UDA
Sapto Wardoyo
Kami telah lama saling kenal dan sering mengobrol
bareng. Tapi sungguh, aku tak tahu siapa sebenarnya namanya. Aku dan juga
orang-orang di lingkungan kami hampir semuanya memanggilnya Uda. Karena dia
berasal dari Padang, demikian juga istrinya yang kami panggil Uni.
Dulu kegiatan sehari-harinya
adalah membuka warung nasi uduk di depan rumahnya. Yang kebagian masak tentu
sang istri yaitu Uni, sementara Uda yang menjaga sekaligus melayani para pelanggannya.
Uni hampir tak pernah nongol di warung. Nasi uduk yang dijual Uda sangat enak
menurutku, gurihnya begitu terasa dan tekstur nasinya juga pas. Tidak terlalu
pulen pun tak terlalu ambyar.
Demikian juga dengan gorengannya,
bakwan, tahu isi, tempe dan pisang goreng juga sangat enak menurutku. Karena
itulah, aku sering minta sama istri agar dibelikan nasi uduk Uda untuk dibawa
ke kantor sebagai bekal. Dan setiap Sabtu, ketika kantor libur, aku selalu
menyempatkan diri untuk makan nasi uduk Uda langsung di warungnya. Terkadang
sendiri, terkadang bareng dengan istri. Dan setelah makan biasanya aku dan Uda
punya sebuah ritual yaitu mengobrol bareng. Terkadang kalau aku terlalu asyik
mengobrol, istriku pamit untuk pulang terlebih dahulu. Karena jarak antara
rumah kami dengan rumahnya hanya 200 atau 300 meter.
Uda orangnya ramah dengan senyum yang selalu menghias bibirnya. Dengan logat Padangnya yang kental, obrolan kami begitu asyik. Karena di antara kami saling memberi ruang antara mendengar dan berkata-kata. Yang kami bicarakan hal-hal yang ringan-ringan saja, tentang kehidupan, pekerjaan, anak-anak atau apa yang sedang terjadi di sekitar kami. Begitulah, obrolan wong cilik yang tak pernah lepas dari masalah ekonomi. Dan kami selalu sependapat bahwa kehidupan ini sedang tak baik-baik saja tampaknya, semakin sulit cari duit.
“Bagaimana Da, dagang masih lancar kan?”
tanyaku suatu ketika.
“Ya begitulah mas, bisa
dibilang lumayanlah. Semua harus disyukuri. Apa sih yang bisa kita lakukan sekarang
ini selain terus berusaha agar bisa bertahan hidup. Dan kalau kita masih bisa
bertahan, itu artinya pantas untuk disyukuri.” Katanya. Aku tersenyum mendengar
jawaban Uda.
“Alhamdulillah ya Da,”
“Ah, kalau si mas mah enak,
pegawai, jadi ada yang pasti setiap bulannya. Tak perlu kuatir, beda dengan
saya yang harus berjuang. Bangun pagi-pagi, bantu istri masak, siap-siap buka
warung dan lain sebagainya. Kurang tidur mas.” Katanya. Oh ya, sebagaimana aku
memanggil dia dengan sebutan Uda, dia pun memanggilku dengan sebutan mas,
karena dia tahu aku orang Jawa. Dan aku juga tak yakin kalau dia tahu namaku
yang sebenarnya.
“Ah, itu kan menurut Uda? Tapi
apakah benar demikian, tentu hanya saya yang bisa menjawabnya. Kita ini hanya
saling nyawang Da, bahkan saya pernah berpikir justru Udalah yang lebih enak,
tak perlu pergi ke kantor setiap hari, tak perlu menghadapi kemacetan yang
semakin hari semakin parah. Belum lagi kalau hujan, macetnya bikin stres Da..”
sanggahku.
“Sama saja ya?” tanyanya dengan
sedikit bingung.
“Sekali lagi, kita ini hanya
bisa saling memandang dan saling menerka-nerka keadaan orang tanpa tahu apa
yang sebenarnya dirasakan. Satu misal begini Da, kalau saya lagi berangkat ke
kantor dan melihat orang-orang yang masih duduk di warung atau mungkin di depan
rumahnya, saya kadang berpikir alangkah enaknya mereka, pagi-pagi bisa duduk
santai di rumah sambil menikmati kopi dan rokok. Tak harus terburu-buru
berangkat ke kantor. Tapi apakah saya tahu apa yang mereka pikirkan Da? Mungkin
saja mereka ganti berpikir, alangkah enaknya orang-orang itu, punya pekerjaan
dan punya gaji. Bisa jadi mereka berpikir seperti kan Da?”
Dan si Uda tertawa pelan
mendengar penjelasanku
“Betul, betul Mas. Terkadang
kecenderungan kita itu hanya melihat enaknya saja dan melupakan bagaimana orang
itu harus berjuang untuk mendapatkan hasil itu. Saya selalu beranggapan kalau
kehidupan Mas itu lebih enak dari saya, punya gaji tetap, setiap tahun dapat
bonus, sakit ada yang menanggung biaya rumah sakit, tapi saya tak pernah
memikirkan bagaimana perjuangan Mas setiap hari harus ke kantor, macet, belum
lagi tuntutan pekerjaan. Mungkin Mas stres ya, dan itu yang luput dari
pemikiran saya.”
“Nah...” kataku sambil
mengacungkan ibu jari. “Satu pemikiran yang cerdas Da.” pujiku
dan kami pun tertawa bersama.
Dalam hati aku merasa kagum dengan kecerdasan Uda. “Oh ya, bagaimana dengan
anak perempuannya Da?” tanyaku. Si Uda sejenak terdiam, pandangannya
menerawang.
“Dia sekarang di Jambi, ikut
suaminya,” jawabnya perlahan. Aku bisa merasakan ada kesedihan yang dirasakan
oleh si Uda. Sejenak aku melihat raut wajah itu berbeda. Kesan senyum dan kesan
ramah itu seperti hilang begitu saja. Tiba-tiba aku seperti menyesal telah
bertanya tentang anak perempuannya.
“Sedih ya Da?” tanyaku lagi
tanpa sadar. Si Uda kembali tersenyum, namun lagi-lagi aku merasa kalau senyum
itu seperti dipaksakan.
“Iya mas. Sedih rasanya
berpisah dengan anak perempuan. Tapi itu kan salah satu takdir dari seorang
wanita dan juga orang tuanya. Suatu saat ia akan menikah dan ikut suaminya. Dan
kita sebagai orang tua ya harus bisa menerima takdir itu. Untungnya jaman
sekarang sudah canggih ya, bisa video call. Jadi kalau saya atau uminya
kangen ya kami telepon pakai video.” Aku terdiam lalu menepuk-nepuk bahu si Uda
sebagai pertanda bahwa aku memahami apa yang dia rasakan.
“Maaf ya Da, kalau pertanyaan
saya tadi membuat Uda sedih.” Kataku.
“Ah, tak perlu meminta maaf
mas. Justru saya senang mas bertanya tentang anak perempuan saya, itu artinya
sebuah perhatian. Sekarang saya mulai paham mas, kata orang hidup itu banyak
perjuangan, salah satu di antaranya ya berjuang menghadapi rasa kehilangan.
Betul nggak?” aku mengangguk. “Ini menurut saya mas, entah benar entah tidak.
Setiap hari kita itu selalu kehilangan. Waktu yang berjalan dari mulai detik,
lalu menit, jam, hari, minggu dan seterusnya, itu artinya kita telah kehilangan
kesempatan. Jatah usia kita berkurang. Belum lagi kita harus kehilangan
kesehatan yang semakin menurun. Maaf, saya jadi sok pintar.” Kata Uda akhirnya
dengan sedikit rasa malu. Aku terdiam. Sungguh, dalam hati aku merasa kagum
dengan apa yang baru saja diucapkan oleh si Uda. Dan seratus persen aku setuju
dengan pemikiran itu. Ya, kehidupan ini sesungguhnya hanya menunggu kehilangan
demi kehilangan.
“Genius Da, dan seratus persen saya setuju dengan pemikiran itu.” Uda tersenyum. Dan aku merasa senyum itu telah kembali seperti semula, senyum yang ramah. Dan ketika aku merasa bahwa matahari sudah mulai meninggi, aku pun pamit pulang. dan seperti biasanya, Uda selalu menjabat tanganku dengan erat sebelum aku melangkah meninggalkan warungnya.
***
Apa yang pernah dikatakan oleh si Uda, selalu terngiang di telingaku. Hidup itu hanya menjemput kehilangan demi kehilangan. Dan itu yang aku rasakan saat ini. Usiaku memang belum terlalu tua, tapi aku sudah merasa ada yang hilang dari dalam diriku dan itu pasti terjadi seiring dengan berjalannya waktu. Beberapa tahun lalu aku masih bisa bermain badminton bersama dengan teman-teman kantor, walau terkadang nafas sampai tersengal-sengal. Dan sekarang ini aku sudah kehilangan kesempatan itu. Selain fisik yang sudah tak memungkinkan, juga kondisi kaki yang sudah sering sakit-sakitan. Terutama di bagian lutut.
Itu hanya salah satu contoh. Dan kehilangan lainnya adalah aku juga sudah kehilangan nikmatnya nasi uduk Uda, karena sudah beberapa bulan ia sudah tidak jualan lagi, entah apa sebabnya. Dan sudah sekian lama pula aku juga kehilangan waktu untuk mengobrol bareng si Uda. Aku selalu bertanya pada istriku apakah si Uda sudah jualan lagi, tapi istriku selalu menjawab belum. Dan aku juga semakin jarang bertemu dengannya. Pernah suatu pagi ketika pulang dari ayu sayur istriku berkata.
“Dapat salam dari Uda pah.”
“Oh, ketemu di mana memang?”
tanyaku
“Di ayu sayur.”
“Dia belanja?”
“Ya, setiap habis sholat subuh
Uda selalu mampir ke ayu sayur untuk membeli ikan dan diberikan pada
kucing-kucing liar itu.”
“Oh ya?”
“Ya, dan setiap pagi pula
kucing-kucing itu selalu menunggu Uda. Kalau sudah melihat Uda mereka berjalan
beriringan dan mengikuti Uda sampai depan rumahnya. Barulah si Uda membagikan
ikan-ikan itu pada mereka.”
Suatu pagi ketika aku sedang mengeluarkan motor dan bersiap untuk berangkat kerja, aku melihat Uda menghampiriku. Entah dari mana dia. Dan seperti biasa, dia selalu tersenyum dan menjabat tanganku dengan erat. Setelah bertanya kabar, aku pun bertanya kenapa kok tidak jualan lagi. Uda tak segera menjawab pertanyaanku, dia memandangku dengan senyum yang begitu samar.
“Tidak ada yang masak mas.”
Jawabnya singkat.
“Kenapa, Uni sakit?” tanyaku
heran.
“Nggak juga sebenarnya. Tapi
ya begitulah, kesehatannya sudah mulai berkurang. Gampang capek dia sekarang,
jadi saya bilang nggak usah dipaksain kalau memang sudah nggak kuat..”
“Waduh, sayang ya Da. Pasti
banyak yang kehilangan Da, termasuk saya.”
“Kan masih banyak orang yang
jualan nasi uduk Mas, cobalah ke yang lain.”
“Belum ada yang cocok Da.”
sanggahku.
Uda tak bereaksi selain
memandangku sesaat.
“Terbukti lagi Mas, hidup itu
hanya menjemput kehilangan. Sesuatu yang sudah saya lakukan bertahun-tahun
harus saya tinggalkan. Saya kehilangan sesuatu yang sebenarnya sudah mulai saya
sukai. Para pelanggan mungkin juga merasa kehilangan, termasuk si Mas. Pokoknya
kita akan terus kehilangan Mas, dan itu akan berhenti ketika orang lain sudah
merasakan kehilangan kita.”
“Artinya, kalau kita sudah
kembali berpulang ya Da?” tanyaku tak mengerti.
“Begitulah kira-kira..”
Akhirnya si Uda pamit. Dan ketika dia sudah melangkah beberapa meter dari tempatku berdiri, aku masih tertegun dan hanya memandangi punggung si Uda yang semakin menjauh.
***
Ternyata itu adalah perjumpaan
terakhirku dengan si Uda, karena suatu pagi ketika azan subuh belum lagi
bergema, istriku dengan tergopoh-gopoh membangunkanku.
“Pah, bangun pah. Ada kabar
yang mengejutkan.”
“Kabar apa?” tanyaku sambil
berusaha membuka mata.
“Si Uda meninggal.”
Aku tersentak. Seketika aku
merasa ada yang memaksakan kesadaranku untuk pulih, mataku terbuka lebar dan
aku menatap wajah istriku dengan serius.
“Yang benar mah?” kataku lagi
seakan tidak yakin sama sekali dengan berita itu.
“Iya, sudah diumumkan di
masjid dan sebagian bapak-bapak juga sudah kumpul di rumah Uda”
Tanpa diperintah lagi aku
segera bangun dari dudukku dan bergegas ke kamar mandi untuk cuci muka dan
gosok gigi, lalu bersama-sama dengan istri segera menuju rumah duka. Ah,
rasanya seperti mimpi, rasanya baru kemarin aku berbincang dengannya, dan
sekarang tiba-tiba dia sudah pergi meninggalkan kami. Oh, sedemikian
terburu-burukah kehidupan ini?
Setelah menyalami Uni yang kelihatan begitu terpukul dan juga anak-anaknya, aku bergabung dengan warga yang lain. Setelah usai sholat subuh para pelayat semakin ramai. Sudah barang tentu berita mengenai kepergian Uda adalah berita yang mengejutkan bagi kami semua. Rasanya kami tak mendengar kabar kalau dia pernah sakit. Cuma tiga hari yang lalu ada yang bilang kalau Uda pergi ke rumah sakit. Cuma sakit apa dan parah atau tidaknya, tak seorang pun tahu. Dan ketika pagi sudah cukup benderang menyalakan cahaya, aku pamit dan beranjak meninggalkan rumah duka. Meninggalkan Uda yang sudah terbujur kaku, tangannya terlipat memeluk sunyi. Meninggalkan para pelayat yang saling bergumam membisikkan berbagai kenangan, meninggalkan beberapa ekor kucing liar yang duduk dengan tenang di sekitar rumah Uda. Entah mereka paham atau tidak dengan apa yang sedang terjadi. Tapi esok atau lusa, ketika kucing-kucing itu tak lagi menemui seseorang yang dengan ikhlas membagikan serpihan-serpihan ikan, mereka akan memahami rasanya kehilangan.
Kembali tangis Uni dan
anak-anaknya serta beberapa saudara Uda datang di ingatan. Ya, mereka pasti
merasakan kehilangan yang sangat, kehilangan sosok suami, ayah yang sangat
mereka cintai tentunya. Dan entah sampai kapan mereka akan terus disandera oleh
rasa kehilangan itu, hanya mereka yang tahu. Sementara wajah Uda tampak begitu
tenang. Setenang orang yang sudah terbebas dari segala permasalahan hidup,
terbebas dari segala rasa sakit dan tentu terbebas dari segala kehilangan.
Dalam perjalanan pulang aku
merasa seperti disergap oleh rupa-rupa kehilangan, kehilangan nikmat nasi uduk
itu, kehilangan senyum ramah itu, jabat erat itu. Dan kehilangan-kehilangan
yang lain yang pasti sudah menunggu dalam perjalanan hidupku selanjutnya. Hanya
satu yang mungkin tak hilang, bahkan semakin terngiang mengetuk-ngetuk gendang
telingaku, dan itu adalah apa yang pernah diucapkan oleh Uda.
Hidup itu ternyata hanya menjemput kehilangan demi kehilangan!
Bekasi, 30 November 2023