Perempuan Bernama Mary yang Lahir dari
Imajinasi Bery
Y Agusta Akhir
Bery.
Seorang pengarang muda yang tengah naik daun. Ketika aku mengatakan metafora
itu, seorang kawan pernah bertanya, dan agaknya bukan sedang bercanda: Naik
daun? Bagaimana caranya? Aku tak perlu menanggapinya. Tokoh Bery – aku sengaja
mengganti abjad belakang jadi ‘y’ dan bukan ‘i’ lebih karena agar sesuai dengan
kekasihnya, Mary. Seorang perempuan yang lahir dari imajinasinya.
Satu
dua bulan ini Bery sering datang menemuiku sekadar untuk meminta pendapat perihal
cerita-ceritanya yang aku baca. Ia tahu aku suka membaca, walaupun pembacaanku
tak terlalu baik.
Akhir-akhir
ini ia dibikin resah oleh ikhwal kepengarangan: teknik menulis yang baik. Selama
ini karangan yang dibuatnya memiliki kualitas yang biasa saja, walaupun satu
dua cerita tampak lebih bagus dan menonjol. Tetapi sejujurnya aku menyukai
cerita-cerita yang ditulis Bery. Hanya saja, dua hari lalu, ia mengeluhkan
sakit kepala, pening, perut mulas. Mirip perempuan sedang hamil. Tetapi tentu
saja ia tidak sedang hamil. Aku katakan, apakah ia membutuhkan aspirin atau
semacamnya, dan ia hanya bilang bukan sakit serupa itu melainkan karena
memikirkan perihal bagaimana menulis yang baik itu. Ia resah dan mendadak merasa
kualitas tulisannya buruk.
Aku
baru saja membaca Borges, katanya. “Cerita-cerita yang tak gampang dipahami.
Diksi, metafor, symbol. Rumit. Mesti dibaca berulang kali!”
Dan
malamnya, Bery bermimpi kalau Borges menyelinap ke dalam tidurnya, dan hanya
mengatakan: Semua tulisan adalah mimpi.
Ia,
yang gemar menulis perihal babi mendadak selalu membayangkan perempuan yang
diberinya nama Mary. Itulah yang kemudian ia ingin menulis sebuah cerita dengan
tokoh Mary. Agaknya ia terobsesi akan hal itu, tetapi, pada saat yang
bersamaan, ia terganggu oleh Borges – maksudnya, teknik yang digunakan penulis
Argentina itu untuk menuliskan cerita-ceritanya.
“Aku
ingin menulis dengan cara yang kurang lebih seperti itu, dengan tokoh seorang
perempuan bernama Mary. Ia mengaku sudah berhari-hari memikirkan hal itu,
tetapi belum juga bisa mengeksekusinya.”
Justru
yang terjadi adalah: bayang-bayang Mary secara ajaib menjadi nyata, dan ia
telah jatuh cinta kepadanya. Itulah yang dikatakannya dan semula aku tidak
terkejut karena menganggap itu bualan semata.
Mirip
seorang kawan yang menanyakan perihal ungkapan naik daun, aku bertanya, bagaimana
hal seperti itu bisa terjadi? Mungkin pertanyaan itu terdengar bodoh dan tolol,
dan barangkali kesan itulah yang ditangkap Bery tentang diriku detik itu.
Tetapi
nyatanya, ia menjawab seolah pertanyaan yang aku ajukan adalah hal yang wajar,
sewajar ia mengatakan bahwa Mary lahir dari imajinasinya.
“Ia
muncul begitu saja di lubang jendela kamar, tepat ketika aku hendak menuliskan
kalimat terakhir untuk ceritaku!”
Tadinya
aku sempat membayangkan, perempuan itu muncul dari kepala Bery. Mula-mula
berupa asap mirip Jin yang keluar dari lubang lampu (yang menurutku sebenarnya
lebih mirip sebuah teko) dalam film Aladin dan Lampu Ajaib. Dugaanku keliru,
tetapi aku tak hendak bertanya lebih lanjut mengapa gadis itu tiba-tiba muncul
di lubang jendela? Dari mana datangnya? Sebab ternyata Bery
melanjutkan begini:
“Kau
tahu, aku mengalaminya sebanyak tiga kali. Dan kau tahu, di jam yang sama pula.
Persis. Anehnya, aku selalu kaget dengan kemunculannya itu. Kekagetan yang sama
pula! Apa ini keajaiban yang ganjil?”
Keajaiban
sendiri adalah sebuah keganjilan, kataku. Tetapi kuberitahukan padanya, bahwa
hal serupa itu tidak apa-apa. Sebab, kaget berulang-ulang, sekalipun di waktu
dan tempat yang sama bukanlah kebodohan.
Lalu,
sekali lagi aku mengajukan pertanyaan konyol, “Sekarang di mana perempuan itu,
Bery?”
Kupikir
Bery akan tertawa mendengar pertanyaanku. Ia menjawab dengan nada serius, bahwa
perempuan yang lahir dari imajinasinya yang bernama Mary sedang tidur di kamar
kosnya.
“Maksudku,
dia tertidur ketika aku pergi,” Bery menambahkan.
Aku
diam sejenak. Bery mengepulkan asap rokoknya. Aku melirik secangkir kopi yang
kusuguhkan padanya. Sejak tadi ia belum mencecapnya pula.
Pada
detik itu aku membayangkan Mary berambut ikal, bermata pekat, memiliki lesung
pipit kala tersenyum atau tertawa, berhidung mungil, berbibir tipis. Wajahnya
mungkin oval. Tidak bisa dikatakan sempurna, tetapi tidak tepat juga kalau
dibilang dia seorang perempuan yang buruk.
Nyatanya
yang kubayangkan keliru. Setidaknya tidak persis begitu. Mary, seperti kata
Bery, adalah perempuan tomboy berambut lurus dan pendek. Setiap kali melongok
ke jendela kamar Bery, ia memakai topi baseball hitam polos dengan senyum tipis
nyaris tak kentara, tanpa lesung pipit.
“Dia,
kalau kuamati sungguh-sungguh, wajahnya mirip perempuan dalam lukisan Antonello
da Messina berjudul Virgin
Annunciate!”
Aku
pernah mendengar Antonello da Messina, tetapi tidak dengan karyanya yang disebut
Bery itu. Tetapi aku tetap mengangguk-anggukkan kepala, yang sebenarnya justru
untuk mengisyaratkan ketidaktahuanku. Tetapi Bery, tentu saja menganggap
sebaliknya.
Aku
menduga, perempuan itu pasti tidak cantik atau lembut. Aku kira, tak jauh beda
dengan Senyum Mona Lisa karya Leonardo Da Vinci. Walaupun senyumnya
masyhur, tetapi bagiku senyum itu tidaklah manis, demikian pula dengan sang pemilik
senyum itu.
“Sebenarnya
begini,” Bery melanjutkan. “Aku sudah hampir menyelesaikan ceritaku. Aku hanya
belum tahu bagaimana harus mengakhirinya. Satu dua kalimat, mungkin satu
paragraph, tetapi susahnya minta ampun!”
Bery
tak pernah mengeluhkan perihal menulis cerita sebelumnya. Semua tampak
baik-baik saja, dan sering pula karyanya dimuat di Koran. Sentuhan lokalitas.
Babi. Ilmu hitam. Benda-benda pusaka. Hal-hal mistis. Eksotisme.
Dan
ia mengatakan itu, bukan untuk mencari solusi dariku. Kukira ia faham kalau aku
bukanlah seorang penulis. Aku hanyalah seorang pembaca yang buruk. Ia, kukira
sekadar menumpahkan perasaannya belaka, sebagaimana kunjungan
sebelum-sebelumnya.
“Apakah
Mary membaca ceritamu?” Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulutku, padahal
aku tak memikirkannya begitu.
“Tidak,”
sahut Bery.
Selanjutnya
dengan gerakan cepat ia mencecak puntung rokok di asbak. Kakinya yang
sebelumnya nangkring di atas kursi, diturunkan, seketika berdiri, dan dengan
nada yang penuh gairah ia melanjutkan, “Tetapi aku jadi punya gagasan, kawan!”
Aku
diam lebih karena memikirkan perubahan sikapnya yang tiba-tiba itu. Aku tak
hendak bertanya perihal gagasan apa. Aku memilih menunggu ia melanjutkan
kata-katanya.
“Kukira
aku harus segera pulang dan menyelesaikan ceritaku!”
Itulah
yang dikatakannya kemudian sebelum mohon diri dengan begitu tergesa. Sepeninggalannya,
aku menyeruput kopi yang masih utuh, yang sebenarnya kusuguhkan untuk Bery.
“Babi!”
rasanya pahit. Agaknya aku lupa memberinya gula.
***
03.05.
Aku terjaga oleh dering ponselku. Mataku yang susah kubuka sempat membaca nama
Bery. Aku terima dengan malas.
“Hallo?”
“Bro,
apakah Mery ada di situ?”
Sejujurnya
aku heran mendengar pertanyaan itu. Bukan saja aneh, tetapi aku tak habis
mengerti mengapa ia punya pikiran kalau Mary datang menemuiku. Bery, barangkali
sudah mulai gila.
“Halo?”
“Tidak,
dong. Kamu gila!”
Bery
lalu mengatakan bahwa dirinya bercerita kepada Mary tentang diriku. Ia bilang aku
seorang lelaki pendiam dan mapan. Tidak merokok, tidak minum alkohol, atau
melakukan hal-hal yang kurang pantas dalam pandangan umum. Kekuranganku hanya satu,
kata Bery, yaitu dingin terhadap perempuan, dan karena itulah aku kesepian lantaran
belum menikah. Padahal, aku sudah melewati setengah abad hidup di dunia ini. Bery
berkelakar kalau Tuhan alpa dalam urusan ini, sehingga jodoh untukku
terlewatkan. Tetapi gegara kelakar itu Mary ingin menemuiku.
“Tetapi
ia tidak ke sini!” kataku setelah ia diam.
Aku
mendengar ia menghela napas, lalu bergumam tak jelas tertangkap olehku. Mungkin
ia mengumpat.
“Ya sudah,
kalau begitu,” katanya kemudian. Pendek dan datar. Lalu telepon terputus.
Tetapi
suara Bery ketika mengatakan kalau aku seorang lelaki kesepian masih menggema
di gendang telingaku. Itu memang benar. Dan diam-diam aku iri kepadanya, bisa
menciptakan perempuan melalui imajinasinya. Aku berpikir, seandainya hal itu
terjadi kepadaku, betapa sangat menyenangkan. Lebih dari sekadar kebahagiaan. Perempuan
itu akan menyambutku setiap kali aku pulang kerja. Ia akan memasak apa pun yang
aku suka. Dan aku pasti menyukai masakannya. Aku bisa mengurangi jajan di luar.
Aku akan ngobrol dengannya tentang apa saja setiap ada kesempatan. Kami,
mungkin sesekali akan mempertengkarkan perkara yang remeh tetapi segera baikan
kembali. Kami juga merencanakan akan berkunjung ke tempat-tempat yang
menyenangkan. Kota-kota yang indah atau pedusunan yang eksotis.
Mendadak
ponselku kembali berdering. Hanya deretan angka. Tadinya kukira Bery lagi.
Tetapi aku angkat juga.
“Halo?”
Entah
kenapa, aku seperti mengenal suaranya. Dan seketika melintas di dalam kepalaku,
seorang perempuan berdiri di tengah-tengah halaman rumah dengan rambut lurus
dan pendek, memakai topi baseball hitam polos, menyungging senyum tipis tanpa
lesung pipit.***