Meludahi Langit - Boni Chandra

@kontributor 1/14/2024

Meludahi Langit

Boni Chandra


 

Tersebutlah Tuk Menggung: lelaki tua yang sepanjang hidupnya mengumpulkan kayu, lalu membuat tangga menuju langit. Namun, setelah ia tiba di langit, Tuk Menggung membakar tangga itu, dan .... Dongeng itu sungguh membekas di benak kami—membuat kami mulai jenuh dengan cerita-cerita binatang yang dikisahkan Ibu berulang-ulang.

“Nabi Idris adalah manusia pertama yang tiba di surga. Dan Tuk Menggunglah yang kedua,” kataku, ketika menceritakan ulang dongeng itu.

Udaku yang usianya tiga tahun lebih tua, masih memeluk lutut sambil menengadah ketika aku mengakhiri dongeng.

“Kau mendapatkannya dari buku?”

“Aku mendengarnya di surau, dari guru mengajiku.”

Udaku memang tak pernah ke surau, dan telah lama berhenti sekolah karena tak kunjung pandai membaca. Setelah menanyakan nama guru mengajiku, ia lekas berdiri dan bergegas meninggalkanku. Kendati duduk di dalam kamar, aku tahu, ia melangkah ke dapur menemui Ibu. Pada Ibu, ia mengatakan bahwa ia ingin ke surau, ingin belajar mengaji.

“Syukurlah. Kau tidak bersekolah. Apa jadinya bila kau tak pula pandai mengaji.”

Aku tahu, tujuan utamanya pergi ke surau bukanlah untuk mengaji, tapi menemui Malin Putih dan memintanya menceritakan ulang dongeng Tuk Menggung. Sejak saat itu, ia selalu memaksaku untuk berangkat lebih awal. Sebelum mengaji di empat hari pertama, ia menanyakan; kayu apa yang digunakan Tuk Menggung untuk membuat tangga menuju langit, di mana ia mencari kayu itu, siapa yang membantunya, dan bagaimana cara ia membuatnya.

Dan terpujilah Malin Putih. Kendati dahinya sering berkeringat dan wajahnya tampak lelah, ia selalu memberi jawaban dengan cepat. Bahkan, ia bersedia menceritakan dongeng Tuk Menggung dalam versi yang lebih panjang. Namun, pada hari kelima, Uda yang masih kesulitan membedakan ba, ta, dan tsa, justru mengajukan pertanyaan lain tentang Tuk Menggung. Aku masih mengingatnya dengan jelas. Malin Putih seketika memukulkan rotannya ke tikar pandan, “Umurmu sudah tiga belas tahun dan tak pandai mengaji dan Tuk Menggung terus yang kau tanyakan!”

*

Pada hari keenam, atas usulan Uda, kami tak lagi pergi ke surau. Ia memberitahuku tentang sebuah pohon kelapa di ujung desa. “Itu pohon kelapa paling tinggi yang kutahu,” katanya.

Namun, langit masih terlalu tinggi dari atas pohon kelapa. Di sela pelepah, Uda tampak meringis sambil menyingkirkan serangga yang mengigiti leher dan pundaknya. Kami menyerah, dan mulai menuruni kelapa seraya bercarut-carut. Carutan kami saling berbalas, berlomba-lomba agar terdengar paling keras. Sesekali, aku memeluk batang kelapa lebih erat dan bercarut lebih kuat. Uda tentu saja tak mau kalah. Suaranya yang parau terdengar menyenangkan ketika ia mulai menggunakan irama di setiap carutannya.

“Papapapapapapapantek .... O pantektektektektektektektek ....”

Sesaat berhenti, kembali kupandangi langit yang tinggi. Langit itu tak dapat digapai dan ingin rasanya bercarut ketika Uda memintaku menutup mulut. Sepasang tanganku seketika memagut pohon kelapa lebih erat dan kedua kakiku mulai mengapitnya lebih kuat. Aku melihat ke bawah. Di sana, lelaki bertubuh gempal—yang tak lain bapak kami—sedang memegang bilah panjang. Di sampingnya ada Malin Putih, guru mengaji kami yang tampak berdiri sembari berkacak pinggang.

“Ah, merdu sekali carutanmu!” Malin Putih membuka kata.

“Turun!” Lelaki bertubuh gempal itu mengacungkan bilah panjang ke arah kami.

Udaku bergerak cepat, bergegas turun seperti seekor beruk yang diserang semut rang-rang. Dari tengah pohon kelapa, kupandangi Uda di bawah sana. Ia sedang berlutut, menerima setiap pukulan dengan pasrah. Di pikiranku, bilah itu adalah cambuk dan Uda adalah pendosa yang disiksa—seperti cerita Malin Putih bila salat dalam posisi rukuk yang tak sempurna.

“Kau tidak bersekolah dan kau bawa pula adikmu bolos mengaji!”

*

Hari ketujuh tiba di hari Minggu. Aku sudah melihat memar pada betisnya, di pinggul dan di punggung Uda. Untuk mengobati rasa sakitnya, pagi itu aku membawanya berjalan menuju bukit di belakang rumah. Kendati tak bersekolah, ia pun meragukan bualanku.

“Apa kau yakin bukit itu bisa mengantarkan kita menuju langit?”

“Setidaknya, kita bisa meludahinya bila langit tak terjangkau,” kataku.

Maka tibalah kami di atas bukit. Namun, seperti yang kami yakini, langit memang masih terlalu tinggi untuk digapai. Aku pun menepati janji. Aku mulai berdiri sambil menengadah. Lalu melangkah mundur lalu berlari lalu mulai meludahi langit. Udaku memang tak pernah mau kalah. Kendati tak berlari, ia terus menengadah dan meludahi langit berkali-kali.

Aku memandanginya dan menerka penderitaannya. Barangkali, kerongkongannya terasa sakit karena meludah tanpa henti. Barangkali, pundaknya terasa pegal karena terus menengadah dan membiarkan liur membasuh mukaku. Namun, Uda tak kunjung berhenti. Ia terus meludah kendati liurnya selalu berbalik dan meludahi wajah sendiri. Ia baru mau menghentikannya setelah kukatakan bahwa Tuhan, surga, dan segala yang indah ada di langit.

“Andai aku bisa ke langit dan bertemu Tuhan, aku akan meminta agar sekolah dibubarkan,” kataku sambil memindahkan wajah Uda ke atas langit.

“Seandainya aku bisa ke langit dan bertemu Tuhan, aku akan meminta agar lelaki gempal itu menyayangiku.”

Aku memandanginya. Di antara ludah pada wajahnya, aku melihat air mata yang mengalir. Waktu itu, aku menganggapnya benar. Kendati Bapak tak lebih menyayangiku, setidaknya, lelaki gempal itu tak pernah memukuliku. Namun, betapa kami keliru. Lelaki bertubuh gempal itu meraung-raung sambil menggendong tubuh Uda. Ia menemukan Uda di atas pohon kelapa di ujung desa, terduduk kaku setelah tiga hari lari dari rumah.

Pun Malin Putih. Di depan orang-orang yang datang untuk takziah, guru mengaji itu menyampaikan rasa dukanya yang mendalam. Ia menyebut Uda sebagai anak suci. Kendati tak pandai mengaji dan sukar membedakan baik-buruk, Tuhan akan mengampuni dosanya dan menjanjikan surga untuk dirinya. Aku pun mengamininya. Bahwa setelah Nabi Idris dan Tuk Menggung, Udalah yang akan masuk ke dalam surga. (Bukittinggi, 2023)

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »