Mata yang Buta
Muhammad Aziz Rizaldi
Udara gersang telah menjadi sahabat bagi makhluk bumi di musim ini. Tak ada hujan, tak ada air yang turun. Mereka hanya disuguhkan kencangnya angin yang andil membuat debu terbang ke segala sisi. Langit terus memancarkan cahaya gerah, ia dihiasi oleh layang-layang para pengangguran yang menerbangkannya di sawah. Memang hampir separuh lahan di sawah sekarang hanya berupa tanah kosong yang tak ada tumbuhan. Ya karena memang tak ada bantuan untuk memberikan nutrisi dari pemerintah. Bahkan musim kemarin banyak sekali petani yang gagal memanen hasil jeri payahnya selama beberapa bulan. Padahal di dekat petak sawah ada mata air yang terus mengalir menggenang sebagai pemandian. Tapi, tak ada inisiasi pemerintah untuk membuatkan saluran irigasi sebagai rasa terima kasih kepada petani dan buruh tani.
Sebut saja desa Lemah Lanang, keseharian manusianya
seperti patutnya di musim-musim sebelumnya. Tak ada yang berubah, hanya saja
mereka – Para Buruh Tani – hanya menganggur dan menunggu kerjaan dari para
pemilik lahan. Akhir-akhir ini dunia terasa sulit, ekonomi sudah mulai menunjukkan
kebobrokannya. Harga bahan pokok mahal, tetapi kalau menjual sesuatu ke toko
pasti dimurahkan. Hal itulah yang membuat para pemilik lahan memilih untuk
menggarap sawah sendiri, karena irit untuk operasional, bahkan memotong modal
sampai lima belas persen.
Hal itu berdampak pada Pardi, seorang tetua desa yang
begitu dipercaya oleh masyarakat Lemah Lanang, bahkan dari satu rezim ke rezim
selanjutnya pasti jikalau hendak berbuat meminta tanggapan pemikiran dari orang
tua ini. Ia begitu disegani. Namun, secara ekonomi ia begitu miris.
Kesehariannya hanya menggarap sepuluh ubin tanah milik Haji Ubed. Haji Ubed
merupakan tuan tanah, ia memiliki tanah hampir seperempat desa. Konon, semua
tanah itu hasil warisan orang tuanya. Apalagi ia adalah anak satu-satunya yang
jelas menjadi seorang ahli waris tanpa membaginya dengan saudara sekandung.
Banyak orang Lemah Lanang yang menggarap lahannya dengan peraturan yang telah
disepakati kedua belah pihak. Namun, buruh hanyalah buruh, ia hanya seperti
mesin yang dibayar setengah dari keuntungan. Tapi, garapan terakhirnya gagal,
ia turut rugi tenaga dan materi. Tak ada padi yang bisa dipanen dua bulan lalu.
Seluruh padi yang seharusnya sudah waktunya panen mati semua karena tak ada
asupan air sama sekali.
Udara berembus begitu dingin menusuk ke tulang, hidung
dapat merasakan betapa segarnya udara Lemah Lanang. Remang-remang pagi itu
hanya bisa ditembus cahaya keheningan. Suara toa yang menggemakan azan subuh
menghiasi udara awal hari itu. Pardi telah bangun, ia sudah ke luar masuk rumah
sepetak menenteng sangkar berisi perkutut yang digantungnya setinggi sepuluh
meter. Burung-burung kesayangannya mulai konser berdendang ria menembus
dinginnya hari. Selepas mengeluarkan burung-burungnya, Pardi membawa secangkir
kopi hitam dan sebungkus kretek. Ia langsung duduk dan menyalakan api menyulut
sebatang kreteknya. Di depan sebelah rumah terdapat risban bambu bikinan tangan
terampil lelaki itu. Ia duduk menikmati segarnya pagi dengan sebatang rokok dan
segelas kopi yang masih panas. Betapa terlihat tak ada beban insan tua ini.
Sebetulnya, kepala Pardi hampir pecah karena terjadi perang pikiran yang begitu
menyiksa jiwanya. Ia bingung, tak ada kerjaan, anak-anaknya mau diberi uang
saku dari mana. Diamnya Pardi pagi itu bukan karena sedang tenang, justru
sebaliknya, ia tengah berpikir keras bagaimana caranya ia menghasilkan uang
untuk terus bertahan di tengah gempuran keadaan ekonomi kali ini.
“Lagi ngapain, Kang?” Sapa perempuan
yang menggendong rinjing dengan dua tenggok di tangan kanan dan kirinya.
“Aaa...anu, iya ini, hehehe.” Jawab
Pardi yang sama sekali tak mendengar sapaan Marni.
“Ooo, ya udah aku duluan ya, Kang.” Marni bingung sembari tersenyum dan berjalan
menyelinap di dalam kabut yang tebal.
Pikirannya semakin liar, ia mengingat masa lalu yang
begitu berkesan bersama wanita yang baru saja senyum di depan matanya. Ia
berpikir kalau dulu menikah dengan Marni pasti lebih enteng hidupnya, karena
Marni mau menjajakan hasil keringat malamnya membuat jajan pasar. Saat tak ada
kerjaan maka Pardi akan aman, karena istrinya ada pemasukan. Ia senyam-senyum
seperti orang edan. Ia semakin lelap dalam pikiran bodohnya itu.
Sampai-sampai istri nyatanya memanggil tak ada respon darinya.
“Pak...Pak...oalah edan ini
orang. Pagi-pagi udah senyum sendiri.” Bentak istrinya.
Tersadar perangainya yang bodoh, Pardi langsung sigap
menjawab teguran istrinya.
“Eh, iya, Mak. Ngelamun tadi.”
“Ngelamunin apa kamu!” Tegas Siti mencurigai pikiran
suaminya.
“Hehe, lagi mikir waktu banyak
kerjaan. Begitu senangnya punya uang banyak.” Jawab Pardi mengelabuhi istrinya.
Mendengar itu, Siti langsung duduk di sebelah
suaminya. Tangannya menggeser kopi yang tergeletak. Perempuan itu langsung
memaklumi pikiran suaminya.
“Beginilah hidup, Pak. Kadang di
atas, sering di bawah. Kita yang hanya orang tidak punya jelas tidak bisa
berbuat apa-apa. Ditambah lagi kondisi ekonomi seperti saat ini, jelas kita
tercekik, Pak. Sabar aja, yang penting masih ada tabungan.” Dengan bijak Siti
membuka obrolan serius.
“Tumben sekali pikiranmu sangat
bijak. Memang akhir-akhir ini begitu sulit untuk menjalani hidup. Sekarang
jamannya apa-apa susah, tidak seperti dua puluh tahun yang lalu. Dulu sebagai
seorang buruh tani kita bisa makmur mengandalkan lahan. Sekarang boro-boro,
beli pupuk aja dibatasi, harus pakai kartu lah. Bagaimana coba nasib yang tidak
punya kartu tani?” Tanggapan menohok yang ke luar dari mulut buruh tani
berdasarkan pengalaman masa lalunya.
Pertanyaan itu hanya dijawab angin yang menggeser
kabut, seperti tirai yang terbuka. Cahaya terang mulai muncul dari balik awan
gelap. Pertanyaan itu dibiarkan menggantung. Sekarang Pardi baru menyesal telah
mencoblos pemimpin yang sudah menjalankan pemerintahan selama tiga tahun ini.
Memang dahulu kala katanya manusia berdasi ini sudah bermisi bakal memakmurkan
kehidupan para petani. Nyatanya hanya bisa memurkakan kaum tani.
Siti memilih angkat kaki dan menuju ke dapur tanpa
kata. Pardi kembali melamunkan nasibnya kali ini. Memang tidak ada yang tahu
jalan hidup seorang bakal bagaimana, semua sudah diatur. Tapi yang mengatur
pemerintah kali ini sangat menyengsarakan kaum tani. Sangat menyesal dulu ia
berapi-api menyampaikan aspirasinya kepada teman-temannya untuk mendukung.
Lelaki ini seperti diberi tuba setelah memberi air susu. Ia merasa malu telah
mengajak para buruh tani dan pemilik lahan di desanya. Apalagi di desa yang
mayoritas warganya petani, partai dukungannya menang mutlak. Perjuangannya
sia-sia, tak ada bayaran yang diterimanya kali ini.
Lalu lalang motor mulai hidup. Mereka saling bergerak
merampungkan tujuannya masing-masing. Matahari pagi yang mentereng namun tak
menyengat menyelimuti udara Lemah Lanang awal hari itu. Banyak ibu-ibu yang
mengendarai sepeda motor melaju ke arah balai desa. Pardi yang masih tak
bergeming di balai rumah masih menatap satu per satu perkututnya yang tengah
manggung menyanyikan lagu-lagu alam yang halus nan menyejukkan jiwa, namun
tidak dengan lelaki tua itu. Mata lelaki tua itu tertuju ke perempuan paruh
baya dengan gelang emas yang berkerincing membunyikan suara, emas-emas itu
menghiasi perempuan berdaster itu. Kupingnya dibanduli emas yang sekiranya
berberat 5 gram. Memang perempuan itu terkenal kerap memamerkan perhiasannya.
“Eh, Kang. Sedang apa pagi hari kok sudah melamun
saja?” Sapa Mar.
“Anu...anu...ini sedang memantau
perkututku. Tumben sepagi ini sudah menenteng tenggok, Yu. Mau ke mana?”
Tergugup mulut yang tengah memainkan asap menyambut sapaan Si Mar.
“Oalah, apa Kang Pardi tidak tahu?
Hari ini kan ada bantuan dari desa. Masa si Kang Pardi tidak dapat?”
“Lho, apa iya si?” Lelaki itu
langsung menyambar dengan mata membelalak kaget.
“Berarti Kang Pardi tidak dapat?
Wah, sayang sekali.” Perempuan itu menyahut lagi.
Pardi hanya tersenyum tanpa ada kata yang menggeliat
menjawab pertanyaan itu.
“Memang bantuan apa kali ini?” Pardi
mencoba menggali. Rasa kecewanya semakin mekar.
“Ini, Kang, beras. Makanya aku bawa
tenggok besar ini. Katanya si per orang dapat 10 kilo. Kemarin kan Pak RT sudah
membagi kupon ke orang-orang yang mendapatkan bantuan ini. Aku kira Kang Pardi
dapat. Dulu kan Kang Pardi semangat sekali menjagokan Pak Lurah. Hehe. Aku
pamit mau ke balai desa dulu ya, Kang.” Si Mar berkicau membuka luka lelaki di
hadapannya.
Kalimat yang terlontar dari mulut perempuan yang
memang terkenal suka nyinyir membuat Pardi menambah sayatan kekecewaan di
hatinya. Lurah yang dulu dijagokan dengan sungguh-sungguh tampak sudah lupa
diri. Padahal tiap hari sewaktu masih menjadi calon Lurah, Pardi selalu
menampakkan diri di rumah Pak Lurah. Benar-benar kebusukan yang tengah menimpa
lelaki tua itu. Padahal dulu ia dijanjikan bakal diberi kenikmatan hidup dari
program desa, ya, seperti ini – bantuan bakal diprioritaskan – nampaknya hanya
omong belaka.
Pardi juga heran, kok bisa orang menukarkan kupon
bantuan membawa puluhan gram emas di badannya. Apakah patut? Nampak ketimpangan
sekali. manusia-manusia yang sudah dianugerahi rezeki lebih seperti Si Mar
malah diberi bantuan. Orang-orang seperti Pardi justru hanya diberi kabar kalau
hari ini ada pembagian bantuan tanpa mendapatkan kupon. Tetangga di sekitarnya
yang kurang mampu juga tak mendapatkannya. Menambah catatan keheranan di benak
Pardi. Kekecewaan itu segera diredamnya, ia mencoba tak memikirkan urusan yang
sangat konyol bagi otaknya. Walaupun memang tak bisa diterima nalar sehatnya,
namun ia memilih diam dan tak memberitahu istrinya. Kalau Siti sampai tahu
pasti bakal heboh dan memaki-maki suaminya. Karena dulu ia jarang pulang demi
jago Lurah yang lupa diri.
“Pak, aku mau belanja dulu, ya.
Semua persediaan kita habis. Tinggal beras satu gelas yang tengah ku nanak.
Tabungan kita juga menipis. Ini saja paling hanya bisa beli tempe satu, garam,
dan daun bayam.” Tiba-tiba Siti muncul dari pintu dan pamit hendak belanja.
Pardi tersentak kaget.
“Dari tadi melamun mulu. Apa yang
kau pikirkan?” Kecurigaan itu tumbuh kembali di hati Siti.
“Ah, tak ada. Yaudah sana.” Pardi
berusaha menutupi soal tadi.
“Ya sudah. Itu aku tengah menanak
nasi, tolong kalau sudah masak nanti dimatikan apinya.” Dengan mata yang
terpaku menaruh curiga ke suaminya, ia melangkahkan kaki ke arah warung Mbok
Yem.
Kepala itu disandarkan ke jendela, gambaran penuh
tekanan menghiasi keriputan muka Pardi. Terlalu banyak beban yang menimpa
dirinya. Tabungannya menipis, bantuan tak didapat, persediaan makanan habis,
dan kebutuhan yang kian menumpuk. Satu per satu pikiran itu tampil layaknya
komedi putar bergantian menghinggapi kepala lelaki tua itu. Apalagi musim tak
mendukung, sehingga tak ada kerjaan yang dapat ia lakukan di tuan tanahnya.
Lama waktu paginya terbuang oleh lamunan.
Ia juga membayangkan wajah istrinya yang bakal
memakinya dengan penuh amarah. Ia terus melamun dan bayang-bayang istrinya semakin
tajam. Semakin lama semakin mendekat dan tepat berada di depan mukanya. Ia
bergidik, terkaget.
“Pak!!! Gimana ini? Kok kita tak
pernah dapat bantuan dari lurahmu yang dulu kau banggakan! Bagaimana bisa?
Banyak yang dulu jadi pendukung sebelah yang justru mendapat bantuan
pemerintah, kok kita tidak! Bahkan perempuan kemayu dengan tangan penuh gelang
itu juga dapat! Ah, tak ada gunanya kau jadi suami! Dulu kau membuang tenaga,
pikiran, dan waktu sampai aku ditinggal semalaman demi jagomu itu! Tapi sekarang
apa hasilnya? Sia-sia. Begitu sial sekali hidup kita!” Amarah Siti membuncah.
Siti yang baru dibayangkan ternyata benar ada di depan
kepala Pardi, bukan hanya lamunan yang mengitari kepalanya. Ia betul-betul memaki
suaminya dengan nada menggertak keras. Perempuan itu langsung
bergegas masuk ke dalam rumah membanting pintu dengan keras. Hingga tetangganya
yang tengah menyapu ikut mengelus dada.
Pardi hanya terdiam, membisu menyadari kekecewaan istrinya yang menambah luka yang baru tersayat. Benar, semua perjuangannya sia-sia. Tak ada perjuangan yang berbuah manis kali ini. Keluarga yang miskin itu hanya menikmati pahitnya kekuasaan yang telah ikut dibangunnya. Mata dari Sang kepala membuta tak melihat jika ada kaki yang telah membantunya melangkah sampai di puncak kekuasaan.
Gunungkarang, 20 November 2023