Perempuan Bernama Mary yang Lahir dari Imajinasi Bery - Y Agusta Akhir

@kontributor 12/10/2023

Perempuan Bernama Mary yang Lahir dari Imajinasi Bery

Y Agusta Akhir



Bery. Seorang pengarang muda yang tengah naik daun. Ketika aku mengatakan metafora itu, seorang kawan pernah bertanya, dan agaknya bukan sedang bercanda: Naik daun? Bagaimana caranya? Aku tak perlu menanggapinya. Tokoh Bery – aku sengaja mengganti abjad belakang jadi ‘y’ dan bukan ‘i’ lebih karena agar sesuai dengan kekasihnya, Mary. Seorang perempuan yang lahir dari imajinasinya.

Satu dua bulan ini Bery sering datang menemuiku sekadar untuk meminta pendapat perihal cerita-ceritanya yang aku baca. Ia tahu aku suka membaca, walaupun pembacaanku tak terlalu baik. 

Akhir-akhir ini ia dibikin resah oleh ikhwal kepengarangan: teknik menulis yang baik. Selama ini karangan yang dibuatnya memiliki kualitas yang biasa saja, walaupun satu dua cerita tampak lebih bagus dan menonjol. Tetapi sejujurnya aku menyukai cerita-cerita yang ditulis Bery. Hanya saja, dua hari lalu, ia mengeluhkan sakit kepala, pening, perut mulas. Mirip perempuan sedang hamil. Tetapi tentu saja ia tidak sedang hamil. Aku katakan, apakah ia membutuhkan aspirin atau semacamnya, dan ia hanya bilang bukan sakit serupa itu melainkan karena memikirkan perihal bagaimana menulis yang baik itu. Ia resah dan mendadak merasa kualitas tulisannya buruk.

Aku baru saja membaca Borges, katanya. “Cerita-cerita yang tak gampang dipahami. Diksi, metafor, symbol. Rumit. Mesti dibaca berulang kali!”

Dan malamnya, Bery bermimpi kalau Borges menyelinap ke dalam tidurnya, dan hanya mengatakan: Semua tulisan adalah mimpi.

Ia, yang gemar menulis perihal babi mendadak selalu membayangkan perempuan yang diberinya nama Mary. Itulah yang kemudian ia ingin menulis sebuah cerita dengan tokoh Mary. Agaknya ia terobsesi akan hal itu, tetapi, pada saat yang bersamaan, ia terganggu oleh Borges – maksudnya, teknik yang digunakan penulis Argentina itu untuk menuliskan cerita-ceritanya.

“Aku ingin menulis dengan cara yang kurang lebih seperti itu, dengan tokoh seorang perempuan bernama Mary. Ia mengaku sudah berhari-hari memikirkan hal itu, tetapi belum juga bisa mengeksekusinya.”

Justru yang terjadi adalah: bayang-bayang Mary secara ajaib menjadi nyata, dan ia telah jatuh cinta kepadanya. Itulah yang dikatakannya dan semula aku tidak terkejut karena menganggap itu bualan semata.

Mirip seorang kawan yang menanyakan perihal ungkapan naik daun, aku bertanya, bagaimana hal seperti itu bisa terjadi? Mungkin pertanyaan itu terdengar bodoh dan tolol, dan barangkali kesan itulah yang ditangkap Bery tentang diriku detik itu.

Tetapi nyatanya, ia menjawab seolah pertanyaan yang aku ajukan adalah hal yang wajar, sewajar ia mengatakan bahwa Mary lahir dari imajinasinya.

“Ia muncul begitu saja di lubang jendela kamar, tepat ketika aku hendak menuliskan kalimat terakhir untuk ceritaku!”

Tadinya aku sempat membayangkan, perempuan itu muncul dari kepala Bery. Mula-mula berupa asap mirip Jin yang keluar dari lubang lampu (yang menurutku sebenarnya lebih mirip sebuah teko) dalam film Aladin dan Lampu Ajaib. Dugaanku keliru, tetapi aku tak hendak bertanya lebih lanjut mengapa gadis itu tiba-tiba muncul di lubang jendela? Dari mana datangnya? Sebab ternyata Bery melanjutkan begini:

“Kau tahu, aku mengalaminya sebanyak tiga kali. Dan kau tahu, di jam yang sama pula. Persis. Anehnya, aku selalu kaget dengan kemunculannya itu. Kekagetan yang sama pula! Apa ini keajaiban yang ganjil?”

Keajaiban sendiri adalah sebuah keganjilan, kataku. Tetapi kuberitahukan padanya, bahwa hal serupa itu tidak apa-apa. Sebab, kaget berulang-ulang, sekalipun di waktu dan tempat yang sama bukanlah kebodohan.

Lalu, sekali lagi aku mengajukan pertanyaan konyol, “Sekarang di mana perempuan itu, Bery?”

Kupikir Bery akan tertawa mendengar pertanyaanku. Ia menjawab dengan nada serius, bahwa perempuan yang lahir dari imajinasinya yang bernama Mary sedang tidur di kamar kosnya.

“Maksudku, dia tertidur ketika aku pergi,” Bery menambahkan.

Aku diam sejenak. Bery mengepulkan asap rokoknya. Aku melirik secangkir kopi yang kusuguhkan padanya. Sejak tadi ia belum mencecapnya pula.

Pada detik itu aku membayangkan Mary berambut ikal, bermata pekat, memiliki lesung pipit kala tersenyum atau tertawa, berhidung mungil, berbibir tipis. Wajahnya mungkin oval. Tidak bisa dikatakan sempurna, tetapi tidak tepat juga kalau dibilang dia seorang perempuan yang buruk. 

Nyatanya yang kubayangkan keliru. Setidaknya tidak persis begitu. Mary, seperti kata Bery, adalah perempuan tomboy berambut lurus dan pendek. Setiap kali melongok ke jendela kamar Bery, ia memakai topi baseball hitam polos dengan senyum tipis nyaris tak kentara, tanpa lesung pipit.

“Dia, kalau kuamati sungguh-sungguh, wajahnya mirip perempuan dalam lukisan Antonello da Messina berjudul Virgin Annunciate!”

Aku pernah mendengar Antonello da Messina, tetapi tidak dengan karyanya yang disebut Bery itu. Tetapi aku tetap mengangguk-anggukkan kepala, yang sebenarnya justru untuk mengisyaratkan ketidaktahuanku. Tetapi Bery, tentu saja menganggap sebaliknya.

Aku menduga, perempuan itu pasti tidak cantik atau lembut. Aku kira, tak jauh beda dengan Senyum Mona Lisa karya Leonardo Da Vinci. Walaupun senyumnya masyhur, tetapi bagiku senyum itu tidaklah manis, demikian pula dengan sang pemilik senyum itu.  

“Sebenarnya begini,” Bery melanjutkan. “Aku sudah hampir menyelesaikan ceritaku. Aku hanya belum tahu bagaimana harus mengakhirinya. Satu dua kalimat, mungkin satu paragraph, tetapi susahnya minta ampun!”

Bery tak pernah mengeluhkan perihal menulis cerita sebelumnya. Semua tampak baik-baik saja, dan sering pula karyanya dimuat di Koran. Sentuhan lokalitas. Babi. Ilmu hitam. Benda-benda pusaka. Hal-hal mistis. Eksotisme.

Dan ia mengatakan itu, bukan untuk mencari solusi dariku. Kukira ia faham kalau aku bukanlah seorang penulis. Aku hanyalah seorang pembaca yang buruk. Ia, kukira sekadar menumpahkan perasaannya belaka, sebagaimana kunjungan sebelum-sebelumnya.

“Apakah Mary membaca ceritamu?” Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulutku, padahal aku tak memikirkannya begitu.

“Tidak,” sahut Bery.

Selanjutnya dengan gerakan cepat ia mencecak puntung rokok di asbak. Kakinya yang sebelumnya nangkring di atas kursi, diturunkan, seketika berdiri, dan dengan nada yang penuh gairah ia melanjutkan, “Tetapi aku jadi punya gagasan, kawan!”

Aku diam lebih karena memikirkan perubahan sikapnya yang tiba-tiba itu. Aku tak hendak bertanya perihal gagasan apa. Aku memilih menunggu ia melanjutkan kata-katanya.

“Kukira aku harus segera pulang dan menyelesaikan ceritaku!”

Itulah yang dikatakannya kemudian sebelum mohon diri dengan begitu tergesa. Sepeninggalannya, aku menyeruput kopi yang masih utuh, yang sebenarnya kusuguhkan untuk Bery.

“Babi!” rasanya pahit. Agaknya aku lupa memberinya gula.

***

03.05. Aku terjaga oleh dering ponselku. Mataku yang susah kubuka sempat membaca nama Bery. Aku terima dengan malas.

“Hallo?”

“Bro, apakah Mery ada di situ?”

Sejujurnya aku heran mendengar pertanyaan itu. Bukan saja aneh, tetapi aku tak habis mengerti mengapa ia punya pikiran kalau Mary datang menemuiku. Bery, barangkali sudah mulai gila.

“Halo?”

“Tidak, dong. Kamu gila!”

Bery lalu mengatakan bahwa dirinya bercerita kepada Mary tentang diriku. Ia bilang aku seorang lelaki pendiam dan mapan. Tidak merokok, tidak minum alkohol, atau melakukan hal-hal yang kurang pantas dalam pandangan umum. Kekuranganku hanya satu, kata Bery, yaitu dingin terhadap perempuan, dan karena itulah aku kesepian lantaran belum menikah. Padahal, aku sudah melewati setengah abad hidup di dunia ini. Bery berkelakar kalau Tuhan alpa dalam urusan ini, sehingga jodoh untukku terlewatkan. Tetapi gegara kelakar itu Mary ingin menemuiku.   

“Tetapi ia tidak ke sini!” kataku setelah ia diam. 

Aku mendengar ia menghela napas, lalu bergumam tak jelas tertangkap olehku. Mungkin ia mengumpat.

“Ya sudah, kalau begitu,” katanya kemudian. Pendek dan datar. Lalu telepon terputus.

Tetapi suara Bery ketika mengatakan kalau aku seorang lelaki kesepian masih menggema di gendang telingaku. Itu memang benar. Dan diam-diam aku iri kepadanya, bisa menciptakan perempuan melalui imajinasinya. Aku berpikir, seandainya hal itu terjadi kepadaku, betapa sangat menyenangkan. Lebih dari sekadar kebahagiaan. Perempuan itu akan menyambutku setiap kali aku pulang kerja. Ia akan memasak apa pun yang aku suka. Dan aku pasti menyukai masakannya. Aku bisa mengurangi jajan di luar. Aku akan ngobrol dengannya tentang apa saja setiap ada kesempatan. Kami, mungkin sesekali akan mempertengkarkan perkara yang remeh tetapi segera baikan kembali. Kami juga merencanakan akan berkunjung ke tempat-tempat yang menyenangkan. Kota-kota yang indah atau pedusunan yang eksotis.

Mendadak ponselku kembali berdering. Hanya deretan angka. Tadinya kukira Bery lagi. Tetapi aku angkat juga.

“Halo?”

Entah kenapa, aku seperti mengenal suaranya. Dan seketika melintas di dalam kepalaku, seorang perempuan berdiri di tengah-tengah halaman rumah dengan rambut lurus dan pendek, memakai topi baseball hitam polos, menyungging senyum tipis tanpa lesung pipit.***

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »