Lamiet
Tin Miswary
Sudah lebih tujuh puluh sembilan kali dia mengingatkan—bahkan melalui istrinya, keponakan dan juga ayahnya—agar Teuku Nyak Halimon, satu-satunya putra yang ia miliki, tidak sembarang memilih perempuan. Namun, kepala pemuda itu sekeras baja. Jangankan batu-batu, bahkan meteorit di langit pun tampak segan pada pikirannya yang bebal. Pemuda bertubuh jangkung dengan rambut sedikit pirang itu tidak bisa dirayu-rayu. Telinganya seketika saja tuli, bahkan ketika nasihat-nasihat yang hendak masuk ke lubang itu masih tersangkut dan bergelantungan di bibir ayahnya.
Teuku Bentara Nyak Diwa kehabisan akal. Bahkan
akal-akal yang sengaja dipinjam dari penasihat-penasihatnya yang paling bijak pun
harus dibuang. Akal-akal itu tak memiliki daya di hadapan Teuku Nyak Halimon
yang sudah memutuskan melamar Sakdiah, putri seorang ulama di Pandrah Janeng.
“Kita ini ureung
meuso, turunan bangsawan. Nek Tu kita
Uleebalang yang memegang stempel cap sembilan, apakah kamu lupa?”
Nasihat, peringatan, sekaligus pertanyaan Teuku
Bentara Nyak Diwa itu selalu saja jatuh ke tanah seiring telinga Teuku Nyak
Halimon yang tiba-tiba menguncup. Lekas-lekas ia memungut kembali nasihat itu sebelum
ayam-ayam mematuk dan menelannya seperti padi.
“Andai pun kautukar dengan gadis Belanda, aku
takkan mau, Ayah.”
Setiap kali jawaban itu keluar dari mulut Teuku
Nyak Halimon, dia merasakan jantungnya begitu nyeri, seperti tertusuk siwah. Kenyerian yang mesti ditanggung
berhari-hari, bahkan hingga ke mati.
Watak keras kepala anaknya mengingatkan ia pada
rumor di balai negeri, tempat Uleebalang biasa berkumpul. Namun, kepercayaannya
kepada Cut Putroe Nurul Alam, istri yang amat ia sayangi, membuat ia menolak
kabar itu, kabar yang sempat membuat seisi negeri riuh berhari-hari.
“Saat itu kau sedang menemui Tuan Alfred Swart
di Kotaraja,” kata Teuku Ibrahim Lamsituk, dua puluh delapan tahun lalu, ketika
kabar itu pertama kali tersiar. “Saat itulah Tuan Letnan Bruijn memasuki
rumahmu.”
“Tapi apa mungkin istriku sebodoh itu?”
“Di hadapan Tuan-Tuan Belanda semua menjadi
mungkin, Ampon.”
Letnan Bruijn adalah perwira Belanda yang
berteman baik dengan Teuku Bentara Nyak Diwa. Setahun setelah peristiwa itu dia
kembali ke Amsterdam karena masa tugasnya di tanah jajahan telah berakhir.
Dalam tahun itu pula perut Cut Putroe Nurul Alam tampak meninggi, persis tiga
bulan sebelum kepulangan Bruijn. Itu terjadi dua puluh delapan tahun silam, dan
saat ini Teuku Nyak Halimon yang berhidung mancung, bermata biru dan berambut
pirang telah pun dewasa.
“Dia anakmu, Ampon!” tegas istrinya dua hari
setelah laki-laki itu bertemu Teuku Ibrahim Lamsituk di balai negeri. Teuku
Ibrahim sendiri diam-diam menaruh hati pada Cut Putroe Nurul Alam. Andai saja Teuku
Bentara Nyak Diwa bukan bangsawan, tidak sulit baginya untuk merebut perempuan
itu, seperti dilakukan kerabat-kerabatnya terhadap keluarga lamiet di negeri itu.
“Tapi Endatu
kita tak ada yang berambut pirang,” timpal laki-laki itu.
“Kalau Tuhan berkehendak, harimau pun bisa
beranak kambing.”
Cut Putroe Nurul Alam memandangi suaminya
dengan tatapan dalam. Dia mengusap-usap dada suaminya yang hari itu memakai
baju meukasah, celana cekak musang dan
siwah di pinggang. Andai Iskandar
Muda yang megah itu masih hidup, dia akan malu menjadi raja di hadapan Teuku
Bentara Nyak Diwa, Uleebalang paling disegani di negeri Pedir.
“Kutanya sekali lagi, dan ini yang ke 79 kali.
Bersediakah kau menikahi Cut Zahira Fathul Mura?”
Teuku Nyak Halimon menggeleng keras. Ingin
rasanya dia memutar kepalanya seperti gasing, agar ayahnya cepat mengerti dan
lalu melempar pertanyaan sialan itu ke sungai Tangse, biar beku ditelan air.
“Aku menginginkan Sakdiah!”
“Tidakkah kau tahu dia turunan lamiet?
“Apa bedanya dengan kita yang menjadi lamiet Belanda, Ayah?”
Teuku Bentara Nyak Diwa kehabisan kata. Suara
Teuku Nyak Halimon seperti menelan semua kata-kata yang mengulum di mulutnya
yang bisu. Kemarahannya pada Teungku Kawom Panglima Muda tak tertahankan lagi. Amarah
itu bagai magma di perut merapi. Menyala-nyala. Ulama itu harus dibeli
pelajaran; agar tahu dengan siapa dia berhadapan.
“Apa Teungku hendak merusak adat bangsawan?”
Pertanyaan itu menggelinding bagai batu dari
mulut Teuku Bentara Nyak Diwa, ketika dua hari kemudian dia bertemu orang yang
sampai kapan pun takkan sudi ia berbesan, walau kiamat datang besok. Namun, Teungku
Kawom Panglima Muda tetap bergeming sembari mendengar bacaan murid-muridnya di
balai selatan. Suara Teuku Bentara Nyak Diwa terdengar seperti teriakan jin
Ifrit, dan telinganya yang sudah terlatih akan menguncup sendiri.
“Bisa Ampon ulangi pertanyaan Ampon? Anak-anak
terlalu riuh mengaji.”
“Sadarlah diri. Tak pernah endatu kami menikahi jelata.”
“Benar, Ampon. Seperti endatu kami yang tak pernah menyembah Belanda.”
“Pukimak!”
Teuku Bentara Nyak Diwa meninggalkan balai dengan
muka sepanas api. Untung saja kata-kata terakhir itu tidak didengar Teungku
Kawom Panglima Muda. Andai saja telinganya tak menguncup, tentu bangsawan itu
akan pulang terlambat. Tebasan pedang ulama itu akan membuat ia sibuk
mencari-cari kepalanya sendiri.
“Seperti Bruijn yang memangsa istriku, aku
ingin kau mengambil Sakdiah,” kata Nyak Diwa pada Dedrick, tiga hari setelah ia
bertemu ayah Sakdiah.
Sersan Belanda itu bersungut-sungut.
Menggerutu.
“Berapa Gulden kau mau?”
“Ulama itu kebal senjata. Apa kau mau aku
menjadi tumbal?”
Berdiri di depan tangsi, Sersan Dedrick berpikir
lama. Matanya mengedar seperti elang. Sebagai pasukan KNIL tentu tidak sulit
baginya untuk memenuhi permintaan Teuku Bentara Nyak Diwa, teman sekaligus lamiet Baginda Ratu. Apalagi, dia
sendiri juga menyukai Sakdiah, gadis berwajah simetris, bertubuh ramping dengan
alis menggoda. Apabila dia tersenyum, bukan hanya mata laki-laki seisi negeri yang
menyembul keluar, tapi bahkan mampu membuat sungai Tangse mendadak berhenti
mengalir. Tapi, dia kenal betul ayah gadis itu. Bukan tidak mungkin
pemberontakan besar akan terjadi jika ia mengganggu putrinya. Dia juga tahu
watak Teuku Nyak Halimon. Sangat jarang laki-laki itu bicara. Dia sudah melatih
pedang untuk menggantikan mulutnya yang sunyi.
“Kenapa tidak kauminta Teuku Ibrahim, temanmu.
Bukankah itu lebih mudah?”
“Pantang bangsawan mengganggu bangsawan. Kamu
tahu itu!”
“Maksudmu?”
“Seisi negeri tahu kalau putraku menyukai
Sakdiah. Bagaimana mungkin ada bangsawan yang berani.”
Dedrick memutar otak. Namun, permintaan Teuku
Bentara Nyak Diwa tidak mungkin dipenuhi. Tidak masuk akal. Marsose sudah cukup
sibuk menghadapi pemberontakan pasukan gerilya di Meulaboh. Kalau dia memaksa, Mayor
Lodewijck akan menggamparnya seperti babi. Dia akan dituduh memicu kerusuhan.
“Sepertinya aku harus minta maaf, Ampon!
Teuku Bentara Nyak Diwa meninggalkan Dedrick. Dia
mengunci mulutnya rapat-rapat agar makian paling jahannam yang berdesak-desakan
di pikirannya tidak mengeluarkan bunyi yang akan membuat perkara semakin rumit.
Dia tahu, sehina-hinanya tentara KNIL, mereka masih dua tingkat di atas
bangsawan.
“Aku sudah mencoba merayu putraku, tapi ….”
Dia terdiam. Lidahnya terasa lengket dan sulit
menari, membuat suara yang hendak keluar kembali tertelan. Dipandanginya Teuku
Banta Johan, ayahnya yang kini buta.
“Aku semakin yakin kalau dia bukan anakmu,” sahut
orang tua itu yang disambut roman kecewa di wajah anaknya. Suara paraunya memantul
kesal mendalam, membuat seuramo,
tempat mereka bertemu seolah bergetar.
“Tapi, Ayah kan tahu. Teuku Budiman (yang dia
maksud adalah mertuanya) tidak akan sudi menerima berita itu. Dia akan marah anak
perempuannya dituduh-tuduh. Lagi pula tak ada saksi yang melihat Bruijn masuk
ke rumahku. Hanya kabar burung yang sengaja disebarkan Teuku Ibrahim. Aku
sendiri dilanda ragu, tapi istriku bersumpah berkali-kali.”
Mendengar pembelaan anaknya, Teuku Banta Johan
menarik napas. Dia sendiri bimbang. Namun, kabar yang ia dengar, ditambah watak
cucunya yang sekeras batu, mendesak pikiran jahatnya untuk percaya kalau Teuku
Nyak Halimon pastilah bijeh Belanda.
“Tidak kau lihat rambutnya yang pirang dan
matanya yang biru?” tanya ayahnya.
Teuku Bentara Nyak Diwa terdiam bagai batu.
Saat itu pula kata-kata Teuku Ibrahim Lamsituk kembali
terngiang di telinganya. Kata-kata itu telah mengganggu tidurnya bertahun-tahun.
Ia menangis tersedu-sedu sembari memeluk ayahnya. Namun, tak ada yang bisa
dilakukan Teuku Banta Johan untuk menenangkan anaknya. Sudah berkali-kali pula
dia mengingatkan cucunya untuk tidak membuat malu kedua kali, menikahi jelata sebagai
istri setelah ibunya dipeluk Bruijn. Andai Sakdiah dipinang sebagai gundik,
tentu ia tak keberatan, tapi menarik putri Teungku Kawom Panglima Muda dalam
klan bangsawan adalah kehinaan yang tiada tara.
Dua bulan kemudian, di tengah keresahan Teuku
Bentara Nyak Diwa yang mengiris hati dan pendirian Teuku Nyak Halimon yang
belum berubah, serdadu Dai Nippon menyerang Marsose dan tentara KNIL
membabi-buta di pelabuhan. Laskar bermata sipit bertubuh pendek yang tiba-tiba kesurupan
itu membakar gudang-gudang senapan milik Belanda dan membunuh penjaganya dengan
garang. Serdadu Eropa itu berlarian menyelamatkan pantatnya dari tebasan pedang
dan tusukan bayonet yang datang tiba-tiba. Keadaan negeri seketika saja kacau.
Ketakutan menyebar di mana-mana.
Teungku Kawom Panglima Muda yang sebulan lalu
bersumpah setia pada Jepang memimpin perburuan terhadap serdadu Belanda yang
masih tersisa. Ribuan serdadu berambut pirang dan sekumpulan Marsose berkulit
hitam ditangkap, diarak ke barak-barak. Mereka akan menjadi lamiet-lamiet baru di bawah kuasa Tenno Heika. Trah Uleebalang yang
sebelumnya menjadi lamiet Belanda
ikut disikat.
Teuku Banta Johan memilih mati hari itu juga, menusuk-nusuk
Jepang dengan mata yang buta. Teuku Ibrahim Lamsituk dipancung di depan umum
setelah sebelumnya menolak Seikerei,
sementara Teuku Bentara Nyak Diwa nekat menaiki kapal perang Belanda menuju
Amsterdam. Cut Putroe Nurul Alam yang ikut dalam pelarian itu menutup senyumnya
dengan selendang. Kerinduannya pada Bruijn tak tertahankan lagi.
Di selatan negeri, jauh dari
huru-hara itu, Teuku Nyak Halimon mendesak Teungku Khatib untuk segera
menikahkannya dengan Sakdiah. “Cukuplah Teungku sebagai wali,” kata bangsawan
itu disambut senyum Sakdiah, senyum yang segera punah dua hari kemudian,
setelah kabar kematian Teungku Kawom Panglima Muda menyebar cepat.
“Minggu depan kapal perang
kita akan kembali ke Hindia. Kalau mau, kalian boleh menumpangi kapal-kapal
itu,” kata Kolonel Bruijn dua tahun kemudian, hanya beberapa hari setelah
Hiroshima menjadi abu. Dipandanginya pasangan suami istri itu dengan guratan
senyum yang rumit, membuat Cut Putroe Nurul Alam tersipu-sipu dan Teuku Bentara
Nyak Diwa terbakar cemburu.
“Cari anakku dan bawa dia ke
kota ini,” bisik si mata biru di telinga Cut Putroe Nurul Alam, sesaat sebelum
kapal melintasi lautan. Andai saja peristiwa itu dilihat Teuku Bentara Nyak
Diwa, maka bibir merah perwira Belanda yang menempel di telinga istrinya itu
akan segera berpindah ke perut ikan—sehingga jika suatu waktu tersiar kabar tentang
seorang laki-laki kehilangan bibir di Amsterdam, maka dia adalah Bruijn.
*
Teuku Nyak Halimon menangis tersedu-sedu ketika
mendapati ayah ibunya bersimbah darah beberapa bulan setelah kepulangan mereka
dari Amsterdam. Sakdiah memangku ibu mertuanya beberapa menit sebelum mata
wanita itu redup dan kemudian padam.
“Berkali-kali kukatakan
padamu, Teungku-Teungku itu manusia berengsek.”
Suara Teuku Bentara Nyak Diwa terdengar
lemah bersama selimut gelap di matanya yang merah. Dengan penuh amarah Teuku
Nyak Halimon bangkit dan lalu menyusuri jalan-jalan di Kota Lameulo yang
terlihat lengang. Mayat bergelimpangan dan asap mengepul dari rumah-rumah
bangsawan yang terbakar. Tak dihiraukan lagi panggilan istrinya.
Berhari-hari kemudian koran-koran dipenuhi berita tentang pertempuran hebat di Lameulo: Berachirnya Pengchianatan Tjoembok.
Catatan:
Lamiet: budak/ jelata
Teuku: bangsawan
Teungku: ulama
Ureung meuso: orang terpandang
Siwah: sejenis rencong
Nek Tu: kakek nenek
Endatu: nenek moyang
Seikerei: penghormatan pada Kaisar
Khatib: penghulu
Ampon: panggilan akrab bangsawan laki-laki
Meukasah: baju adat
Bijeh: bibit, benih