Genggaman
Dhimas Bima Shofyanto
Kau sebentar menangis saat kita baru saja tuntas
mengobrolkan banyak hal. Mulai dari genosida yang terjadi di sebuah negara,
sampai pengusiran sekelompok orang dengan latar belakang agama sama denganmu.
Setelah itu matamu memejam, sembari menggenggamku erat. Beberapa waktu kemudian
aku juga turut terlelap dalam gelap. Tapi tidak sepertimu, aku tak pernah
bermimpi apa-apa.
Hidupmu selalu sajalah lebih terhiasi dengan warna-warna. Setiap kali bangun dengan mata berkelip-kelip, kau pasti segera meminta tolong kepadaku. Agar mimpi-mimpimu yang masih lekat dalam ingatan, dapat segera tersampaikan pada Mangun, teman dekatmu itu. Katamu bahasaku selalu lebih bebas digunakan dalam menceritakan sesuatu. Ada perbedaan rasa bila kau menceritakannya secara langsung tanpa perantara.
Namun sejujurnya, tubuhku selalu saja memanas setiap kali harus menyampaikan bahagiamu padanya. Aku merasa kau hanya memandangku sebagai alat saja, tak lebih. Apalagi di beberapa malam tertentu, kau membahas hal-hal yang mestinya tidak dibahas oleh sepasang teman dekat. Ya, hal jorok itulah yang kau bahas. Seakan kepalamu sudah sesak oleh pikiran mengenai seks. Hanya air, lendir, dan ketegangan yang menjijikkan itu saja.
Padahal asal kau tau, hidup tidaklah melulu tentang itu. Kehidupan adalah penghayatan terhadap hal-hal yang lebih esensial. Aku memanglah tak beragama. Namun aku tau cukup banyak tentang bagaimana cara berkehidupan yang bijaksana. Capai-capai filsuf seperti Socrates mencari makna penghidupan sampai menelantarkan keluarganya. Sedang kau sendiri tak kunjung mengetahui dan mengamalkan kebajikan itu.
Memang, kau membicarakan hal jorok itu jarang sekali. Iya, hanya dua kali. Namun setiap angka yang lebih dari satu adalah banyak bagiku. Kenapa tidak menuntaskannya saja pada pembicaraan yang pertama? Mengapa harus ada lanjutan dari yang pertama itu?
***
Esok hari, kau telah menggenggamku dan berlari-lari kecil menyibak udara pagi. Ada sebuah janji yang mesti kau tepati. Kota ramai ini memang tak pernah benar-benar tertidur. Matahari masih belum menyingsing benar, tapi kendaraan sudah berlalu-lalang mengalirkan suara klakson.
Sesekali kau terbatuk-batuk karena asap yang tak begitu nampak. Dahimu yang tertutupi beberapa helai rambut jadi berkerut-kerut. Meski kau lebih sering mengangguk-angguk kecil saja, turut menggumamkan lagu yang lamat-lamat kulantunkan:
Ooh, love, ooh, lover boy
What're you doing tonight? Hey, boy
Write my letter, feel much better
And use my fancy patter on the telephone*
Kau memang tengah suka-sukanya
dengan lagu ini. Barangkali sudah puluhan kali dalam seminggu aku
menyanyikannya karena keinginanmu. Tidak, aku tak sama sekali terganggu. Ini
memang lagu ajaib yang bisa memekarkan bunga-bunga dalam dada. Atau tidak? Aku
juga tak tau. Aku hanya menyukai lagu ini karena kau menyukainya terlebih
dahulu.
Setelah
keningmu disesaki oleh peluh sebesar biji mentimun, sampailah kita pada sebuah
kafe berlantai dua, dengan kotak telepon khas London yang teronggok kosong di
halamannya. Dari rongga-rongga dinding yang ada di bagian atas kafe, banyak
tanaman-tanaman menjalar yang terjuntai. Terdapat pula beberapa patung
berukuran kecil yang menyambut di mulut bangunan. Juga anak-anak tangga dari
kayu yang selalu menimbulkan suara decit setiap kali kakimu menjejaknya.
Membelakangi dinding berhiaskan
ornamen batik, kau mengedarkan pandanganmu keluar. Mengambang. Wajahmu seperti
sibuk memikirkan sesuatu yang aku tak tau. Ah, barangkali aku justru sangat
mengetahui apa yang sedang kau pikirkan. Karena kemarin kau baru saja dihubungi
oleh ibumu, melalui aku. Dia menanyakan keadaanmu.
Reaksimu sama sekali lain saat
itu. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutmu. Kau membiarkan ibumu berbicara
dengan hembusan angin, tanpa jawaban. Meski dia tetap berbicara tanpa henti,
menasihatimu dengan baris-baris kata yang sungguh menyejukkan. Aku tau tubuhmu
bergemetaran mendengarnya. Karena genangan air sudah membendung pada matamu,
siap menjebolkan banjir.
Namun kau tetap mematung. Hingga
setelahnya, ibumu menyudahi pembicaraannya. Dia tau, kau benar-benar ingin
memutus diri dari kehidupanmu yang sebelumnya. Kau ingin memulai sebuah
kehidupan baru yang tak pernah dibayangkan olehnya. Kabur dari rumah, ke kota
ini, dan mungkin akan ke kota lain lagi di kemudian hari.
Sekarang, matamu berkaca-kaca.
Aku sibuk mereka-reka air mata yang menggenang itu berasal dari kesedihan atau
malah hal lain. Sampai bunyi berdencing-dencing yang berbaur dengan suara decit
kayu terdengar di udara, membuatmu menoleh pada kelokan tangga. Seorang lelaki
yang mengenakan rompi hitam dan bawahan jarik, dengan pergelangan kaki yang
terikat oleh lonceng mini mendekatimu tiba-tiba.
Aku baru menyadari kalau lelaki
itu adalah Mangun saat dia sudah benar-benar dekat denganmu. Tubuhku mulai
terasa memanas. Mangun segera duduk di salah satu kursi yang menghadap
kepadamu. Menyajikan secangkir kapucino beriring croissant dengan asap mengepul. Ujung jarinya lamat-lamat menyentuh
ujung jemarimu. Sedang wajahnya, menguarkan senyum yang tak sama sekali nampak
dibuat-buat.
“Bagaimana kabar mimpi-mimpi
indahmu?” tanya Mangun.
“Tak terlalu baik, sebetulnya.
Kukira kau sudah menyadari bahwa aku tak sesering dulu menceritakan mimpi-mimpi
bahagia itu. Kini, pemandangan malam hariku sudah benar berganti,” balasmu
dengan air muka sayu.
“Berganti?”
Pertanyaan Mangun mengambang di
udara selama beberapa waktu. Pada jeda itu, ada suara ketukan kayu yang begitu
berirama. Aku baru menyadari keberadaan beberapa angklung yang menjulur pada
pinggiran atap kafe ini. Desau angin berhasil mengundang pecahan nada yang
menghembuskan keteduhan. Terbukti dari kerut dahimu yang kini perlahan memudar.
“Dengan rekaan buruk akan resiko
yang mengiringi rencana kita.”
Wajah Mangun berubah masam. Aku
tentu saja sudah mengetahui kemana arah pembicaraanmu. Sejak dulu, aku
sebenarnya ingin menyampaikan pendapatku sembari berteriak sampai telingamu
pekak. Namun urung. Seperti yang sudah lalu, diam adalah bahasa terkuatku. Aku
hanya akan mendengarmu, menemanimu.
“Sebenarnya tak ada yang salah
dari apa yang akan kita lakukan. Semua yang kita rasakan tidak lain adalah
kehendak Tuhan juga. Oleh karena itu, janganlah sedikit saja merasa terbebani
akan hal ini. Sebab yang harus kita salahkan hanyalah…” gumam Mangun dengan
suara lirih.
“Tuhan?” tanyamu.
“Tatanan sosial,” sambungnya.
Lalu semuanya kembali pada
keheningan. Aku diam. Kau menundukkan wajah dan menjatuhkan beberapa tetes air
mata. Mangun perlahan bangkit dari posisi duduknya. Angklung dan angin tetap
mesra meneteskan jiwa mereka pada bunyi yang semakin lama, semakin bertambah
merdunya.
“Lalu, apakah kita akan
meneruskannya?” tanyamu.
“Apakah kau mau meneruskannya?”
“Tentu. Kita bisa pergi ke
tempat yang menerima kita, tanpa memperdulikan keluarga yang tak menyetujui
hubungan kita. Tempat yang tak memandang kasar sebuah perbedaan, yang tercipta
begitu saja tanpa bisa kita kontrol,” katamu dengan nada yang semakin lama
semakin meninggi.
Air muka Mangun berubah, seperti
menunjukkan ketidakpuasan atas jawabanmu, sanggahnya: “Bukankah itu terasa
sangat merugikan kita? Mengapa harus kita yang pergi, tidak tetap saja disini?”
Kau terdiam. Lama. Kau tau tak
mungkin memaksakan caramu menghindari masalah—dengan berpindah-pindah
tempat—pada Mangun. Menanggalkan kehidupan lama memang adalah jalan pintas
paling pamungkas menurutmu. Tapi rasa bersalah itu. Rasa bersalah tak pernah
benar-benar pergi darimu.
Hingga setelah beberapa menit
bertahan dalam posisi berdiri, Mangun akhirnya beranjak pergi diantar bunyi
berdencing-dencing—melanjutkan pekerjaannya sebagai pramusaji. Sambil
sebelumnya, mengusap kedua pipimu terlebih dahulu dengan lembut. Aku
melihatnya. Melihat bibir dan bulu matamu yang bergetar-getar. Satu-dua tetes
air yang terjun dari matamu dengan begitu perlahan. Begitu kepayahan.
Kau kemudian menggenggamku
dengan erat. Menjauh dari tempat ini.
***
Sudah beberapa hari ini pikiranmu tak bisa fokus.
Setiap milidetik waktu yang kau habiskan denganku, jadi terasa tak sama sekali
berarti. Kau tak dapat bertahan memperhatikan satu topik saja seperti dahulu.
Sebentar kau membaca sebuah berita, langsung kau ganti berita itu dengan berita
lain. Bahkan sebelum rampung membaca satu paragraf pun.
Kegundahan nampaknya begitu
menguasaimu. Sedang aku tak bisa berbuat apa-apa. Hanya bisa memesankan makanan
apapun yang kau kehendaki, membuat barang yang kau mau diantar langsung ke
depan pintumu, atau melantunkan lagu yang bisa sedikit mengurangi kesedihanmu.
Ah iya, kau tak lagi memintaku
menyanyikan lagu yang sebelumnya. Ada sebuah lagu lain sekarang yang tak
henti-hentinya kau ulangi. Aku tau penyanyinya tetaplah penyanyi yang sama.
Bahkan kini aku ingat bagian mana di lagu itu, yang membuatmu paling
bersemangat untuk turut menyanyikannya:
I'm a rocket ship on my way to Mars on a collision course
I am a satellite I'm out of control
I am a sex machine ready to reload like an atom bomb
About to oh, oh, oh, oh, oh, explode**
Kau akan
segera menggeleng-gelengkan kepala sambil menyanyikan lirik itu
kencang-kencang. Bahkan sesekali memukul-mukulkan tanganmu dengan keras ke
kasur. Aku turut bersuka cita melihatmu kegirangan. Setidaknya kegelisahanmu
benar-benar tak nampak pada saat melantunkannya di setiap waktu.
Sampai hari yang sudah kuperkirakan
sebelumnya benar-benar datang. Kala itu kau baru saja bangun dengan wajah
berbinar-binar. Nampaknya, kau mulai kembali memimpikan keindahan yang
biasanya. Sehingga dengan tergesa, kau meminta tolong kepadaku untuk
mengabarkan mimpimu kepada Mangun.
Sayangnya yang kau terima adalah hal
lain. Ajakanmu untuk memboyong hubungan dengan Mangun ke lain tempat, sekarang
benar-benar ditolaknya tanpa kompromi. Dia masih sangat menyayangi keluarganya,
katanya. Tak bisa membuat kedua orang tuanya yang sudah renta terlalu terkejut,
karena tindakan sembrono yang akan kau dan dia lakukan.
Terlebih, kau tau bahwa keluarga
Mangun adalah keluarga yang cukup terpandang. Bapaknya merupakan seorang tokoh
agama terkemuka, yang sudah menjadi sosok panutan di daerahnya. Sekalipun cinta
Mangun dikatakannya meluap-luap bagai ombak, dia tetap tak bisa memaksakan
kehadiranmu ke dalam keluarganya. Cintamu dan dia terlalu terlarang untuk tetap
diteruskan.
Kini, kehidupan pernikahan yang
selama ini menyesaki mimpi-mimpi indahmu, hancur tanpa bekas.
Matamu semerta-merta berubah merah. Gigimu bergemeletukan. Tangan yang
biasanya lembut menggenggamku, jadi tegang terkepal. Kau melompat-lompat tak
karuan. Semua barang yang berkelebat pada matamu, kau banting secara
serampangan. Membuat lantaimu penuh dengan serakan barang pecah belah: pecahan
kaca dan keramik yang berhamburan tak beraturan.
Kau berjalan ke satu-satunya cermin
yang ada di kamarmu, tanpa memperdulikan kaki yang kini mengembunkan darah.
Wajahmu kemudian kau dekatkan pada cermin. Memicing. Matamu menelisik satu-satu
fitur yang tersemat pada wajahmu secara teliti.
Dengan perlahan, kau usap-usap
alismu yang rimbun, juga bibirmu yang tipis. Hingga setelah beberapa saat,
jemarimu berganti memilin kumis dan janggut hitammu yang tak terlalu panjang.
Ada sebuah dengusan keras, sebelum kau menghantamkan kepalan tanganmu pada
cermin yang kini pecah berantakan.
Tubuhmu kemudian kau lemparkan ke
atas kasur. Dan waktu menjelma kilatan, bergulir dengan cepat sekali. Tapi kau
menelungkup sangat lama. Meninggalkanku begitu saja di atas laci, bersandingan
dengan pecahan-pecahan cermin. Kau tak lagi menyelimutiku dengan genggaman
penuh ketergantungan seperti biasanya. Sehingga beberapa waktu lagi, mungkin
aku akan benar-benar mati.
Bateraiku sudah hampir habis.
Yogyakarta, 29
Desember 2023
*Diambil
dari potongan lagu Queen, “Good Old-Fashioned Lover Boy”.
**Diambil dari potongan lagu Queen yang lain,
“Don’t Stop Me Now”