Kisah Abraham Sungkar, Lelaki yang Gagal Jadi Presiden Indonesia 2024 setelah Telat Kencing pada 1984
Dadang Ari Murtono
Ami bilang jika segala sesuatu berjalan
lancar, semua orang di Indonesia akan tahu siapa Abraham Sungkar.
“Tapi siapa
Abraham Sungkar?” aku bertanya.
“Itu
masalahnya,” kata Ami. “Ia seharusnya menjadi presiden Indonesia tahun 2024.”
Menurut Ami, Abraham Sungkar lahir di Kota
P pada awal tahun 70-an. “Namun semua dimulai sejak jauh hari sebelum ia
dilahirkan,” kata Ami, “ketika Abraham Sungkar masih empat bulan dalam
kandungan ibunya.”
Ini mulai
terdengar tidak masuk akal. Dan aku cemas dengan kesehatan Ami.
“Aku
baik-baik saja,” kata Ami. “Beberapa orang, kau harus yakin, mempunyai
kemampuan yang tidak biasa. Dalam kasus Abraham Sungkar, ia memiliki ingatan
yang sangat kuat. Termasuk ingatan sewaktu ia masih berada dalam kandungan.”
“Dan apa
yang terjadi pada Abraham Sungkar sewaktu ia berada dalam kandungan?” aku
bertanya, bukan karena aku benar-benar ingin tahu, tapi lebih karena ingin
menghormati Ami yang sudah bersedia bercerita.
“Seperti
semua yang dialami bakal janin berusia empat bulan dalam kandungan,” kata Ami,
“malaikat mengajukan pertanyaan dan Abraham Sungkar menjawab. Tujuh puluh tujuh
kali malaikat mengulangi pertanyaan itu dan tujuh puluh tujuh kali Abraham
Sungkar menjawab iya. Dan seperti setiap bayi yang kemudian dilahirkan
ke dunia yang fana ini, begitulah kesepakatan dibuat antara Abraham Sungkar dan
malaikat, lalu Abraham Sungkar lahir lima setengah bulan kemudian.”
“Aku tidak
ingat malaikat mengajukan pertanyaan kepadaku sewaktu aku masih empat bulan
dalam rahim,” kataku. “Bahkan jika pertanyaan itu diulang sampai tujuh puluh
tujuh kali.”
“Karena
itu,” Ami menjawab, “aku bilang beberapa orang mempunyai kemampuan yang tidak
biasa. Dan dalam kasus Abraham Sungkar, ia memiliki ingatan yang sangat kuat.
Dalam kasus Logan, ia punya kemampuan regenerasi yang bagus dan bisa
menumbuhkan cakar di kedua tangannya.”
“Logan?” aku
bertanya.
“Wolverine,”
Ami membalas, setengah tersenyum.
“Sial,” aku menjawab.
Sebelum bertanya kepada bakal janin berusia
empat bulan dalam kandungan, kata Ami, malaikat memutar slide-slide
peristiwa atau rekaman episode-episode kehidupan yang bakal dialami si bakal
janin seandainya si bakal janin bersedia dilahirkan.
“Sebuah
takdir,” kata Ami.
Dan si bakal
janin, yang baru saja menerima ruh dari Sang Pencipta, akan menimbang-nimbang
sebelum pada akhirnya ia memutuskan akan bersedia dilahirkan atau tidak.
“Jika itu
memang benar-benar terjadi,” kataku, “aku pasti sudah mengatakan tidak
bersedia. Seseorang dengan akun anonim di X menuduhku berbuat cabul. Dan semua
orang menghabisi aku tanpa memberiku kesempatan membela diri. Dan lihatlah aku
kini, terkucil, sendirian, tak punya apa-apa selain kau. Dan satu-satunya
alasanmu menemaniku, kalau kupikir-pikir, hanya karena kau belum membayar uang
tujuh juta yang kau pinjam setahun lalu. Dan kau juga kena makian karena masih
berteman denganku, kan? Kau berkali-kali mengeluh stress, tapi tetap saja kau
memilih untuk tetap berteman denganku.”
“Kau hanya
tak ingat,” kata Ami, yakin. “Kau hanya tak ingat. Tapi yang jelas, kau
menjawab iya pada waktu itu, pada waktu kau masih empat bulan dalam
kandungan ibumu dan malaikat bertanya kepadamu. Karena itulah kau lahir dan
bertemu denganku. Dan aku yakin aku menjawab iya pada waktu aku masih
empat bulan dalam kandungan ibuku dan malaikat bertanya apakah aku bersedia
dilahirkan meski telah diperlihatkan kepadaku slide-slide jika suatu
waktu aku akan berhutang kepada seseorang yang dikucilkan karena dituduh
melecehkan seseorang dan terpaksa berteman dengannya, meski memang
terus-terusan mengeluh stress. Maafkan aku untuk keluhan-keluhan itu ya?”
“Maafkan aku
karena telah merepotkanmu, ya?” aku membalas.
Slide-slide peristiwa yang diputar untuk Abraham Sungkar, kata
Ami, adalah slide-slide yang sangat bagus. “Barangkali salah satu yang
paling bagus yang mungkin terjadi pada takdir seseorang,” tambah Ami.
Slide-slide itu tidak dimulai dari bagaimana ia lahir,
melainkan satu waktu ketika Abraham Sungkar berusia empat tahun dan ia bermain
di bawah pohon jambu di halaman rumahnya dan angin sepoi-sepoi berhembus dari
selatan dan bunga-bunga jambu berguguran.
“Itu,” kata
Ami, “sepertinya ingatan pertama yang direncanakan untuk diingat oleh Abraham
Sungkar. Tapi seperti kataku, ia ternyata memiliki ingatan yang sangat kuat.
Jadi, ingatan pertamanya dimulai jauh sebelum itu, yakni sewaktu ia masih empat
bulan dalam kandungan.”
Aku
mengangguk. Ami berulang-ulang mengucapkan empat bulan dalam kandungan seolah-olah
itu adalah bagian paling penting dari keseluruhan ceritanya.
Lantas slide
melompat jauh ke suatu hari pada tahun 1984 ketika seorang tentara mengelus
kepalanya dan berkata, “Kelak, setelah lulus sekolah, datanglah kepadaku.” Slide
tersebut dilengkapi semacam lanskap yang tidak terlalu jelas. Sebuah karung,
mobil jeep, pagi yang masih sedikit gelap, dan nuansa horor yang agak pekat.
Kemudian
sebuah slide ketika ia menjadi tentara dan menembaki orang-orang di
Timor Timur.
Lalu Abraham
Sungkar melihat dirinya bertemu Soeharto di Istana Negara. Kemudian ia
menyaksikan dirinya menculik sejumlah orang yang berdemonstrasi pada tahun
1998. Dan selanjutnya ia menemukan dirinya berhadap-hadapan dengan hakim yang
mulia dalam satu sidang militer setelah Soeharto lengser.
Abraham
Sungkar, yang masih bakal janin berusia empat bulan dalam kandungan, menggeleng
dan hampir memutuskan tidak mau dilahirkan. Namun setelah itu ia melihat
dirinya sendiri berdiri gagah di atas podium, berorasi di hadapan ribuan
masyarakat, mendeklarasikan sebuah partai politik.
Abraham
Sungkar menemukan dirinya berkampanye ke pelosok-pelosok negeri. Dan pada
akhirnya, pada tahun 2024, Abraham Sungkar menyaksikan dirinya sendiri dilantik
menjadi presiden Indonesia.
Slide
terakhir adalah Abraham Sungkar berbaring di ranjangnya yang empuk, dikelilingi
orang-orang yang menyayangi dan menghormatinya, sebagai salah satu presiden
terbaik Indonesia. Ia menghembuskan napas terakhir dan orang-orang menangis
sedih.
“Hidup yang
menarik,” aku menghela napas.
“Dan bakal
janin Abraham Sungkar mengangguk mantap kepada si malaikat,” kata Ami. “Ia
menjawab iya dan terus menjawab iya sebanyak tujuh puluh tujuh
kali.”
“Tapi masalahnya,” kataku sambil tersenyum
masam, “tak mungkin Abraham Sungkar menjadi presiden Indonesia tahun 2024.
Selain kau, barangkali tak ada lagi yang tahu bahwa ada seseorang bernama
Abraham Sungkar di Indonesia.”
“Itu memang
masalahnya,” jawab Ami. Ia menggeleng-gelengkan kepala.
Abraham
Sungkar bermain-main di bawah pohon jambu yang tumbuh di halaman rumahnya
ketika berusia empat tahun, kata Ami meneruskan ceritanya. Angin sepoi-sepoi
berhembus dan daun-daun jambu berguguran. Beberapa di antaranya menyelip di
sela-sela rambut Abraham Sungkar. Dan Abraham Sungkar tersenyum bahagia.
Semua,
agaknya, telah dimulai.
Lalu Abraham
Sungkar menunggu. Ia menunggu dan menunggu. Ia menunggu hari di tahun 1984 ketika
seorang tentara tiba dan mengelus kepalanya dan berpesan agar Abraham Sungkar
datang kepada si tentara setelah lulus sekolah atas.
Tapi tidak
ada yang terjadi selain Abraham Sungkar yang menunggu dan terus menunggu dan
terus menunggu. Bahkan ketika tahun 1984 sudah berganti 1985. Abraham Sungkar
masih menunggu, berharap ada kekeliruan kecil mengenai tahun dalam slide
yang diputar untuknya oleh si malaikat. Maka ia menunggu lebih lama lagi. Lebih
lama sedikit lagi. Dan tahun kembali berganti. Dan Abraham Sungkar berpikir
mungkin kesalahan tahun dalam slide itu sedikit lebih jauh. Maka ia
kembali menunggu. Menunggu. Dan tahun-tahun terus berganti.
Abraham
Sungkar tidak pernah menemukan dirinya menjadi tentara dan menembaki
orang-orang di Timor Timur. Abraham Sungkar tidak pernah menemukan dirinya
bertemu Soeharto di Istana Negara. Abraham Sungkar tidak pernah menemukan
dirinya menculik sejumlah orang yang berdemonstrasi pada tahun 1998. Abraham
Sungkar tidak pernah dihadapkan di meja peradilan militer. Abraham Sungkar
tidak pernah berdiri di podium dan berorasi dalam sebuah deklarasi partai
politik. Dan tentu saja, Abraham Sungkar tidak akan pernah menjadi presiden
Indonesia tahun 2024.
Abraham
Sungkar hanya terus menunggu. Dan sepanjang waktu itu, ia merenungkan apa yang
salah, apa yang menjadi muasal kekacauan peristiwa yang ditakdirkan untuknya.
Dan pada akhirnya, Abraham Sungkar menemukan titik mula kekacauan itu.
“Dan apa itu?” aku bertanya. “Apa titik
mula kekacauan takdir Abraham Sungkar?”
“Pada hari
itu,” kata Ami, “pada suatu hari di tahun 1984, sewaktu ia seharusnya bertemu
si tentara, Abraham Sungkar memulai aktivitas hariannya sedikit terlambat. Si
tentara baru saja pergi setelah membuang satu karung berisi mayat seorang
lelaki di ujung gang ketika Abraham Sungkar keluar rumah untuk kencing seperti
kebiasaannya. Dan mobil jeep si tentara sudah berjalan menjauh. Abraham Sungkar
bersumpah ia masih melihat kepulan asap mobil jeep itu. Beberapa menit, hanya
beberapa menit dan keseluruhan takdir berubah.”
“Oh,” aku
mendesis. “Apa yang dilakukan tentara itu sebenarnya?”
“Apalagi?”
Ami berkata pelan. “Dugaan Abraham Sungkar adalah seharusnya ia bangun lebih
pagi, ia kencing seperti biasa, dan memergoki si tentara yang sedang membuang
mayat seorang preman korban penembakan misterius tak jauh dari rumah Abraham
Sungkar. Si tentara menghampirinya, memberinya alamat, dan menyuruhnya tutup
mulut, dan menjanjikan akan memasukkannya ke akademi tentara begitu ia lulus
sekolah atas. Agaknya, jika itu terjadi, ia akan cukup berbakat menjadi
tentara. Karirnya melesat cepat. Ia ditugaskan ke Timor Timur. Dan semua akan
berjalan sebagaimana slide-slide yang ditunjukkan oleh si malaikat
ketika ia masih empat bulan dalam kandungan.”
“Tapi semua
itu tidak terjadi,” kataku.
“Begitulah,”
kata Ami. “Begitulah yang diceritakan Abraham Sungkar kepadaku. Hanya karena ia
terlambat bangun dari tempat tidur beberapa menit. Dan kau tahu alasan ia
terlambat bangun dari tempat tidur?”
Aku
menggeleng, tentu saja.
“Abraham
Sungkar sudah membuka mata waktu itu,” kata Ami. “Tapi dia ingin sedikit
bermalas-malasan di tempat tidur. Beberapa menit, katanya. Dan beberapa menit
itu mengubah keseluruhan takdir yang ditentukan. Hanya beberapa menit. Beberapa
menit yang muncul dari keputusannya sendiri.”
“Oh,” aku
mendeis.
“Karena itulah,”
lanjut Ami, “Abraham Sungkar pada akhirnya juga berkata kepadaku bahwa kita
sendirilah yang menentukan takdir kita. Bukan Tuhan. Bukan malaikat. Bukan apa
yang sudah direncanakan semenjak kita masih dalam kandungan.”
“Ya,” aku
menyahut. “Bukan Tuhan, bukan malaikat.”
Aku terdiam
sebentar. “Namun hari ini, orang lainlah yang menentukan takdir kita. Seperti
yang aku alami,” aku menambahkan setelah menarik napas panjang. “Bahkan orang
lain yang menggunakan akun anonim di dunia maya dan menyebarkan isu yang tidak
jelas. Lalu, boom, hancurlah keseluruhan kehidupanku, karirku,
teman-temanku. Semua!”
Ami
tersenyum tipis.
“Semua akan
baik-baik saja,” katanya, “semua akan baik-baik saja. Kau bisa melewati ini.”
Aku
menggeleng. Aku tak yakin aku bisa.
“Mungkinkah,”
kataku pada akhirnya, “kita pernah telat bangun pagi dan semua takdir baik yang
disediakan kepada kita berubah? Seperti yang dialami Abraham Sungkar?”
Kini Ami
yang menggeleng. “Sepertinya itu tidak lagi penting sekarang,” katanya. “Kita
hanya harus menerima dan menghadapinya, seperti Abraham Sungkar.”
Dan aku
mengangguk, lemah.