Meludahi
Langit
Boni
Chandra
Tersebutlah
Tuk Menggung: lelaki tua yang sepanjang hidupnya mengumpulkan kayu, lalu
membuat tangga menuju langit. Namun, setelah ia tiba di langit, Tuk Menggung
membakar tangga itu, dan .... Dongeng itu sungguh membekas di benak
kami—membuat kami mulai jenuh dengan cerita-cerita binatang yang dikisahkan Ibu
berulang-ulang.
“Nabi Idris adalah manusia pertama yang
tiba di surga. Dan Tuk Menggunglah yang kedua,” kataku, ketika menceritakan
ulang dongeng itu.
Udaku yang usianya tiga tahun lebih tua,
masih memeluk lutut sambil menengadah ketika aku mengakhiri dongeng.
“Kau mendapatkannya dari buku?”
“Aku mendengarnya di surau, dari guru
mengajiku.”
Udaku memang tak pernah ke surau, dan
telah lama berhenti sekolah karena tak kunjung pandai membaca. Setelah
menanyakan nama guru mengajiku, ia lekas berdiri dan bergegas meninggalkanku.
Kendati duduk di dalam kamar, aku tahu, ia melangkah ke dapur menemui Ibu. Pada
Ibu, ia mengatakan bahwa ia ingin ke surau, ingin belajar mengaji.
“Syukurlah. Kau tidak bersekolah. Apa
jadinya bila kau tak pula pandai mengaji.”
Aku tahu, tujuan utamanya pergi ke surau
bukanlah untuk mengaji, tapi menemui Malin Putih dan memintanya menceritakan
ulang dongeng Tuk Menggung. Sejak saat itu, ia selalu memaksaku untuk berangkat
lebih awal. Sebelum mengaji di empat hari pertama, ia menanyakan; kayu apa yang
digunakan Tuk Menggung untuk membuat tangga menuju langit, di mana ia mencari
kayu itu, siapa yang membantunya, dan bagaimana cara ia membuatnya.
Dan terpujilah Malin Putih. Kendati
dahinya sering berkeringat dan wajahnya tampak lelah, ia selalu memberi jawaban
dengan cepat. Bahkan, ia bersedia menceritakan dongeng Tuk Menggung dalam versi
yang lebih panjang. Namun, pada hari kelima, Uda yang masih kesulitan
membedakan ba, ta, dan tsa, justru
mengajukan pertanyaan lain tentang Tuk Menggung. Aku masih mengingatnya dengan
jelas. Malin Putih seketika memukulkan rotannya ke tikar pandan, “Umurmu sudah
tiga belas tahun dan tak pandai mengaji dan Tuk Menggung terus yang kau tanyakan!”
*
Pada hari keenam, atas usulan Uda, kami
tak lagi pergi ke surau. Ia memberitahuku tentang sebuah pohon kelapa di ujung
desa. “Itu pohon kelapa paling tinggi yang kutahu,” katanya.
Namun, langit masih terlalu tinggi dari
atas pohon kelapa. Di sela pelepah, Uda tampak meringis sambil menyingkirkan
serangga yang mengigiti leher dan pundaknya. Kami menyerah, dan mulai menuruni
kelapa seraya bercarut-carut. Carutan kami saling berbalas, berlomba-lomba agar
terdengar paling keras. Sesekali, aku memeluk batang kelapa lebih erat dan
bercarut lebih kuat. Uda tentu saja tak mau kalah. Suaranya yang parau
terdengar menyenangkan ketika ia mulai menggunakan irama di setiap carutannya.
“Papapapapapapapantek .... O pantektektektektektektektek
....”
Sesaat berhenti, kembali kupandangi langit
yang tinggi. Langit itu tak dapat digapai dan ingin rasanya bercarut ketika Uda
memintaku menutup mulut. Sepasang tanganku seketika memagut pohon kelapa lebih
erat dan kedua kakiku mulai mengapitnya lebih kuat. Aku melihat ke bawah. Di
sana, lelaki bertubuh gempal—yang tak lain bapak kami—sedang memegang bilah
panjang. Di sampingnya ada Malin Putih, guru mengaji kami yang tampak berdiri
sembari berkacak pinggang.
“Ah, merdu sekali carutanmu!” Malin Putih
membuka kata.
“Turun!” Lelaki bertubuh gempal itu
mengacungkan bilah panjang ke arah kami.
Udaku bergerak cepat, bergegas turun
seperti seekor beruk yang diserang semut rang-rang. Dari tengah pohon kelapa,
kupandangi Uda di bawah sana. Ia sedang berlutut, menerima setiap pukulan
dengan pasrah. Di pikiranku, bilah itu adalah cambuk dan Uda adalah pendosa yang
disiksa—seperti cerita Malin Putih bila salat dalam posisi rukuk yang tak
sempurna.
“Kau tidak bersekolah dan kau bawa pula
adikmu bolos mengaji!”
*
Hari ketujuh tiba di hari Minggu. Aku
sudah melihat memar pada betisnya, di pinggul dan di punggung Uda. Untuk
mengobati rasa sakitnya, pagi itu aku membawanya berjalan menuju bukit di belakang
rumah. Kendati tak bersekolah, ia pun meragukan bualanku.
“Apa kau yakin bukit itu bisa mengantarkan
kita menuju langit?”
“Setidaknya, kita bisa meludahinya bila
langit tak terjangkau,” kataku.
Maka tibalah kami di atas bukit. Namun,
seperti yang kami yakini, langit memang masih terlalu tinggi untuk digapai. Aku
pun menepati janji. Aku mulai berdiri sambil menengadah. Lalu melangkah mundur
lalu berlari lalu mulai meludahi langit. Udaku memang tak pernah mau kalah.
Kendati tak berlari, ia terus menengadah dan meludahi langit berkali-kali.
Aku memandanginya dan menerka
penderitaannya. Barangkali, kerongkongannya terasa sakit karena meludah tanpa
henti. Barangkali, pundaknya terasa pegal karena terus menengadah dan
membiarkan liur membasuh mukaku. Namun, Uda tak kunjung berhenti. Ia terus
meludah kendati liurnya selalu berbalik dan meludahi wajah sendiri. Ia baru mau
menghentikannya setelah kukatakan bahwa Tuhan, surga, dan segala yang indah ada
di langit.
“Andai aku bisa ke langit dan bertemu
Tuhan, aku akan meminta agar sekolah dibubarkan,” kataku sambil memindahkan
wajah Uda ke atas langit.
“Seandainya aku bisa ke langit dan bertemu
Tuhan, aku akan meminta agar lelaki gempal itu menyayangiku.”
Aku memandanginya. Di antara ludah pada
wajahnya, aku melihat air mata yang mengalir. Waktu itu, aku menganggapnya
benar. Kendati Bapak tak lebih menyayangiku, setidaknya, lelaki gempal itu tak
pernah memukuliku. Namun, betapa kami keliru. Lelaki bertubuh gempal itu
meraung-raung sambil menggendong tubuh Uda. Ia menemukan Uda di atas pohon
kelapa di ujung desa, terduduk kaku setelah tiga hari lari dari rumah.
Pun Malin Putih. Di depan orang-orang yang
datang untuk takziah, guru mengaji itu menyampaikan rasa dukanya yang mendalam.
Ia menyebut Uda sebagai anak suci. Kendati tak pandai mengaji dan sukar
membedakan baik-buruk, Tuhan akan mengampuni dosanya dan menjanjikan surga
untuk dirinya. Aku pun mengamininya. Bahwa setelah Nabi Idris dan Tuk Menggung,
Udalah yang akan masuk ke dalam surga. (Bukittinggi,
2023)