Racauan Skizofrenis Penyair sebagai Mesin - Dwi Pranoto

@kontributor 1/14/2024

Racauan Skizofrenis Penyair sebagai Mesin

Dwi Pranoto 

Yang bukan-penyair tidak ambil bagian

(Chairil lain)

 

 


Kita mulai dari sini, maksud dari penulisan “Penyair sebagai Mesin”, intensi penulisnya, yakni “agenda estetik untuk menjadi semua orang . . .”[i]. Guna mencapai tujuannya, Martin Suryajaya menggunakan metode kritis dengan “menghadirkan gangguan atas praktik konvensional menulis puisi yang menempatkan aku-penyair sebagai pusat dalam laku kreatif. Penciptaan sebagai laku pribadi berdaulat yang memobilisasi pengalaman sudut pandang orang pertamanya yang unik dan tercermin dalam suatu gaya sastrawi yang bersifat khas – inilah konsepsi penciptaan yang mau diganggu . . .”[ii]. Pemrosesan strategi kritis sebagai praktik secara teknis dijalankan dengan apa yang disebut ‘rakitan kognitif’ antara manusia dan mesin untuk memproduksi puisi. Dengan demikian, puisi-puisi dalam “Penyair sebagai Mesin” merupakan perwujudan secara material dari startegi kritis yang di dalamnya bersemayam intensi penulisnya. Intensi penulis sendiri yang bersemayam dalam karya menciptakan konsekwensi, dampak pada pembaca setelah membaca puisi-puisi dalam “Penyair sebagai Mesin”. Khalayak pembaca didorong untuk menentang dominasi ideologi kreativitas sebagaimana ditunjukan oleh puisi-puisi. Puisi-puisi dalam “Penyair sebagai Mesin” oleh karenanya bisa disebut puisi-puisi pedagogis. Martin sendiri dalam suatu kesempatan acara peluncuran bukunya tersebut menyatakan bahwa “Penyair sebagai Mesin” menawarkan suatu pendidikan estetika[iii].

            Agenda estetik atau pendidikan estetika yang meletakan karya seni sebagai instrumen perubahan sosial yang merupakan intensi Martin dalam “Penyair sebagai Mesin”, tampaknya, adalah praktik eskperimentasi dari gagasannya tentang estetika partisipatoris. Dalam “Dorongan ke Arah Estetika Partisipatoris”[iv] Martin dengan jelas mendasarkan pendidikan estetikanya pada paradigma pedagogi seni mimetik yang menautkan antara karya seni dan kehidupan di luar karya seni, relasi kausalitas antara karya seni dan khalayaknya, sebab dan akibat, intensi dan konsekwensi. Sebaliknya, Martin dengan sengit menyerang estetika romantik dengan menuduhnya sebagai apolitis atau netral (Martin menyebutnya disinterested atau ‘tanpa pamrih’). Nah, tulisan ini akan berupaya untuk menyingkapkan hubungan antara pedagogi seni mimetik dan estetika yang mengidap simtom skizofrenia dalam kaitan antara pemikiran, penerapan, dan tujuan “Penyair sebagai Mesin”.

            Sebelum kita menyingkapkan simtom skizofrenia, kerusakan hubungan antara pedagogi seni mimetik, penerapan, serta tujuannya; kerusakan hubungan antara pemikiran/tindakan dan kenyataan, kita sebaiknya terlebih dahulu menjernihkan kekacauan bahasan Martin tentang pedagogi seni mimetik dalam “Dorongan ke Arah Estetika Partisipatoris”. Seni mimetik, baik Plato maupun Aristoteles, tidak ditujukan untuk perubahan sosial seperti yang dinyatakan Martin. Sebaliknya, pedagogi seni mimetik lebih ditujukan untuk memelihara ketertiban yang didasarkan pada stratifikasi sosial yang berlaku pada masa itu. Pemilahan antara kelompok elit dan kelompok jelata yang mengimplikasikan penyekatan ruang-waktu sosial antara urusan publik dan privat bersama pengaturan mengenai apa yang dapat dipikirkan dan tidak dapat dipikirkan, apa yang boleh dirasakan dan apa yang tidak boleh dirasakan. Seni mimetik berfungsi sebagai police untuk memastikan distribusi jenis-jenis pemerasaan dan pemikiran yang diatribusikan pada penyekatan ruang-waktu sosial terus berlaku sebagai common sense.

Ada dua tipe seni mimetik yang berfungsi sebagai police pada masa Yunani klasik, tipe seni mimetik yang didasarkan pada prinsip representasi dan tipe seni mimetik yang didadasarkan pada prinsip etik[v]. Tipe seni mimetik dengan prinsip representasi menganggap karya seni punya fungsi pedagogis. Karya seni merupakan model dan menjadi medium bagi khalayak untuk mengenali vile (kejahatan) dan virtue (kebajikan), berfungsi sebagai kaca benggala yang dapat membimbing khalayak agar berperilaku konform pada kaidah dan norma sosial yang berlaku. Karya seni pada tipe ini dievaluasi berdasarkan cara membuat yang sekaligus cara mempersepsi, bertautnya relasi antara poiesis dan aisthesis. Sedangkan tipe seni mimetik dengan prinsip etik lebih menuntut karya seni mempunyai kegunaan langsung, bukan sebagai model atau simulakra tindakan, oleh karena itu karya seni tidak mempunyai fungsi pedagogis. Karya seni sebagai model atau simulakra dianggap dapat mengimplikasikan ketidakjelasan subyek yang bertindak, mengacaukan penyekatan ruang-waktu sosial dan distribusi pemerasaan di dalamnya. Dampak dari seni mimetik-etik yang mengevaluasi karya seni berdasarkan kegunaan langsungnya adalah kematian seni; karya seni didorong keluar dari domain spesifiknya dan menjadi kehidupan itu sendiri. Jadi, Martin benar saat menyatakan bahwa pada masa Yunani Klasik karya seni mengajarkan nilai-nilai moral yang baik. Namun, ia tidak membedakan antara seni mimetik yang membasis pada prinsip etik dan membasis pada prinsip representasi. Martin juga keliru mengaitkan antara pengajaran nilai-nilai moral yang baik dan tujuan perubahan sosial melalui karya seni.

Perubahan sosial macam apa yang menjadi tujuan Martin dalam “Penyair sebagai Mesin”? Martin tidak mengancangkan perubahan sosial radikal secara langsung. Ia berupaya melakukan perubahan pada pada ruang yang lebih spesifik, persepsi terhadap sejarah sastra (puisi) Indonesia yang dapat menyulut suatu perubahan radikal. Perubahan persepsi diancangkan dapat memicu bukan hanya pembaruan lain dan sejarah lain dalam puisi Indonesia, pun secara lebih luas juga dapat mengimplikasikan guncangan atas struktur kapitalistis yang berbasis pada produksi yang melahirkan dikotomi produsen-produk, subjek-objek. Oleh karena itu, “Penyair sebagai Mesin” melancarkan serangan habis-habisan pada subjek individu sebagai pencipta/produsen. Puisi tanpa produsen, tanpa subjek, tidak dapat diakarkan pada penciptanya/penyairnya, menghapus statusnya sebagai produk/objek. Konsekwensi dari penghapusan dikotomi subjek-objek ini mengakibatkan pemaknaan tidak dapat lagi membasis pada asumsi bahwa puisi adalah suara penyair dan tidak dapat membasis pada penyingkapan interoritas artitistik kebahasaan puisi. Tanpa poros yang dapat menstabilkan pemaknaan, pemaknaan menjadi labil, diletakan dalam ambang dan bersifat kontinjen. Puisi adalah peristiwa itu sendiri, bukan tiruan peristiwa. Dengan kata lain, puisi adalah dunia, kehidupan itu sendiri. Pada sisi lain, subjek penyair yang dihapus membawa serta bersamanya matinya tindakan kreatif – apa yang disebut Martin sebagai “ideologi kreatif” – dan sumber kreatif yaitu estetik.

Bagi Martin, kreatif ekuivalen dengan kebebasan[vi] yang eksesnya adalah perang artistik yang dapat menimbukan kekacauan dan autoritarianisme artistik. Tampaknya, Martin tidak memberikan argumentasi secara gamblang, bahwa pembunuhan subjek penyair atau subjek kreatif yang dilakukan bertujuan untuk menghentikan kekacauan artistik dan mendongkel dominasi suatu rezim artistik tertentu, bahwa romantisisme adalah biang keladi dari segala kekacauan dan munculnya autoritarianisme artisitik. Martin menganggap romantisisme yang “bekerja dengan inspirasi dan keunikan pribadi”[vii] adalah rezim seni yang memisahkan antara seni dan sains. Penolakan atas romantisisme berarti “menyatukan” kembali antara seni dan sains, menghubungkan kembali relasi antara poesis dan aisthesis, antara cara membuat-cara mengevaluasi dan cara meresepsi. Namun, tidak sepenuhnya benar jika menganggap Martin mengembalikan seni pada rezim representasi mimetik. Bagaimanapun, seni dalam rezim representasi mimetik adalah model kehidupan common sense, suatu objek, bukan kehidupan itu sendiri. Pada sisi lain, seni dalam rezim romantisisme/estetik pada dasarnya juga penciptaan suatu model, model dari persepsi – pikiran dan perasaan – individu atas kehidupan. Sebaliknya Martin menolak seni sebagai objek yang merupakan model dari kehidupan atau model dari suatu pribadi. Seni adalah peristiwa, kehidupan itu sendiri. Dengan mengacu seni sebagai peristiwa atau kehidupan yang terjadi berkat kecukupan berbagai variabel yang bertemu pada suatu momen relasional tertentu, seni bersifat rizhomatik. Seni diproduksi secara kolektif, merupakan hasil dari sekian variabel yang saling berhubungan. Seni tidak lebih dari umbi-umbian yang di dalam bongkahnya menyimpan hubungan relasional antara batang, daun, kondisi cuaca, kondisi tanah, peran serta manusia, binatang, dan lain-lain. Begitu juga dengan manusia penyair yang merupakan arsip dari sekian hubungan relasional; dengan manusia lain, alam, berbagai bahan bacaan, teknologi, dan lain-lain. Produk puisi, oleh karenanya, bukan hasil dari suatu personalitas individual, suatu pribadi, tetapi merupakan hasil dari suatu kerja kolektif, betapapun tidak kasat matanya kerja kolektif itu. Dengan mengakui kolektivitas sebagai satu-satunya kondisi yang diperlukan untuk memproduksi, maka tidak ada satupun variabel atau agen produksi yang dapat disebut dominan, hubungan struktural yang meletakan relasi antar agen dalam suatu tatanan hirarkis runtuh, tidak ada lagi dikotomi subjek-objek, tidak ada lagi dikotomi model-kehidupan, tidak ada lagi dikotomi seni-bukan seni.

“Penyair sebagai Mesin” merupakan praksis dari rezim representasi-etik yang berupaya membunuh spesifitas seni. “Representasi” diletakan di bawah coretan di sana, sebab karya seni tidak diacu atau dianggap sebagai model. Berbeda dengan rezim representasi-etik Plato yang menganggap seni sebagai tiruan atau model dari alam/kehidupan yang karenanya inferior terhadap kehidupan, representasi-etik Martin menganggap seni sebagai kehidupan itu sendiri. Sebagai suatu mode komunikasi, seni dalam representasi-etik tidak diacu sebagai dunia simulakra, menghilangkan hubungan hirarkis antara lisan dan tulisan dengan membunuh personalitas yang berbicara. Impersonalisasi seni sebagai mode komunikasi ini seolah-olah meruntuhkan penyekatan sensibilitas sosial yang memilah antara mereka yang berhak berbicara di depan publik dan mereka yang tidak berhak dalam rezim representasi-etik Plato. Pembunuhan personalitas dalam seni sebagai mode komunikasi semacam itu bukan berarti tidak ada pembicara atau penulis di balik lisan atau tulisan. Penulis atau pembicara tetap ada, tetapi bukan pribadi-pribadi melainkan kolektivitas anonim. Oleh karena itu impersonlisasi semacam itu hanya seolah-olah meruntuhkan penyekatan sensibilitas sosial, karena yang sebenarnya adalah membiarkan bahkan mengafirmasi penyekatan sensibilitas sosial. Impersonalisasi ala Martin yang meggerek ke atas kolektivitas anonim tersebut seperti semboyan maskapai penerbangan murah AirAsia “Everyone Can Flay” atau “For Everyone” yang pada kenyataannya posisi sosial AirAsia diantara maskapai-maskapai ditentukan secara hirarkis berdasarkan tingkat kesejahteraan penumpang yang dilayani. Oleh karena itu, saat memberikan komentarnya atas kredo puitik L=A=N=G=U=A=G=E dan OuLiPo Martin menyebutnya sebagai “kebebasan dalam pembatasan”. Tentu saja keseolah-olahan Martin ini berhubungan dengan kebenciannya terhadap estetik yang dianggapnya sebagai produk pemikiran kaum elit dan bersifat ilusif. Sebagaimana Pierre Bourdieu, problem Martin adalah menganggap estetik sebagai pengetahuan konseptual. Padahal, estetik merupakan suatu pengalaman khusus, bukan pengalaman sehari-hari, yang tidak dapat dikonseptualisasi. Estetik bersifat otonom yang hanya mungkin dapat diketahui-dirasakan melalui dirinya sendiri, kehadirannya sendiri. Oleh karena itu, estetik juga bersifat subjektif. Subjektivitas estetik ini memungkinkannya untuk dapat dialami setiap dan semua orang. Jika seseorang tidak merasakan estetik bukan berarti ia tidak mempunyai pengalaman estetik. Seseorang tidak merasakan estetik, karena ia “dipaksa” tidak merasakan-memikirkan-menyatakan pengalaman estetiknya oleh posisi sosial yang ditempatinya, dilarang oleh common sense. Mengasosiasikan estetik dengan seni adalah kekeliruan fatal. Seni merupakan cara untuk mengubah pengalaman estetik menjadi objek, mengubah dari yang otonom menjadi heteronom; mengubah dari yang hanya dapat dijelaskan dengan dirinya sendiri menjadi dapat diperikan dengan sesuatu yang lain. Seni adalah metafor untuk pengalaman estetik, bukan pengalaman estetik itu sendiri. Jadi, menganggap pengetahuan estetik dapat dikonseptualisasi dari suatu karya seni merupakan kesesatan besar. Menghapus estetik dengan membunuh spesifitas seni adalah lanturan skizofrenia. Menghapus estetika dengan membunuh spesifitas seni guna mencapai agenda estetika untuk menjadi semua orang adalah lanturan skizofrenia kuadrat. Estetik merupakan tenaga pembebasan dan ekspresi kebebasan; kebebasan seni-pembebasan seni dapat dicapai dengan memformulasi dan mengorganisasi pengalaman estetik yang otonom sebagai suatu objek yang dapat menala sensibilitas estetik yang majemuk.

Representasi-etik Martin membunuh spesifitas seni dengan tidak membedakan antara seni dan bukan seni. Namun Martin menggeser subjek yang diimitasi dalam seni Plato, dari seni sebagai model alam digeser ke seni sebagai model relasi sosial. Jika tujuan seni Plato membasis pada kegunaan praktis, Martin meletakan tujuan seni pada fungsi pedagogis sebagaimana seni bagi Aristoteles. Namun, jika seni pedagogis Aristoteles dikonstruksi dengan tekhne yang merupakan formulasi artistik yang membasis penyekatan sosial hirarkis, formulasi artistik seni pedagogis Martin membasis pada kebebasan ilusif liberalism. Seperti kebebasan yang diartikulasikan dengan jelas oleh teori Sistem Dunia Immanuel Wellerstein; kapitalisme liberal tidak meringkus kebudayaan menjadi homogen, tetapi menyatukan sistem ekonomi. Tidak mengherankan jika metode Penulisan Jauh Martin mendasarkan diri pada teori Pembacaan Jauh Franco Moretti yang meneladani teori Sistem Dunia dalam memetakan Sastra Dunia dengan membaginya dalam wilayah periferi, semi periferi, dan pusat, yang sesungguhnya nama lain dari struktur sosial hirarakis yang dihasilkan oleh mode produksi kapitalis. Lantas, perubahan sosial apa yang hendak diajarkan Martin dengan gagasan seninya? Sebagaimana teori Pembacaan Jauh yang mengidentifikasi perbedaan kultural dalam karya sastra sebagai voice, Martin mengajarkan untuk menerima perbedaan voice dengan mengartikulasikan voice yang lain. Voice lain yang berasal dari suara pembongkaran budaya yang dianggap monolitik dan mendominasi. Jadi, dari pada berurusan dengan struktur kekuasaan yang berada di balik tiktok, instagram, dan blog, ia lebih berurusan dengan suara curhatan tiktoker, instagramer, dan blogger.

Sungguh menggelikan menganggap curhatan yang merupakan suara pengalaman jamak sebagai ekspresi estetika romantisisme[viii]. Hal ini menunjukan bahwa persoalan sebenarnya dalam pengganyangan romantisisme bukan problem estetik, namun lebih sebagai penemuan asal suara atau penemuan subyek individu dalam romantisisme. Martin seperti memalu berhala monolitis individualisme dan menemukan jaringan ekologis di dalamnya yang nyaris tidak dapat diperikan. Oleh karenanya ia mengganti curhatan yang menegaskan keberadaan individu monolitis yang unik dengan suara arsip jaringan relasi ekologis pembentuk individu yang diartikulasikan secara simultan. Keriuhan suara jaringan ekologis inilah yang direpresentasikan Martin dalam puisi-puisi mesinnya dan mengimplikasikan korsleting kebahasaan secara semantik. Korsleting semantik kebahasaan ini mengindikasikan bahwa sebenarnya Martin berupaya menyatakan dengan tepat apa yang dipikirkan dan dirasakan sebagaimana para penyair romantik. Namun, jika penyair romantik menggunakan pemerian metaforis untuk berupaya dengan tepat menyatakan apa yang dipikirkan dan dirasakan, Martin justru menghancurkan sistem kebahasaan yang menjadi basis penciptaan metafora dalam upayanya untuk menyatakan apa yang dirasakan dan dipikirkan dengan tepat. Hancurnya sistem kebahasaan ini adalah ekses dari kemelimpahan suara jaringan ekologis pembentuk subjek individu yang tidak terorganisasi sebagai suatu model representasional. Jadi, puisi-puisi mesin merupakan representasi yang tak terepresentasikan. Problem representasional kebahasaan yang juga menghinggapi Afrizal Malna yang mencari basah tetesan air dalam kata “hujan”. Afrizal memang tidak seperti penyair romantik yang mengintensifkan penggunaan metafor untuk mengatasi retakan antara bahasa dan dunia, antara kata dan thing. Afrizal lebih memilih untuk menggambar pola untuk menyampaikan pikiran dan perasaan dalam puisinya. Korsleting semantik dalam puisi-puisi Afrizal yang dikompensasi dengan penyusunan pola ornamental semacam arabesque membuatnya masih mungkin untuk dapat dipersepsi sebagai “gambar” ritmik non-figuratif. Namun, korsleting semantik sama sekali tidak dikompensasi dalam puisi-puisi Martin, akibatnya puisi-puisinya betul-betul suatu kekacauan besar, tidak dapat dipersepsi. (Jika Martin tidak ikut campur untuk menyunting karya machine learning mungkin kita justru menemukan suatu pola dalam puisi-puisi tersebut).

Bagaimanapun, puisi atau karya seni apapun adalah juga mode komunikasi, puisi tidak mungkin hanya berbicara kepada dirinya sendiri. Tidak bekerjanya puisi-puisi mesin sebagai mode komunikasi pada akhirnya hanya dapat dipulihkan dengan testimoni proses kreatif (jika tidak suka dengan istilah “kreatif” kita dapat mengganti “proses kreatif” dengan latar belakang dan cara produksi puisi-puisi tersebut). Testimoni proses kreatif tersebut – kita dapat membacanya, terutama, pada bagian Bab I, Bab II, dan Bab VI dalam “Penyair sebagai Mesin” – berlaku seperti brosur manual cara “menggunakan” puisi-puisi mesin tersebut. Konsekwensi dari penggantian suara puisi dengan suara testimoni kreatif yang prosais adalah penyeragaman pemaknaan atas puisi-puisi mesin, secara lebih ekstrem kita bisa menyebut penindasan atas khalayak pembaca. Pada sisi lain, ketakterpersepsian puisi-puisi mesin tersebut membuatnya gagal untuk dapat dihubungkan dengan testimoni kreatif yang sesungguhnya merupakan mesin representasi, poesis. Putusnya relasi antara poesis dan aisthesis, antara mesin representasi dan representasi ini ironisnya adalah salah satu karakter pokok romantisisme yang dihujat Martin habis-habisan. Namun, runtuhnya hubungan antara bahasa dan referen “alamiah”nya, basis dari putusnya relasi antara poesis dan aisthesis, ditangani secara ekstrem oleh Martin dengan mencampakan sistem representasional kebahasaan. Padahal, bahasa selalu sudah mengandung komunitas kolektif di dalamnya. Artinya, bagaimana mungkin berbicara tentang dan kepada kelektif(vitas) (jaringan ekologis) di luar rumah besar kehidupan kolektif, yakni bahasa? Aktivisme seni seringkali menjadi jawaban dari problem kesusastraan atau seni macam ini. Namun, kita tidak sedang membahas gerakan seni yang menambahkan satu dimensi (kedalaman) pada karakter sastra/seni dua dimensi atau flat (panjang dan lebar) untuk menirukan dimensi kehidupan. Meskipun demikian, bisa kita katakan bahwa “Penyair sebagai Mesin” merupakan model dari aktivisme seni, simulakra aktivisme seni dengan dua dimensi puisi ditambah satu dimensi testimoni kreatif.  

Sejak dari mula, saat mencanangkan agenda estetik untuk semua orang, “Panyair sebagai Mesin” telah menunjukan gejala skizofrenia. Untuk apa mengagendakan estetik untuk semua orang jika estetik memang untuk semua orang, kalau bukan karena delusi. Tentu saja, gejala skizofrenia paling parah ditunjukan dengan penggunaan model pedagogi mimetik tapi menolak menerapkan prinsip representasi yang menjadi jantung dari pedagogi mimetik. Penolakan seni sebagai objek yang membawa serta bersamanya kehancuran subjek menjerumuskan seni ke dalam retakan menjurang antara bahasa dan dunia, antara kata dan thing. Hujatan atas romantisisme yang menangani putusnya relasi antara poesis dan aisthesis yang merupakan konsekwensi dari runtuhnya hubungan “alamiah” antara kata dan thing, dengan mengintensifkan upaya kebahasaan untuk membuat pernyataan dengan tepat melalui penciptaan metafora, hanya mengarah pada labirin buntu dan menghasilkan suara racau. Puisi-puisi mesin yang tidak dapat dipersepsi tersebut, agar dapat berbicara kepada khalayaknya, pada akhirnya, memerlukan juru bicara yang dapat melacak kembali dan menyajikan kesejarahannya yang merupakan suatu testimoni kratif. Ironisnya, subjek pencipta yang dibunuh Martin atas nama kesetaraan kolektif, hidup kembali sebagai juru bicara yang otoriter. Agenda estetik untuk semua orang ternyata tidak lebih suatu racauan skizofernis.               

           



[i] Martin Suryajaya, Penyair sebagai Mesin (2023), hal. 18.

[ii] Ibid. hal. 15.

[iii] https://www.froyonion.com/news/kreatif/mengintip-proses-kreatif-puisi-dan-ai-dalam-buku-penyair-sebagai-mesin

[iv] https://indoprogress.com/2016/02/dorongan-ke-arah-estetika-partisipatoris/

[v] Pemilahan seni mimetik ke dalam rezim etik dan rezim representasi ini adalah salah satu konsep kunci yang diajukan oleh Jacques Ranciere untuk membahas seni dalam perspektif kesejarahan. Baca Jacques Ranciere, antara lain, Dissensus: On Politics and Aesthetic (2010)

[vi] Dalam penyelidikan Raymond Williams, kreativitas tidak ekuivalen dengan kebebasan sebebas-bebasnya. Kreativitas selalu saja merupakan upaya pengorganisasian pengalaman dan persepsi atas kehidupan sebagai model untuk dapat dikomunikasikan. Pengorganisasian sendiri merupakan cara menginterpertasikan kebudayaan, baik pola-pola kebudayaan dalam sejarah maupun kebudayaan aktual yang kita terlibat di dalamnya. Pada konteks seni, perorganisasian ini merupakan cara menginterpertasi sejarah artistik dan konsepsi artistik yang berlaku. Baca Raymond Williams, The Long Revolution (2011), terutama Bab I “The Creative Mind”. 

[vii] Martin Suryajaya, Penyair sebagai Mesin, hal. 417.

[viii] Ibid. hal.417 – 418.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »