Darah yang Tercecer di Nabunage
Boni Chandra
Kami berhadap-hadapan dan membentuk lingkaran seperti tiang-tiang
pada honai. Di depan kami ada setumpuk pinang, seikat sirih, dan segenggam
kapur di telapak tangan Pace David. Udara dingin di Nabunage membuatku tak
kuasa untuk menunda. Aku mengambil sebiji pinang, menempatkannya di antara
taring dan geraham lalu mendengar gertak pinang muda dari mulutku. Kulit pinang
kulemparkan tanpa peduli. Seraya mengunyah, kuambil sirih dan kucocolkan pada
kapur di genggaman Pace David.
“Ko
su tak bisa sabar kah?” gurau Pace David.
“Sa
su kedinginan, Pace,” kataku,
berusaha berbahasa dengan dialek orang-orang di Kabupaten Tolikara seperti Pace
David yang berusaha bicara dengan dialek yang kami gunakan.
“Ah, ko mau sa carikan mace kah apa?”
“Ah, tidak! Untuk Pace dulu toh ....” kataku, seraya meludahkan
ampas pinang yang ... “seperti darah.”
“Itu sudah. Seperti darah yang
pernah tercecer di Nabunage,” timpalnya.
Ah, Pace David. Lelaki ringkih itu tampak
senang karena aku sudah mulai bisa menikmati pinang. Di Distrik Nabunage,
pinang sudah menjadi camilan adat dan pergaulan. Kendati batuknya tak kunjung
sembuh, aku masih bisa melihat raut bahagia pada mata Pace David. Baginya, sebuah
kebanggaan ketika mengetahui pendatang sepertiku memakan apa yang ia makan,
meminum dari sumber air yang ia minum.
Sebagai empat orang yang dikirimkan
takdir ke Papua, kami—aku, Musa, Od, dan Enek—masih cukup beruntung karena
dipertemukan Tuhan dengan Pace David. Sore itu, kami nyaris putus asa setelah
sebulan tanpa kerja di Wamena. Aku membeli sebungkus nasi dari uang terakhir
yang kami miliki. Musa baru saja membagi nasi itu menjadi empat bagian ketika
lelaki ringkih berdiri di belakangnya dan bertanya: kamorang tara punya uang kah?
Sejak saat itu, Pace David sudah
menganggap kami sebagai anak sendiri. Kami tinggal bersamanya di Distrik
Nabunage. Setiap hari, kami akan membantunya menjual pinang di Kabupaten Tolikara
dan kembali ke Wamena seminggu sekali—menemaninya berbelanja. Lelaki ringkih
itu juga membagi rata keuntungan yang didapat dari hasil menjual pinang dengan
kami.
Matahari tak kunjung tiba. Berada di
puncak Papua, menunggu pagi kembali alangkah lama. Semuanya tertutup kabut,
seperti sedang tinggal di sebuah negeri yang selalu berselimut awan. Aku
kembali mengambil sebiji pinang dan kembali mencocolkan sirih ke kapur di
genggamannya.
“Kau ganas sekali ee!”
“Enak jadi ....”
Pace David yang menggenggam kapur, baru
saja mengunyah pinang dan baru saja akan mengambil sirih ketika ia batuk dan
meludah. Tanah seketika merah. Batu-batu kecil seketika merah. Dan rumput
kuning yang tumbuh sejengkal darinya seketika merah.
“Itu darah kah apa?” tanya Musa.
“Ah, tidak. Itu ludah pinang toh!” kilahnya.
Pace David kembali berusaha memakan
kapur di ujung sirih ketika ia kembali batuk dan segenggam kapur di telapak
tangannya seketika tumpah saat ia berusaha menutup mulut. “Sa pu batuk ....” Ia kembali batuk. “Sa pu batuk tara bisa stop!”
“Sudah sebulan ini batuknya tak
berhenti,” bisik Od.
“Pace David sakit kah?” tanya Enek.
“Sepertinya Pace David TBC,” kataku
dengan cepat, secepat aku menyesalinya.
Musa seketika berdiri dan melangkah
mundur. “Itu sakit menular,” katanya, lalu Od dan Enek pun serentak berdiri.
“Sungguh, itu sakit menular,” ulangnya, lantas mereka bertiga bergegas
meninggalkan Pace David yang memandangiku penuh tanya.
***
Waktu memang berjalan lebih cepat untukku
yang mengerjakan segala sesuatunya seorang diri. Namun, bagi lelaki ringkih
yang biasa berseloroh di Pasar Tolikara dan tiba-tiba mengurung diri di
Nabunage, sungguh terasa lama. Terlebih ketika ia mengetahui bahwa Musa, Od,
dan Enek menghianatinya. Ketiga sahabatku itu telah membawa lari modal kami lalu
membuka kios pinang baru di Tolikara.
Bila ia masih muda, barangkali ia
akan menyeret tiga orang itu dari Tolikara ke Nabunage, lalu menggorok leher
ketiganya seperti para tentara yang pernah mencecerkan darah di tanah itu.
Namun, ia sudah tua. Tubuhnya telah ringkih. Lengannya selalu gemetar setiap
kali mesti menggenggam parang.
“Sa
su lama tara makan pinang,”
katanya.
Ya, tiga bulan sudah ia tak memakan
pinang. Baginya, pinang seperti udara. Buah itu dan sirih dan kapurnya sudah
seperti napas tambahan untuk melanjutkan hidup. Sore itu, aku pamit ke Wamena.
Aku masih memiliki sedikit uang, lebih dari cukup untuk membayar ongkos mobil
lajur ke Wamena dan membeli sekarung pinang lalu kembali berjualan.
Aku masih mengingatnya dengan jelas.
Pagi itu, aku dan Pace David telah tiba di Tolikara. Kami kembali berjualan
dengan membuka lapak di depan kios kenalannya. Kendati Musa, Od, dan Enek
memiliki kios pinang dan menjualnya dengan harga yang lebih murah, masih ada
satu-dua orang yang membelinya dari kami. Seorang Mace yang datang dengan dua
anaknya, membeli setumpuk pinang lalu memakannya dengan kapur di genggamanku.
Tak lama, lelaki berambut sebahu yang memiliki suara besar, memaksaku agar
menjualnya semurah harga di kios pinang. Namun, Pace David berkata, “Ambil
sudah!” dan setelah menerima uangnya, Pace David memberi setumpuk pinang lagi
sebagai bonus.
“Dorang
bernama Tolly,” bisik Pace David.
Tolly adalah orang yang paling
disegani sekaligus ditakuti di Tolikara. Ia kebal senapan dan senjata tajam. Konon,
ia pernah berselisih dengan KKB yang datang dari Puncak Jaya. Enggan
orang-orangnya diganggu dan wilayahnya dikuasai oleh orang luar, Tolly
memenggal kepala mereka satu persatu. Tolly memang diadili dan berkali-kali
ditangkap dan berkali-kali meloloskan diri. Secepat apa ia ditangkap, secepat
itu pula ia berhasil menembus jeruji.
“Dia bisa berkeliaran begitu saja?”
tanyaku.
“Ah, dorang su jadi tawanan luar. Dorang
banyak membantu juga jadi. Tentarakah, polisikah, semua hormat dorang.”
Aku baru saja ingin bertanya ketika
Tolly telah berdiri di hadapanku. Aku melangkah mundur dan punggungku merasakan
dingin tembok.
“Setumpuk lagi kah apa?” Pace David mendekatinya.
“Ah, tidak!” katanya, seraya
memandangiku.
“Itu sa pu anak. Ko ambil
setumpuk sudah!”
Tolly mengambil setumpuk pinang lagi
dan pergi meninggalkan kami. Tapi tak lama, ia kembali datang membawa beberapa
orang. Di depanku, ia berkata, “Kalian beli pinang di sini sudah!”
Seorang yang barangkali seusiaku,
mengambil setumpuk pinang lalu membayarnya. Lalu lelaki yang tampak lebih tua
dari Pace David minta diambilkan dua tumpuk pinang, dua ikat sirih, dan dua
genggam kapur. Pace David terburu-buru mengambilkan kapur lalu kembali dengan
cepat dan memberikannya dan kembali mengambilkannya. Lelaki tua itu tampak tak
keberatan membayar mahal. Begitu pula dengan beberapa orang yang membeli
sesudahnya.
Sejak saat itu, Tolly selalu datang
ke lapak kami. Ia dibiarkan memakan pinang sepuasnya dan kami selalu merasa
diuntungkan. Selama ia duduk di lapak kami, selama itu pula ada beberapa orang
yang datang untuk membeli. Entah karena menyeganinya. Entah menakutinya. Namun,
aku selalu meyakini bahwa orang-orang yang datang hanya karena ingin
mengenalnya atau ada keperluan dengannya.
Seminggu sekali, aku dan Pace David
pergi ke Wamena untuk belanja pinang sekaligus membeli obat. Kendati tubuhnya
kian ringkih dan batuknya tak kunjung berkurang, ia sungguh memiliki keinginan
untuk sembuh. Ia tak pernah sungkan meminum obat. Delapan sampai sepuluh pil
dalam sekali telan, bagiku, alangkah menyedihkan. Namun, ia tetap bertahan. Ia
masih meyakinkanku bahwa kami bisa kembali membeli pinang dalam jumlah besar
lalu menyewa kios lalu menjualnya dengan harga yang lebih murah.
Namun, itu hari adalah hari yang
membuatku menaruh dendam. Pace David dan Tolly sedang duduk menikmati pinang;
aku melayani pembeli; dan di saat itulah Musa berdiri di belakang orang-orang
yang berkumpul untuk membeli.
“Hormat, Pace-Mace!” Seingatku, suaranya terdengar lebih besar dari suara
Tolly. “Lelaki itu berpenyakit menular,” katanya seraya menuding Pace David.
“Dan orang ini,” tudingannya berpindah ke depan mukaku, “telah tertular
penyakit dan siapa pun yang dekat dengan mereka, akan tertular juga!”
Aku melihat Tolly telah mencengkeram
bajunya dan bersiap melemparkannya. Namun, aku mengenal Musa dari siapa pun. Ia
mahir bicara dan terlalu pintar menggiring orang-orang.
“Hormat, Kaka. Saya tidak bohong toh.
Pace David sakit TBC. Itu penyakit menular dan ...” di saat bersamaan, batuk
Pace David kembali kambuh, “Nah, Kaka
dengar toh. Penyakitnya sudah parah.
Kita semua bisa tertular bila tidak mengusirnya.”
Pundakku terasa berat. Pandanganku
seketika buram. Seingatku, Tolly melepaskan cengkeramannya; seseorang pergi
sebelum membayar; beberapa orang pergi meninggalkan lapak kami; dan beberapa
lainnya bertanya-tanya di sela suara batuk Pace David yang kian lama kian keras.
***
Malam itu, Nabunage lebih dingin
dari rasa dingin di ingatanku. Suara batuk Pace David tertelan hujan lebat yang
menghajar atap dan dinding honai. Aku merasa, honai kami akan roboh seperti
robohnya usaha kami. Tolly tak lagi datang. Tak seorang pun yang membeli pinang
kami selama berhari-hari. Dan sebelum hujan turun menenggelamkan suara-suara
dari kerongkongan lelaki ringkih di sebelahku, kenalan Pace David yang
mengizinkan kami membuka lapak di depan kiosnya, telah mengusir kami karena ia pun
takut tertular.
Kilat seketika menerobos celah honai
dan aku sempat melihat Pace David tersenyum seraya memegangi dada. Aku menutup
telinga sesaat petir menggelegar dan barangkali, di saat itulah Pace David
mengejan batuknya dengan lebih keras agar tak mengganggu pendengaranku.
Barangkali, ia juga sempat tertawa sebelum berdiri dan melangkah menuju pintu.
Barangkali, ia ingin meludah. Meludahkan darah dan membiarkan hujan menghapus
bekasnya.
Aku baru saja ingin menyusulnya
ketika ia berbalik lalu duduk memunggungiku. Ia mulai bicara. Berbicara sekeras
yang ia mampu. Sungguh, aku tak bisa mendengarnya dengan jelas. Suaranya dan bunyi
hujan seperti musik yang diputar secara bersamaan di terminal mobil lajur di
Wamena. Barangkali, ia mengatakan: dulu, ia mulai menjual pinang dengan
menitipkan beberapa tumpuk pinang di kios-kios, lalu membuka lapak, lalu
menyewa kios yang ia gunakan khusus menjual pinang. Barangkali ia mengatakan
itu atau hanya pendengaranku.
Akan tetapi, pendengaran itu
membuatku berpikir untuk mulai meninggalkannya. Aku mesti kembali ke Wamena dan
mesti memulainya kembali dari awal. Aku akan membeli sekarung pinang, sekantong
sirih, sekantong kapur. Aku juga mesti membeli plastik-plastik kecil untuk
mengemas kapur dengan takaran setumpuk pinang dan seikat sirih lalu
menitipkannya di kios-kios kecil. Kami membutuhkan uang. Pace David harus
berobat dan mesti sembuh!
Dan setelah hujan reda, kukatakan
padanya, “Mulai besok, Pace David istirahat saja. Aku akan ke Wamena dan
mencoba menitipkan pinang di kios-kios kecil di Tolikara. Kita masih
membutuhkan uang untuk berobat.”
Aku tak mendengar balasan.
Barangkali, ia sedang berusaha menahan batuknya. Barangkali, bibirnya sedang
bertaut karena mengulum senyuman di dalam gelap. Aku tak tahu pasti. Mungkin
juga ia telah tertidur dan sedang bermimpi: ada seseorang yang berniat mengobati
sakitnya sampai sembuh, seperti ia pernah menyembuhkan rasa lapar di perut
kami.
(Pekanbaru, 2023)
Catatan:
Sa :
saya
Pu :
punya
Sa pu : saya
punya. Misal: sa pu anak; saya punya anak; anak saya
Ko :
kamu
Tara :
tidak
Kamorang : kalian
Dorang : dia
Su :
sudah
Sudah : -lah.
Misal: bakar sudah; bakarlah
Kah : atau
Pace :
laki-laki muda
Mace :
perempuan muda
Honai : rumah
adat papua yang sering dijadikan sebagai tempat tinggal
Toh :
dalam dialek Papua, kata ini digunakan untuk mempertegas sesuatu
yang sudah dikatakan sebelumnya, entah itu
dalam bentuk pertanyaan
maupun pernyataan.