Tamu Tahun Baru - Yin Ude

@kontributor 1/07/2024

Tamu Tahun Baru

Yin Ude


 

Pada setiap pergantian tahun Rusli selalu berharap ada tamu yang datang buat Reyna isterinya dan kedua anaknya Kenya dan Dean. Tamu yang akan diterima oleh ketiganya dengan sepenuh hati. Lalu karenanya suasana rumah berubah, dimana Rusli bisa bercengkerama kembali dengan orang-orang kesayangannya itu di serambi, sambil menyaksikan semarak kembang api di langit kota. Ya, semarak kembang api yang selalu mengisi malam pergantian tahun, tapi tak pernah mereka nikmati bersama.

Seperti pada pergantian tahun 2023 ini. Harapan yang kian keras dan tiba-tiba memicu kepedihan di hatinya, sebab seperti sudah-sudah rasanya harapan itu tak akan pernah terwujud.

Bagaimana tidak, sesampainya dari kantor seperti saat ini, sudah tak ada satu pun orang di rumah. Jam di tembok menunjukkan pukul dua puluh satu, dan Rusli memastikan seluruh anggota keluarganya itu sudah pergi sejak satu jam. Dan dimana mereka? Reyna mungkin bersama teman-teman sosialitanya di café. Kenya bisa jadi bersama pacarnya di pub. Dean kayaknya sedang menggeber mobil barunya, bersama teman-teman pemudanya di pusat kota. Tak ada yang bisa dipastikan oleh Rusli, sebab mereka meninggalkan rumah tanpa pamit, tanpa menginformasikan tujuan padanya.

Rusli menyandarkan tubuh lelahnya ke kursi serambi. Tatapannya kosong ke langit yang masih kosong pula, sebab kembang api mulai diluncurkan pada pukul dua puluh dua.

Maka sepi hatinya. Sepi yang tak lain dampaknya: semakin memicu mencuatnya harapan akan kedatangan tamu buat isteri dan anaknya!

Dalam bayangan Rusli wajah tamu-tamu itu begitu memesona, membuat siapa saja yang sudah terlanjur berharap akan kehadirannya tak akan mau lagi menghilangkannya dari pikiran, angan, dan harapan. Lalu orang yang telah menerima kedatangannya akan selamanya menyebutnya bijak, yang dengan kebijakannya itu mampu merubah sesuatu menjadi lebih baik. Seperti yang telah dibuktikan sendiri oleh Rusli.

Dua puluh dua tahun lalu Rusli hanya seorang office boy di perusahaan tempatnya kini menjadi manajer pemasaran. Sebuah jabatan yang rendah dan tak cukup memberinya apa-apa baik penghasilan, apalagi kehormatan. Juga selalu membuat pergantian tahun barunya hanya berlangsung begitu-begitu saja: dari ob ke ob, gaji kecil ke gaji kecil, naik angkot ke naik angkot, dari kos kecil ke kos sumpek, dari jomblo ke jomblo. Tak pernah ada tamu tahun baru yang mengetuk pintu kosnya, lalu berdiri di ambang dengan wajah cantik, memasrahkan diri dibawa kemana saja sepanjang malam, karena dibayari, karena dijanjikan akan dikawini dengan acara resepsi yang mewah.

Lalu suatu hari ia menjadi tamu Pak Hardi, pemilik perusahaan. Ia dipanggil oleh tuannya itu ke rumahnya untuk disuruh memperbaiki laptop putrinya yang rusak. Rusli adalah sarjana komputer. Karena tak ada peluang kerja lain, ia pasrah menjadi ob.

Putri itu kurang tepat disebut putri. Wajahnya jauh dari cantik. Bahkan lebih tepat disebut jelek. Tubuhnya juga tidak ideal. Ia orangnya pendek, mirip bapaknya yang pendek gemuk.

Serendah-rendahnya status Rusli, sebagai pemuda bermuka tampan dan berbadan tinggi tegap, dirinya akan terpesona hanya pada gadis cantik dan bertubuh semampai. Maka ia tak takjub sedikitpun saat bertemu dengan sang putri.

Tapi putri itu sebaliknya. Ia terpana melihat Rusli.

Dua hari setelah diperbaiki, laptopnya rusak lagi. Rusli kembali lagi. Tapi laptopnya tak rusak, melainkan ada salah satu program yang disetting salah, sehingga tidak berfungsi baik. Hardi paham sekali bahwa settingannya tidak akan berubah sendiri jika tidak dirubah. Dan ia paham pula bahwa itu adalah ulah pemilik laptop, sebab tak mungkin tukang kebun atau tukang cuci rumah Pak Hardi berani masuk kamar putri majikan mereka.

Rusli curiga dan mulai bertanya-tanya tentang isi pikiran putri itu.

Tiga hari setelah itu sebaris pesan masuk di wa-nya. Dari tuannya itu, si putri itu.

“Maaf, mengganggu, ndak? Aku ingin ditemani keluar nanti malam.”

Rusli mulai terganggu, sejak saat itu. Ia cukup peka dengan tingkah laku seseorang, termasuk tingkah laku perempuan, termasuk yang menyimpan rasa padanya. Ia hubungkan pesan itu dengan cara si putri meliriknya, mendekatkan tubuhnya, menyuguhkan kopi padanya saat ia memperbaiki laptopnya. Ia pun terhubung dengan satu dugaan kuat, yang beralasan kuat: anak Pak Hardi jatuh hati padanya.

Tapi ia jelek dan pendek! seru batin pemuda itu.

Ia sudah berusaha menolak, dengan halus, dengan memelas, agar putri bosnya itu tak sampai tersinggung dan marah. Tapi ia tak bisa mengerti dengan segala alasan dan penjelasan Rusli. Upaya memperjuangkan cinta dari putri itu pun tak berhenti, hingga tiba-tiba berubah menjadi aksi kolonialisme: mencaplok paksa hati Rusli. “Mencaplok”, dengan “paksa”, sebab ia sudah melibatkan bapaknya, yang suatu hari mengajak Rusli duduk dan bicara dengan tenang, “aku kaget sekali anakku mencintai Pak Rusli. Harapanku ia menikah dengan seorang pengusaha. Tapi tak apalah, aku tak mau ia terluka karena keinginannya tak kuturuti. Nah, sekarang, aku harap kau cintai dia dengan sepenuh hati. Ia putriku yang kusayangi.”

 Rusli berpikir untuk keluar dari perusahaan itu. Ia tak sudi dijajah! Sambil terus bekerja ia berusaha melamar ke sana sini. Tiga bulan ia melakukan hal itu. Tapi hasilnya nihil.

Rusli juga hendak nekad pulang ke kampungnya, meninggalkan pekerjaan dan kota selama-lamanya, asalkan tak lagi bertemu dengan Pak Hardi dan –terlebih- putrinya. Tapi saat mengemas pakaian dan barang-barang, ia ditampar bayangan: lahan bapaknya yang telah dijual semua. Ibunya hanya seorang penjual gado-gado. Tiba di kampung ia akan menjadi pengangguran, atau bekerja sebagai buruh di lahan orang lain.

Maka hari-hari dalam dua tahun adalah hari-hari penuh kepalsuan bagi Rusli. Ia menerima cinta si putri dengan hati palsu. Ia melayani kemesraannya dengan kasih sayang palsu. Hingga dalam dua tahun itu pula, pada tiap pergantian tahun, ia selalu berdoa ada seorang tamu yang membawanya terbang ke langit, jangan lagi di bumi, untuk menghindar dari penjajahnya. Kalau masih di bumi upaya menghindarnya hanya akan membuat dirinya bertemu dengan kesulitan.

Sampai suatu malam, saat ia nelangsa sendiri memandangi bulan di teras kos, ada tamu yang datang padanya.

Tamu itu berkata, “putri bosmu itu jelek, pendek dan tidak memenuhi standar perempuan yang kau inginkan. Tapi dia memiliki Pak Hardi. Artinya ia memiliki segalanya, termasuk memiliki kamu. Kau tidak akan bisa melepaskan diri dari penjajahannya, kecuali kau pergi. Tapi itu berarti penderitaan hidup bagimu. Sekarang kau berusaha untuk mempertahankan hatimu dengan cara berpura-pura saja mencintai si putri. Apa yang kau dapat dari itu? Justru kau semakin melilit dirimu dengan tali kekang yang sudah mengikatmu.

Apakah tidak sebaiknya kau merubah pikiran?

Kau terima saja dia, dan belajarlah menerima takdir beristerikan perempuan yang tak cantik. Sulit memang. Tapi dengan cara itu kau akan terlepas dari penjajahan. Justeru sebaliknya kaulah yang akan berkuasa. Tak terpikirkah olehmu, dari ob kau berganti status menjadi pembesar perusahaan hanya karena kau jadi suami anak bosmu itu?”

Rusli tak menerima saran tamunya itu. Bahkan ia usir!

Tapi sang tamu tak jera. Ia terus mengulang kedatangannya. Sampai belasan kali!

Akhirnya Rusli mulai sadar. Ia pun menerima pendapat tamunya. Menikahlah ia dengan putri bosnya itu, walaupun dua hari sebelumnya sempat hendak melarikan diri lagi, setelah mendengar bisik-bisik orang yang tak mengenalnya, “beruntungnya Mbak Reyna. Jelek-jelek begitu bisa mendapat suami yang ganteng. Oh, pasti calon suaminya itu matre. Kudengar ia office boy di perusahaan bapaknya Mbak Reyna.”

Hiduplah Rusli dengan Reyna. Beranaklah Reyna sampai dua orang, Kenya dan Dean. Keduanya cantik dan tampan, mengikuti bapaknya. Rusli merasa bahwa sebelumnya ia telah memperumit hidupnya sendiri dengan terlalu mementingkan kecantikan perempuan. Toh lama kelamaan ia tak peduli lagi dengan fisik isterinya itu.

Ia terlalu sibuk mengurus pekerjaan setelah mertuanya menaikkan jabatannya menjadi manajer pemasaran. Reyna ikut sibuk, berusaha mempercantik diri, menambah kecerdasan dan keluasan pergaulan, untuk menjaga pesona dan kualitas diri di hadapan Rusli yang ganteng. Jika tidak, dengan kemapanannya Rusli terlalu mudah menyelingkuhinya. Ia takut, sangat takut. Kini ia yang terjajah.

Rusli ingin sekali tamu semacam itu datang lagi. Kali ini kepada Reyna, Kenya dan Dean.

Sejak lima tahun terakhir Reyna berubah. Berawal dari saat ia diserahi jabatan oleh bapaknya sebagai wakil direktur. Ia menjadi sosok penting dalam perusahaan, yang berpengaruh dan memiliki banyak relasi, para pengusaha, para direktur, juga orang-orang penting pemerintahan. Jelek pendeknya sudah tertutup oleh jabatan, pengaruh dan ketergantungan banyak pihak pada dirinya itu.

Dalam hati Rusli protes, mengapa bukan dirinya yang diangkat sebagai wakil direktur. Tapi bagaimana pun kekuasaan tertinggi masih di tangan mertuanya. Rusli harus menerima saat kekuasaan Reyna mengimbangi kekuasaannya. Menerima pula ketika Reyna menjadi keliwat pede, yang –dari sikap dan perkataannya- menjadikannya merasa bahwa harganya tak rendah lagi, yang seandainya ditinggal oleh Rusli, banyak lelaki yang akan mengerubutinya.

Rumah tangga mereka lebih banyak diisi saling mempertahankan harga diri dan ego. Lebih sering diwarnai ketidaksepahaman yang berujung cekcok. Ia pun mengaku lama-lama tak tahan berada di rumah terus. Maka jika sebelumnya Reyna lebih sering di rumah, kini di luar jam kerja ia habiskan waktu bersama teman-teman sosialitanya. Bila diingatkan, apalagi dilarang, ia akan menjawab, “aku menghindari lama-lama berada di rumah, lama-lama berdekatan dengan kamu, Pa. Sebab kita hanya akan bertengkar saja.”

Imbas dari suasana rumah dan sikap Rusli serta Reyna adalah kekerasan jiwa Kenya dan Dean. Keduanya menjadi sulit pula diatur.

Kenya, yang baru menyelesaikan pendidikan sarjana ekonomi tak sedikit pun menunjukkan kemauan untuk mulai menggunakan ilmunya untuk ikut membantu memajukan perusahaan. Ia tak mau bekerja. Ia hanya senang menghabiskan waktu bersama teman-temannya, plesir kesana kemari, shopping dan pesta tiap hari. Rusli sangat cemas dengan tingkah anak gadisnya itu. Apalagi pacarnya juga seorang yang tak bekerja. Anak orang kaya, tapi malasnya sama dengan Kenya.

Dan Dean, ikut-ikutan. Di sekolahnya, di sebuah SMA ternama, ia tergolong siswa bermasalah. Sering tidak masuk, tidak menghormati guru, dan kesenangannya adalah memamerkan segala yang ia punya. Tiap tahun ia selalu menuntut agar motor atau mobilnya diganti dengan yang baru.

Dulu Rusli tak peduli dengan semua ketidakberesan perangai isteri dan anaknya itu. Tapi seiring waktu, seiring dengan pertambahan usianya, ia selalu merindukan ketenangan dan keharmonisan dalam rumah tangganya. Ia tetap bekerja dengan keras, tetap berusaha menjaga kekuasaannya, namun lebih dalam dari itu, hatinya selalu bicara tentang sisi lain kehidupan, yang tak sekadar tentang materi. Paling tidak, ia sangat ingin jika pulang kantor ia dapati isterinya menyambutnya dengan senyum. Anak-anaknya sedang belajar, bangun sebentar mencium tangannya. Lalu mereka makan bersama di meja yang satu, saling bercerita tentang aktifitas masing-masing. Sebelum tidur, berkumpul sebentar di ruang keluarga, bercengkerama sambil menonton tivi. Atau, bila menjelang tahun baru seperti sekarang, mereka di serambi, duduk bersama menyaksikan semarak kembang api hingga jelang dini hari.

Rusli menegakkan tubuhnya yang dari tadi tersandar ke kursi. Tatapannya masih kosong. Tapi kali ini langit sudah dipenuhi ledakan-ledakan kembang api.

Maka makin sepi hatinya. Sepi mengharapkan isteri dan anak yang pasti akan pulang di atas pukul satu dinihari.

Ia putuskan untuk berkendara sebentar ke pusat kota.

***

 

Malam tahun baru telah merubah wajah pusat kota menjadi lebih semrawut. Manusia seperti ditumpahkan ke trotoar, ke depan-depan pertokoan. Tubuh dan bayangan mereka tindih menindih dalam paparan cahaya lampu di sana sini. Terselip pula di antara kemacetan jalan-jalan utama karena kendaraan yang jumlahnya bisa lima kali lipat dari jumlah di waktu-waktu biasa. Suara klakson bersahutan dengan riuh manusia dan terompet. Dengan suara musik juga, dari tokok-toko, café, pusat perbelanjaan, sampai warung kecil yang terhimpit restoran. Di langitnya. Ledakan kembang api terus saja menghantam pendengaran dan jiwa orang-orang yang jenuh dengan keriuhan semacam itu. Seperti jiwa Rusli.

Dulu, dulu sekali, ia pun suka dengan suasana itu. Bahkan menjadi bagiannya. Tapi, lagi-lagi ia merasa usianya yang bertambah telah membuatnya ingin menjauhkan diri dari hal-hal seperti itu. Ia mengharapkan pula ketenangan sampai di sekitarnya, di kotanya.

“Reyna di café mana?” bisiknya sendiri dengan mata terus fokus ke depan, ke mobil-mobil yang ada di depannya, yang demikian berdekatan jaraknya. “Kenya, Dean? Apa yang sedang mereka kerjakan dengan semangat tahun barunya?”

Rusli kembali merasa bahwa apa yang ia pikirkan itu sia-sia saja. Jika ia tahu dimana Reyna, Kenya dan Dean, apa yang akan ia perbuat? Mengajak pulang? Membersamai mereka? Menasehati? Memarahi? Tak ada yang bisa ia lakukan.

Klakson mobil di belakang Rusli berbunyi keras. Mengagetkan lelaki itu. Ia sadar telah terlalu memperlambat kecepatan hingga kendaraan-kendaraan yang mengikutinya harus ikut melambat pula, yang berakibat menambah lama kemacetan.

Klakson berbunyi terus, dari segala arah. Rusli merasa kepalanya menjadi pening. Apalagi udara panas musim hujan yang tak juga hujan memasuki mobilnya. Lekas ditutupnya semua jendela. Ac segera mengalirkan hawa dingin.

Ia tatap ke depan. Antrian kendaraan sangat panjang.

            Bisa sampai dua jam aku terjebak kalau tak segera melepaskan diri dari kemacetan ini, pikirnya.

Maka ia mulai melihat ke sebelah kiri, mengira-ngira letak gang yang bisa ia masuki. Hanya satu mobil di sampingnya, yang membatasinya dengan tepi jalan.

Gang sudah terlihat dalam jarak sekitar sepuluh meter. Rusli pun mengarahkan mobilnya ke kiri, memepet mobil di sampingnya.

Klakson mobil itu berbunyi. Pengemudinya, seorang lelaki membuka jendela dan terlihat berteriak kepada Rusli.

Rusli membuka pula jendelanya.

“Kenapa memepet begitu, Pak? Mau menepi? Bagaimana menepi sementara tidak ada celah untuk Bapak bisa masuk ke depan saya?” serunya dengan nada kurang senang.

“Hentikan mobilmu sebentar!” Rusli tak mau kalah. “Kalau kau berhenti, mobil di depanmu terus jalan, berarti akan ada celahku untuk berada di tepi!”

“Gila! Orang di belakangku akan marah!” sambut sang lawan bicara.

Tapi Rusli terus memepetkan mobilnya. Jika mobil lawannya bertahan tidak mau berhenti, maka benturan akan terjadi.

Nampaknya lelaki itu tidak mau mengambil risiko mobilnya lecet. Maka ia pun memberhentikan laju. Rusli pun tak menyia-nyiakannya. Sekali gas kini mobilnya sudah berada di tepi, mendekati gang.

Klakson bersahutan dari belakangnya, memberitahukan kejengkelan pengemudi yang ia paksa tadi, juga pengemudi mobil-mobil lain yang terpaksa berhenti pula di belakangnya.

Mobil Rusli telah masuk ke dalam gang. Ia menarik nafas lega.

Kini ia berada di tengah kampung. Berbeda sekali suasananya. Lengang. Tak ada satu pun orang yang melintas. Pasti warganya ada di antara kerumunan tadi, pikir Rusli.

Ia terus mengikuti alur gang. Tujuannya adalah jalan pintas yang akan membawanya ke arah rumahnya. Karena jenuh dan sedikit pening akibat terjebak dalam keriuhan ia merasa menjadi mengantuk. Ia ingin lekas sampai. Maka ditambahnya sedikit laju mobilnya.

Namun bertemu masjid membuat ia terdorong untuk menurunkan kecepatan, pelan, bahkan berhenti.

Masjid di tepi kampung itu penuh dengan orang-orang di dalamnya. Mereka, laki perempuan terlihat sedang duduk tertib, tertunduk dan menggerak-gerakkan kepala ke kiri dan ke kanan sambil menyebut kalimat, “lailahaillallah… lailahaillallah….” yang terdengar jelas karena diperkuat oleh pelantang. Yang memecah hening.

Mereka sedang berzikir.

Rusli memarkir mobilnya di tepi. Ia ingin memerhatikan lebih lama suasana tersebut.

“Duh, orang-orang di pusat kota menyambut pergantian tahun dengan keriuhannya. Orang-orang di sini melakukannya dengan cara yang luar biasa, dengan mendekatkan diri pada Allah," gumamnya.

Dari zikir panjang, sampai doa, yang juga cukup panjang, diikuti oleh Rusli dari dalam mobilnya. Sampai orang-orang di dalam masjid itu bangun, bersalaman dan keluar. Pulang.

Ada seorang lelaki bersongkok dengan sajadah tersampir di pundak menuju ke arahnya. Mungkin ia penasaran dengan mobil asing yang berhenti di dekat masjid.

Rusli lekas membuka kaca jendela.

Lelaki itu tersenyum. “Dari mana, Bang?” tanyanya ramah.

“Perumahan Puri Anggrek,” jawab Rusli sambil tersenyum pula. “Tadi agak ngantuk, berhenti dulu untuk istirahat.”

Lelaki itu mengangguk-angguk. Ia hendak bicara, tapi dua anak, lelaki perempuan memanggilnya “bapak” dari depan masjid. Di belakang mereka seorang wanita menyusul.

“Ayo, pulang,” ajak anak perempuan yang nampaknya lebih besar seraya menarik lengan lelaki itu, yang kemudian tersenyum lagi dan mengisyaratkan pamit.

Mereka berempat, bapak, ibu dan anak melangkah menuju arah yang berlawanan dengan mobil Rusli. Mereka kemudian menghilang di balik pagar pekarangan sebuah rumah.

Rusli mengikutinya dengan pandangan.

“Damai sekali, bersama-sama, satu keluarga dari masjid,” bisiknya.

Ia malu pada dirinya sendiri ketika tiba-tiba berharap bisa kompak seperti itu dengan isteri dan anaknya. Bagaimana bisa? Yang tersisa saat ini antara dirinya dengan keluarganya hanya sebatas ikatan pernikahan, ikatan suami dengan isteri, ikatan bapak dengan anak yang terlanjur.

Bukan, bukan Rusli tak pernah berusaha. Beberapa kali dirinya mencoba untuk bicara baik, lemah lembut dengan Reyna, Kenya dan Dean. Tapi tanggapan mereka tawar. Ada keterkejutan, ketidakpercayaan dengan sikap sang kepala rumah tangga yang tidak seperti biasanya. Lalu kembali mereka pada situasi sehari-hari: bicara seperlunya, makan sendiri-sendiri, tak lagi satu meja. Reyna dan Rusli kerap tidur terpisah.

Saat ini pun Rusli sedang berusaha berubah. Ia yang sebelumnya juga suka pulang larut malam, kini berusaha sedapat mungkin tiba di rumah paling lambat pukul dua puluh satu. Ia tak lagi ke club, tak lagi menghabiskan waktu dengan teman-temannya. Bahkan jadwal bermain golf juga ia pangkas banyak sekali, dengan harapan semakin banyak memiliki waktu di rumah. Niatnya agar diikuti oleh Reyna, Kenya dan Dean.

Tapi itu sia-sia saja.

“Damai sekali keluarga tadi, bersama-sama, satu keluarga dari masjid,” bisiknya lagi.

Mendadak ia terhenyak saat menyadari diri sudah sangat lama tak pernah ke masjid, tak pernah sholat. Ada rindu yang pelan-pelan merayapi dadanya.

***

Tiba di rumah, suasana masih lengang. Anak isterinya belum pulang.

Rusli mengantuk sekali. Hanya melepas baju ia hempaskan tubuhnya ke atas ranjang. Memejamkan mata, ia berharap segera lelap.

Tapi satu jam sudah, ia tetap sadar. Dan matanya masih terbuka, dengan tatapan koson melekati plafon.

Dan kerinduan pada masjid, pada sholat kembali merayapi dadanya.

Ada keinginan untuk bangun dan berwudhu. Tapi entah, pada siapa, pada apa, ia sepertinya risih, malu!

Maka kerinduan itu semakin merayap, lalu berubah menjadi mendera. Dadanya sesak, hatinya perih!

“Duh…,” rintihnya.

Hendak menyebut nama “Allah”, tapi ia sepertinya segan!

Dadanya kian sesak, hatinya kian perih. Kepalanya pening, lalu badannya seperti panas! Detak jantungnya pun ia rasakan menjadi meningkat tak beraturan. Ia cemas tekanan darahnya meningkat!

Gegas ia bangun, duduk di tepi ranjang. Pandangannya kabur.

“Ya, Allah!” serunya.

Kecemasannya meningkat.

Ia tiba-tiba takut mati mendadak.

Cepat ia berdiri, berjalan dengan lutut gemetar menuju kamar mandi. Di sana ia berwudhu.

Sejurus ia telah berada kembali di kamarnya, mencari-cari sesuatu: sajadah, baju taqwa, songkok, tapi tak tahu harus ia cari kemana. Barang-barang itu ia beli pada saat-saat awal pernikahan. Lalu isterinya menyimpannya, entah di mana.

Ia ingat, di lemari pakaian, di ruang tengah.

Lekas ia ke sana. Benar, terselip di antara tumpukan bajunya dan baju Reyna yang sudah tidak terpakai.

Dikenakannya segera baju dan songkok itu. Dihamparkannya pula sajadahnya. Sholatlah ia.

Usai, mata Rusli basah. Lalu ada yang meleleh dari pelupuknya. Ia sendiri tak tahu kenapa. Yang pasti batinnya pedih, bercampur pula dengan haru. Tapi anehnya, dadanya lega, hatinya tenang. Kepalanya tak lagi pening, badannya pun hangat seperti biasa! Lalu detak jantungnya pula kembali normal!

Air matanya terus meleleh sampai kantuknya datang dan teramat menguasainya. Ia terlelap di atas tempat sholatnya dengan badan meringkuk, tanpa alas tanpa bantal.

***

Suara langkah kaki di luar kamar membangunkan Rusli. Ia yakin itu suara Reyna yang tak bisa ia duga apa kerjanya, entah pula jam berapa pulangnya.

Mendadak terbersit dalam ingatan Rusli tentang harapannya bahwa isterinya itu, Kenya dan Dean mendapat tamu di tahun baru ini. Tapi lagi-lagi ia kecewa sendiri ketika meyakini bahwa harapannya itu akan tetap hanya harapan.

Ia bangun dan terkejut demi mendapati di atas tubuhnya ada selimut, dan di bawah kepalanya tadi ada bantal.

“Siapa yang memberiku bantal dan selimut?” bisiknya. “Reyna?”

Dada Rusli gemuruh.

“Apakah Reyna?” bisiknya kembali.

Daun pintu kamar terkuak. Isterinya itu berdiri di ambang, dengan lengan mengepit mukenah.

Mata Rusli melebar. Tatap Reyna juga canggung.

Perempuan itu tertunduk, kemudian melangkah masuk dan duduk di samping ranjang.

“Saya dan anak-anak pulang sekitar pukul tiga,” ucapnya lirih. “Saya dapati Papa tertidur, sepertinya setelah sholat. Jadi saya kasih bantal dan selimut.”

Rusli tak percaya dengan apa yang ia dengar. Suara lembut Reyna, memberitahukan waktu kepulangan, menjelaskan perhatiannya, dengan menyebut “Papa” sepertinya sesuatu yang tak mungkin terjadi, setelah puluhan tahun!

Dan Rusli menjadi tak bisa berkata-kata. Hanya tatapnya yang lekat, lekat sekali pada isterinya itu.

Dan Reyna tiba-tiba terisak.

“Saya kaget mengetahui Papa sholat, sebab sejak kita menikah Papa tak pernah lagi mengerjakannya. Saya juga jadi ingin sekali sholat,” ucapnya dengan getar melatari suaranya.

Rusli semakin tak bisa berkata-kata. Kerongkongannya tercekat, hatinya dipenuhi bermacam rasa: kaget, tak percaya, haru, senang….

“Akan kuajak pula anak kita, agar mereka mau untuk mulai mengerjakan sholat.”

Detik itu pula Kenya dan Dean muncul di ambang pintu. Wajah keduanya nampak heran menyaksikan pemandangan di depannya: papanya di atas sajadah, ada songkok tergeletak di sampingnya. Sedang mama mereka mendekap mukenah.

“Mama mau sholat,” ucap Reyna pelan. Wajahnya tertunduk, seperti malu. “Kalian mau ya, sholat?”

Mendengarnya Rusli terpekur. Ia baru menyadari satu hal.

“Lama sekali kuharapkan kedatangan tamu untuk ketiga orang yang kusayangi ini. Ternyata aku sendiri yang membawanya kepada mereka…!” seru batinnya[.]

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »