikmatnya. Kalau seorang seniman sudah bahagia, ia tidak akan berkarya lagi dan akan pensiun menjadi seniman, seperti yang ditanyakan Lady Gaga di lagunya "Shallow": Tell me somethin', boy / Aren't you tired tryin' to fill that void? / Or do you need more?

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »