Sastra Perihal Dapur
Wahyu Kris
Setiap jengkal semesta bisa
dijadikan latar tempat sebuah cerita. Setiap tempat punya cerita khasnya masing-masing.
Namun, di tangan pengarang setiap tempat bisa memiliki cerita khas sekaligus cerita
lain. Hibrida cerita khas dan cerita lain itulah yang membuat setiap latar unik
sekaligus tak terbatas.
Salah
satu jengkal semesta itu adalah dapur. Dapur identik dengan tempat memasak. Di
tangan pengarang, dapur bukan tempat mengolah masakan semata. Dapur menyerupai
ruang yang memiliki banyak jendela. Pembaca bisa mengolah masakan sembari mencicipi
cerita-cerita lain lewat jendela itu. Mulai dari cerita romansa yang
bercabang-cabang ujungnya hingga cerita silam yang berpilin-pilin akarnya.
Tulisan
ini mencoba menyandingkan dua cerpen yang secara eksplisit menggunakan dapur
sebagai salah satu latarnya. Dua cerpen tersebut adalah Selendang Bersulam
Putih (SBP) karya Retna Ariastuti dan Tak Mungkin Yon (TMY) karya
Jeli Manalu.
Dapur
di kedua cerpen di atas turut membangun alur cerita dengan cara berbeda. SBP
memilih dapur dengan jendela terbuka. Alur memasak makanan sejajar dengan alur
yang terjadi pada masa silam. TMY memilih dapur dengan jendela tertutup, tapi
kacanya bening. Alur memasak sejajar dengan alur dalam imaji tokohnya.
SBP
bercerita tentang sepasang menantu Zubaedah dan Yuni. Latar tempatnya di dapur.
Keduanya sedang memasak sayur pakis sembari mengalirkan kisah masa silam. Pemilihan
dapur sebagai latar tentu bukan asal pilih. Bukan sekadar mencari tempat yang
asyik untuk menghadirkan percakapan.
Cerpen SBP ini menyajikan hibrida kuat antara gagasan utama dan cerita dapur. Apa yang terjadi di dapur dipilih secara cermat. Kronologi cerita dapur sejajar dengan kisah masa silam sehingga menghasilkan persilangan saling mengutuhkan. Pembagian potongan cerita dapur proporsional dengan irisan kisah masa silam. Maka, jadilah sajian cerpen yang lezat. Porsi dan rasanya pas.
Di dapur, Zubaedah langsung membersihkan daun pakis. Satu per satu batang pakis diusap dan dibersihkan dan dialiri air kran yang mengucur.
Kata
‘dapur’ membuka paragraf di mana dapur menjadi pengantar ke masa silam. Apa
yang terjadi di dapur sejajar dengan peristiwa masa silam. Jika proses memasak
pakis dan alur kisah masa silam Zubaedah dipotong-potong, jadilah tiga potongan
serasa searoma. Aliran peristiwanya pun gradual sebagaimana proses membersihkan
pakis: ‘diusap’, ‘dibersihkan’, dan ‘dialiri air’. ‘Diusap’ merujuk pada cara
membersihkan kotoran-kotoran ringan. ‘Dibersihkan’ digunakan untuk menghilangkan
bagian yang tidak diperlukan. Lalu, diakhiri dengan ‘dialiri air’ untuk
menuntaskan proses membersihkan.
Tiga
kesejajaran dan gradasi peristiwa itu dapat kita amati di sekujur potongan
cerita.
Potongan
pertama adalah “Mak, berapa banyak lengkuasnya?” sejajar dengan “Kenapa Amak
tadi menangis di kamar?”
Potongan pembuka ini menempatkan lengkuas sebagai bumbu pertama yang mesti disiapkan. Ukurannya boleh dikira-kira, tapi perlu menggunakan perasaan agar menghasilkan rasa lezat. Kisah masa silam Zubaedah pun tak bisa dibuka dengan sembarang pertanyaan. Yuni berhasil menemukan pertanyaan pembuka dengan ‘kenapa’. Kata tanya ini pas karena bisa mengarahkan Zubaedah menelusuri sebab-musabab peristiwa masa silam. ‘Lengkuas’ sejajar dengan ‘kenapa’. Lengkuas menentukan aroma masakan. Kenapa menentukan aroma peristiwa.
“Apakah santannya sudah cukup, Mak?” sejajar dengan “Jadi, bagaimana cerita Bagindo Rasyid yang katanya lari tadi, Mak?”
Potongan kedua ini meletakkan ‘santan’ dan ‘cerita’ dalam posisi sejajar. Keduanya berbicara tentang saripati. Ibarat tikungan tajam yang menentukan keunikan pada rasa masakan dan alur cerita. Takaran santan yang pas menjanjikan rasa gurih gulai pakis. Kemana Bagindo Rasyid lari memastikan nasib Zubaedah pasca konflik dengan Belanda.
“Minumlah dulu, Mak,” kata Yuni sambil menyodorkan air putih sejajar dengan Batang pakis itulah yang menjadi makanan sehari-hari waktu itu.
Kata
kerja ‘minum’ sejajar dengan ‘makan(an)’. ‘Makan’ pada masa silam sinambung
dengan ‘minum’ pada masa kini. Kata ‘pakis’ berada di persimpangan masa kini
dan masa silam. Batang pakis masa silam tentu tak segurih gulai pakis masa
kini. Pun dengan kisah Zubaedah masa silam tak segurih masa kini. Namun, kedua
pakis dari dua masa itu berjumpa. Pakis menjadi titik temu bagi Zubaedah dengan
masa silamnya. Di situlah keseluruhan alur cerpen SBP ini bermuara.
Perihal dapur juga ada pada cerpen Tak Mungkin Yon (TMY). Karya Jeli Manalu ini menggunakan dapur sebagai latar dimana kesetiaan dibentuk sekaligus diremukkan. Dapur menjadi saksi bagaimana seorang perempuan bernama Hirima mencoba bersetia kepada suaminya. Sang suami, Jo, ternyata tak menyadari betapa besar kesetiaan sang istri. Juga tak disadarinya betapa sang istri ingin merdeka seperti Yon—seorang pastor yang dulu pernah menyinggahi hati Hirima.
Sekitar 07.00 ia merasa bangga bisa menyiapkan sarapan untuk Jo. Sore hari Hirima berpikir keras, berusaha bikin masakan baru yang ia pelajari dari majalah.
Hari lain Jo mengirim pesan agar Hirima tak perlu masak makan malam untuknya karena diundang teman kantor … .
Di sini terbaca bagaimana dapur menjadi ruang memasak rasa. Hirima membumbuinya dengan kesetiaan. Namun, apa daya, Jo membiarkan kesetiaan Hirima membeku di dapur. Lewat perilaku Jo, cerpen TMY ini mengaduk-aduk kesetiaan dengan pengkhianatan. Dapur tak lebih dari sekumpulan perkakas yang hanya bisa diam. Tak bisa berkata-kata meski banyak persoalan menunggu diselesaikan.
Bila dapat banyak, Jo memberikannya kepada teman. Ia tak pernah bawa gabus segar (hidup) ke Hirima. Walau Hirima sedang rajin-rajinnya memasak, Jo Hafal Hirima tak pandai menyiangi gabus.
Di
paragraf ini, Jo hanya memandang dapur sebagai benda mati. Sayur, makanan, dan
bumbu-bumbu hanyalah makanan yang hanya untuk dimakan lalu keluar jadi kotoran.
Namun, tidak demikian dengan Hirima. Dapur adalah tempatnya memadu rasa masakan
dengan perasaannya pada Jo. Ia belajar memasak dari majalah karena ia tahu
mencintai pun butuh belajar. Ketika makan malamnya diabaikan, Hirima tahu bahwa
kesetiaan pun bisa bertepuk sebelah tangan.
Ketika
Jo tak membawa ikan gabus untuknya, Hirima sadar bahwa pemahaman mereka tentang
dapur tak sejajar. Itu bukan tentang Jo yang memberikan gabus kepada temannya.
Bukan pula tentang Hirima yang tak bisa menyiangi gabus. Itu semua tentang
dapur yang ditinggalkan pemiliknya. Dapur yang dibiarkan terbengkelai karena
hati pemiliknya lebih dulu terkulai..
Jo dan Hirima sepertinya belum membaca esai Yusri Fajar tentang kumpulan puisi “Dapur Ajaib” (Alfian Dhipahatang, 2017). Menurut Fajar (2020: 34), dapur sejatinya bukan hanya ruang material dengan tampilan kebendaan seperti meja makan, kompor, piring, kulkas, sendok, bumbu, dan bahan makanan lain. Dapur adalah ruang kultural tempat bernegosiasi dan pemicu tumbuhnya keintiman. Memiliki pengaruh psikologis bagi mereka yang hadir di dalamnya. Dapur menyulap beragam relasi dan kondisi anak manusia lebih dinamis. Tanpa dapur, sulit membayangkan bagaimana manusia mencapai jati diri kemanusiaan melalui proses meracik dan mencerap makanan.
Hirima tersedu. Ia teringat benda-benda dalam kulkas. Jeruk keriput, wortel busuk, dam cabai yang tak lagi merah. Pada masa tertentu ia mengeluarkan benda-benda itu kemudian memasukkannya ke kantung sampah.
Sedikit
berbeda dengan cerpen SBP yang menempatkan gulai pakis sejajar dengan kisah
silam Zubaedah, cerpen TMY meletakkan nasib makanan sejajar dengan kisah kini
Hirima-Jo. Sarapan pagi yang hangat sejajar dengan tahun awal pernikahan
Hirima-Jo. Pertengahan, makan malam yang terabaikan sejajar dengan kesetiaan
Hirima yang diabaikan Jo. Di ujung kita membaca jeruk keriput, wortel busuk,
dan cabai yang tak lagi merah dimasukkan kantung sampah. Pun dengan Hirima yang
kemudian memilih menjual rumah beserta dapur dengan segala kenangannya. ‘Dijual
cepat’ menegaskan bagaimana Hirima ingin segera menihilkan ingatannya dari Jo.
Dapur,
sebagaimana tersirat dari cerpen SBP dan TMY, di tangan pengarang bisa berubah
matra menjadi dimensi pembangun alur cerita. Dapur menawarkan ruang imajinasi
yang masih terus bisa dijelajahi. Bersanding dengan gastronomi yang mengulik
cerita-cerita di balik makanan, dapur menambahkan tekstur pada gastronomi. Jika
nasi goreng adalah gastronomi maka dapur adalah gastronomi tentang nasi goreng gurih.
Berasnya berasal dari padi yang ditanam di sawah sendiri.