Esyil dan Ular Ayah
Iin Farliani
Ketika Esyil menceritakan bagaimana dia membayangkan kulit tubuhnya seperti kulit ular yang disamak ayahnya setiap hari semasa dia masih kecil, di kepalaku justru yang terbayang ialah teras depan rumahnya yang dipenuhi rak-rak bening tempat alat-alat dan buku tulis diletakkan. Di sana ada juga mesin fotokopi dan komputer tua. Tak ada tumpukan kulit ular atau bentangan kulit ular sanca yang digantung untuk dikeringkan.
Apakah ingatanku salah?
“Coba kau bayangkan, anak kecil diminta untuk memegang
pisau pengulit dan menguliti ular itu satu per satu. Waktu itu aku baru berumur
tujuh tahun. Ayahku akan memanggilku dengan suara yang menggelegar, memaksaku
untuk memegang pisau pengulit, dan ia mulai membentangkan ular itu, dan
memintaku untuk mengulitinya. Seorang anak perempuan berusia tujuh tahun
dipaksa menguliti ular. Gila, bukan? Apa sebenarnya yang ada di pikirannya saat
itu? Sampai sekarang aku masih bertanya-tanya mengapa sejak dulu ayahku
memperlakukanku dengan kejam.”
Esyil memandang ke halaman dengan mata mengantuk.
Wajahnya yang cerah begitu kontras dengan kisah kelam yang baru saja dia
ceritakan. Bila melihat Esyil, takkan ada orang yang menyangka itulah wajah
yang tak merasakan istirahat selama beberapa hari terakhir. Mata yang selalu
terjaga selama dua puluh empat jam. Selalu terbangun dengan dada berdebar,
seolah ada bahaya yang datang mendekat. Dihantui kecemasan dan kesedihan yang
sangat dalam. Semangat hidup yang lenyap entah ke mana. Kulitnya yang putih
bersih menyembunyikan lapisan kengerian batin yang dipikulnya.
Tentang ayahnya aku hanya mengingatnya sebagai sosok lelaki
tua bertubuh kecil yang jarang bicara. Meski begitu setiap kali ia hadir di
toko alat tulisnya, membuka koran yang terlipat dan menyesap kopi, maka sangat terasa
orang-orang yang kebetulan berada di dekatnya dibebankan tanggung jawab untuk
tidak membuat hal-hal yang bisa mengganggu kenyamanan raja kecil itu. Ia punya
aura memerintah dalam sikap diamnya. Sekecil apa pun, jangan sampai ada yang
membuatnya terusik. Ya, ia membawa dirinya seperti raja kecil dan toko alat
tulisnya adalah singgasananya.
Aku tak menyangka bahwa lelaki kecil yang tampak
ringkih dan jalannya selalu sempoyongan itu ternyata dahulu adalah seorang
penyamak kulit ular. Ini berarti ibuku bekerja di rumah Esyil ketika ayah Esyil
tak lagi bekerja sebagai penyamak ular. Barangkali mereka bukan penduduk asli
kota itu. Dahulu sebelum ibuku diberhentikan bekerja di rumah itu, aku sempat
mendengar soal kondisi ekonomi keluarga Esyil yang sudah morat-marit.
Satu-satunya sumber nafkah adalah toko alat tulis yang merupakan toko warisan
dari kakek Esyil. Ayah Esyil sendiri tak mampu mengelolanya. Uang jualan yang
terkumpul selalu dihabiskan untuk berjudi dan membeli minuman keras.
Sudah tiga malam Esyil selalu datang ke kamarku, menceritakan
semua yang menggelisahkan hatinya. Beberapa hari lalu dia mendapat kabar
ayahnya meninggal. Meski sudah lama tak berjumpa dengan ayahnya dan hubungan
mereka sangat buruk, bagaimanapun kabar itu tetap menimbulkan guncangan di
benak Esyil. Seakan menjadi pembangkit bagi segala yang sudah lama tersimpan rapat-rapat,
ia menjelma gelombang memporak-porandakan apa yang ada di daratan. Menyapu
bersih semuanya, termasuk rongsokan-rongsokan yang tersisa.
Esyil menjulukiku “Ahli Jiwa”. Aku mengatakan aku
hanya bisa menjadi pendengar bagi segala keluh-kesahnya. Tak lebih. Aku juga
tak punya kemampuan dalam mencetuskan solusi, apalagi nasihat-nasihat bernada
bijak. Aku tak punya pengalaman di bidang itu. Tapi Esyil menyanggah. Katanya
justru karena aku punya kemampuan menyimak cerita orang lain, itu sudah
merupakan bantuan yang berarti. Tak banyak orang yang punya ketahanan menyimak.
Orang-orang lebih suka berbicara sendiri dan menganggap diri mereka adalah
pusat dunia.
Kala Esyil menceritakan berbagai perlakuan kejam yang
pernah dia terima dari ayahnya semasa kecil sampai remaja dan bagaimana hal itu
berpengaruh kepada dirinya yang sekarang, aku tergoda untuk menyela sejenak
ceritanya dan bertanya apakah dia masih ingat dengan Bibi Nana dan anak
perempuannya yang selalu menyertainya? Apakah Bibi Nana sudah benar-benar
terhapus dari ingatannya? Mengapa Esyil sama sekali tak menyinggung Bibi Nana
yang sering dijadikannya tempat pelarian ketika ibu dan ayahnya bertengkar?
Aku menahan keinginan itu. Lama-lama aku merasa
khawatir kalau Esyil menandaiku sebagai anak pembantu yang pernah bekerja di
rumahnya. Aku tak bisa membayangkan seperti apa reaksinya bila dia tahu aku
adalah putri Bibi Nana yang pernah dia tertawakan ikatan kuncirnya semasa kami
kecil dulu.
“Rambutmu akan kaku kalau dikuncir seperti itu. Jelek.
Sangat jelek.”
Itulah kalimat pertama yang kudengar dari Esyil ketika
aku kali pertama berkunjung ke rumahnya. Dua kuncir rambutku yang diikat
menyerupai air mancur disimpul menggunakan tali rambut warna-warni sering
menjadi bahan tertawaannya. Sejak saat itu aku sangat membencinya. Aku selalu
cemburu setiap kali Ibuku memberi perhatian lebih kepada Esyil. Esyil selalu
mencari Ibuku di dapur setiap kali dia merasa takut mendengar suara amukan
ayahnya. Bila sudah seperti itu, maka waktu Ibuku sepenuhnya menjadi milik
Esyil. Aku tak bisa meminta bantuan Ibuku untuk menyelesaikan PR yang diberikan
guru. Aku makan siang sendiri, agak berjauhan dari mereka sambil terus
menggerutu dalam hati kapan bisa pulang dari rumah itu. Aku lelah dan ingin
tidur siang, tapi keadaan rumah Esyil selalu ribut. Kecuali kalau ayahnya pergi
ke rumah teman-temannya, keadaan rumah barulah tenang.
Waktu itu aku sama sekali tak mengerti mengapa Ayah
Esyil selalu marah-marah. Ia bisa tiba-tiba meledak dari sikap diamnya yang
panjang. Aku hanya ingat kalau ia suka sekali membanding-bandingkan Esyil
dengan kakak lelaki Esyil. Ia menyebut Esyil sebagai anak perempuan tak
berguna. Sepertinya Ayah Esyil tak menyukai anak perempuan. Hal itu juga yang
membuatku tak berani menatap Ayah Esyil dari dekat saat berjalan ke teras depan.
“Ia membenci anak perempuan, jadi pasti ia juga tak
suka padaku,” begitu yang terlintas dalam benakku saat itu. Ibuku juga tak
menunjukkan sikap akrab padanya. Sehabis menyelesaikan pekerjaan dan membawa
pulang sisa makan malam, aku dan Ibuku akan berjalan pulang sambil menunduk
melewati toko alat tulis tanpa berani menoleh ke arah Ayah Esyil yang sedang
duduk di sana.
Aku merasa sangat gembira ketika akhirnya Ibuku
diberhentikan kerja. Artinya takkan ada lagi kunjungan setiap pulang sekolah ke
rumah Esyil. Aku bisa langsung istirahat ke rumahku; takkan mendengar lagi
suara tangis Esyil yang meraung-raung dan ekspresi letih ibuku setiap kali
harus memeluk Esyil dan meredakan tangisnya. Takkan ada lagi sikap waspada dan
ketakutan setiap kali mendengar pertengkaran antara ayah dan ibunya. Aku
terbebas dari semua itu.
Kala itu aku sangat senang bila melihat Esyil
menderita. Tetapi sekarang aku merasa tak ingin melihat ekspresi
keterkejutannya andai aku memberitahu kalau aku anak dari perempuan yang pernah
dia panggil “Bibi Nana”. Dalam masa kerja Ibuku yang tak begitu lama di
rumahnya, dia pasti tak menyangka kalau aku masih mengenalinya. Sementara dia
sendiri tak sedikitpun menandaiku; anak kecil berambut air mancur yang kini
telah dewasa.
Tentu saja Esyil tak mengenaliku. Semasa kecil,
interaksi kami sangat sedikit. Usiaku cukup berjarak jauh darinya. Ketika aku
masih kelas satu sekolah dasar, dia sudah naik ke kelas enam. Lagipula waktu
itu dia hanya menganggapku tak lebih sebagai anak kecil dengan ikatan rambut
air mancur yang jelek. Tak pernah ada ketertarikan yang menunjukkan dia ingin
berkawan dekat denganku, apalagi menganggapku sebagai adik kelasnya. Dia hanya
peduli dengan keberadaan Ibuku. Tak pernah ada pandang kekaguman seperti yang
dia tunjukkan padaku di masa sekarang.
“Ternyata kau penulis. Aku sudah membaca cerita
pendekmu,” kata Esyil sembari menyerahkan Koran Minggu yang memuat cerita
pendekku hari itu. Semua bermula dari penyerahan koran itu , Esyil perlahan-lahan menunjukkan
ketertarikannya ingin berkawan dekat denganku.
Waktu itu aku baru tiba di rumah sewa sehabis dari
tempat kerjaku sebagai laboran perikanan. Aku terkejut dan mengucapkan terima
kasih atas koran yang kuterima sore itu. Mulanya aku menitipkan pesan kepada
induk semangku untuk menyimpan Koran Minggu yang memuat cerita pendekku. Tetapi
rupanya titipan itu beralih ke Esyil karena si induk semang harus pergi
menyelesaikan beberapa urusan pada jam penerimaan koran. Esyil yang baru
beberapa minggu lalu pindah ke lingkungan rumah sewa ini ternyata bekerja
sampingan di toko kelontong milik si induk semang yang letaknya bersebelahan
dengan rumah sewaku. Jadilah semua bermula dari sana, perkenalan kami menjadi
dekat dan cerita tentang kulit ular dan ayahnya mulai mengalir.
Esyil menyebutkan nama-nama penulis yang disukainya.
Semuanya adalah penulis buku-buku laris. Aku ingin menjelaskan kalau aku bukan
penulis populer seperti itu. Aku menulis sesuatu yang lebih serius, bukan yang
bersifat pop. Tetapi aku takut terdengar pongah, maka aku tak membagi lebih
lanjut tentang dunia menulisku. Sebaliknya aku mengarahkan percakapan kepada Esyil
agar dia yang lebih banyak mengutarakan tentang dunianya, alasan kepindahannya,
pekerjaan terakhirnya sebelum bekerja sampingan di toko kelontong ini.
Keluarga Esyil bangkrut total. Rumahnya sudah dijual.
Esyil dan orangtuanya pindah ke kampung kelahiran. Mulai memasuki masa kuliah,
Esyil sudah berani menentukan sikap. Dia tak mau lagi tinggal bersama orang tuanya. Dia tak tahan melihat kepasrahan ibunya atas perlakuan ayahnya.
Dia juga tak mau lagi mendengar sebutan “anak perempuan tak berguna” dari
ayahnya.
“Lebih baik hidup sendiri daripada lama-lama menjadi
tak waras berhadapan dengan ayah yang punya sikap kejam seperti itu. Toh sejak
kuliah aku sudah bisa mencari uang sendiri. Hanya saja sialnya perusahaan
tempatku bekerja belum pulih benar dari efek pandemi. Jadilah pekerja kontrak
sepertiku diberhentikan. Hingga aku terdampar di tempat ini. Aku harap keadaan
lekas membaik dan kelak punya pekerjaan mapan. Sejak berhenti bekerja di
perusahaan itu aku tak punya uang untuk membeli obat untuk mengatasi depresiku.
Tak punya biaya lagi untuk konsultasi ke psikiater. Tapi aku senang ternyata
lingkungan di sini tak buruk-buruk amat. Aku bertemu orang sepertimu yang siap
mendengar keluh kesahku. Mungkin keluh kesahku ini membuatmu sakit kepala. Aku
minta maaf, ya? Sejak aku tahu kau penulis rasanya nyaman mencurahkan apa
saja.”
“Kau perempuan hebat. Aku sendiri belum tentu bisa
sepertimu. Hidup sendiri, merantau ke berbagai daerah. Rumah sewa ini pun
sebenarnya masih satu kota dengan rumah masa kecilku dulu. Aku tinggal di sini
supaya lebih dekat saja berjalan kaki ke tempat kerjaku,” kataku
menyemangatinya.
Tiba-tiba Esyil bangkit dari duduknya sambil berteriak.
Dia sangat terkejut dengan kecoak yang muncul dari bawah tikar yang didudukinya.
Aku lekas mengambil sapu untuk mengusir kecoak itu.
Esyil minta maaf dengan sikapnya yang berteriak
kencang.
“Aku lebih takut dengan kecoak ketimbang dengan ular.
Dari kecil setiap hari aku melihat ular, bahkan membantu ayahku mengulitinya.
Kadang aku berpikir ular-ular itu tak jauh beda nasibnya dengan diriku. Di
tangan ayahku, aku dan ular-ular itu memiliki nasib serupa. Kami sama-sama dikuliti.
Dikuliti! Begitulah. Perlakuan kejam ayahku kepadaku sejak dulu seperti
mengulitiku hidup-hidup. Menjelma tekanan mental yang tak sembuh-sembuh.”
Aku menepuk bahu Esyil ketika sesudah menceritakan
semua itu, dia menangis tersedu-sedu. Dia mengaku baru pertama kali inilah dia
merasa menemukan tempat bercerita yang tepat.
Aku masih enggan menanyakan tentang toko alat tulis,
Bibi Nana dan anak perempuannya. Apakah Esyil masih mengingatnya? Aku menutup rapat-rapat
keingintahuanku. Bagiku sudah cukup. Biarlah apa yang sudah diceritakan Esyil
menjadi bahan baku bagi cerita-cerita baru yang akan aku tulis nanti.