Sastra dan Lingkungan: Dari Rumah hingga Meratus - Benny Arnas

@kontributor 12/10/2023

Sastra dan Lingkungan: Dari Rumah hingga Meratus

Benny Arnas



Seorang pemuda Minangkabau, yang tinggal dan sedang bekerja di tengah rimba di tepian Sungai Mahakam, kehilangan kata-kata ketika Kakek Kadi muncul dalam sebuah tayangan berita di teve ketika jam istirahat. 

Kakek kandungnya itu tak mau turun dari rumah pohonnya yang tinggi di hutan Sumatra Barat. Ketika didekati dan diajak turun, sang kakek berkata bahwa rumah-rumah di daratan membuatnya trauma. 

Kata Kakek Kadi, rumah-rumah menghadap jalan itu “ ... telah membuka pintu-pintunya untuk bepergian, tapi belum tentu menerima kepulangan,” (“Rumah-rumah Menghadap Jalan”, Parang Tak Berulu, Raudal Tanjung Banua, hlm. 168).

Si pemuda tidak merasa risi atau tersinggung. Pikirannya lebih disibukkan oleh keinginan yang tiba-tiba membuncah: bagaimana caranya agar suatu hari ia juga bisa seperti sang kakek, membangun rumah yang tidak menghadap ke mana-mana sehingga tidak harus mencemaskan arah-arah: depan yang merenggut anak-anak, belakang yang mengabaikan sungai dan lautan sebagai sumber alam(i) penghidupan.

***

Moral cerita yang dimuat Jawa Pos (1–5–2005) itu berhasil melentingkan sebuah kritik baru atas arstitektur kediaman masyarakat modern (baca: rumah-rumah yang dibangun menghadap jalan): rumah-rumah yang membelakangi air dan sungai adalah juga sebuah pemunggungan terhadap lingkungan.

Lewat “Rumah-rumah Menghadap Jalan”, kita terenyak dengan sanggahan: kalau begitu, jangan heran kalau bangsa kita kekurangan pelaut, gagap berlayar, tak pandai berenang, sebab kapal digantikan jembatan dan pesawat, dan kayuh tangan diambil alih baju pelampung.

***

Sastra yang mengetengahkan materi (peduli) lingkungan hidup sebagaimana cerpen Raudal di atas, juga bisa kita lihat pada:

 “Menjual Trenggiling” karya Olyrinson (Sebutir Peluru dalam Buku ,2012). Bagaimana bisa dua anak kecil yang tanah mereka digusur dan orangtua mereka meregang nyawa di tangan perusahaan minyak dan perkebunan kelapa sawit harus menawarkan trenggiling peliharaan kepada truk-truk perusahaan yang lewat agar mereka bisa mengisi perut yang dua hari tak makan?

Lewat “Pohon Kersen” (Rahasia Selma, 2010), Linda Christanty menghadirkan satirisme. Bagaimana bisa seorang gadis kecil lebih mencemaskan nasib pohon kersen—yang menjadi tempat nyamannya untuk membaca—yang akan ditebang keluarganya, daripada pelecehan seksual yang dilakukan Romli, remaja kutu buku yang menumpang tinggal di rumah keluarganya?

Sementara Hasan al Banna, membungkus pemunggungan terhadap obsesi seorang anak yang terobsesi pada (me)laut dengan mengabaikan sekaligus melakukan kekerasan kepadanya sebab tak ada sejarahnya (anak) perempuan bisa membantunya menangguk ikan di lautan. (“Sampan Zulaiha”, Sampan Zulaiha, 2011).

Bagaimana dengan puisi?

Mark Boyle dalam The Moneyless Man (2010), memoarnya yang sangat terkenal di antara freegan (sebutan untuk orang-orang yang bisa hidup tanpa menggantungkan diri pada uang), menulis bahwa penyebab kehancuran Bumi adalah karena ketergantungan penduduknya pada tiga hal: minyak bumi, bank, dan plastik.

Perkara yang terakhir rupanya telah menyerang laut tanpa ampun. Plastik di mana-mana. Tak terkecuali di laut dan sungai. Romantisisme-(akan)-Ekologi-Maritim dirusak oleh plastik yang berserakan. Plastikisasi di sungai dan laut bukan lagi isu baru dan itu bukan alasan bagi orang-orang yang peduli pada lingkungan dan alam untuk memaklumi atau menerima apologi. Dan sikap tersebut mungkin dimiliki siapa saja. Tak terkecuali bagi penyair.

 Simak sajak berjudul “tragedi laut” (Di Ujung Arus, Ikan Tak Lagi Tertipu, Gibra Ibrahim, 2021) berikut.

berabad-abad sudah

ikan-ikan berteduh dari

terik dan hujan

tapi ia tak bisa sembunyi dari

plastik kota

 

Dengan terang kita melihat bagaimana kota mengopresi, mengagresi, mengimprealisasi kampung atau desa atau daerah-daerah yang berbatasan dengan laut dan sampah dan kotoran, dengan plastik. Interaksi yang tidak fair antara kota-laut ini adalah potret kepongahan yang menyengsarakan bukan hanya manusia. Ya, bukan hanya manusia. Laut dan ekosistem di dalamnya adalah sesuatu yang juga hidup, yang harus dihitung, yang selalu memberi tapi selalu dipaksa rela untuk dizalimi.

Dalam makalahnya, “Manifestasi Ekologi Sastra dalam Karya Penyair Kalimantan Selatan” yang dibentang di Aruh Sastra XX (28–10–2023), Rezqie M. A. Atmanegara menulis, “Hakikatnya manusia adalah hidup berdampingan dan bergantung pada alam, termasuk hutan yang memerlukan manusia untuk menjaganya.” (Hlm. 12) ketika menyajikan “Save Meratus (3)” sebagai contoh puisi yang dengan berpihak kepada alam.

Simak dua bait terakhir puisi karya Hudan Nur bertitimangsa 2019 tersebut.

 

kabar tua

anak-anak disekap kemarau

 

hutan-hutan lengang, kuculik beberapa di antara kalian. satu orang kuantarkan ke rumah Tuhan!

 

***

Hilmar Farid dalam pidato kebudayaannya di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki tahun 2014 menyatakan bahwa yang membuat Indonesia hari ini mundur adalah karena kebijakan-kebijakan penting negeri ini, tak terkecuali bagi mobilitas berbagai sendi kehidupan, dibuat dengan pendekatan memunggungi laut.

 

Negeri yang memiliki lautan seluas 3.257.357 km² dengan pulau-gemulau eksotik di antaranya justru dikait-sambungkan oleh transportasi udara dan jembatan. Pembangunan bandara dan pemasangan tiang pancang jembatan marak hingga hari ini. Di waktu yang sama, pelabuhan dan tentu saja kapal-kapal layak operasinya nyaris tak terdengar.

 

Sampai di sini, sebagai manusia-pengarang, kita tahu bahwa mencermaskan lingkungan (hidup) adalah otomatisasi yang mengaliri darah kita, sehingga kita tahu bahwa berpihak kepada lingkungan dalam karya-karya kita bukanlah pilihan, melainkan keniscayaan.

Banjarmasin, 29-10-2023

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »