Racauan Skizofrenis
Penyair sebagai Mesin
Dwi Pranoto
Yang
bukan-penyair tidak ambil bagian
(Chairil lain)
Kita
mulai dari sini, maksud dari penulisan “Penyair sebagai Mesin”, intensi penulisnya,
yakni “agenda estetik untuk menjadi semua orang . . .”[i]. Guna
mencapai tujuannya, Martin Suryajaya menggunakan metode kritis dengan
“menghadirkan gangguan atas praktik konvensional menulis puisi yang menempatkan
aku-penyair sebagai pusat dalam laku kreatif. Penciptaan sebagai laku pribadi
berdaulat yang memobilisasi pengalaman sudut pandang orang pertamanya yang unik
dan tercermin dalam suatu gaya sastrawi yang bersifat khas – inilah konsepsi
penciptaan yang mau diganggu . . .”[ii].
Pemrosesan strategi kritis sebagai praktik secara teknis dijalankan dengan apa
yang disebut ‘rakitan kognitif’ antara manusia dan mesin untuk memproduksi
puisi. Dengan demikian, puisi-puisi dalam “Penyair sebagai Mesin” merupakan
perwujudan secara material dari startegi kritis yang di dalamnya bersemayam
intensi penulisnya. Intensi penulis sendiri yang bersemayam dalam karya
menciptakan konsekwensi, dampak pada pembaca setelah membaca puisi-puisi dalam
“Penyair sebagai Mesin”. Khalayak pembaca didorong untuk menentang dominasi
ideologi kreativitas sebagaimana ditunjukan oleh puisi-puisi. Puisi-puisi dalam
“Penyair sebagai Mesin” oleh karenanya bisa disebut puisi-puisi pedagogis.
Martin sendiri dalam suatu kesempatan acara peluncuran bukunya tersebut
menyatakan bahwa “Penyair sebagai Mesin” menawarkan suatu pendidikan estetika[iii].
Agenda estetik atau pendidikan
estetika yang meletakan karya seni sebagai instrumen perubahan sosial yang
merupakan intensi Martin dalam “Penyair sebagai Mesin”, tampaknya, adalah
praktik eskperimentasi dari gagasannya tentang estetika partisipatoris. Dalam
“Dorongan ke Arah Estetika Partisipatoris”[iv] Martin
dengan jelas mendasarkan pendidikan estetikanya pada paradigma pedagogi seni
mimetik yang menautkan antara karya seni dan kehidupan di luar karya seni,
relasi kausalitas antara karya seni dan khalayaknya, sebab dan akibat, intensi
dan konsekwensi. Sebaliknya, Martin dengan sengit menyerang estetika romantik
dengan menuduhnya sebagai apolitis atau netral (Martin menyebutnya disinterested atau ‘tanpa pamrih’). Nah,
tulisan ini akan berupaya untuk menyingkapkan hubungan antara pedagogi seni mimetik
dan estetika yang mengidap simtom skizofrenia dalam kaitan antara pemikiran,
penerapan, dan tujuan “Penyair sebagai Mesin”.
Sebelum kita menyingkapkan simtom
skizofrenia, kerusakan hubungan antara pedagogi seni mimetik, penerapan, serta
tujuannya; kerusakan hubungan antara pemikiran/tindakan dan kenyataan, kita
sebaiknya terlebih dahulu menjernihkan kekacauan bahasan Martin tentang
pedagogi seni mimetik dalam “Dorongan ke Arah Estetika Partisipatoris”. Seni
mimetik, baik Plato maupun Aristoteles, tidak ditujukan untuk perubahan sosial
seperti yang dinyatakan Martin. Sebaliknya, pedagogi seni mimetik lebih
ditujukan untuk memelihara ketertiban yang didasarkan pada stratifikasi sosial
yang berlaku pada masa itu. Pemilahan antara kelompok elit dan kelompok jelata
yang mengimplikasikan penyekatan ruang-waktu sosial antara urusan publik dan
privat bersama pengaturan mengenai apa yang dapat dipikirkan dan tidak dapat
dipikirkan, apa yang boleh dirasakan dan apa yang tidak boleh dirasakan. Seni
mimetik berfungsi sebagai police
untuk memastikan distribusi jenis-jenis pemerasaan dan pemikiran yang
diatribusikan pada penyekatan ruang-waktu sosial terus berlaku sebagai common sense.
Ada dua tipe seni mimetik yang berfungsi sebagai police pada masa Yunani klasik, tipe
seni mimetik yang didasarkan pada prinsip representasi dan tipe seni mimetik
yang didadasarkan pada prinsip etik[v]. Tipe seni mimetik dengan prinsip representasi
menganggap karya seni punya fungsi pedagogis. Karya seni merupakan model dan
menjadi medium bagi khalayak untuk mengenali vile (kejahatan) dan virtue
(kebajikan), berfungsi sebagai kaca benggala yang dapat membimbing khalayak agar
berperilaku konform pada kaidah dan norma sosial yang berlaku. Karya seni pada
tipe ini dievaluasi berdasarkan cara membuat yang sekaligus cara mempersepsi, bertautnya
relasi antara poiesis dan aisthesis. Sedangkan tipe seni mimetik
dengan prinsip etik lebih menuntut karya seni mempunyai kegunaan langsung,
bukan sebagai model atau simulakra tindakan, oleh karena itu karya seni tidak
mempunyai fungsi pedagogis. Karya seni sebagai model atau simulakra dianggap
dapat mengimplikasikan ketidakjelasan subyek yang bertindak, mengacaukan
penyekatan ruang-waktu sosial dan distribusi pemerasaan di dalamnya. Dampak
dari seni mimetik-etik yang mengevaluasi karya seni berdasarkan kegunaan
langsungnya adalah kematian seni; karya seni didorong keluar dari domain
spesifiknya dan menjadi kehidupan itu sendiri. Jadi, Martin benar saat
menyatakan bahwa pada masa Yunani Klasik karya seni mengajarkan nilai-nilai
moral yang baik. Namun, ia tidak membedakan antara seni mimetik yang membasis
pada prinsip etik dan membasis pada prinsip representasi. Martin juga keliru mengaitkan
antara pengajaran nilai-nilai moral yang baik dan tujuan perubahan sosial
melalui karya seni.
Perubahan sosial macam apa yang menjadi tujuan Martin
dalam “Penyair sebagai Mesin”? Martin tidak mengancangkan perubahan sosial
radikal secara langsung. Ia berupaya melakukan perubahan pada pada ruang yang
lebih spesifik, persepsi terhadap sejarah sastra (puisi) Indonesia yang dapat
menyulut suatu perubahan radikal. Perubahan persepsi diancangkan dapat memicu
bukan hanya pembaruan lain dan sejarah lain dalam puisi Indonesia, pun secara
lebih luas juga dapat mengimplikasikan guncangan atas struktur kapitalistis
yang berbasis pada produksi yang melahirkan dikotomi produsen-produk, subjek-objek.
Oleh karena itu, “Penyair sebagai Mesin” melancarkan serangan habis-habisan
pada subjek individu sebagai pencipta/produsen. Puisi tanpa produsen, tanpa
subjek, tidak dapat diakarkan pada penciptanya/penyairnya, menghapus statusnya
sebagai produk/objek. Konsekwensi dari penghapusan dikotomi subjek-objek ini
mengakibatkan pemaknaan tidak dapat lagi membasis pada asumsi bahwa puisi adalah
suara penyair dan tidak dapat membasis pada penyingkapan interoritas artitistik
kebahasaan puisi. Tanpa poros yang dapat menstabilkan pemaknaan, pemaknaan
menjadi labil, diletakan dalam ambang dan bersifat kontinjen. Puisi adalah
peristiwa itu sendiri, bukan tiruan peristiwa. Dengan kata lain, puisi adalah
dunia, kehidupan itu sendiri. Pada sisi lain, subjek penyair yang dihapus
membawa serta bersamanya matinya tindakan kreatif – apa yang disebut Martin
sebagai “ideologi kreatif” – dan sumber kreatif yaitu estetik.
Bagi Martin, kreatif ekuivalen dengan kebebasan[vi] yang
eksesnya adalah perang artistik yang dapat menimbukan kekacauan dan
autoritarianisme artistik. Tampaknya, Martin tidak memberikan argumentasi
secara gamblang, bahwa pembunuhan subjek penyair atau subjek kreatif yang dilakukan
bertujuan untuk menghentikan kekacauan artistik dan mendongkel dominasi suatu
rezim artistik tertentu, bahwa romantisisme adalah biang keladi dari segala
kekacauan dan munculnya autoritarianisme artisitik. Martin menganggap romantisisme yang “bekerja dengan inspirasi dan keunikan
pribadi”[vii]
adalah rezim seni yang memisahkan antara seni dan sains. Penolakan atas romantisisme
berarti “menyatukan” kembali antara seni dan sains, menghubungkan kembali
relasi antara poesis dan aisthesis, antara cara membuat-cara
mengevaluasi dan cara meresepsi. Namun, tidak sepenuhnya benar jika menganggap
Martin mengembalikan seni pada rezim representasi mimetik. Bagaimanapun, seni
dalam rezim representasi mimetik adalah model kehidupan common sense, suatu objek, bukan kehidupan itu sendiri. Pada sisi
lain, seni dalam rezim romantisisme/estetik pada dasarnya juga penciptaan suatu
model, model dari persepsi – pikiran dan perasaan – individu atas kehidupan.
Sebaliknya Martin menolak seni sebagai objek yang merupakan model dari
kehidupan atau model dari suatu pribadi. Seni adalah peristiwa, kehidupan itu
sendiri. Dengan mengacu seni sebagai peristiwa atau kehidupan yang terjadi
berkat kecukupan berbagai variabel yang bertemu pada suatu momen relasional
tertentu, seni bersifat rizhomatik. Seni diproduksi secara kolektif, merupakan
hasil dari sekian variabel yang saling berhubungan. Seni tidak lebih dari
umbi-umbian yang di dalam bongkahnya menyimpan hubungan relasional antara
batang, daun, kondisi cuaca, kondisi tanah, peran serta manusia, binatang, dan
lain-lain. Begitu juga dengan manusia penyair yang merupakan arsip dari sekian
hubungan relasional; dengan manusia lain, alam, berbagai bahan bacaan, teknologi,
dan lain-lain. Produk puisi, oleh karenanya, bukan hasil dari suatu
personalitas individual, suatu pribadi, tetapi merupakan hasil dari suatu kerja
kolektif, betapapun tidak kasat matanya kerja kolektif itu. Dengan mengakui
kolektivitas sebagai satu-satunya kondisi yang diperlukan untuk memproduksi,
maka tidak ada satupun variabel atau agen produksi yang dapat disebut dominan, hubungan
struktural yang meletakan relasi antar agen dalam suatu tatanan hirarkis
runtuh, tidak ada lagi dikotomi subjek-objek, tidak ada lagi dikotomi
model-kehidupan, tidak ada lagi dikotomi seni-bukan seni.
“Penyair sebagai Mesin” merupakan praksis dari rezim representasi-etik
yang berupaya membunuh spesifitas seni. “Representasi” diletakan di bawah
coretan di sana, sebab karya seni tidak diacu atau dianggap sebagai model.
Berbeda dengan rezim representasi-etik Plato yang menganggap seni sebagai
tiruan atau model dari alam/kehidupan yang karenanya inferior terhadap
kehidupan, representasi-etik Martin menganggap seni sebagai kehidupan
itu sendiri. Sebagai suatu mode komunikasi, seni dalam representasi-etik
tidak diacu sebagai dunia simulakra, menghilangkan hubungan hirarkis antara
lisan dan tulisan dengan membunuh personalitas yang berbicara. Impersonalisasi
seni sebagai mode komunikasi ini seolah-olah
meruntuhkan penyekatan sensibilitas sosial yang memilah antara mereka yang
berhak berbicara di depan publik dan mereka yang tidak berhak dalam rezim
representasi-etik Plato. Pembunuhan personalitas dalam seni sebagai mode
komunikasi semacam itu bukan berarti tidak ada pembicara atau penulis di balik
lisan atau tulisan. Penulis atau pembicara tetap ada, tetapi bukan
pribadi-pribadi melainkan kolektivitas anonim. Oleh karena itu impersonlisasi
semacam itu hanya seolah-olah
meruntuhkan penyekatan sensibilitas sosial, karena yang sebenarnya adalah membiarkan
bahkan mengafirmasi penyekatan sensibilitas sosial. Impersonalisasi ala Martin
yang meggerek ke atas kolektivitas anonim tersebut seperti semboyan maskapai
penerbangan murah AirAsia “Everyone Can Flay” atau “For Everyone” yang pada
kenyataannya posisi sosial AirAsia diantara maskapai-maskapai ditentukan secara
hirarkis berdasarkan tingkat kesejahteraan penumpang yang dilayani. Oleh karena
itu, saat memberikan komentarnya atas kredo puitik L=A=N=G=U=A=G=E dan OuLiPo Martin
menyebutnya sebagai “kebebasan dalam pembatasan”. Tentu saja keseolah-olahan Martin ini berhubungan
dengan kebenciannya terhadap estetik yang dianggapnya sebagai produk pemikiran
kaum elit dan bersifat ilusif. Sebagaimana Pierre Bourdieu, problem Martin
adalah menganggap estetik sebagai pengetahuan konseptual. Padahal, estetik
merupakan suatu pengalaman khusus, bukan pengalaman sehari-hari, yang tidak
dapat dikonseptualisasi. Estetik bersifat otonom yang hanya mungkin dapat
diketahui-dirasakan melalui dirinya sendiri, kehadirannya sendiri. Oleh karena
itu, estetik juga bersifat subjektif. Subjektivitas estetik ini memungkinkannya
untuk dapat dialami setiap dan semua orang. Jika seseorang tidak merasakan
estetik bukan berarti ia tidak mempunyai pengalaman estetik. Seseorang tidak
merasakan estetik, karena ia “dipaksa” tidak merasakan-memikirkan-menyatakan
pengalaman estetiknya oleh posisi sosial yang ditempatinya, dilarang oleh common sense. Mengasosiasikan estetik
dengan seni adalah kekeliruan fatal. Seni merupakan cara untuk mengubah
pengalaman estetik menjadi objek, mengubah dari yang otonom menjadi heteronom;
mengubah dari yang hanya dapat dijelaskan dengan dirinya sendiri menjadi dapat
diperikan dengan sesuatu yang lain. Seni adalah metafor untuk pengalaman
estetik, bukan pengalaman estetik itu sendiri. Jadi, menganggap pengetahuan
estetik dapat dikonseptualisasi dari suatu karya seni merupakan kesesatan
besar. Menghapus estetik dengan membunuh spesifitas seni adalah lanturan
skizofrenia. Menghapus estetika dengan membunuh spesifitas seni guna mencapai
agenda estetika untuk menjadi semua orang adalah lanturan skizofrenia kuadrat. Estetik
merupakan tenaga pembebasan dan ekspresi kebebasan; kebebasan seni-pembebasan
seni dapat dicapai dengan memformulasi dan mengorganisasi pengalaman estetik
yang otonom sebagai suatu objek yang dapat menala sensibilitas estetik yang
majemuk.
Representasi-etik Martin membunuh
spesifitas seni dengan tidak membedakan antara seni dan bukan seni. Namun Martin
menggeser subjek yang diimitasi dalam seni Plato, dari seni sebagai model alam digeser
ke seni sebagai model relasi sosial. Jika tujuan seni Plato membasis pada
kegunaan praktis, Martin meletakan tujuan seni pada fungsi pedagogis
sebagaimana seni bagi Aristoteles. Namun, jika seni pedagogis Aristoteles
dikonstruksi dengan tekhne yang
merupakan formulasi artistik yang membasis penyekatan sosial hirarkis,
formulasi artistik seni pedagogis Martin membasis pada kebebasan ilusif
liberalism. Seperti kebebasan yang diartikulasikan dengan jelas oleh teori
Sistem Dunia Immanuel Wellerstein; kapitalisme liberal tidak meringkus
kebudayaan menjadi homogen, tetapi menyatukan sistem ekonomi. Tidak
mengherankan jika metode Penulisan Jauh Martin mendasarkan diri pada teori
Pembacaan Jauh Franco Moretti yang meneladani teori Sistem Dunia dalam
memetakan Sastra Dunia dengan membaginya dalam wilayah periferi, semi periferi,
dan pusat, yang sesungguhnya nama lain dari struktur sosial hirarakis yang
dihasilkan oleh mode produksi kapitalis. Lantas, perubahan sosial apa yang
hendak diajarkan Martin dengan gagasan seninya? Sebagaimana teori Pembacaan
Jauh yang mengidentifikasi perbedaan kultural dalam karya sastra sebagai voice, Martin mengajarkan untuk menerima
perbedaan voice dengan mengartikulasikan
voice yang lain. Voice lain yang berasal dari suara pembongkaran budaya yang
dianggap monolitik dan mendominasi. Jadi, dari pada berurusan dengan struktur kekuasaan
yang berada di balik tiktok, instagram, dan blog, ia lebih berurusan dengan
suara curhatan tiktoker, instagramer,
dan blogger.
Sungguh menggelikan menganggap curhatan yang merupakan suara pengalaman jamak sebagai ekspresi
estetika romantisisme[viii].
Hal ini menunjukan bahwa persoalan sebenarnya dalam pengganyangan romantisisme
bukan problem estetik, namun lebih sebagai penemuan asal suara atau penemuan
subyek individu dalam romantisisme. Martin seperti memalu berhala monolitis
individualisme dan menemukan jaringan ekologis di dalamnya yang nyaris tidak dapat
diperikan. Oleh karenanya ia mengganti curhatan
yang menegaskan keberadaan individu monolitis yang unik dengan suara arsip
jaringan relasi ekologis pembentuk individu yang diartikulasikan secara
simultan. Keriuhan suara jaringan ekologis inilah yang direpresentasikan Martin
dalam puisi-puisi mesinnya dan mengimplikasikan korsleting kebahasaan secara
semantik. Korsleting semantik kebahasaan ini mengindikasikan bahwa sebenarnya
Martin berupaya menyatakan dengan tepat apa yang dipikirkan dan dirasakan
sebagaimana para penyair romantik. Namun, jika penyair romantik menggunakan
pemerian metaforis untuk berupaya dengan tepat menyatakan apa yang dipikirkan
dan dirasakan, Martin justru menghancurkan sistem kebahasaan yang menjadi basis
penciptaan metafora dalam upayanya untuk menyatakan apa yang dirasakan dan
dipikirkan dengan tepat. Hancurnya sistem kebahasaan ini adalah ekses dari
kemelimpahan suara jaringan ekologis pembentuk subjek individu yang tidak
terorganisasi sebagai suatu model representasional. Jadi, puisi-puisi mesin
merupakan representasi yang tak terepresentasikan. Problem representasional
kebahasaan yang juga menghinggapi Afrizal Malna yang mencari basah tetesan air
dalam kata “hujan”. Afrizal memang tidak seperti penyair romantik yang
mengintensifkan penggunaan metafor untuk mengatasi retakan antara bahasa dan
dunia, antara kata dan thing. Afrizal
lebih memilih untuk menggambar pola untuk menyampaikan pikiran dan perasaan
dalam puisinya. Korsleting semantik dalam puisi-puisi Afrizal yang dikompensasi
dengan penyusunan pola ornamental semacam arabesque
membuatnya masih mungkin untuk dapat dipersepsi sebagai “gambar” ritmik
non-figuratif. Namun, korsleting semantik sama sekali tidak dikompensasi dalam
puisi-puisi Martin, akibatnya puisi-puisinya betul-betul suatu kekacauan besar,
tidak dapat dipersepsi. (Jika Martin tidak ikut campur untuk menyunting karya machine learning mungkin kita justru
menemukan suatu pola dalam puisi-puisi tersebut).
Bagaimanapun, puisi atau karya seni apapun adalah juga
mode komunikasi, puisi tidak mungkin hanya berbicara kepada dirinya sendiri.
Tidak bekerjanya puisi-puisi mesin sebagai mode komunikasi pada akhirnya hanya
dapat dipulihkan dengan testimoni proses kreatif (jika tidak suka dengan
istilah “kreatif” kita dapat mengganti “proses kreatif” dengan latar belakang
dan cara produksi puisi-puisi tersebut). Testimoni proses kreatif tersebut –
kita dapat membacanya, terutama, pada bagian Bab I, Bab II, dan Bab VI dalam
“Penyair sebagai Mesin” – berlaku seperti brosur manual cara “menggunakan” puisi-puisi mesin tersebut. Konsekwensi
dari penggantian suara puisi dengan suara testimoni kreatif yang prosais adalah
penyeragaman pemaknaan atas puisi-puisi mesin, secara lebih ekstrem kita bisa
menyebut penindasan atas khalayak pembaca. Pada sisi lain, ketakterpersepsian
puisi-puisi mesin tersebut membuatnya gagal untuk dapat dihubungkan dengan
testimoni kreatif yang sesungguhnya merupakan mesin representasi, poesis. Putusnya relasi antara poesis dan aisthesis, antara mesin representasi dan representasi ini ironisnya
adalah salah satu karakter pokok romantisisme yang dihujat Martin
habis-habisan. Namun, runtuhnya hubungan antara bahasa dan referen
“alamiah”nya, basis dari putusnya relasi antara poesis dan aisthesis,
ditangani secara ekstrem oleh Martin dengan mencampakan sistem representasional
kebahasaan. Padahal, bahasa selalu sudah mengandung komunitas kolektif di
dalamnya. Artinya, bagaimana mungkin berbicara tentang dan kepada
kelektif(vitas) (jaringan ekologis) di luar rumah besar kehidupan kolektif,
yakni bahasa? Aktivisme seni seringkali menjadi jawaban dari problem
kesusastraan atau seni macam ini. Namun, kita tidak sedang membahas gerakan
seni yang menambahkan satu dimensi (kedalaman) pada karakter sastra/seni dua
dimensi atau flat (panjang dan lebar)
untuk menirukan dimensi kehidupan. Meskipun demikian, bisa kita katakan bahwa
“Penyair sebagai Mesin” merupakan model dari aktivisme seni, simulakra
aktivisme seni dengan dua dimensi puisi ditambah satu dimensi testimoni
kreatif.
Sejak dari mula, saat mencanangkan agenda estetik untuk semua orang, “Panyair sebagai Mesin” telah menunjukan gejala skizofrenia. Untuk apa mengagendakan estetik untuk semua orang jika estetik memang untuk semua orang, kalau bukan karena delusi. Tentu saja, gejala skizofrenia paling parah ditunjukan dengan penggunaan model pedagogi mimetik tapi menolak menerapkan prinsip representasi yang menjadi jantung dari pedagogi mimetik. Penolakan seni sebagai objek yang membawa serta bersamanya kehancuran subjek menjerumuskan seni ke dalam retakan menjurang antara bahasa dan dunia, antara kata dan thing. Hujatan atas romantisisme yang menangani putusnya relasi antara poesis dan aisthesis yang merupakan konsekwensi dari runtuhnya hubungan “alamiah” antara kata dan thing, dengan mengintensifkan upaya kebahasaan untuk membuat pernyataan dengan tepat melalui penciptaan metafora, hanya mengarah pada labirin buntu dan menghasilkan suara racau. Puisi-puisi mesin yang tidak dapat dipersepsi tersebut, agar dapat berbicara kepada khalayaknya, pada akhirnya, memerlukan juru bicara yang dapat melacak kembali dan menyajikan kesejarahannya yang merupakan suatu testimoni kratif. Ironisnya, subjek pencipta yang dibunuh Martin atas nama kesetaraan kolektif, hidup kembali sebagai juru bicara yang otoriter. Agenda estetik untuk semua orang ternyata tidak lebih suatu racauan skizofernis.
[i] Martin Suryajaya, Penyair
sebagai Mesin (2023), hal. 18.
[ii] Ibid. hal. 15.
[iii] https://www.froyonion.com/news/kreatif/mengintip-proses-kreatif-puisi-dan-ai-dalam-buku-penyair-sebagai-mesin
[iv] https://indoprogress.com/2016/02/dorongan-ke-arah-estetika-partisipatoris/
[v] Pemilahan seni mimetik ke dalam rezim etik dan rezim representasi
ini adalah salah satu konsep kunci yang diajukan oleh Jacques Ranciere untuk
membahas seni dalam perspektif kesejarahan. Baca Jacques Ranciere, antara lain,
Dissensus: On Politics and Aesthetic
(2010)
[vi] Dalam penyelidikan Raymond Williams, kreativitas tidak ekuivalen
dengan kebebasan sebebas-bebasnya. Kreativitas selalu saja merupakan upaya
pengorganisasian pengalaman dan persepsi atas kehidupan sebagai model untuk
dapat dikomunikasikan. Pengorganisasian sendiri merupakan cara
menginterpertasikan kebudayaan, baik pola-pola kebudayaan dalam sejarah maupun kebudayaan
aktual yang kita terlibat di dalamnya. Pada konteks seni, perorganisasian ini
merupakan cara menginterpertasi sejarah artistik dan konsepsi artistik yang berlaku.
Baca Raymond Williams, The Long
Revolution (2011), terutama Bab I “The Creative Mind”.
[vii] Martin Suryajaya, Penyair sebagai Mesin, hal. 417.
[viii] Ibid. hal.417 – 418.