Sastra Perihal Dapur - Wahyu Kris

@kontributor 1/07/2024

Sastra Perihal Dapur

Wahyu Kris


 

Setiap jengkal semesta bisa dijadikan latar tempat sebuah cerita. Setiap tempat punya cerita khasnya masing-masing. Namun, di tangan pengarang setiap tempat bisa memiliki cerita khas sekaligus cerita lain. Hibrida cerita khas dan cerita lain itulah yang membuat setiap latar unik sekaligus tak terbatas.

Salah satu jengkal semesta itu adalah dapur. Dapur identik dengan tempat memasak. Di tangan pengarang, dapur bukan tempat mengolah masakan semata. Dapur menyerupai ruang yang memiliki banyak jendela. Pembaca bisa mengolah masakan sembari mencicipi cerita-cerita lain lewat jendela itu. Mulai dari cerita romansa yang bercabang-cabang ujungnya hingga cerita silam yang berpilin-pilin akarnya.

Tulisan ini mencoba menyandingkan dua cerpen yang secara eksplisit menggunakan dapur sebagai salah satu latarnya. Dua cerpen tersebut adalah Selendang Bersulam Putih (SBP) karya Retna Ariastuti dan Tak Mungkin Yon (TMY) karya Jeli Manalu.

Dapur di kedua cerpen di atas turut membangun alur cerita dengan cara berbeda. SBP memilih dapur dengan jendela terbuka. Alur memasak makanan sejajar dengan alur yang terjadi pada masa silam. TMY memilih dapur dengan jendela tertutup, tapi kacanya bening. Alur memasak sejajar dengan alur dalam imaji tokohnya.

SBP bercerita tentang sepasang menantu Zubaedah dan Yuni. Latar tempatnya di dapur. Keduanya sedang memasak sayur pakis sembari mengalirkan kisah masa silam. Pemilihan dapur sebagai latar tentu bukan asal pilih. Bukan sekadar mencari tempat yang asyik untuk menghadirkan percakapan.

Cerpen SBP ini menyajikan hibrida kuat antara gagasan utama dan cerita dapur. Apa yang terjadi di dapur dipilih secara cermat. Kronologi cerita dapur sejajar dengan kisah masa silam sehingga menghasilkan persilangan saling mengutuhkan. Pembagian potongan cerita dapur proporsional dengan irisan kisah masa silam. Maka, jadilah sajian cerpen yang lezat. Porsi dan rasanya pas.

Di dapur, Zubaedah langsung membersihkan daun pakis. Satu per satu batang pakis              diusap dan dibersihkan dan dialiri air kran yang mengucur.

Kata ‘dapur’ membuka paragraf di mana dapur menjadi pengantar ke masa silam. Apa yang terjadi di dapur sejajar dengan peristiwa masa silam. Jika proses memasak pakis dan alur kisah masa silam Zubaedah dipotong-potong, jadilah tiga potongan serasa searoma. Aliran peristiwanya pun gradual sebagaimana proses membersihkan pakis: ‘diusap’, ‘dibersihkan’, dan ‘dialiri air’. ‘Diusap’ merujuk pada cara membersihkan kotoran-kotoran ringan. ‘Dibersihkan’ digunakan untuk menghilangkan bagian yang tidak diperlukan. Lalu, diakhiri dengan ‘dialiri air’ untuk menuntaskan proses membersihkan.

Tiga kesejajaran dan gradasi peristiwa itu dapat kita amati di sekujur potongan cerita.

Potongan pertama adalah “Mak, berapa banyak lengkuasnya?” sejajar dengan “Kenapa Amak tadi menangis di kamar?”

Potongan pembuka ini menempatkan lengkuas sebagai bumbu pertama yang mesti disiapkan. Ukurannya boleh dikira-kira, tapi perlu menggunakan perasaan agar menghasilkan rasa lezat. Kisah masa silam Zubaedah pun tak bisa dibuka dengan sembarang pertanyaan. Yuni berhasil menemukan pertanyaan pembuka dengan ‘kenapa’. Kata tanya ini pas karena bisa mengarahkan Zubaedah menelusuri sebab-musabab peristiwa masa silam. ‘Lengkuas’ sejajar dengan ‘kenapa’. Lengkuas menentukan aroma masakan. Kenapa menentukan aroma peristiwa.

“Apakah santannya sudah cukup, Mak?” sejajar dengan “Jadi, bagaimana cerita                       Bagindo Rasyid yang katanya lari tadi, Mak?”

Potongan kedua ini meletakkan ‘santan’ dan ‘cerita’ dalam posisi sejajar. Keduanya berbicara tentang saripati. Ibarat tikungan tajam yang menentukan keunikan pada rasa masakan dan alur cerita. Takaran santan yang pas menjanjikan rasa gurih gulai pakis. Kemana Bagindo Rasyid lari memastikan nasib Zubaedah pasca konflik dengan Belanda.

“Minumlah dulu, Mak,” kata Yuni sambil menyodorkan air putih sejajar dengan                       Batang pakis itulah yang menjadi makanan sehari-hari waktu itu.

Kata kerja ‘minum’ sejajar dengan ‘makan(an)’. ‘Makan’ pada masa silam sinambung dengan ‘minum’ pada masa kini. Kata ‘pakis’ berada di persimpangan masa kini dan masa silam. Batang pakis masa silam tentu tak segurih gulai pakis masa kini. Pun dengan kisah Zubaedah masa silam tak segurih masa kini. Namun, kedua pakis dari dua masa itu berjumpa. Pakis menjadi titik temu bagi Zubaedah dengan masa silamnya. Di situlah keseluruhan alur cerpen SBP ini bermuara.

Perihal dapur juga ada pada cerpen Tak Mungkin Yon (TMY). Karya Jeli Manalu ini menggunakan dapur sebagai latar dimana kesetiaan dibentuk sekaligus diremukkan. Dapur menjadi saksi bagaimana seorang perempuan bernama Hirima mencoba bersetia kepada suaminya. Sang suami, Jo, ternyata tak menyadari betapa besar kesetiaan sang istri. Juga tak disadarinya betapa sang istri ingin merdeka seperti Yon—seorang pastor yang dulu pernah menyinggahi hati Hirima.

Sekitar 07.00 ia merasa bangga bisa menyiapkan sarapan untuk Jo. Sore hari Hirima             berpikir keras, berusaha bikin masakan baru yang ia pelajari dari majalah.

Hari lain Jo mengirim pesan agar Hirima tak perlu masak makan malam untuknya               karena diundang teman kantor … .

Di sini terbaca bagaimana dapur menjadi ruang memasak rasa. Hirima membumbuinya dengan kesetiaan. Namun, apa daya, Jo membiarkan kesetiaan Hirima membeku di dapur. Lewat perilaku Jo, cerpen TMY ini mengaduk-aduk kesetiaan dengan pengkhianatan. Dapur tak lebih dari sekumpulan perkakas yang hanya bisa diam. Tak bisa berkata-kata meski banyak persoalan menunggu diselesaikan.

Bila dapat banyak, Jo memberikannya kepada teman. Ia tak pernah bawa gabus                      segar (hidup) ke Hirima. Walau Hirima sedang rajin-rajinnya memasak, Jo Hafal                    Hirima tak pandai menyiangi gabus.

Di paragraf ini, Jo hanya memandang dapur sebagai benda mati. Sayur, makanan, dan bumbu-bumbu hanyalah makanan yang hanya untuk dimakan lalu keluar jadi kotoran. Namun, tidak demikian dengan Hirima. Dapur adalah tempatnya memadu rasa masakan dengan perasaannya pada Jo. Ia belajar memasak dari majalah karena ia tahu mencintai pun butuh belajar. Ketika makan malamnya diabaikan, Hirima tahu bahwa kesetiaan pun bisa bertepuk sebelah tangan.

Ketika Jo tak membawa ikan gabus untuknya, Hirima sadar bahwa pemahaman mereka tentang dapur tak sejajar. Itu bukan tentang Jo yang memberikan gabus kepada temannya. Bukan pula tentang Hirima yang tak bisa menyiangi gabus. Itu semua tentang dapur yang ditinggalkan pemiliknya. Dapur yang dibiarkan terbengkelai karena hati pemiliknya lebih dulu terkulai..

Jo dan Hirima sepertinya belum membaca esai Yusri Fajar tentang kumpulan puisi “Dapur Ajaib” (Alfian Dhipahatang, 2017). Menurut Fajar (2020: 34), dapur sejatinya bukan hanya ruang material dengan tampilan kebendaan seperti meja makan, kompor, piring, kulkas, sendok, bumbu, dan bahan makanan lain. Dapur adalah ruang kultural tempat bernegosiasi dan pemicu tumbuhnya keintiman. Memiliki pengaruh psikologis bagi mereka yang hadir di dalamnya. Dapur menyulap beragam relasi dan kondisi anak manusia lebih dinamis. Tanpa dapur, sulit membayangkan bagaimana manusia mencapai jati diri kemanusiaan melalui proses meracik dan mencerap makanan.

Hirima tersedu. Ia teringat benda-benda dalam kulkas. Jeruk keriput, wortel busuk,             dam cabai yang tak lagi merah. Pada masa tertentu ia mengeluarkan benda-benda itu             kemudian memasukkannya ke kantung sampah.

Sedikit berbeda dengan cerpen SBP yang menempatkan gulai pakis sejajar dengan kisah silam Zubaedah, cerpen TMY meletakkan nasib makanan sejajar dengan kisah kini Hirima-Jo. Sarapan pagi yang hangat sejajar dengan tahun awal pernikahan Hirima-Jo. Pertengahan, makan malam yang terabaikan sejajar dengan kesetiaan Hirima yang diabaikan Jo. Di ujung kita membaca jeruk keriput, wortel busuk, dan cabai yang tak lagi merah dimasukkan kantung sampah. Pun dengan Hirima yang kemudian memilih menjual rumah beserta dapur dengan segala kenangannya. ‘Dijual cepat’ menegaskan bagaimana Hirima ingin segera menihilkan ingatannya dari Jo.

Dapur, sebagaimana tersirat dari cerpen SBP dan TMY, di tangan pengarang bisa berubah matra menjadi dimensi pembangun alur cerita. Dapur menawarkan ruang imajinasi yang masih terus bisa dijelajahi. Bersanding dengan gastronomi yang mengulik cerita-cerita di balik makanan, dapur menambahkan tekstur pada gastronomi. Jika nasi goreng adalah gastronomi maka dapur adalah gastronomi tentang nasi goreng gurih. Berasnya berasal dari padi yang ditanam di sawah sendiri. 

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »