Tjak S. Parlan
Buruh Gendong Pasar Beringharjo
Ia ingin pagi bertahan lebih lama
di bahunya. Demi sebuah kota
yang terjaga sepanjang hari,
demi apa pun yang lekas tiba:
kemacetan, masa tua, petaka,
harum kenangan, cinta yang
bersikeras dan mengelupas
dalam hati.
Tapi dari segala,
memang ia yang lebih dulu tiba;
lebih gegas dari sepi angkutan kota,
dari tak-tik-tuk andong, dari gerak becak
yang terayap-rayap, dari siapa saja
yang masih mengantuk dan ingin
berdandan di halaman depan
kebudayaan.
Ia ingin los-los pasar lebih lama
terbuka menyediakan lapang
dadanya bagi pengunjung
—para tamu agung di lapak-lapak
segala harga, lapak-lapak segala
kebutuhan, dari penganan hingga
cenderamata yang tak terjangkau
oleh tangannya yang ingin.
Ia ingin sekarung rezeki membekas
di punggungnya yang kebas. Melangkah
ke lantai dua atau tiga dan memandang selasar
Beringharjo membentang di bawah kakinya
seraya membayangkan sate kere
—kesejahteraan paling prasaja
menjelang sore.
Ia rindu pulang ke rumah
sementara waktu, sebelum kembali
menggendong hari-hari.
Peresak Tempit, 1 Oktober 2023