Seharusnya Kamu
Mencoba Gayo Wine Bikinanku, Sore Itu
Ali Ibnu Anwar
AKU sadar, terjadi
perubahan besar pada diriku. Pada tubuhku. Pada waktuku. Pada bagian-bagian
yang telah merangkai hari-hariku, setelah melewati masa-masa penuh hantu. Masa-masa,
orang takut memegang benda-benda, karena khawatir akan membawanya pada
kematian.
Perubahan yang terjadi
pada diriku, bukan seperti perubahan yang terjadi pada metamorfosa kupu-kupu. Atau
jangan-jangan, seperti perubahan yang terjadi pada Kafka, ketika ia mendapati
dirinya berubah menjadi seekor kecoak raksasa. Bagaimana perubahan semacam itu bisa
terjadi? Aku sendiri tidak mengerti, karena aku termasuk pembaca yang buruk.
Seburuk pemahamanku terhadap perubahanku. Sebab, tahu-tahu, aku sudah menjadi
orang lain.
Sore itu, aku
melihatmu melintas di depan rumahku. “Restu! Apa kabar?” sapaku. Kamu masih
terasa dingin. Ini memang pertama kali aku menyapamu, setelah cukup lama kita
tak saling bertemu dan bertamu. Dan akhirnya, kamu menjawab, bahwa kamu
baik-baik saja.
“Kamu masih mengenaliku?”
pertanyaanku seperti mengundang rasa heranmu. Kamu hanya diam saat pertanyaan
itu mendarat di telingamu.
“Tentu! Mana mungkin
aku lupa dengan tetangga sendiri,” jawabmu masih dengan penekanan ucap yang
menyimpan rasa heran. Padahal, aku berharap kamu berkata “tidak” atau
berkelakar, seolah-olah kamu tak mengenaliku. Seperti kelakarmu, pada masa
sebelum pandemi mengubah segalanya.
Aku tak yakin, kamu
masih mengenaliku. Ketidakyakinan itu memang tidak keluar dari mulutku. Hanya
mengeram di dada saja. Aku merasa mulut itu bukan mulutku lagi. Ada perbedaan
di tulang rahang, saat aku bicara. Lidah yang tak selancar sebelumnya. Gerakan
badan yang tak senyaman, saat kita—aku dan kamu—ngobrol tentang banyak hal di
beranda rumah, sambil menikmati bercangkir-cangkir kopi semalam suntuk. Sejak
istrimu meninggal karena wabah penyakit itu, kita tidak pernah lagi bertemu.
Kamu memilih menetap, setelah memakamkan istrimu di kampung.
“Aku punya Gayo Wine.
Apa kau tidak tergoda untuk mencobanya?” Mulutku seperti terpaksa untuk
menawarkan sesuatu padamu. Aku berharap kamu tertarik untuk mampir ke rumah,
barang sejenak.
“Lain waktu saja.
Masih ada keperluan yang harus kuselesaikan,” jawabmu, menolak. Aku tidak
memaksa. Tentu jawaban itu, kupikir, juga bukan jawaban dari mulutmu.
Barangkali, kamu pun merasa, ada orang lain yang telah hidup dalam dirimu.
Kamu boleh merasa tak
ada yang berubah, dari ujung rambut sampai kakiku. Tapi justru karena
pertanyaanku di awal, kamu menatapku dengan tatapan tajam dan aneh. Seolah-olah
merasakan perubahan pada diriku. Aku juga tak punya maksud lain dengan
pertanyaan itu. Aku hanya ingin memastikan di hadapanmu, masihkan ada orang
lain di antara kita. Itu saja.
***
SERIBU hari sebelum hari
ini, jumlah orang terjangkit wabah meningkat. Orang-orang yang kukenal, tidak
seperti yang aku kenal. Mereka seperti orang lain saja. Oh, tidak. Bukan
seperti. Tapi sudah menjadi. Mereka menjadi orang lain. Dan sebagai orang lain,
mereka berperilaku lain. Orang lain dalam diri mereka mulai resah untuk
berkumpul di tengah keramaian. Sementara itu, orang lainnya membeli masker dari
orang lainnya. Orang lainnya menjual masker untuk orang lainnya. Orang lainnya
menganjurkan pakai masker bagi orang lainnya. Orang lainnya mendenda orang
lainnya yang tidak pakai masker. Orang lainnya mencurigai orang lainnya yang
bersin-bersin.
Hari-hari dipenuhi
orang lain. Sebenarnya aku masih ragu untuk menyebut mereka sebagai orang lain.
Karena mereka adalah orang-orang yang aku kenal. Tetangga-tetanggaku. Para
penjual galon. Penjaja sayur. Petugas kebersihan. Mereka mulai bertingkah tidak
seperti biasanya. Maka dari itu, aku menyebut: ada orang lain yang hidup dalam
diri mereka. Semua orang saling melihat gejala yang tidak mengenakkan itu.
Sebagai orang lain
baru, mereka mulai menolak jabat tangan dari orang lainnya. Orang lainnya
mencari cara untuk membatalkan janji yang ia buat dengan orang lainnya. Orang
lainnya membubarkan kerumunan orang-orang lainnya. Walau demikian, mereka
bersikeras untuk mempertahankan, bahwa mereka bukan orang lain. Mereka tidak
mau disebut sebagai orang lain.
“Lihat, tuh, Bu Nining!
Dia jarang keluar rumah. Jarang ngobrol bareng kita-kita lagi. Padahal, biasa
aja kali. Ini kan wabah bikinan. Isunya digoreng, biar krispi.” Sekelibat aku
mendengar suara istrimu yang berbaur di lapak tukang sayur itu, masuk melalui
ventilasi jendela rumahku. Sehingga, aku dapat mendengar percakapan orang-orang
yang berkerumun itu, saat membawa-bawa nama istriku.
Bagaimanapun bentuk
percakapan itu, tak pernah kuhiraukan. Aku pun tetap bertahan, agar istriku
memenuhi segala urusan belanja dapur, sementara waktu menggunakan aplikasi
daring saja. Biar saja, orang-orang menganggap kami—aku dan keluargaku—seperti
orang lain. Orang yang pengecut untuk keluar rumah. Ya. Orang lain. Mereka mulai
menyebut kami sebagai orang lain.
Dan sejak saat itu, seorang
orang lain benar-benar keluar dari dalam diriku. Orang lain yang sama persis
menyerupai diriku. Orang lain yang bertubuh aku. Orang lain yang juga memiliki
rambut gondrong, dan bagian tengah kepalanya sedikit botak, sehingga ia butuh
sebuah topi untuk menutupi kepalanya. Orang lain itu keluar dari dalam tubuhku dengan
sedikit malu-malu. Seperti ada rasa tidak percaya diri, bahwa ia benar-benar
orang lain yang ingin menunjukkan diri.
Orang lain itu mulai
jadi pendiam. Hanya berinteraksi dengan berpesan lewat WA dan sosial media.
Sesekali membalas email penting. Tak berani bertukar gagasan dengan orang-orang
lain yang keluar dari tubuh orang-orang di luar rumahnya.
Sejak itulah ia
memikirkan berkerumun dengan cara yang lain. Berkerumun seorang diri dengan
seorang diri lainnya, di tempat-tempat lain. Menghadiri undangan dan pertemuan dalam
ruangan yang lain. Ruangan dalam laptop dan ponsel pintarnya. Ruangan kecil
yang mampu menampung apa saja.
Kotak berukuran kecil
itu memperlihatkan dengan jelas, bagaimana orang lain itu benar-benar orang
lain yang keluar dari dalam tubuhku. Dalam kotak itu, aku melihat orang lain
itu berbicara dengan mimik muka yang lain. Dengan jelas, semua kata-kata yang
keluar dari mulutnya mengalami kegagapan. Mulutnya, yang sebenarnya juga
mulutku, mulai sering meracau dan berbicara sendiri. Lebih sering tertawa
sendiri.
Rutinitas tersebut
semakin menguatkan diriku sebagai orang lain. Pelan-pelan namun pasti, orang
lain itu mulai menjauhkan tubuhku dari diriku.
Biarlah! Untuk apa
mempersoalkan itu. Bagaimanapun, ia adalah diriku yang membiarkan bagian demi
bagian tubuhku berlepasan. Tapi hal serius yang tak boleh lepas adalah bagian
tubuhku yang menulis.
***
YA. Aku masih terus
menulis. Hanya tangan yang kugunakan untuk menulis inilah, yang tak pernah
menjadi tangan orang lain.
Pagi itu, orang lain dalam
diriku menyalakan kompor dan menuang sedikit air dalam panci. Menunggu air
mendidih tanpa suara “tuuut”, seperti suara air mendidih dari teko di
dapur-dapur kafe favoritnya. Setelah mendidih, ia segera menuang air itu dalam lubang
cangkir yang sudah berisi bubuk kopi. Kopi yang lain. Kopi sasetan.
Sebab, ia harus rela tidak mendatangi kafe-kafe yang menyediakan kopi giling:
kopi yang bukan kopi yang lain. Lidahnya merasakan pahit yang janggal. Pahit
yang lain. Pahit yang keluar dari mesin industri dan merek dagang.
Nampaknya, orang lain
itu sudah terbiasa menghadapi pagi yang lain itu. Sebuah pagi yang dibuka
dengan rasa panik. Berita-berita di tivi itulah yang sebenarnya menyiarkan
kepanikan pagi harinya. Berita yang juga menjadi penyebab utama ia keluar dari dalam
tubuhku.
Tayangan-tayangan di
tivi itu menyiarkan, bahwa hampir separuh penduduk dunia sedang mengalami
perubahan menjadi orang lain. Mau tidak mau, orang lain yang keluar dari
tubuhku semakin girang. Rupanya ia punya banyak teman. Ada orang lain yang menetapkan
kematian akibat wabah terhadap orang lainnya. Orang lain yang tak terima
keluarganya dikubur secara protokol cegah wabah oleh orang lainnya. Orang
lainnya mencari cara membeli vaksin untuk menyelamatkan orang lainnya. Orang
lainnya menduga ada permainan dilakukan orang lainnya. Orang lainnya diam-diam
menunggu simpati dari orang lainnya. Orang lainnya diam-diam mencari simpati
dari orang lainnya.
Aku menemukan sebuah
cara, yang baru aku sadari belakangan ini, mampu mengembalikan tubuhku hadir
secara utuh sebagai diriku. Bukan sebagai orang lain. Bisa jadi itu baru dugaan
saja. Karena, aku belum rela tubuhku benar-benar menjadi orang lain.
Kesadaran itu hadir secara
tidak sengaja. Sejak sekolah diliburkan, orang lain yang keluar tubuhku
seringkali merasa ketakutan, saat bermain dengan anak-anakku. Orang lain itu
menciut, seperti balon yang kempes. Semakin menciut, semakin hilang dan masuk
ke dalam diriku.
Sejak itu, rumah jadi
sekolah yang lain. Anak-anakku menjadi guru di sekolah itu. Guru yang
benar-benar guru. Bukan guru yang lain. Guru yang membuat orang lain itu masuk
ke dalam tubuhku. Masuk sedalam-dalamnya. Sehingga tak seujung rambut pun bagian
darinya dapat kulihat.
Agar semakin
meyakinkan, aku menemui istriku dan memintanya masuk ke sekolah yang lain itu.
Kami berdua menjadi seorang murid yang benar-benar murid. Bukan murid yang
lain. Murid yang banyak belajar bagaimana cara menggunting kertas yang benar,
dan cara mewarnai yang tepat. Sebuah cara yang asli. Bukan cara yang dibuat-buat.
Di hadapan guru-guru hebat
itu, kami jadi dua orang yang tolol. Ketika mereka meminta kami menggunting selembar
kertas dan membuat sebuah benda yang belum kami kenal, aku dan istriku hanya
berpandangan. Saling menertawakan kebodohan kami.
Anak-anak pintar itu
sudah menjadi guru bagi kami.
Begitu caraku
menghadapi orang lain yang keluar dari dalam diriku, yang sebenarnya ingin kuceritakan
padamu. Tapi sayang, kau memilih menghiraukan secangkir Gayo Wine yang
kutawarkan padamu.
***
BETAPA membosankannya
memang, menjalani hidup menjadi orang lain. Bukan sehari dua. Tapi berminggu-minggu,
berbulan-bulan, hingga tahun ini kurasa adalah tahun yang melegakan. Kehidupan
kembali seperti sedia kala.
Aku tak peduli. Biarlah orang lain itu keluar-masuk tubuhku. Dan yang membuatku bersyukur, aku masih bisa bertemu denganmu. Kamu pun masih mengenaliku, sore itu. Meski kamu menghindar, saat aku menawarimu secangkir Gayo Wine. Padahal aku ingin mendengar cerita, bagaimana caramu menghadapi orang lain yang keluar masuk dari tubuhmu. Sebab, sekian lama setelah kematian istrimu, aku tak yakin, kita masih akan berjumpa sebagai diri kita, sebelum hari-hari penuh hantu itu. Sebelum kita benar-benar menjadi orang lain, yang tidak lagi saling mengenal.*
Madura, Desember 2023