SASTRA SEBAGAI SPEKTRUM: Urgensi dan
Risiko Standardisasi
Candrika Adhiyasa
“A great novel heightens your senses and sensitivity to the complexities of life and of individual, and prevents you from the self-righteousness that sees morality in fixed formulas about good and evil.”
- Azar Nafisi
Saya sering gelisah: Apakah sastra
perlu memiliki standardisasi atau tidak? Persoalan ini tentu bukan barang baru,
bahkan sudah diperbincangkan sejak jauh di masa lalu. Namun, adakah
perbincangan itu menghasilkan semacam kesepakatan yang dapat menyenangkan semua
pihak? Sepertinya tidak.
Ketika
menelusuri kegelisahan itu, saya justru tidak banyak membaca ulasan-ulasan para
sastrawan maupun kritikus sastra mengenai persoalan ini, dan malah beralih pada
rimba filsafat—yang juga sering “adu jotos” satu sama lain. Taruhlah,
rasionalisme a la Descartes senantiasa bertengkar dengan empirisisme a
la David Hume.
Namun
setelah membaca lebih jauh, problem epistemologis dalam rimba filsafat
itu—sedikit banyak—selalu menemukan titik tengahnya, meski memang tetap tidak dapat
menyenangkan semua pihak. Dalam pertengkaran antara rasionalisme dan
empirisisme, fenomenalisme yang digagas Immanuel Kant memosisikan diri sebagai
wasit, meski tentu perbincangan mengenai persoalan ini terus berlanjut hingga
era filsafat dewasa ini.
Bagaimana
dengan sastra? Saya membayangkan, bila sastra adalah bagian dari kebudayaan
umat manusia, tentulah beberapa teori kebudayaan (yang juga merupakan produk
filsafat) dapat digunakan untuk memikirkan fondasi konseptual mengenai problem
ini.
Katakanlah
dahulu kala, pada abad kesembilan belas di Jerman, suatu gagasan filosofis
bernama Kulturkritik hadir dengan intens. Kulturkritik menilai kebudayaan
sebagai suatu piramid. Di sana ada hierarki, yang kalau kita terapkan dalam
kesusastraan, maka akan dapat kita temui sastra tinggi dan sastra rendah. Pada
akhirnya, cara berpikir a la Kulturkritik ini melahirkan semacam
standardisasi dengan konsekuensi positif dan negatif. Positif karena dengan
ketat mengawasi mutu karya sastra, negatif karena dengan pengawasan yang ketat
(berbasis kesepakatan) berbagai potensi kreativitas yang tak terduga dapat
terhambat. Di posisi ini, marginalisasi sangat mungkin muncul dan melahirkan
kanonisasi.
Kanonisasi,
sampai batas tertentu, mungkin diperlukan sebagai alat ukur, tetapi
perkembangan zaman menuntut adaptasi pada dinamika dan preferensi massa—baik
itu yang organik maupun hasil determinasi berbagai hal. Namun, marginalisasi
sangat mungkin memutuskan hubungan sastra dan problem kemanusiaan yang konkret
dan kontekstual.
Di
Indonesia sendiri, Putu Wijaya merupakan salah satu sastrawan yang bagi saya
memiliki tendensi pada cara berpikir ini. Dalam cerita pendeknya yang berjudul Kucing,
saya mendapatkan kutipan seperti ini:
“… Akhirnya saya membeli sepuluh buku tua yang harganya jatuh. Bukan karena isinya sudah busuk, tapi kalah heboh oleh promosi buku-buku komoditas yang sebenarnya bermutu sampah.”
Di
lain kesempatan, saya juga pernah membaca esai Haruki Murakami yang berjudul So
What Shall I Write About? dan mendapatkan tendensi serupa, meski memang
esai ini sebetulnya berbicara mengenai proses kreatif Murakami. Saya coba
kutipkan:
“… Kau harus membaca segala jenis novel yang ada dalam jangkauanmu. Novel bagus, novel pas-pasan, bahkan novel sampah sekalipun, yang penting kau selalu membaca novel.”
Putu Wijaya
dan Murakami, bagaimana pun, tidak eksplisit menguraikan secara teoretis
perkara ini, tetapi tendensi yang tertulis dalam kutipan-kutipan di atas
membuat saya dapat membayangkan posisi preferensial (atau bahkan paradigmatik?)
mereka. Dalam kedua kutipan itu kita bisa mendapati, setidaknya, kriteria karya
sastra yang bagus hingga yang bermutu sampah—sebagaimana saya beri cetak tebal.
Bukankah penggunaan kata “sampah” di sini cukup berani?
Perkembangan
Kulturkritik yang melihat produk kebudayaan secara hierarkis pada abad 20 dan 21
agaknya mendapat “perlawanan” melalui berbagai teori seperti: Teori Kritis
Mazhab Frankfurt, Cultural Studies, Strukturalisme dan
Poststrukturalisme, Postkolonial, Feminisme, Hermeneutika, Postmodernisme,
hingga wacana kaum Neoevolusionis.
Karena
terlalu banyak, kita bisa pilih salah satu saja, dan di sini saya hendak
membentangkan cultural studies sebagai perwakilan dari ambivalen
Kulturkritik.
Pertama-tama,
cultural studies hadir dengan sikap yang lebih “moderat”. Ia tidak
ekstrem pada pakem-pakem, klaim-klaim, legitimasi, dan juga standardisasi.
Corak konstruktivisme yang melekat dalam cultural studies membuatnya
terbuka pada kemungkinan bahwa nilai suatu produk kebudayaan merupakan
konstruksi yang dihasilkan oleh jaringan kuasa dominan. Apa yang “baik” dan
“bagus”—berikut sebaliknya—sangatlah tergantung pada justifikasi kekuasaan
(melalui media, dan tentu saja, propaganda). Dalam konteks kesusastraan, karya
sastra yang bagus dan sampah tidak eksis secara per se, melainkan
menyembul oleh berbagai faktor yang kompleks.
Di
Indonesia, corak pemikiran seperti ini saya temukan dari Seno Gumira Ajidarma
(selanjutnya disingkat SGA). Dalam suatu wawancara, SGA mendapatkan pertanyaan,
“apa masih ada sastra tinggi sastra rendah di kesastraan kita sekarang?” SGA
menjawab seperti ini:
“Saya kira udah gak musim, gitu ya, sastra tinggi - sastra rendah, gitu ‘kan. Semuanya bacaan. Jadi saya kira ya plus-minus … ya masih kuno namanya.”
Dalam
buku kumpulan esai “Affair: Obrolan Urban”, misalnya, SGA banyak menimba
inspirasi analitis dari cultural studies, dan melalui wawancara di atas,
SGA menepis keberadaan hierarki kesusastraan. Di lain kesempatan, intinya, SGA
mengatakan bahwa istilah “sastra” sendiri cukup menakutkan dan berpotensi
membuatnya berjarak dari masyarakat. Keberjarakan inilah yang lahir dari
standardisasi, oleh sebab standar sastra tinggi akan sulit—bahkan tidak
bisa—dijangkau oleh mereka yang tidak memiliki kapasitas intelektual sampai
batas tertentu.
Sebagaimana
Kulturkritik yang sudah kita bicarakan di atas, cultural studies juga
memiliki konsekuensi positif dan negatif. Positif karena membuka ruang-ruang
untuk eksplorasi dan menampung ketidakterdugaan ekspresif, tetapi negatif
karena akhirnya pengawasan mutu diserahkan pada spontanitas massa yang
menurutnya sendiri dilahirkan oleh hegemoni kuasa dominan—yang sudah tentu
dilatarbelakangi berbagai kepentingan politis. Pada posisi ini, sastra sangat
mungkin tidak lagi menjadi “pedoman”.
Konsekuensi
negatif lebih lanjut diuraikan oleh Saut Situmorang, bahwa sastra juga
merupakan ilmu (science), yang maka dari itu memiliki aturan, hukum, dan
diajarkan di fakultas-fakultas secara berjenjang. Hilangnya standardisasi a
la Kulturkritik sangat mungkin menjerumuskan kita pada apa yang disebut
oleh Tom Nichols sebagai “the death of expertise”. Padahal, bila kita
mengingat pesan Albert Camus, yakni bahwa “the purpose of a writer is to
keep civilization from destroying itself.” Bila legitimasi karya sastra
“bagus” ternyata lahir dari konsensus kekuasaan yang zalim, bukankah sastrawan
yang “moderat” telah kehilangan prinsip humanisnya?
Masing-masing
paradigma, atau corak berpikir, memiliki kekurangan dan kelebihan. Konfrontasi
berlebihan pada salah satu kubu rentan mempertegas kekurangan kubu yang hendak
dibela. Melalui dilema semacam ini, kita memerlukan, di satu sisi, semacam
kriteria agar karya sastra tidak terlempar ke dalam relativisme nilai yang
terlalu bebas—yang berpotensi membiaskan penilaian atas suatu karya sastra.
Karena bagaimana pun, tetap ada karya sastra yang baik dan “kurang baik”. Meski
demikian, kecenderungan standardisasi yang berlebihan juga menutup peluang pada
kemungkinan-kemungkinan kebaharuan ragam ekspresi, yang mungkin saja memiliki
spirit emansipatoris tertentu tetapi membentur hegemoni wacana dominan yang
hendak dikritik. Pada titik ini, standar yang dibangun perlu memiliki
celah-celah untuk dinamika, agar terhindar dari “tirani konseptual” yang sering
menghasilkan marginalisasi.
Kecemasan
saya—dan mungkin juga kita semua—muncul kembali melalui pertanyaan: lalu,
formula semacam apa yang kita perlukan untuk bisa mendamaikan kedua perspektif
ini? Bila kita melihat kembali sejarah singkat filsafat yang saya ulas di awal,
mungkin kita perlu semacam “fenomenalisme” dalam konteks kesusastraan. Di satu
sisi kita ingin menjaga mutu, tapi di sisi lain kita juga hendak membuka
peluang pada kreativitas yang tak terduga—di luar konsensus “penjamin mutu”
tersebut. Tapi, bagaimana?
Pertama-tama,
kita barangkali perlu menimba inspirasi dari filsuf asal Jerman, Jürgen
Habermas. Ia memang konsen di bidang filsafat, dan juga dalam beberapa area,
politik. Namun buah pikirannya dapat membantu kita untuk mengurai demarkasi dan
“titik tengah” ihwal dua bentangan paradigma antara Kulturkritik dan cultural
studies.
Terlebih
dahulu kita bisa sepakati, bahwa kesusastraan merupakan medium komunikasi
antara manusia dan dunianya, dan tentu dunia semacam ini, mengutip Adorno, “telah
cedera”, beschädigte Leben. Sastra perlu hadir sebagai upaya penerangan
untuk meninjau sejauh mana “cedera” itu telah mengusik ideal-ideal kemanusiaan.
Habermas
berbicara tentang dunia objektif, yakni dunia rasional dan riil yang bisa
diterima sebanyak mungkin (atau bahkan semua) manusia. Dalam konteks
kesusastraan, agaknya standardisasi perihal ini dapat disepakati: bahwa sastra
yang baik adalah sastra yang menjadi wakil dari jeritan-jeritan kemanusiaan.
Meski demikian, ia tidak dimaksudkan untuk menilai secara dikotomis yang “baik”
dan “buruk’, melainkan menghamparkan suatu kompleksitas yang membungkus
relung-relung problem kemanusiaan.
Dunia
objektif ini tentu tidak cukup, oleh sebab sastra, meski memang seringkali
mengandung, bukanlah filsafat. Ia tidak hanya berbicara mengenai yang objektif,
melainkan juga perlu membincang, atau menggunakan sudut pandang, yang
intersubjektif. Goenawan Mohamad menguraikan ini dalam esainya yang berjudul Kemajuan
dan Kebebasan: Takdir dan Habermas. Saya coba kutipkan:
“… ia (Habermas) menawarkan ‘filsafat intersubjektivitas’, yang secara hakiki mengandung sifat dialogis. Bagi Habermas, setiap kali kita mengadakan komunikasi, kita mau tak mau mempunyai asumsi, meskipun sebagai ilusi sekalipun, suatu ‘ilusi transendental’, bahwa kita sedang mengatakan kebenaran, dan mengatakannya secara jujur atau tulus, dan berdasarkan ketepatan normatif. Ada klaim kesahihan yang tersirat di sana, dan itu berarti terbuka untuk kritik: orang yang diajak bicara dapat mengatakan ‘ya’, atau ‘tidak’ atau menunda mengambil sikap, berdasarkan satu atau sejumlah alasan.”
Meski
sastra, sebagai suatu “faculty”, menuntut objektivitas, ia tetap perlu
berdialog. Di area ini, standardisasi kesusastraan melonggar dan menemukan
tempatnya yang terbuka pada kemungkinan, pada kreativitas, pada
yang-tidak-terduga. Katakanlah, sastra tidak menjadi “tiran”, melainkan menjadi
instrumen, dan “kebenaran” yang rigid bertransformasi menjadi spektrum.
Terakhir,
dunia subjektif. Dalam sastra, misalnya, seorang sastrawan mendapatkan
tempatnya untuk mengekspresikan autentisitas diri dan dunianya, tanpa
intervensi objektivitas dan moral publik. Meski demikian, tiga “dunia” ini
tidak cukup untuk membincangkan standardisasi, tetapi setidaknya dapat membantu
memberi alternatif tilikan, meski bukan secara teknis.
Tiga
dunia itu; dunia objektif, dunia intersubjektif, dan dunia subjektif, merupakan
tiga irisan yang perlu saling mengisi dalam suatu produk karya sastra. Sastra
pertama-tama lahir melalui alam gagasan pribadi dan ekspresi penggubahnya
melalui dunia subjektif, lantas kemudian mencoba menyitir problem empiris yang
terjadi di dunia objektif sebagai cermin refleksi—atau mimesis. Dalam
komunikasi aku (dunia subjektif) dengan peristiwa (dunia objektif) itu
perbincangan akan menyentuh dimensi-dimensi etis kemanusiaan, dan di sinilah
kemudian karya sastra berhubungan dengan pembebanan moral, aspirasi,
preferensi, dst. (dunia intersubjektif)—termasuk ketika karya itu mendarat ke
tangan pembaca untuk kemudian melahirkan efek-efek khusus.
Efek khusus ini adalah produk dari suatu karya sastra—apakah ia membawa seorang pembaca menuju, seperti kata Nafisi, (1) peningkatan kepekaan atas kompleksitas hidup dan pribadi; (2) melindungi pembaca dari sikap merasa benar sendiri; dan (3) meyakini bahwa moral itu absolut, atau tidak, itulah indikator yang dapat kita sepakati untuk menilai suatu karya sastra yang baik atau tidak—yakni berhubungan dengan efek yang ia berikan.
Karawang,
12 September 2023