Uda - Sapto Wardoyo

@kontributor 12/17/2023

UDA

Sapto Wardoyo


 

Kami telah lama saling kenal dan sering mengobrol bareng. Tapi sungguh, aku tak tahu siapa sebenarnya namanya. Aku dan juga orang-orang di lingkungan kami hampir semuanya memanggilnya Uda. Karena dia berasal dari Padang, demikian juga istrinya yang kami panggil Uni.

Dulu kegiatan sehari-harinya adalah membuka warung nasi uduk di depan rumahnya. Yang kebagian masak tentu sang istri yaitu Uni, sementara Uda yang menjaga sekaligus melayani para pelanggannya. Uni hampir tak pernah nongol di warung. Nasi uduk yang dijual Uda sangat enak menurutku, gurihnya begitu terasa dan tekstur nasinya juga pas. Tidak terlalu pulen pun tak terlalu ambyar.

Demikian juga dengan gorengannya, bakwan, tahu isi, tempe dan pisang goreng juga sangat enak menurutku. Karena itulah, aku sering minta sama istri agar dibelikan nasi uduk Uda untuk dibawa ke kantor sebagai bekal. Dan setiap Sabtu, ketika kantor libur, aku selalu menyempatkan diri untuk makan nasi uduk Uda langsung di warungnya. Terkadang sendiri, terkadang bareng dengan istri. Dan setelah makan biasanya aku dan Uda punya sebuah ritual yaitu mengobrol bareng. Terkadang kalau aku terlalu asyik mengobrol, istriku pamit untuk pulang terlebih dahulu. Karena jarak antara rumah kami dengan rumahnya hanya 200 atau 300 meter.

Uda orangnya ramah dengan senyum yang selalu menghias bibirnya. Dengan logat Padangnya yang kental, obrolan kami begitu asyik. Karena di antara kami saling memberi ruang antara mendengar dan berkata-kata. Yang kami bicarakan hal-hal yang ringan-ringan saja, tentang kehidupan, pekerjaan, anak-anak atau apa yang sedang terjadi di sekitar kami. Begitulah, obrolan wong cilik yang tak pernah lepas dari masalah ekonomi. Dan kami selalu sependapat bahwa kehidupan ini sedang tak baik-baik saja tampaknya, semakin sulit cari duit.

 “Bagaimana Da, dagang masih lancar kan?” tanyaku suatu ketika.

“Ya begitulah mas, bisa dibilang lumayanlah. Semua harus disyukuri. Apa sih yang bisa kita lakukan sekarang ini selain terus berusaha agar bisa bertahan hidup. Dan kalau kita masih bisa bertahan, itu artinya pantas untuk disyukuri.” Katanya. Aku tersenyum mendengar jawaban Uda.

“Alhamdulillah ya Da,”

“Ah, kalau si mas mah enak, pegawai, jadi ada yang pasti setiap bulannya. Tak perlu kuatir, beda dengan saya yang harus berjuang. Bangun pagi-pagi, bantu istri masak, siap-siap buka warung dan lain sebagainya. Kurang tidur mas.” Katanya. Oh ya, sebagaimana aku memanggil dia dengan sebutan Uda, dia pun memanggilku dengan sebutan mas, karena dia tahu aku orang Jawa. Dan aku juga tak yakin kalau dia tahu namaku yang sebenarnya.

“Ah, itu kan menurut Uda? Tapi apakah benar demikian, tentu hanya saya yang bisa menjawabnya. Kita ini hanya saling nyawang Da, bahkan saya pernah berpikir justru Udalah yang lebih enak, tak perlu pergi ke kantor setiap hari, tak perlu menghadapi kemacetan yang semakin hari semakin parah. Belum lagi kalau hujan, macetnya bikin stres Da..” sanggahku.

“Sama saja ya?” tanyanya dengan sedikit bingung.

“Sekali lagi, kita ini hanya bisa saling memandang dan saling menerka-nerka keadaan orang tanpa tahu apa yang sebenarnya dirasakan. Satu misal begini Da, kalau saya lagi berangkat ke kantor dan melihat orang-orang yang masih duduk di warung atau mungkin di depan rumahnya, saya kadang berpikir alangkah enaknya mereka, pagi-pagi bisa duduk santai di rumah sambil menikmati kopi dan rokok. Tak harus terburu-buru berangkat ke kantor. Tapi apakah saya tahu apa yang mereka pikirkan Da? Mungkin saja mereka ganti berpikir, alangkah enaknya orang-orang itu, punya pekerjaan dan punya gaji. Bisa jadi mereka berpikir seperti kan Da?”

Dan si Uda tertawa pelan mendengar penjelasanku

“Betul, betul Mas. Terkadang kecenderungan kita itu hanya melihat enaknya saja dan melupakan bagaimana orang itu harus berjuang untuk mendapatkan hasil itu. Saya selalu beranggapan kalau kehidupan Mas itu lebih enak dari saya, punya gaji tetap, setiap tahun dapat bonus, sakit ada yang menanggung biaya rumah sakit, tapi saya tak pernah memikirkan bagaimana perjuangan Mas setiap hari harus ke kantor, macet, belum lagi tuntutan pekerjaan. Mungkin Mas stres ya, dan itu yang luput dari pemikiran saya.”

“Nah...” kataku sambil mengacungkan ibu jari. “Satu pemikiran yang cerdas Da.” pujiku

dan kami pun tertawa bersama. Dalam hati aku merasa kagum dengan kecerdasan Uda. “Oh ya, bagaimana dengan anak perempuannya Da?” tanyaku. Si Uda sejenak terdiam, pandangannya menerawang.

“Dia sekarang di Jambi, ikut suaminya,” jawabnya perlahan. Aku bisa merasakan ada kesedihan yang dirasakan oleh si Uda. Sejenak aku melihat raut wajah itu berbeda. Kesan senyum dan kesan ramah itu seperti hilang begitu saja. Tiba-tiba aku seperti menyesal telah bertanya tentang anak perempuannya.

“Sedih ya Da?” tanyaku lagi tanpa sadar. Si Uda kembali tersenyum, namun lagi-lagi aku merasa kalau senyum itu seperti dipaksakan.

“Iya mas. Sedih rasanya berpisah dengan anak perempuan. Tapi itu kan salah satu takdir dari seorang wanita dan juga orang tuanya. Suatu saat ia akan menikah dan ikut suaminya. Dan kita sebagai orang tua ya harus bisa menerima takdir itu. Untungnya jaman sekarang sudah canggih ya, bisa video call. Jadi kalau saya atau uminya kangen ya kami telepon pakai video.” Aku terdiam lalu menepuk-nepuk bahu si Uda sebagai pertanda bahwa aku memahami apa yang dia rasakan.

“Maaf ya Da, kalau pertanyaan saya tadi membuat Uda sedih.” Kataku.

“Ah, tak perlu meminta maaf mas. Justru saya senang mas bertanya tentang anak perempuan saya, itu artinya sebuah perhatian. Sekarang saya mulai paham mas, kata orang hidup itu banyak perjuangan, salah satu di antaranya ya berjuang menghadapi rasa kehilangan. Betul nggak?” aku mengangguk. “Ini menurut saya mas, entah benar entah tidak. Setiap hari kita itu selalu kehilangan. Waktu yang berjalan dari mulai detik, lalu menit, jam, hari, minggu dan seterusnya, itu artinya kita telah kehilangan kesempatan. Jatah usia kita berkurang. Belum lagi kita harus kehilangan kesehatan yang semakin menurun. Maaf, saya jadi sok pintar.” Kata Uda akhirnya dengan sedikit rasa malu. Aku terdiam. Sungguh, dalam hati aku merasa kagum dengan apa yang baru saja diucapkan oleh si Uda. Dan seratus persen aku setuju dengan pemikiran itu. Ya, kehidupan ini sesungguhnya hanya menunggu kehilangan demi kehilangan.

“Genius Da, dan seratus persen saya setuju dengan pemikiran itu.” Uda tersenyum. Dan aku merasa senyum itu telah kembali seperti semula, senyum yang ramah. Dan ketika aku merasa bahwa matahari sudah mulai meninggi, aku pun pamit pulang. dan seperti biasanya, Uda selalu menjabat tanganku dengan erat sebelum aku melangkah meninggalkan warungnya.

                            ***

 Apa yang pernah dikatakan oleh si Uda, selalu terngiang di telingaku. Hidup itu hanya menjemput kehilangan demi kehilangan. Dan itu yang aku rasakan saat ini. Usiaku memang belum terlalu tua, tapi aku sudah merasa ada yang hilang dari dalam diriku dan itu pasti terjadi seiring dengan berjalannya waktu. Beberapa tahun lalu aku masih bisa bermain badminton bersama dengan teman-teman kantor, walau terkadang nafas sampai tersengal-sengal. Dan sekarang ini aku sudah kehilangan kesempatan itu. Selain fisik yang sudah tak memungkinkan, juga kondisi kaki yang sudah sering sakit-sakitan. Terutama di bagian lutut.

 Itu hanya salah satu contoh. Dan kehilangan lainnya adalah aku juga sudah kehilangan nikmatnya nasi uduk Uda, karena sudah beberapa bulan ia sudah tidak jualan lagi, entah apa sebabnya. Dan sudah sekian lama pula aku juga kehilangan waktu untuk mengobrol bareng si Uda. Aku selalu bertanya pada istriku apakah si Uda sudah jualan lagi, tapi istriku selalu menjawab belum. Dan aku juga semakin jarang bertemu dengannya. Pernah suatu pagi ketika pulang dari ayu sayur istriku berkata.

“Dapat salam dari Uda pah.”

“Oh, ketemu di mana memang?” tanyaku

“Di ayu sayur.”

“Dia belanja?”

“Ya, setiap habis sholat subuh Uda selalu mampir ke ayu sayur untuk membeli ikan dan diberikan pada kucing-kucing liar itu.”

“Oh ya?”

“Ya, dan setiap pagi pula kucing-kucing itu selalu menunggu Uda. Kalau sudah melihat Uda mereka berjalan beriringan dan mengikuti Uda sampai depan rumahnya. Barulah si Uda membagikan ikan-ikan itu pada mereka.”

 Suatu pagi ketika aku sedang mengeluarkan motor dan bersiap untuk berangkat kerja, aku melihat Uda menghampiriku. Entah dari mana dia. Dan seperti biasa, dia selalu tersenyum dan menjabat tanganku dengan erat. Setelah bertanya kabar, aku pun bertanya kenapa kok tidak jualan lagi. Uda tak segera menjawab pertanyaanku, dia memandangku dengan senyum yang begitu samar.

“Tidak ada yang masak mas.” Jawabnya singkat.

“Kenapa, Uni sakit?” tanyaku heran.

“Nggak juga sebenarnya. Tapi ya begitulah, kesehatannya sudah mulai berkurang. Gampang capek dia sekarang, jadi saya bilang nggak usah dipaksain kalau memang sudah nggak kuat..”

“Waduh, sayang ya Da. Pasti banyak yang kehilangan Da, termasuk saya.”

“Kan masih banyak orang yang jualan nasi uduk Mas, cobalah ke yang lain.”

“Belum ada yang cocok Da.” sanggahku.

Uda tak bereaksi selain memandangku sesaat.

“Terbukti lagi Mas, hidup itu hanya menjemput kehilangan. Sesuatu yang sudah saya lakukan bertahun-tahun harus saya tinggalkan. Saya kehilangan sesuatu yang sebenarnya sudah mulai saya sukai. Para pelanggan mungkin juga merasa kehilangan, termasuk si Mas. Pokoknya kita akan terus kehilangan Mas, dan itu akan berhenti ketika orang lain sudah merasakan kehilangan kita.”

“Artinya, kalau kita sudah kembali berpulang ya Da?” tanyaku tak mengerti.

“Begitulah kira-kira..”

Akhirnya si Uda pamit. Dan ketika dia sudah melangkah beberapa meter dari tempatku berdiri, aku masih tertegun dan hanya memandangi punggung si Uda yang semakin menjauh.

                               ***

Ternyata itu adalah perjumpaan terakhirku dengan si Uda, karena suatu pagi ketika azan subuh belum lagi bergema, istriku dengan tergopoh-gopoh membangunkanku.

“Pah, bangun pah. Ada kabar yang mengejutkan.”

“Kabar apa?” tanyaku sambil berusaha membuka mata.

“Si Uda meninggal.”

Aku tersentak. Seketika aku merasa ada yang memaksakan kesadaranku untuk pulih, mataku terbuka lebar dan aku menatap wajah istriku dengan serius.

“Yang benar mah?” kataku lagi seakan tidak yakin sama sekali dengan berita itu.

“Iya, sudah diumumkan di masjid dan sebagian bapak-bapak juga sudah kumpul di rumah Uda”

Tanpa diperintah lagi aku segera bangun dari dudukku dan bergegas ke kamar mandi untuk cuci muka dan gosok gigi, lalu bersama-sama dengan istri segera menuju rumah duka. Ah, rasanya seperti mimpi, rasanya baru kemarin aku berbincang dengannya, dan sekarang tiba-tiba dia sudah pergi meninggalkan kami. Oh, sedemikian terburu-burukah kehidupan ini?

 Setelah menyalami Uni yang kelihatan begitu terpukul dan juga anak-anaknya, aku bergabung dengan warga yang lain. Setelah usai sholat subuh para pelayat semakin ramai. Sudah barang tentu berita mengenai kepergian Uda adalah berita yang mengejutkan bagi kami semua. Rasanya kami tak mendengar kabar kalau dia pernah sakit. Cuma tiga hari yang lalu ada yang bilang kalau Uda pergi ke rumah sakit. Cuma sakit apa dan parah atau tidaknya, tak seorang pun tahu. Dan ketika pagi sudah cukup benderang menyalakan cahaya, aku pamit dan beranjak meninggalkan rumah duka. Meninggalkan Uda yang sudah terbujur kaku, tangannya terlipat memeluk sunyi. Meninggalkan para pelayat yang saling bergumam membisikkan berbagai kenangan, meninggalkan beberapa ekor kucing liar yang duduk dengan tenang di sekitar rumah Uda. Entah mereka paham atau tidak dengan apa yang sedang terjadi. Tapi esok atau lusa, ketika kucing-kucing itu tak lagi menemui seseorang yang dengan ikhlas membagikan serpihan-serpihan ikan, mereka akan memahami rasanya kehilangan.

Kembali tangis Uni dan anak-anaknya serta beberapa saudara Uda datang di ingatan. Ya, mereka pasti merasakan kehilangan yang sangat, kehilangan sosok suami, ayah yang sangat mereka cintai tentunya. Dan entah sampai kapan mereka akan terus disandera oleh rasa kehilangan itu, hanya mereka yang tahu. Sementara wajah Uda tampak begitu tenang. Setenang orang yang sudah terbebas dari segala permasalahan hidup, terbebas dari segala rasa sakit dan tentu terbebas dari segala kehilangan.

Dalam perjalanan pulang aku merasa seperti disergap oleh rupa-rupa kehilangan, kehilangan nikmat nasi uduk itu, kehilangan senyum ramah itu, jabat erat itu. Dan kehilangan-kehilangan yang lain yang pasti sudah menunggu dalam perjalanan hidupku selanjutnya. Hanya satu yang mungkin tak hilang, bahkan semakin terngiang mengetuk-ngetuk gendang telingaku, dan itu adalah apa yang pernah diucapkan oleh Uda.

Hidup itu ternyata hanya menjemput kehilangan demi kehilangan!

Bekasi, 30 November 2023

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »