Abdul Hadi WM: Hati Penyair Madura
Saifur Rohman
Langit sastra Indonesia tampak sangat
mendung. Jumat 19 Januari 2024 pukul empat pagi, di beranda media sosial,
Gayatri Wedotami atau akrab disapa dengan Chen Chen, putri Prof Dr Abdul Hadi Wiji Muthari atau
biasa disebut dengan Abdul Hadi WM menulis kepergian sang ayah pada pukul 03.36 WIB.
Jenazah disemayamkan di rumah duka di Jatiasih dari RSU Gatot Subroto. Sejumlah
tokoh nasional turut serta mengantarkan kepergiannya. Belum kering tanah pusaranya,
tiga hari kemudian Sastra Indonesia makin mendung ketika mendengar kabar Ignas
Kleden meninggal dunia pada Senin (22 Januari 2024).
Bila Ignas Kleden lebih dikenal dalam
pemikiran kritis tentang sosial, Hadi lebih
dikenang sebagai penyair sufistik dalam sejarah sastra Indonesia. Bagi Teeuw,
Kleden dan Abdul Hadi tidak
pernah bisa ditemukan karena Abdul Hadi “tidak
pernah menyentuh persoalan sosial” dan Ignas Kleden tidak pernah menyentuh
dunia sufisme. Teeuw dalam Sastra Indonesia Modern II melihat
melihat bahwa Abdul Hadi dianggap
“tidak pernah melibatkan diri secara langsung terhadap masalah sosial, atau
terhadap masyarakat di sekelilingnya” (Teeuw, 1989: 45). Menyanggah hasil
pembacaan Teeuw itu juga dapat ditampilkan laporan dari Koran Tempo. Dalam
laporan Koran Tempo dikatakan, Abdul Hadi adalah penyair yang selalu istikamah dengan tema-tema
sufistik (Sabtu, 20 Januari 2024).
Dari kutipan itu jelas, Teeuw menuduh apatisme Abdul Hadi hanya karena tidak bisa mengaitkan dengan kasus-kasus
sosial seperti puisi pamflet Rendra, perlawanan Wiji Thukul, kritik sosial
Mutofa Bisri, atau herosime 1966 oleh Taufik Ismail, tetapi selaras dengan
imagisnme Sapardi Djoko Damono atau kesederhanaan Djoko Pinurbo.
Puisi-puisi awal Abdul Hadi justru
menyingkap realitas ultim dari kemanusiaan melalui artefak sosial, seperti
jalan raya, jam, pulpen, dan tulisan. Dalam buku Gelak Esai dan Ombak
Sajak Anno (2001) Sutardji Calzoum Bachri bersaksi awal
kepenyairan Abdul hadir adalah 1970-an. Dia
dianggap berhasil mengikatkan sajaknya “dengan kesederhanaan namun terasa
mantap dalam upaya meraih kearifan” (Bachri, 2001: 2).
Marilah kita membaca puisi-puisi di
awal kepenyairannya. Pada 1978 dia menulis puisi berjudul “Jalan” (Budaya
Jaya, No 100, September 1978). Dikisahkan, “Matamu penuh jam: Kau
Berjalan./ Tiktok itu menghentikanmu di tiap tikungan,/ Kau menoleh ke arah
angin yang bilang, Kau Ketinggalan! –Tapi kau tak kehilangan/Seperti gelombang.
Dan angin maut tak dapat/ mematahkan jalanmu di air”. Sebuah perjalaan yang
saling menyalip itu akan didapati orang melaju cepat dan orang yang tertinggal.
Ketika tokoh aku dituduh tertinggal, dia menyatakan tidak masalah karena dia
tidak kehilangan tujuan. Kematian pun tidak akan menghentikan tujuannya. Di
akhir puisinya, ketika sang tokoh mulai menua, tapi sang tokoh pun menunjukkan
tujuannya untuk mencapai kebenaran yang ultim. Dikatakan, “Mereka pun tua,
mereka mengucapkan:/ Kebenaran tidur/ Lebih dalam”.
Realitas kebenaran yang ditangkap oleh penyair tidak berhasil dipahami
oleh Teeuw. Sial bagi Teeuw karena puisi-puisi awalnya terlibat lebih dalam
menuju wilayah eskatologis. Jika Teeuw hidup sekarang, dia akan tahu bahwa
realitas eskatologis, mistik, dan ilahiah menjadi bagian tak terpisahkan
dari Abdul Hadi hari
ini. Puisi “Tuhan, Kita Begitu Dekat “ dipilih oleh Koran Tempo sebagai bagian
dari obituari pada Sabtu (20 Januari 2023). Koran tersebut memberikan label
sufisme dalam puisi-puisinya. Puisi-puisi yang dikumpulkan dalam Meditasi
membuktikan hal itu. Tidak berselang lama, Meditasi memperoleh
penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta pada 1978. Saat itu dia berumur 32
tahun. Abdul Hadi WM lahir di Madura, 24 Juni 1946. Pemamahan tentang sastra
dan filsafat diperoleh dari pendidikan jurusan Sastra Indonesia dan filsafat di
UGM. Dia kemudian melanjutkan pascasarjana di Universiti Sains Malaysia (USM)
pada 1996. Pernah menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta. Menjadi dosen tetap di
Universitas Paramadina-Mulya Jakarta sejak 1998 dan menjadi dosen luar biasa di
Universitas Indonesia dan Universitas Muhammadiyah Jakarta. Selain memperoleh
Hadiah Puisi Terbaik dari Dewan Kesenian Jakarta 1978 untuk kumpulan puisi
Meditasi, juga memperoleh Anugerah Seni Pemerintah RI pada 1979, hadiah Buku
Terbaik Yayasan Buku Utama (2001) dan Hadiah Mastera (2003).
Fakta tersebut menunjukkan bahwa Abdul Hadi secara intelektual telah memahami konsepsi sastra,
filsafat, dan capaian-capaian estetik sebelumnya. Pemahaman itu merupakan bukti
faktual untuk mengelak dari tuduhan Teeuw tentang apatisme sosial. Apalagi
ketika Abdul Hadi menyatakan
bahwa makna puisi bukan hanya pada kata-kata eksplisit, tetapi di tempat yang
tidak lagi bisa dimanifestasikan dalam kata-kata. Ungkapan itu ditulis dalam pengakuan
proses kreatif puisi-puisinya yang diterbitkan oleh Grasindo pada 2006.
Pembawaannya yang kalem dan tidak banyak bicara juga memberikan kesan bahwa dia
adalah seorang pemikir yang kuat. Hal itu terbukti saat kami mengundangnya
dalam acara kesastraan di kampus di Jakarta beberapa waktu silam.
Pembaca masa kini dapat menikmati
puisi-puisi dalam buku Meditasi itu di dalam kumpulan yang
diterbitkan oleh Grasindo berjudul Madura, Luang Prabhang (2006).
Terdapat 100 puisi yang berasal dari beberapa kumpulan puisi sebelumnya. Dia
mengaku masa paling produktif dalam penulisan puisinya adalah 1967-1990.
Menurutnya, masa itu adalah “periode yang saya akui merupakan masa-masa subur
kepenyairan saya sebelum terbenam dalam kegiatan akademis dan ilmiah pada
dekade berikutnya.” (Hadi, 2006: xi). istilah “kegiatan
akademik” sebagaimana dituliskan itu mengacu pada upaya menempuh pendidikan
doktoral di Universiti Sains Malaysia.
Dibandingkan dengan Teeuw, penilaian
Sapardi Djoko Damono tampak lebih hati-hati. Damono dalam Kesusastraan
Indonesia Modern: Beberapa Catatan menekankan aspek stilistiknya
dengan menyatakan bahwa kekuatan Abdul Hadi terletak pada citra lihatan (Damono, 1983: 32). Citraan
itu dapat dikatakan sebagai tampilan luar dari puisi Hadi karena
tampilan dalamnya merujuk pada wilayah yang tak tepernamai.
Pendek kata, capaian estetis Hadi dalam horison sastra Indonesia tidak berhenti pada
citraan visual sebagaimana dikatakan oleh Damono. Madura sebagai bagian dari
budaya pesisir adalah latar belakang kunci untuk memahami ruang kreatif dan
sosialnya. Zawawi Imron tentang “dubur ayam” dan “celurit” melambangkan budaya
yang terbuka dari Madura, tetapi Hadi dengan
“kedekatan Tuhannya” memberikan ruang religius yang lebih esensial dan
mendalam. Hadi memperkenalkan substratum budaya
pesisir yang dipenuhi dengan sage-sage tentang Siti Jenar, Al-Hallaj, atau
Hamzah Fansuri. Jika Zamawi Imron adalah mulut orang Madura, maka Abdul Hadi adalah hatinya.