Penyair Terkini
Tjahjono Widarmanto
/1/
Dalam sebuah pertemuan sastra, seorang
pemuda yang tampaknya bercita-cita luhur untuk menjadi seorang penyair,
berkeluh-kesah bahwa tidak ada lagi ruang estetika yang tersisa baginya.
Menurutnya, seluruh gaya pengungkapan, seluruh kecenderungan pemilihan diksi,
metafora-metafora dalam puisi, ungkapan-ungkapan bahasa, semuanya sudah
‘dihabiskan’ oleh para penyair pendahulunya. Pun, tema-tema besar semuanya
berikut gaya pengucapannya sudah dijelajahi dan dieksploitasi habis-habisan
oleh para penyair pendahulunya. Misalnya, ketika ia akan menulis tema-tema
sosial, ia menjumpai bahwa pengucapan-pengucapan puisi sosial tersebut sudah
habis dieksploitasi oleh Rendra, Wiji Thukul, F.Rahardi, Emha, Darmanto Jatman,
Taufik Ismail, sampai dengan Agus R Sardjono. Bayang-bayang para penyair
pendahulunya itu menguntitnya ketika ia menulis tema-tema sosial tersebut. Di
sisi lain, ketika ia bekehendak menulis puisi-puisi liris yang imajis,
surealis, maupun religius maka muncullah bayang-bayang penyair liris
pendahulunya seperti Goenawan Mohammad, Sapardi Djoko Damono, Frans Nadjira,
Abdul Hadi WM, Sitor Situmorang, Ajip Rosidi, D. Zawawi Imron, Acep Zam Zam
Noer, Sitok Srengenge, Jamal D Rahman, Nirwan Dewanta, Joko Pinurbo, atau
Mardiluhung. Bayang-bayang para penyair pendahulunya itu seolah-olah hantu yang
menguntitnya seraya menudingnya: engkau
epigon!
Keluh-kesah dari
calon penyair yang merana kehilangan, tepatnya kehabisan ruang estetika itu
cukup mengganggu dan menggelisahkan. Muncul dalam benak saya,
pertanyaan-pertanyaan, anak dari keluh-kesah itu, “Apakah setiap penyair harus
melahirkan puisi-puisi ‘baru’? Kebaruan yang bagaimanakah yang diinginkan dan
dituntut dalam puisi? Lantas, adakah sesuatu yang ‘benar-benar’ baru dalam
jagat puisi?”
/2/
Puisi
memang tidak pernah diciptakan dari kekosongan. Andigium ini memang tak hanya
mengacu pada keterkaitan antara teks dan konteks. Tak hanya mengacu pada
pemahaman bahwa kelahiran sebuah teks (termasuk puisi) karena disebabkan adanya
konteks yang melatarinya, tetapi juga mengacu pada sebuah realita bahwa
kelahiran teks, dalam hal ini puisi, juga karena teks-teks yang ada sebelumnya.
Kita bayangkan puisi adalah sebuah organisme yang lahir dari sebuah teks-teks
sebelumnya, dan terus akan mengembangbiakkan teks-teks yang lain yang bisa jadi
serupa atau yang berbeda sama sekali. Dengan kata lain, lahirnya sebuah puisi
adalah terajut dari tradisi-tradisi penulisan puisi sebelumnya.
Tradisi-tradisi
penulisan puisi boleh kita analogikan sebuah sebuah tautan atau mata rantai
sebuah historika.Tradisi penulisan puisi dengan berbagai ekspresi dan ungkapan
estetisnya merupakan sebuah perjalanan historis. Lahirnya seorang penyair, mau
tidak mau, suka tidak suka, disadari atau tak disadari, merupakan benih dari
rasa keterikatan historis dengan tradisi kepenyairan sebelumnya. Setiap
penyair, atau siapapun yang ingin jadi penyair harus memiliki kesadaran bahwa
ia menulis puisi-puisinya tidak hanya dengan intuisi yang kuat pada periodisasi,
angkatan, atau generasinya yang sezaman saja, tetapi juga dengan kesadaran
bahwa ia berasal dari sejarah penciptaan sastra sebelumnya.
Kesadaran
bahwa dirinya sebagai penyair sangat terikat dengan historika tradisi penyairan
sebelumnya ini, saya istilahkan sebagai emosi historis. Emosi historis ini tak
hanya menunjukkan kaitan akar tradisi kepenyairan yang tak bisa dilepas dari
sejarah sastra yang ada. Emosi sejarah itulah yang menjadikan seorang penyair
berjejak pada dua kutub dunia yang berbeda. Yang satu kaki berjejak pada masa
lalu, tradisi penulisan sebelumnya. Kakinya yang lain, berpijak pada pada saat
ini. Nirwaktu dan temporer hadir dalam bersamaan, yang pada akhirnya aku
mewujud atau bereinkarnasi dalam formula puisi yang khas zamannya sendiri.
Secara
realitas, kerja kesenian, termasuk seni sastra dan puisi di dalamnya, tak
pernah tumbuh sendirian. Kerja kesenian, kerja kepenyairan adalah merajut dan
memilin akar-akar tradisi penulisan puisi sebelumnya dengan kekinian. Seorang
penyair harus mempertautkan dan mengapresiasi berbagai relasi subjektif dalam
proses kreatifnya dengan para penyair terdahulunya. Dalam posisi semacam inilah
mustahil ada “kebaruan” yang benar-benar “baru”. Tidak ada yang benar-benar
“orisinalitas”. Yang ada adalah otentitas yang memiliki “keunikan-keunikan”
yang menjadikannya berbeda dengan puisi-puisi sebelumnya.
Dalam
situasi itulah, seorang penyair otomatis akan berada pada sebuah tarik-menarik
yang memikat. Yaitu tarik menarik pembandingan dan pengontrasan. Seorang penyair
akan selalu berada dalam situasi ketegangan “memperbandingkan’ sekaligus
“mengontraskan” hasil-hasil karyanya dengan para pendahulunya. Boleh jadi
“memperbandingkan” dan “mengontraskan” ini akan menjadikan sebuah “kepaduan”
yang menjadikannya berbeda dengan tradisi-tradisi penulisan puisi sebelumnya.
Setiap
penyair tidak bisa melepaskan diri sebebas-bebasnya dari hantu-hantu penyair pendahulunya. Sejarah penulisan puisi-puisi
sebelumnya, mau tidak mau, sadar tak sadar, menjadi landasan bagi penulisan puisinya.
Seorang penyair yang menolak tradisi kepenulisan puisi sebelumnya adalah Malin
Kundang yang durhaka terhadap silsilah sejarah sastranya,
Rela
tidak rela, disadari atau tak disadari, setiap penyair yang lahir dan tumbuh
selalu menjadikan tradisi-tradisi penciptaan puisi sebelumnya sebagai mercu
suar bahkan kompas bagi penulisan puisi-puisinya justru untuk membangun
otentitas. Kesadaran inilah yang merupakan kesukaran-kesukaran sekaligus
tantangan yang paling agung bagi kerja kepenyairan.
Keterikatannya
pada tradisi penulisan puisi sebelumnya bukan berarti menjadikan puisi-puisi
masa lalu sebagai standar atau menjadi ukuran. Tidak berarti melahirkan
penilaian sama bagusnya atau lebih buruk atau lebih baik, dengan puisi-puisi
sebelumnya, tetapi menjadikan khazanah yang mewarnai puisi-puisinya.
Pada
sisi ini, kita bisa menganalogikan kerja kepenyairan dengan kerja pengetahuan.
Setiap pengetahuan yang lahir (yang dianggap baru) pasti berjejak pada
pengetahuan-pengetahuan sebelumnya. Lepas apakah pengetahuan-pengetahuan (yang
dianggap baru itu) akan menjadi kontradiksi atau meneguhkan
pengetahuan-pengetahuan sebelumnya.
Tema
dalam sastra memang “itu-itu” saja. Soal percintaan, soal kematian, soal
ketuhanan, menyoal sosial, merefleksi politik, atau merespons berbagai
perubahan kultural. Namun, tema yang “itu-itu” saja selalu berangkat dari
konteks yang berbeda bahkan bisa saja lahir dari konteks yang paradoksal bahkan
kontradiktif pada era sebelumnya. Misalnya, tema cinta pada Ramayana atau Layla
Majnun memiliki konteks yang berbeda pada tema percintaan saat ini, tak hanya
menyoal kesetiaan dan pengorbanan namun bertambah dengan konteks ketegangan
percintaan antar individu dengan etnik dan kultur berbeda atau tema cinta
dengan ketegangan persoalan religius yang bertolak belakang. Dalam pandang
Walmiki, cinta Rama dan Sita berporos pada kesetiaan dan pengorbanan, dan tak
pernah Walmiki bayangkan ketika cinta berhadap-hadapan dengan ideologi dan
persoalan Tuhan.
/3/
Kembali pada
pertanyaan kawan muda yang punya ambisi mulia menjadi penyair di atas. Kita
bisa melihat bahwa “bagaimana cara pandang“ inilah yang membedakan dan
menentukan kualitas kepenyairan. “Kebaruan” dalam membaca tanda-tanda zaman ini
yang menjadikan puisi-puisinya “baru sekaligus orisionalitas” yang secara
otomatis melahirkan cara ucap baru yang membedakannya dengan tradisi penulisan
puisi-puisi sebelumnya. Kemampuan dalam membaca tanda-tanda zaman itulah yang
akan menjadikan emosi aktual individual menjadi emosi bersama atau aktual
universal. Itulah yang akan menjadi pembeda sekaligus membebaskan dirinya dari hantu-hantu sebelumnya.
Mungkin begitu!