Tamu Tahun Baru
Yin Ude
Pada setiap pergantian
tahun Rusli selalu berharap ada tamu yang datang buat Reyna isterinya dan kedua
anaknya Kenya dan Dean. Tamu yang akan diterima oleh ketiganya dengan sepenuh
hati. Lalu karenanya suasana rumah berubah, dimana Rusli bisa bercengkerama kembali
dengan orang-orang kesayangannya itu di serambi, sambil menyaksikan semarak
kembang api di langit kota. Ya, semarak kembang api yang selalu mengisi malam
pergantian tahun, tapi tak pernah mereka nikmati bersama.
Seperti pada pergantian tahun 2023 ini. Harapan yang kian keras dan
tiba-tiba memicu kepedihan di hatinya, sebab seperti sudah-sudah rasanya
harapan itu tak akan pernah terwujud.
Bagaimana tidak, sesampainya dari kantor seperti saat ini, sudah tak ada
satu pun orang di rumah. Jam di tembok menunjukkan pukul dua puluh satu, dan
Rusli memastikan seluruh anggota keluarganya itu sudah pergi sejak satu jam.
Dan dimana mereka? Reyna mungkin bersama teman-teman sosialitanya di café.
Kenya bisa jadi bersama pacarnya di pub.
Dean kayaknya sedang menggeber mobil barunya, bersama teman-teman pemudanya di
pusat kota. Tak ada yang bisa dipastikan oleh Rusli, sebab mereka meninggalkan
rumah tanpa pamit, tanpa menginformasikan tujuan padanya.
Rusli menyandarkan tubuh lelahnya ke kursi serambi. Tatapannya kosong ke
langit yang masih kosong pula, sebab kembang api mulai diluncurkan pada pukul
dua puluh dua.
Maka sepi hatinya. Sepi yang tak lain dampaknya: semakin memicu
mencuatnya harapan akan kedatangan tamu buat isteri dan anaknya!
Dalam bayangan Rusli wajah tamu-tamu itu begitu memesona, membuat siapa
saja yang sudah terlanjur berharap akan kehadirannya tak akan mau lagi
menghilangkannya dari pikiran, angan, dan harapan. Lalu orang yang telah
menerima kedatangannya akan selamanya menyebutnya bijak, yang dengan
kebijakannya itu mampu merubah sesuatu menjadi lebih baik. Seperti yang telah
dibuktikan sendiri oleh Rusli.
Dua puluh dua tahun lalu Rusli hanya seorang office boy di perusahaan tempatnya kini menjadi manajer pemasaran.
Sebuah jabatan yang rendah dan tak cukup memberinya apa-apa baik penghasilan, apalagi
kehormatan. Juga selalu membuat pergantian tahun barunya hanya berlangsung
begitu-begitu saja: dari ob ke ob, gaji kecil ke gaji kecil, naik angkot ke
naik angkot, dari kos kecil ke kos sumpek, dari jomblo ke jomblo. Tak pernah
ada tamu tahun baru yang mengetuk pintu kosnya, lalu berdiri di ambang dengan
wajah cantik, memasrahkan diri dibawa kemana saja sepanjang malam, karena
dibayari, karena dijanjikan akan dikawini dengan acara resepsi yang mewah.
Lalu suatu hari ia menjadi tamu Pak Hardi, pemilik perusahaan. Ia
dipanggil oleh tuannya itu ke rumahnya untuk disuruh memperbaiki laptop
putrinya yang rusak. Rusli adalah sarjana komputer. Karena tak ada peluang
kerja lain, ia pasrah menjadi ob.
Putri itu kurang tepat disebut putri. Wajahnya jauh dari cantik. Bahkan
lebih tepat disebut jelek. Tubuhnya juga tidak ideal. Ia orangnya pendek, mirip
bapaknya yang pendek gemuk.
Serendah-rendahnya status Rusli, sebagai pemuda bermuka tampan dan
berbadan tinggi tegap, dirinya akan terpesona hanya pada gadis cantik dan
bertubuh semampai. Maka ia tak takjub sedikitpun saat bertemu dengan sang putri.
Tapi putri itu sebaliknya. Ia terpana melihat Rusli.
Dua hari setelah diperbaiki, laptopnya rusak lagi. Rusli kembali lagi.
Tapi laptopnya tak rusak, melainkan ada salah satu program yang disetting salah, sehingga tidak berfungsi
baik. Hardi paham sekali bahwa settingannya
tidak akan berubah sendiri jika tidak dirubah. Dan ia paham pula bahwa itu
adalah ulah pemilik laptop, sebab tak mungkin tukang kebun atau tukang cuci
rumah Pak Hardi berani masuk kamar putri majikan mereka.
Rusli curiga dan mulai bertanya-tanya tentang isi pikiran putri itu.
Tiga hari setelah itu sebaris pesan masuk di wa-nya. Dari tuannya itu, si putri itu.
“Maaf, mengganggu, ndak? Aku ingin ditemani keluar nanti malam.”
Rusli mulai terganggu, sejak saat itu. Ia cukup peka dengan tingkah laku
seseorang, termasuk tingkah laku perempuan, termasuk yang menyimpan rasa
padanya. Ia hubungkan pesan itu dengan cara si putri meliriknya, mendekatkan
tubuhnya, menyuguhkan kopi padanya saat ia memperbaiki laptopnya. Ia pun
terhubung dengan satu dugaan kuat, yang beralasan kuat: anak Pak Hardi jatuh
hati padanya.
Tapi ia jelek dan pendek! seru batin pemuda itu.
Ia sudah berusaha menolak, dengan halus, dengan memelas, agar putri
bosnya itu tak sampai tersinggung dan marah. Tapi ia tak bisa mengerti dengan
segala alasan dan penjelasan Rusli. Upaya memperjuangkan cinta dari putri itu
pun tak berhenti, hingga tiba-tiba berubah menjadi aksi kolonialisme: mencaplok
paksa hati Rusli. “Mencaplok”, dengan “paksa”, sebab ia sudah melibatkan
bapaknya, yang suatu hari mengajak Rusli duduk dan bicara dengan tenang, “aku
kaget sekali anakku mencintai Pak Rusli. Harapanku ia menikah dengan seorang
pengusaha. Tapi tak apalah, aku tak mau ia terluka karena keinginannya tak
kuturuti. Nah, sekarang, aku harap kau cintai dia dengan sepenuh hati. Ia putriku
yang kusayangi.”
Rusli berpikir untuk keluar dari
perusahaan itu. Ia tak sudi dijajah! Sambil terus bekerja ia berusaha melamar
ke sana sini. Tiga bulan ia melakukan hal itu. Tapi hasilnya nihil.
Rusli juga hendak nekad pulang ke kampungnya, meninggalkan pekerjaan dan
kota selama-lamanya, asalkan tak lagi bertemu dengan Pak Hardi dan –terlebih-
putrinya. Tapi saat mengemas pakaian dan barang-barang, ia ditampar bayangan:
lahan bapaknya yang telah dijual semua. Ibunya hanya seorang penjual gado-gado.
Tiba di kampung ia akan menjadi pengangguran, atau bekerja sebagai buruh di
lahan orang lain.
Maka hari-hari dalam dua tahun adalah hari-hari penuh kepalsuan bagi
Rusli. Ia menerima cinta si putri dengan hati palsu. Ia melayani kemesraannya
dengan kasih sayang palsu. Hingga dalam dua tahun itu pula, pada tiap
pergantian tahun, ia selalu berdoa ada seorang tamu yang membawanya terbang ke
langit, jangan lagi di bumi, untuk menghindar dari penjajahnya. Kalau masih di
bumi upaya menghindarnya hanya akan membuat dirinya bertemu dengan kesulitan.
Sampai suatu malam, saat ia nelangsa sendiri memandangi bulan di teras
kos, ada tamu yang datang padanya.
Tamu itu berkata, “putri bosmu itu jelek, pendek dan tidak memenuhi
standar perempuan yang kau inginkan. Tapi dia memiliki Pak Hardi. Artinya ia
memiliki segalanya, termasuk memiliki kamu. Kau tidak akan bisa melepaskan diri
dari penjajahannya, kecuali kau pergi. Tapi itu berarti penderitaan hidup
bagimu. Sekarang kau berusaha untuk mempertahankan hatimu dengan cara
berpura-pura saja mencintai si putri. Apa yang kau dapat dari itu? Justru kau
semakin melilit dirimu dengan tali kekang yang sudah mengikatmu.
Apakah tidak sebaiknya kau merubah pikiran?
Kau terima saja dia, dan belajarlah menerima takdir beristerikan perempuan
yang tak cantik. Sulit memang. Tapi dengan cara itu kau akan terlepas dari
penjajahan. Justeru sebaliknya kaulah yang akan berkuasa. Tak terpikirkah
olehmu, dari ob kau berganti status menjadi pembesar perusahaan hanya karena
kau jadi suami anak bosmu itu?”
Rusli tak menerima saran tamunya itu. Bahkan ia usir!
Tapi sang tamu tak jera. Ia terus mengulang kedatangannya. Sampai
belasan kali!
Akhirnya Rusli mulai sadar. Ia pun menerima pendapat tamunya. Menikahlah
ia dengan putri bosnya itu, walaupun dua hari sebelumnya sempat hendak
melarikan diri lagi, setelah mendengar bisik-bisik orang yang tak mengenalnya,
“beruntungnya Mbak Reyna. Jelek-jelek begitu bisa mendapat suami yang ganteng.
Oh, pasti calon suaminya itu matre. Kudengar ia office boy di perusahaan bapaknya Mbak Reyna.”
Hiduplah Rusli dengan Reyna. Beranaklah Reyna sampai dua orang, Kenya
dan Dean. Keduanya cantik dan tampan, mengikuti bapaknya. Rusli merasa bahwa
sebelumnya ia telah memperumit hidupnya sendiri dengan terlalu mementingkan kecantikan
perempuan. Toh lama kelamaan ia tak peduli lagi dengan fisik isterinya itu.
Ia terlalu sibuk mengurus pekerjaan setelah mertuanya menaikkan
jabatannya menjadi manajer pemasaran. Reyna ikut sibuk, berusaha mempercantik
diri, menambah kecerdasan dan keluasan pergaulan, untuk menjaga pesona dan
kualitas diri di hadapan Rusli yang ganteng. Jika tidak, dengan kemapanannya
Rusli terlalu mudah menyelingkuhinya. Ia takut, sangat takut. Kini ia yang
terjajah.
Rusli ingin sekali tamu semacam itu datang lagi. Kali ini kepada Reyna,
Kenya dan Dean.
Sejak lima tahun terakhir Reyna berubah. Berawal dari saat ia diserahi
jabatan oleh bapaknya sebagai wakil direktur. Ia menjadi sosok penting dalam
perusahaan, yang berpengaruh dan memiliki banyak relasi, para pengusaha, para
direktur, juga orang-orang penting pemerintahan. Jelek pendeknya sudah tertutup
oleh jabatan, pengaruh dan ketergantungan banyak pihak pada dirinya itu.
Dalam hati Rusli protes, mengapa bukan dirinya yang diangkat sebagai
wakil direktur. Tapi bagaimana pun kekuasaan tertinggi masih di tangan
mertuanya. Rusli harus menerima saat kekuasaan Reyna mengimbangi kekuasaannya.
Menerima pula ketika Reyna menjadi keliwat pede, yang –dari sikap dan
perkataannya- menjadikannya merasa bahwa harganya tak rendah lagi, yang
seandainya ditinggal oleh Rusli, banyak lelaki yang akan mengerubutinya.
Rumah tangga mereka lebih banyak diisi saling mempertahankan harga diri
dan ego. Lebih sering diwarnai ketidaksepahaman yang berujung cekcok. Ia pun
mengaku lama-lama tak tahan berada di rumah terus. Maka jika sebelumnya Reyna
lebih sering di rumah, kini di luar jam kerja ia habiskan waktu bersama
teman-teman sosialitanya. Bila diingatkan, apalagi dilarang, ia akan menjawab,
“aku menghindari lama-lama berada di rumah, lama-lama berdekatan dengan kamu, Pa.
Sebab kita hanya akan bertengkar saja.”
Imbas dari suasana rumah dan sikap Rusli serta Reyna adalah kekerasan
jiwa Kenya dan Dean. Keduanya menjadi sulit pula diatur.
Kenya, yang baru menyelesaikan pendidikan sarjana ekonomi tak sedikit
pun menunjukkan kemauan untuk mulai menggunakan ilmunya untuk ikut membantu
memajukan perusahaan. Ia tak mau bekerja. Ia hanya senang menghabiskan waktu
bersama teman-temannya, plesir kesana
kemari, shopping dan pesta tiap hari.
Rusli sangat cemas dengan tingkah anak gadisnya itu. Apalagi pacarnya juga
seorang yang tak bekerja. Anak orang kaya, tapi malasnya sama dengan Kenya.
Dan Dean, ikut-ikutan. Di sekolahnya, di sebuah SMA ternama, ia
tergolong siswa bermasalah. Sering tidak masuk, tidak menghormati guru, dan
kesenangannya adalah memamerkan segala yang ia punya. Tiap tahun ia selalu
menuntut agar motor atau mobilnya diganti dengan yang baru.
Dulu Rusli tak peduli dengan semua ketidakberesan perangai isteri dan
anaknya itu. Tapi seiring waktu, seiring dengan pertambahan usianya, ia selalu
merindukan ketenangan dan keharmonisan dalam rumah tangganya. Ia tetap bekerja
dengan keras, tetap berusaha menjaga kekuasaannya, namun lebih dalam dari itu,
hatinya selalu bicara tentang sisi lain kehidupan, yang tak sekadar tentang
materi. Paling tidak, ia sangat ingin jika pulang kantor ia dapati isterinya
menyambutnya dengan senyum. Anak-anaknya sedang belajar, bangun sebentar
mencium tangannya. Lalu mereka makan bersama di meja yang satu, saling
bercerita tentang aktifitas masing-masing. Sebelum tidur, berkumpul sebentar di
ruang keluarga, bercengkerama sambil menonton tivi. Atau, bila menjelang tahun
baru seperti sekarang, mereka di serambi, duduk bersama menyaksikan semarak
kembang api hingga jelang dini hari.
Rusli menegakkan tubuhnya yang dari tadi tersandar ke kursi. Tatapannya
masih kosong. Tapi kali ini langit sudah dipenuhi ledakan-ledakan kembang api.
Maka makin sepi hatinya. Sepi mengharapkan isteri dan anak yang pasti
akan pulang di atas pukul satu dinihari.
Ia putuskan untuk berkendara sebentar ke pusat kota.
***
Malam tahun baru telah merubah wajah pusat kota menjadi lebih semrawut.
Manusia seperti ditumpahkan ke trotoar, ke depan-depan pertokoan. Tubuh dan
bayangan mereka tindih menindih dalam paparan cahaya lampu di sana sini.
Terselip pula di antara kemacetan jalan-jalan utama karena kendaraan yang
jumlahnya bisa lima kali lipat dari jumlah di waktu-waktu biasa. Suara klakson
bersahutan dengan riuh manusia dan terompet. Dengan suara musik juga, dari
tokok-toko, café, pusat perbelanjaan, sampai warung kecil yang terhimpit
restoran. Di langitnya. Ledakan kembang api terus saja menghantam pendengaran
dan jiwa orang-orang yang jenuh dengan keriuhan semacam itu. Seperti jiwa
Rusli.
Dulu, dulu sekali, ia pun suka dengan suasana itu. Bahkan menjadi
bagiannya. Tapi, lagi-lagi ia merasa usianya yang bertambah telah membuatnya
ingin menjauhkan diri dari hal-hal seperti itu. Ia mengharapkan pula ketenangan
sampai di sekitarnya, di kotanya.
“Reyna di café mana?” bisiknya sendiri dengan mata terus fokus ke depan,
ke mobil-mobil yang ada di depannya, yang demikian berdekatan jaraknya. “Kenya,
Dean? Apa yang sedang mereka kerjakan dengan semangat tahun barunya?”
Rusli kembali merasa bahwa apa yang ia pikirkan itu sia-sia saja. Jika
ia tahu dimana Reyna, Kenya dan Dean, apa yang akan ia perbuat? Mengajak
pulang? Membersamai mereka? Menasehati? Memarahi? Tak ada yang bisa ia lakukan.
Klakson mobil di belakang Rusli berbunyi keras. Mengagetkan lelaki itu.
Ia sadar telah terlalu memperlambat kecepatan hingga kendaraan-kendaraan yang
mengikutinya harus ikut melambat pula, yang berakibat menambah lama kemacetan.
Klakson berbunyi terus, dari segala arah. Rusli merasa kepalanya menjadi
pening. Apalagi udara panas musim hujan yang tak juga hujan memasuki mobilnya.
Lekas ditutupnya semua jendela. Ac
segera mengalirkan hawa dingin.
Ia tatap ke depan. Antrian kendaraan sangat panjang.
Bisa sampai dua jam aku terjebak
kalau tak segera melepaskan diri dari kemacetan ini, pikirnya.
Maka ia mulai melihat ke sebelah kiri, mengira-ngira letak gang yang
bisa ia masuki. Hanya satu mobil di sampingnya, yang membatasinya dengan tepi
jalan.
Gang sudah terlihat dalam jarak sekitar sepuluh meter. Rusli pun
mengarahkan mobilnya ke kiri, memepet mobil di sampingnya.
Klakson mobil itu berbunyi. Pengemudinya, seorang lelaki membuka jendela
dan terlihat berteriak kepada Rusli.
Rusli membuka pula jendelanya.
“Kenapa memepet begitu, Pak? Mau menepi? Bagaimana menepi sementara
tidak ada celah untuk Bapak bisa masuk ke depan saya?” serunya dengan nada
kurang senang.
“Hentikan mobilmu sebentar!” Rusli tak mau kalah. “Kalau kau berhenti,
mobil di depanmu terus jalan, berarti akan ada celahku untuk berada di tepi!”
“Gila! Orang di belakangku akan marah!” sambut sang lawan bicara.
Tapi Rusli terus memepetkan mobilnya. Jika mobil lawannya bertahan tidak
mau berhenti, maka benturan akan terjadi.
Nampaknya lelaki itu tidak mau mengambil risiko mobilnya lecet. Maka ia
pun memberhentikan laju. Rusli pun tak menyia-nyiakannya. Sekali gas kini
mobilnya sudah berada di tepi, mendekati gang.
Klakson bersahutan dari belakangnya, memberitahukan kejengkelan pengemudi
yang ia paksa tadi, juga pengemudi mobil-mobil lain yang terpaksa berhenti pula
di belakangnya.
Mobil Rusli telah masuk ke dalam gang. Ia menarik nafas lega.
Kini ia berada di tengah kampung. Berbeda sekali suasananya. Lengang.
Tak ada satu pun orang yang melintas. Pasti warganya ada di antara kerumunan
tadi, pikir Rusli.
Ia terus mengikuti alur gang. Tujuannya adalah jalan pintas yang akan
membawanya ke arah rumahnya. Karena jenuh dan sedikit pening akibat terjebak
dalam keriuhan ia merasa menjadi mengantuk. Ia ingin lekas sampai. Maka
ditambahnya sedikit laju mobilnya.
Namun bertemu masjid membuat ia terdorong untuk menurunkan kecepatan,
pelan, bahkan berhenti.
Masjid di tepi kampung itu penuh dengan orang-orang di dalamnya. Mereka,
laki perempuan terlihat sedang duduk tertib, tertunduk dan menggerak-gerakkan
kepala ke kiri dan ke kanan sambil menyebut kalimat, “lailahaillallah…
lailahaillallah….” yang terdengar jelas karena diperkuat oleh pelantang. Yang
memecah hening.
Mereka sedang berzikir.
Rusli memarkir mobilnya di tepi. Ia ingin memerhatikan lebih lama
suasana tersebut.
“Duh, orang-orang di pusat kota menyambut pergantian tahun dengan
keriuhannya. Orang-orang di sini melakukannya dengan cara yang luar biasa,
dengan mendekatkan diri pada Allah," gumamnya.
Dari zikir panjang, sampai doa, yang juga cukup panjang, diikuti oleh
Rusli dari dalam mobilnya. Sampai orang-orang di dalam masjid itu bangun,
bersalaman dan keluar. Pulang.
Ada seorang lelaki bersongkok dengan sajadah tersampir di pundak menuju
ke arahnya. Mungkin ia penasaran dengan mobil asing yang berhenti di dekat
masjid.
Rusli lekas membuka kaca jendela.
Lelaki itu tersenyum. “Dari mana, Bang?” tanyanya ramah.
“Perumahan Puri Anggrek,” jawab Rusli sambil tersenyum pula. “Tadi agak
ngantuk, berhenti dulu untuk istirahat.”
Lelaki itu mengangguk-angguk. Ia hendak bicara, tapi dua anak, lelaki
perempuan memanggilnya “bapak” dari depan masjid. Di belakang mereka seorang
wanita menyusul.
“Ayo, pulang,” ajak anak perempuan yang nampaknya lebih besar seraya
menarik lengan lelaki itu, yang kemudian tersenyum lagi dan mengisyaratkan
pamit.
Mereka berempat, bapak, ibu dan anak melangkah menuju arah yang
berlawanan dengan mobil Rusli. Mereka kemudian menghilang di balik pagar
pekarangan sebuah rumah.
Rusli mengikutinya dengan pandangan.
“Damai sekali, bersama-sama, satu keluarga dari masjid,” bisiknya.
Ia malu pada dirinya sendiri ketika tiba-tiba berharap bisa kompak
seperti itu dengan isteri dan anaknya. Bagaimana bisa? Yang tersisa saat ini
antara dirinya dengan keluarganya hanya sebatas ikatan pernikahan, ikatan suami
dengan isteri, ikatan bapak dengan anak yang terlanjur.
Bukan, bukan Rusli tak pernah berusaha. Beberapa kali dirinya mencoba
untuk bicara baik, lemah lembut dengan Reyna, Kenya dan Dean. Tapi tanggapan
mereka tawar. Ada keterkejutan, ketidakpercayaan dengan sikap sang kepala rumah
tangga yang tidak seperti biasanya. Lalu kembali mereka pada situasi
sehari-hari: bicara seperlunya, makan sendiri-sendiri, tak lagi satu meja.
Reyna dan Rusli kerap tidur terpisah.
Saat ini pun Rusli sedang berusaha berubah. Ia yang sebelumnya juga suka
pulang larut malam, kini berusaha sedapat mungkin tiba di rumah paling lambat
pukul dua puluh satu. Ia tak lagi ke club,
tak lagi menghabiskan waktu dengan teman-temannya. Bahkan jadwal bermain golf juga ia pangkas banyak sekali,
dengan harapan semakin banyak memiliki waktu di rumah. Niatnya agar diikuti
oleh Reyna, Kenya dan Dean.
Tapi itu sia-sia saja.
“Damai sekali keluarga tadi, bersama-sama, satu keluarga dari masjid,”
bisiknya lagi.
Mendadak ia terhenyak saat menyadari diri sudah sangat lama tak pernah
ke masjid, tak pernah sholat. Ada rindu yang pelan-pelan merayapi dadanya.
***
Tiba di rumah, suasana masih lengang. Anak isterinya belum pulang.
Rusli mengantuk sekali. Hanya melepas baju ia hempaskan tubuhnya ke atas
ranjang. Memejamkan mata, ia berharap segera lelap.
Tapi satu jam sudah, ia tetap sadar. Dan matanya masih terbuka, dengan
tatapan koson melekati plafon.
Dan kerinduan pada masjid, pada sholat kembali merayapi dadanya.
Ada keinginan untuk bangun dan berwudhu. Tapi entah, pada siapa, pada
apa, ia sepertinya risih, malu!
Maka kerinduan itu semakin merayap, lalu berubah menjadi mendera.
Dadanya sesak, hatinya perih!
“Duh…,” rintihnya.
Hendak menyebut nama “Allah”, tapi ia sepertinya segan!
Dadanya kian sesak, hatinya kian perih. Kepalanya pening, lalu badannya
seperti panas! Detak jantungnya pun ia rasakan menjadi meningkat tak beraturan.
Ia cemas tekanan darahnya meningkat!
Gegas ia bangun, duduk di tepi ranjang. Pandangannya kabur.
“Ya, Allah!” serunya.
Kecemasannya meningkat.
Ia tiba-tiba takut mati mendadak.
Cepat ia berdiri, berjalan dengan lutut gemetar menuju kamar mandi. Di
sana ia berwudhu.
Sejurus ia telah berada kembali di kamarnya, mencari-cari sesuatu:
sajadah, baju taqwa, songkok, tapi tak tahu harus ia cari kemana. Barang-barang itu ia beli
pada saat-saat awal pernikahan. Lalu isterinya menyimpannya, entah di mana.
Ia ingat, di lemari pakaian, di ruang tengah.
Lekas ia ke sana. Benar, terselip di antara tumpukan bajunya dan baju
Reyna yang sudah tidak terpakai.
Dikenakannya segera baju dan songkok itu. Dihamparkannya pula
sajadahnya. Sholatlah ia.
Usai, mata Rusli basah. Lalu ada yang meleleh dari pelupuknya. Ia
sendiri tak tahu kenapa. Yang pasti batinnya pedih, bercampur pula dengan haru.
Tapi anehnya, dadanya lega, hatinya tenang. Kepalanya tak lagi pening, badannya
pun hangat seperti biasa! Lalu detak jantungnya pula kembali normal!
Air matanya terus meleleh sampai kantuknya datang dan teramat
menguasainya. Ia terlelap di atas tempat sholatnya dengan badan meringkuk,
tanpa alas tanpa bantal.
***
Suara langkah kaki di luar kamar membangunkan Rusli. Ia yakin itu suara
Reyna yang tak bisa ia duga apa kerjanya, entah pula jam berapa pulangnya.
Mendadak terbersit dalam ingatan Rusli tentang harapannya bahwa
isterinya itu, Kenya dan Dean mendapat tamu di tahun baru ini. Tapi lagi-lagi
ia kecewa sendiri ketika meyakini bahwa harapannya itu akan tetap hanya
harapan.
Ia bangun dan terkejut demi mendapati di atas tubuhnya ada selimut, dan
di bawah kepalanya tadi ada bantal.
“Siapa yang memberiku bantal dan selimut?” bisiknya. “Reyna?”
Dada Rusli gemuruh.
“Apakah Reyna?” bisiknya kembali.
Daun pintu kamar terkuak. Isterinya itu berdiri di ambang, dengan lengan
mengepit mukenah.
Mata Rusli melebar. Tatap Reyna juga canggung.
Perempuan itu tertunduk, kemudian melangkah masuk dan duduk di samping
ranjang.
“Saya dan anak-anak pulang sekitar pukul tiga,” ucapnya lirih. “Saya
dapati Papa tertidur, sepertinya setelah sholat. Jadi saya kasih bantal dan
selimut.”
Rusli tak percaya dengan apa yang ia dengar. Suara lembut Reyna,
memberitahukan waktu kepulangan, menjelaskan perhatiannya, dengan menyebut
“Papa” sepertinya sesuatu yang tak mungkin terjadi, setelah puluhan tahun!
Dan Rusli menjadi tak bisa berkata-kata. Hanya tatapnya yang lekat,
lekat sekali pada isterinya itu.
Dan Reyna tiba-tiba terisak.
“Saya kaget mengetahui Papa sholat, sebab sejak kita menikah Papa tak
pernah lagi mengerjakannya. Saya juga jadi ingin sekali sholat,” ucapnya dengan
getar melatari suaranya.
Rusli semakin tak bisa berkata-kata. Kerongkongannya tercekat, hatinya
dipenuhi bermacam rasa: kaget, tak percaya, haru, senang….
“Akan kuajak pula anak kita, agar mereka mau untuk mulai mengerjakan
sholat.”
Detik itu pula Kenya dan Dean muncul di ambang pintu. Wajah keduanya
nampak heran menyaksikan pemandangan di depannya: papanya di atas sajadah, ada
songkok tergeletak di sampingnya. Sedang mama mereka mendekap mukenah.
“Mama mau sholat,” ucap Reyna pelan. Wajahnya tertunduk, seperti malu. “Kalian
mau ya, sholat?”
Mendengarnya Rusli terpekur. Ia baru menyadari satu hal.
“Lama sekali kuharapkan kedatangan tamu untuk ketiga orang yang
kusayangi ini. Ternyata aku sendiri yang membawanya kepada mereka…!” seru
batinnya[.]