Mata yang Buta - Muhammad Aziz Rizaldi

@kontributor 1/21/2024

Mata yang Buta

Muhammad Aziz Rizaldi



Udara gersang telah menjadi sahabat bagi makhluk bumi di musim ini. Tak ada hujan, tak ada air yang turun. Mereka hanya disuguhkan kencangnya angin yang andil membuat debu terbang ke segala sisi. Langit terus memancarkan cahaya gerah, ia dihiasi oleh layang-layang para pengangguran yang menerbangkannya di sawah. Memang hampir separuh lahan di sawah sekarang hanya berupa tanah kosong yang tak ada tumbuhan. Ya karena memang tak ada bantuan untuk memberikan nutrisi dari pemerintah. Bahkan musim kemarin banyak sekali petani yang gagal memanen hasil jeri payahnya selama beberapa bulan. Padahal di dekat petak sawah ada mata air yang terus mengalir menggenang sebagai pemandian. Tapi, tak ada inisiasi pemerintah untuk membuatkan saluran irigasi sebagai rasa terima kasih kepada petani dan buruh tani.

Sebut saja desa Lemah Lanang, keseharian manusianya seperti patutnya di musim-musim sebelumnya. Tak ada yang berubah, hanya saja mereka – Para Buruh Tani – hanya menganggur dan menunggu kerjaan dari para pemilik lahan. Akhir-akhir ini dunia terasa sulit, ekonomi sudah mulai menunjukkan kebobrokannya. Harga bahan pokok mahal, tetapi kalau menjual sesuatu ke toko pasti dimurahkan. Hal itulah yang membuat para pemilik lahan memilih untuk menggarap sawah sendiri, karena irit untuk operasional, bahkan memotong modal sampai lima belas persen.

Hal itu berdampak pada Pardi, seorang tetua desa yang begitu dipercaya oleh masyarakat Lemah Lanang, bahkan dari satu rezim ke rezim selanjutnya pasti jikalau hendak berbuat meminta tanggapan pemikiran dari orang tua ini. Ia begitu disegani. Namun, secara ekonomi ia begitu miris. Kesehariannya hanya menggarap sepuluh ubin tanah milik Haji Ubed. Haji Ubed merupakan tuan tanah, ia memiliki tanah hampir seperempat desa. Konon, semua tanah itu hasil warisan orang tuanya. Apalagi ia adalah anak satu-satunya yang jelas menjadi seorang ahli waris tanpa membaginya dengan saudara sekandung. Banyak orang Lemah Lanang yang menggarap lahannya dengan peraturan yang telah disepakati kedua belah pihak. Namun, buruh hanyalah buruh, ia hanya seperti mesin yang dibayar setengah dari keuntungan. Tapi, garapan terakhirnya gagal, ia turut rugi tenaga dan materi. Tak ada padi yang bisa dipanen dua bulan lalu. Seluruh padi yang seharusnya sudah waktunya panen mati semua karena tak ada asupan air sama sekali.

Udara berembus begitu dingin menusuk ke tulang, hidung dapat merasakan betapa segarnya udara Lemah Lanang. Remang-remang pagi itu hanya bisa ditembus cahaya keheningan. Suara toa yang menggemakan azan subuh menghiasi udara awal hari itu. Pardi telah bangun, ia sudah ke luar masuk rumah sepetak menenteng sangkar berisi perkutut yang digantungnya setinggi sepuluh meter. Burung-burung kesayangannya mulai konser berdendang ria menembus dinginnya hari. Selepas mengeluarkan burung-burungnya, Pardi membawa secangkir kopi hitam dan sebungkus kretek. Ia langsung duduk dan menyalakan api menyulut sebatang kreteknya. Di depan sebelah rumah terdapat risban bambu bikinan tangan terampil lelaki itu. Ia duduk menikmati segarnya pagi dengan sebatang rokok dan segelas kopi yang masih panas. Betapa terlihat tak ada beban insan tua ini. Sebetulnya, kepala Pardi hampir pecah karena terjadi perang pikiran yang begitu menyiksa jiwanya. Ia bingung, tak ada kerjaan, anak-anaknya mau diberi uang saku dari mana. Diamnya Pardi pagi itu bukan karena sedang tenang, justru sebaliknya, ia tengah berpikir keras bagaimana caranya ia menghasilkan uang untuk terus bertahan di tengah gempuran keadaan ekonomi kali ini.

“Lagi ngapain, Kang?” Sapa perempuan yang menggendong rinjing dengan dua tenggok di tangan kanan dan kirinya.

“Aaa...anu, iya ini, hehehe.” Jawab Pardi yang sama sekali tak mendengar sapaan Marni.

“Ooo, ya udah aku duluan ya, Kang.” Marni bingung sembari tersenyum dan berjalan menyelinap di dalam kabut yang tebal.

Pikirannya semakin liar, ia mengingat masa lalu yang begitu berkesan bersama wanita yang baru saja senyum di depan matanya. Ia berpikir kalau dulu menikah dengan Marni pasti lebih enteng hidupnya, karena Marni mau menjajakan hasil keringat malamnya membuat jajan pasar. Saat tak ada kerjaan maka Pardi akan aman, karena istrinya ada pemasukan. Ia senyam-senyum seperti orang edan. Ia semakin lelap dalam pikiran bodohnya itu. Sampai-sampai istri nyatanya memanggil tak ada respon darinya.

“Pak...Pak...oalah edan ini orang. Pagi-pagi udah senyum sendiri.” Bentak istrinya.

Tersadar perangainya yang bodoh, Pardi langsung sigap menjawab teguran istrinya.

“Eh, iya, Mak. Ngelamun tadi.”

“Ngelamunin apa kamu!” Tegas Siti mencurigai pikiran suaminya.

“Hehe, lagi mikir waktu banyak kerjaan. Begitu senangnya punya uang banyak.” Jawab Pardi mengelabuhi istrinya.

Mendengar itu, Siti langsung duduk di sebelah suaminya. Tangannya menggeser kopi yang tergeletak. Perempuan itu langsung memaklumi pikiran suaminya.

“Beginilah hidup, Pak. Kadang di atas, sering di bawah. Kita yang hanya orang tidak punya jelas tidak bisa berbuat apa-apa. Ditambah lagi kondisi ekonomi seperti saat ini, jelas kita tercekik, Pak. Sabar aja, yang penting masih ada tabungan.” Dengan bijak Siti membuka obrolan serius.

“Tumben sekali pikiranmu sangat bijak. Memang akhir-akhir ini begitu sulit untuk menjalani hidup. Sekarang jamannya apa-apa susah, tidak seperti dua puluh tahun yang lalu. Dulu sebagai seorang buruh tani kita bisa makmur mengandalkan lahan. Sekarang boro-boro, beli pupuk aja dibatasi, harus pakai kartu lah. Bagaimana coba nasib yang tidak punya kartu tani?” Tanggapan menohok yang ke luar dari mulut buruh tani berdasarkan pengalaman masa lalunya.

Pertanyaan itu hanya dijawab angin yang menggeser kabut, seperti tirai yang terbuka. Cahaya terang mulai muncul dari balik awan gelap. Pertanyaan itu dibiarkan menggantung. Sekarang Pardi baru menyesal telah mencoblos pemimpin yang sudah menjalankan pemerintahan selama tiga tahun ini. Memang dahulu kala katanya manusia berdasi ini sudah bermisi bakal memakmurkan kehidupan para petani. Nyatanya hanya bisa memurkakan kaum tani.

Siti memilih angkat kaki dan menuju ke dapur tanpa kata. Pardi kembali melamunkan nasibnya kali ini. Memang tidak ada yang tahu jalan hidup seorang bakal bagaimana, semua sudah diatur. Tapi yang mengatur pemerintah kali ini sangat menyengsarakan kaum tani. Sangat menyesal dulu ia berapi-api menyampaikan aspirasinya kepada teman-temannya untuk mendukung. Lelaki ini seperti diberi tuba setelah memberi air susu. Ia merasa malu telah mengajak para buruh tani dan pemilik lahan di desanya. Apalagi di desa yang mayoritas warganya petani, partai dukungannya menang mutlak. Perjuangannya sia-sia, tak ada bayaran yang diterimanya kali ini.

Lalu lalang motor mulai hidup. Mereka saling bergerak merampungkan tujuannya masing-masing. Matahari pagi yang mentereng namun tak menyengat menyelimuti udara Lemah Lanang awal hari itu. Banyak ibu-ibu yang mengendarai sepeda motor melaju ke arah balai desa. Pardi yang masih tak bergeming di balai rumah masih menatap satu per satu perkututnya yang tengah manggung menyanyikan lagu-lagu alam yang halus nan menyejukkan jiwa, namun tidak dengan lelaki tua itu. Mata lelaki tua itu tertuju ke perempuan paruh baya dengan gelang emas yang berkerincing membunyikan suara, emas-emas itu menghiasi perempuan berdaster itu. Kupingnya dibanduli emas yang sekiranya berberat 5 gram. Memang perempuan itu terkenal kerap memamerkan perhiasannya.

“Eh, Kang. Sedang apa pagi hari kok sudah melamun saja?” Sapa Mar.

“Anu...anu...ini sedang memantau perkututku. Tumben sepagi ini sudah menenteng tenggok, Yu. Mau ke mana?” Tergugup mulut yang tengah memainkan asap menyambut sapaan Si Mar.

“Oalah, apa Kang Pardi tidak tahu? Hari ini kan ada bantuan dari desa. Masa si Kang Pardi tidak dapat?”

“Lho, apa iya si?” Lelaki itu langsung menyambar dengan mata membelalak kaget.

“Berarti Kang Pardi tidak dapat? Wah, sayang sekali.” Perempuan itu menyahut lagi.

Pardi hanya tersenyum tanpa ada kata yang menggeliat menjawab pertanyaan itu.

“Memang bantuan apa kali ini?” Pardi mencoba menggali. Rasa kecewanya semakin mekar.

“Ini, Kang, beras. Makanya aku bawa tenggok besar ini. Katanya si per orang dapat 10 kilo. Kemarin kan Pak RT sudah membagi kupon ke orang-orang yang mendapatkan bantuan ini. Aku kira Kang Pardi dapat. Dulu kan Kang Pardi semangat sekali menjagokan Pak Lurah. Hehe. Aku pamit mau ke balai desa dulu ya, Kang.” Si Mar berkicau membuka luka lelaki di hadapannya.

Kalimat yang terlontar dari mulut perempuan yang memang terkenal suka nyinyir membuat Pardi menambah sayatan kekecewaan di hatinya. Lurah yang dulu dijagokan dengan sungguh-sungguh tampak sudah lupa diri. Padahal tiap hari sewaktu masih menjadi calon Lurah, Pardi selalu menampakkan diri di rumah Pak Lurah. Benar-benar kebusukan yang tengah menimpa lelaki tua itu. Padahal dulu ia dijanjikan bakal diberi kenikmatan hidup dari program desa, ya, seperti ini – bantuan bakal diprioritaskan – nampaknya hanya omong belaka.

Pardi juga heran, kok bisa orang menukarkan kupon bantuan membawa puluhan gram emas di badannya. Apakah patut? Nampak ketimpangan sekali. manusia-manusia yang sudah dianugerahi rezeki lebih seperti Si Mar malah diberi bantuan. Orang-orang seperti Pardi justru hanya diberi kabar kalau hari ini ada pembagian bantuan tanpa mendapatkan kupon. Tetangga di sekitarnya yang kurang mampu juga tak mendapatkannya. Menambah catatan keheranan di benak Pardi. Kekecewaan itu segera diredamnya, ia mencoba tak memikirkan urusan yang sangat konyol bagi otaknya. Walaupun memang tak bisa diterima nalar sehatnya, namun ia memilih diam dan tak memberitahu istrinya. Kalau Siti sampai tahu pasti bakal heboh dan memaki-maki suaminya. Karena dulu ia jarang pulang demi jago Lurah yang lupa diri.

“Pak, aku mau belanja dulu, ya. Semua persediaan kita habis. Tinggal beras satu gelas yang tengah ku nanak. Tabungan kita juga menipis. Ini saja paling hanya bisa beli tempe satu, garam, dan daun bayam.” Tiba-tiba Siti muncul dari pintu dan pamit hendak belanja.

Pardi tersentak kaget.

“Dari tadi melamun mulu. Apa yang kau pikirkan?” Kecurigaan itu tumbuh kembali di hati Siti.

“Ah, tak ada. Yaudah sana.” Pardi berusaha menutupi soal tadi.

“Ya sudah. Itu aku tengah menanak nasi, tolong kalau sudah masak nanti dimatikan apinya.” Dengan mata yang terpaku menaruh curiga ke suaminya, ia melangkahkan kaki ke arah warung Mbok Yem.

Kepala itu disandarkan ke jendela, gambaran penuh tekanan menghiasi keriputan muka Pardi. Terlalu banyak beban yang menimpa dirinya. Tabungannya menipis, bantuan tak didapat, persediaan makanan habis, dan kebutuhan yang kian menumpuk. Satu per satu pikiran itu tampil layaknya komedi putar bergantian menghinggapi kepala lelaki tua itu. Apalagi musim tak mendukung, sehingga tak ada kerjaan yang dapat ia lakukan di tuan tanahnya. Lama waktu paginya terbuang oleh lamunan.

Ia juga membayangkan wajah istrinya yang bakal memakinya dengan penuh amarah. Ia terus melamun dan bayang-bayang istrinya semakin tajam. Semakin lama semakin mendekat dan tepat berada di depan mukanya. Ia bergidik, terkaget.

“Pak!!! Gimana ini? Kok kita tak pernah dapat bantuan dari lurahmu yang dulu kau banggakan! Bagaimana bisa? Banyak yang dulu jadi pendukung sebelah yang justru mendapat bantuan pemerintah, kok kita tidak! Bahkan perempuan kemayu dengan tangan penuh gelang itu juga dapat! Ah, tak ada gunanya kau jadi suami! Dulu kau membuang tenaga, pikiran, dan waktu sampai aku ditinggal semalaman demi jagomu itu! Tapi sekarang apa hasilnya? Sia-sia. Begitu sial sekali hidup kita!” Amarah Siti membuncah.

Siti yang baru dibayangkan ternyata benar ada di depan kepala Pardi, bukan hanya lamunan yang mengitari kepalanya. Ia betul-betul memaki suaminya dengan nada menggertak keras. Perempuan itu langsung bergegas masuk ke dalam rumah membanting pintu dengan keras. Hingga tetangganya yang tengah menyapu ikut mengelus dada.

Pardi hanya terdiam, membisu menyadari kekecewaan istrinya yang menambah luka yang baru tersayat. Benar, semua perjuangannya sia-sia. Tak ada perjuangan yang berbuah manis kali ini. Keluarga yang miskin itu hanya menikmati pahitnya kekuasaan yang telah ikut dibangunnya. Mata dari Sang kepala membuta tak melihat jika ada kaki yang telah membantunya melangkah sampai di puncak kekuasaan.

Gunungkarang, 20 November 2023

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »