Parasit
Rici Swanjaya
“Pernahkah
kau melihat darah di bawah bulan purnama, Will? Ia terlihat agak gelap.”
−Hannibal
Lecter –
Hasrat ini menggelora, membutakan nalar;
sesuatu yang aku pun tidak tahu bagaimana ia bersemi dalam diri. Pada
malam-malam tertentu, seperti di bawah siraman hujan lebat sekarang ini, dorongan
untuk mencari mangsa muncul-tenggelam tiada pernah bisa diatur. Sudah satu jam
dua puluh empat menit aku menunggu. Tubuhku menggigil tanpa jeda, semacam
mekanisme pertahanan tubuh terhadap dingin atau lapar, tapi sekarang aku tidak
kedinginan.
Oke, itu awalan
yang buruk. Coba aku ulang:
Kenapa aku di
sini, berdiri dan duduk dan berdiri lagi di bawah kanopi teras bangunan lama
bekas bioskop samping halte bus?
Seperti yang sudah
aku bilang, ada dorongan misterius yang mengambil alih kemudi tubuh untuk
kelayapan bak pengembara putus asa, dan rahang itu penyebabnya. Tentu bukan
rahangku, tapi rahang yang lain, yang bersembunyi tanpa suara dan mengintai
dalam gelap. Ia merupakan nuansa kemarahan dan nafsu menggebu, menyebar gigil
dan keringat dingin, dan tubuh bergegas menjawab, tersebab oleh rasa takut:
jangan sampai rahang itu mulai menyerang induk semangnya sendiri; alangkah
tidak nyaman rasanya bila itu terjadi. Aku tahu, karena itu pernah terjadi satu
kali; hanya satu kali, karena dengan penuh determinasi aku bersumpah tidak bakal
membiarkan itu terjadi lagi, dan berusaha mencari solusi di balik semak
belukar, lubang sarang belut, atau semburan air kumur seorang Habib. Semua
gagal, itu jelas, karena bila sebaliknya aku tidak bakal ada di sini dan bicara
sendiri layaknya orang ketiban wahyu dari Imam Mahdi.
Aku ingat sumpah
itu. Waktu itu hari Senin, hari di mana keengganan menyambut kenyataan sama
besarnya dengan keinginan membunuh ibu mertua. Pagi menemukanku dengan perasaan
seperti itu tertambat di pelupuk mata, bertengger bersama kantuk dan residu
mimpi buruk. Burung-burung pergi dari singgasananya di cabang pohon trembesi,
membawa serta kicaunya yang mewartakan kabar baik, diusir paksa oleh asap hitam
bakaran sampah dan daun kering yang berusaha mengganti langit biru menjadi
kelabu…
Ahh, ada yang
berteduh. Lupakan. Bukan yang ia cari. Dalam balutan gelap dan hujan, sangatlah
sukar membedakan mana laki-laki dan mana wanita, apalagi kalau dia tidak berbau.
Sebentar, kenapa aku mesti berhenti? Aku harus lebih fokus. Sampai mana
ceritaku tadi? Oh ya, langit menjadi kelabu…
Keriangan cahaya
matahari menipis sedikit demi sedikit, diganti oleh sesuatu yang murung – atau
itu cuma perasaanku saja? Aku tidak tahu. Mungkin tirai kusam jendela
pelakunya: dekomposisi bahan tua bersama partikel-partikel asing dari putaran
kipas angin mendominasi aroma dan nuansa dalam kamar, basi dan kumal,
membangunkan rahang yang lapar dan marah, dan mulai menggerogotiku dengan
semangat beroktan tinggi. Aku bergeming menahan perih. Bumi berputar kacau dan
aku terombang-ambing oleh arusnya yang berpilin, menghilangkan kesadaran akan
ruang. Dan rahang itu berhasil menguasai tubuh. Setiap jengkal kulit diselimuti
keringat basin yang bekerja layaknya anestesi kedaluarsa karena ia menebal
tepat di mana rasa sakit itu bakal muncul dan tidak banyak yang dapat ia
lakukan. Akhirnya, dalam kepungan rasa sakit dan jengah, aku melakukan hal yang
aku pikir tidak mungkin bisa aku lakukan pada tubuhku sendiri: aku mulai…
Orang lain datang,
berpasangan. Kenapa harus berpasangan?
Insting rahang ini
begitu menakjubkan, terutama perkara seksualitas, mirip kucing jantan yang tahu
kapan sang betina berahi dan siap kawin. Kecuali rambut, segala spesifikasi
wanita itu memancarkan ruap layaknya masakan yang baru saja matang, lengkap
dengan kepulan asapnya, menandakan kelezatan yang terperam sempurna. Dan gadis
itu siap diperas intisarinya.
Aroma libido gadis
itu sedikit luntur dibilas hujan, tapi tidak milik pasangannya yang busuk.
Memang yang busuk-busuk selalu lebih liat untuk dihilangkan, seperti halnya kebiasaan
buruk: kita bisa berusaha semampu kita dengan mencatat apa-apa yang dibutuhkan
dan meniatkannya dengan semangat resolusi awal tahun, tapi makin lama makin
terasa seperti tugas yang mustahil dilakukan, dan kebanyakan memang demikian.
Aku rasa cuma keberuntungan yang bisa memberi kemewahan buat manusia untuk menjauh
dari kebiasaan buruk, selain, tentu saja, kematian. Dan aku sudah berusaha
semampuku membasmi kebiasaan itu, tapi rahang jahanam ini tetap tinggal,
menunggu dengan sabar dan lapar.
Sialan! Ceritaku
terputus lagi. Ayolah, aku pasti bisa. Oke…
Semenjak hari
Senin pagi itu, darah jadi obat penawar bagi kemarahannya, dan kemudian menjadi
jelas setelah berbulan-bulan kemudian: itu adalah tujuan kehadirannya. Tidak,
aku bukan vampir, juga bukan Drakula, karena aku tidak menikmati cairan itu
mengalir di tenggorokan – amis dan asin, bukan kesukaanku. Aku cuma seorang
Gemini dengan cap pecundang di dahi.
Dua wanita pertama
adalah yang terburuk. Bukan cuma karena rasa jijik usai rahang itu pamit ke
peraduannya setelah kenyang, tapi juga betapa repot menghilangkan jejak mereka.
Empat puluh sembilan hari kemudian mayat korban kedua ditemukan. Meski
serampangan dan ceroboh, aku heran kenapa polisi belum juga menggedor pintu
rumah dan menyeretku ke balik jeruji. Beruntung aku berlangganan Netflix, dan
dari sana aku mulai menyempurnakan metode penghilangan jejak sedikit demi
sedikit. Tidak heran kenapa banyak sekali kejahatan rapi terjadi di Amerika.
Mungkin, Korea Selatan perlu belajar kesalahan itu dari mereka, karena seturut
pengetahuanku, film kriminal negara itu jauh lebih baik dan menarik dari
Hollywood beberapa tahun belakangan.
Satu-satunya yang
hampir membongkar identitasku adalah ibu mertuaku. Ah, si nenek sihir pembaca
injil yang selalu mengingatkanku pada ibuku; bukan cuma penampilannya, tapi
juga sikapnya. Nenek sihir itu tidak pernah menebas dan menusukkan lidah
tajamnya padaku, tapi ke istriku. Dia tidak pernah bosan merendahkan anaknya
sendiri, selalu mengingatkan bagaimana nasib anaknya itu sangatlah bergantung
pada kebaikannya, pada kemurahan hatinya, dan itu mendidihkan dadaku. Kalau
saja kami masih terus hidup serumah sampai aku sudah tidak lagi mual dan demam
tiga hari tiga malam karena melihat mayat yang berkubang darahnya sendiri –
kalau ingatanku tidak berkhianat, itu tercapai setelah wanita kelima − aku
bakal mengubur potongan tubuhnya jauh lebih dalam dari pondasi Tunjungan Plaza
dan bernasib sama dengan korban pertama. Untungnya kami tidak pernah bertemu
lagi setelah aku dan istriku bercerai, dan untungnya lagi, ibu dari istri
keduaku tidak seperti dirinya.
Dari pernikahan
pertama aku belajar sat…
Tunggu. Satu
mangsa potensial datang. Oh, bukan kriteria si rahang: terlalu kurus, tidak
banyak darah yang bisa dinikmati. Ditambah lagi, dari perawakannya, wanita ini
terlihat punya modal atletisme tinggi, minimal salah satu jenis bela diri, dan
orang macam ini susah didominasi. Soal begini, si rahang tidak pernah salah.
Kenapa darah? Mungkin
karena itu simbol penaklukan, bendera putih yang terlampau berat dikibarkan, pakta
damai yang terlalu hina untuk diakui. Semerepotkan apa pun rahang itu menuntut,
ia tidak terlalu ambil pusing dari bagian mana cairan itu berasal: leher
berbuku-buku, lipatan ketiak berambut, payudara mampat berputing kismis, atau telapak
kaki kenyal beraroma ikan tim jahe. Terbaik dari semuanya: vagina yang
menyemburkan darah tanpa perlu diapa-apakan. Ahh, membayangkan itu saja rahang
ini mulai menggeliat hebat, layaknya ombak besar yang terperangkap gua karang.
Dari mana tadi?
Ah, aku lupa lagi.
Memang Dokter Aprillia
bilang lebih baik ditulis saja, seperti catatan harian – dia menyebutnya
sebagai “Buku Perlawanan”, betapa konyol, apalagi kalau isinya justru cerita
tentang hal yang dilawan, hanya agar aku mengenalnya dulu sebelum bisa
menguasainya − tapi aku tidak suka menulis, apalagi kalau tanganku gemetar dan
sering punya inisiatifnya sendiri, patuh pada si jahanam. Dan lagi, kenapa
mesti menunggu ia muncul? Kenapa tidak setiap hari? Bukannya mencegah lebih
baik daripada mengobati? Lama-lama aku ragu cara ini bisa membungkam si rahang
sialan. Atau mungkin aku perlu bertaruh semuanya, all-in, dan mengosongkan
peti rahasiaku padanya, karena mungkin “rahang itu memaksaku masturbasi di
tempat publik” tidak cukup dia anggap sebagai gangguan jiwa yang serius. Lagipula,
toh hasil akhirnya cuma ada dua, dipenjara atau sembuh.
Goblok! Harusnya
aku mikir begini sewaktu ia tidur, bukan sekarang. Sial. Pengalih perhatian… Cari
pengalih perhatian… Cerita masa lalu, tapi yang mana? Oh ya, menggambar
suasana…
Hujan masih
mengguyur deras. Butir-butir air yang jatuh ke aspal berlompat riang layaknya
jutaan ikan kecil yang merayakan hari baru atau datangnya nubuat perihal
kemujuran dan umur panjang. Tanpa cahaya lampu jalan, gemericik itu terlihat
berlangsung di atas kolam berair gelap. Hanya paparan sinar mobil dan sepeda
motor yang mampu memberi sedikit petunjuk adanya marka jalan, putih pucat
terputus-putus, mirip jejak bayangan hantu-hantu penunggunya.
Bus TransSurabaya
tiba, memancar silau dari dua lampu depan. Bulir air hujan terlihat berkilau
saat melintasinya. Raung mesinnya kalah oleh hantaman berkubik-kubik air pada
genting, seng, dan tubuhnya sendiri. Kami berlima mematung, terperangkap dalam gemuruh
kebisingan, begitu pun bus itu: ia mematung jauh lebih baik daripada kami,
lebih solid dan tenang, seperti menemukan kenyamanan dalam guyuran hujan. Lalu
bus itu pergi, mencari tempat lebih nyaman, sebelum sebuah suara berusaha keras
menembus tirai hujan, memanggil-manggil bus itu bagai kawan lama. Setelah beberapa
percobaan, suara itu berhasil menemukan titik tertingginya, tapi terlambat.
Segaris air liur
lolos dari jerat bibir. Sesungging senyum iblis terukir di wajah. Oh, nasib
buruk, kenapa kau selalu saja punya cara untuk hadir?
“Hah? Apa, Mbak?
Oh, iya, ada, Mbak. Bisnya ada terus kok, 24 jam.”
Kebohongan pertama. Sial, ia sudah
menguasaiku. Aku tahu itu, karena aku benci berbohong, sedangkan ia bernafas
dengan kebohongan. Sulur nadiku ia genggam dan mulai memperlakukanku bak marionette
lapar. Layaknya seorang Don Juan, ia punya mulut manis nan sopan: kami berbincang
santai soal profesi, hujan yang tak kunjung reda, kenaikan harga BBM, suka-duka
kerja kantoran − basa-basi standar pertemuan pertama. Pengalih perhatian… Atau…
Jadi pria menyebalkan, jadi pria membosankan, biarkan wanitu itu per…
Terlambat. Leher
bagian belakang terasa nyeri, lalu merambat ke punggung, masuk ke sumsum,
menguras rasa dan makna dari segala yang menegaskan diriku eksis. Meskipun
begitu, aku berhasil menyamarkan beban itu dengan keceriaan palsu yang
mengancam melumpuhkanku sebagai pertahanan terakhir.
Rintik hujan
ditempa lampu jalan membantuku memandang wajah tirus tanpa riasan berkacamata
baca yang berembun. Bibirnya gemetar tak karuan, seperti sedang bicara pada
diri sendiri soal nasib buruk, atau sekadar membaca mantra pengusir dingin.
Selain itu, kegelapan menguasainya; tak ada lagi pencitraan lain yang aku
tangkap agar bisa berkompromi dengan rahang jahanam ini: bukan yang berhidung
pesek, wajah tanpa keriput, dan tanpa cacat: juling, bibir sumbing, atau codet.
Aroma yang keluar darinya dan siluet tubuh sintalnya semakin meningkatkan rasa
lapar. Untungnya keberadaan empat orang lain mampu menahannya sebentar.
Aku berselimut keringat
dingin. Kesuraman pikiran dan pandangan menjelaskan penaklukanku akan segera
tiba. Kepalaku penuh pertimbangan, perutku diserang gelombang amuk, lenganku
kebas oleh tusukan jarum tak terlihat; tak lama lagi aku bakal jadi seorang
kriminal menyedihkan. Tarik paksa? Jangan, masih ada orang, ada saksi. Persetan
mereka? Tidak. Aku tidak mau masuk penjara. Aku masih mau menghirup udara bebas,
mencecap rupa-rupa rasa manis dunia, juga teriakan dan erangan dan permohonan
ampun. Aku masih ingin merasakan kekuatan itu, dominasi itu…
Teriakan?
Dominasi? Ngomong apa aku ini? Ini bukan aku, ini buk…
Aku berbalik, bergerak
lekas dan menjauh, melintasi guyuran hujan dan meninggalkan jejak darah dari telapak
tangan di tiap kubangan yang aku lewati. Bersama geram, aku menahan rasa sakit
dan pahit darahku sendiri. Sial. Padahal aku sudah bersumpah tidak bakal membiarkan
ini terjadi lagi.
Masih ada waktu, masih
banyak mangsa. Lain kali, darah yang mengalir harus milik seseorang yang
berteriak pasrah dan tak berdaya, yang melihat malaikat maut mendekat dari mata
berlinang dan mengatup. Kali ini aku setuju denganmu: lebih baik kesakitan ini
berasal dari jiwa orang lain, dan cuma kenikmatan bagi jiwaku. Dan yang paling
penting adalah melakukannya dengan rapi seperti sebelum-sebelumnya; tanpa saksi
mata, tanpa belas kasihan.
Ingat-ingat itu:
tanpa saksi mata, tanpa belas kasihan. Harusnya kau sudah paham itu sekarang,
bukan malah “persetan mereka semua” dan bertindak seperti baru pertama kali
melakukannya. Seandainya kau belum tahu, cuma ada jakun dan pelir di penjara,
dan darahnya hitam dan getir, hambar dan banyak parasit, dan yang paling
penting: aku tidak mau anusku tercemar oleh batang kaku penuh kuman mematikan. Intinya:
di sana kau tidak bakal pernah bangun, dan cuma aku yang menjalani hidup dalam
neraka. Jadi, jangan bersikap gegabah seperti itu lagi.
Aku mesti bilang
apa nanti soal tangan ini? Digigit anjing? Tidak sengaja menjatuhkan es teh
jumboku? Habis melawan begal bersenjata parang? Sialan. Aku payah dalam
berbohong, terlebih lagi kalau di hadapan istriku: aku pasti gagal, aku selalu
gagal. Cuih! Psikiater tai kucing. Sudah menghabiskan banyak uang, tapi ucapannya
tidak lebih bermanfaat ketimbang kentut.
Baiklah rahang
jahanam, bagaimana kalau begini: kalau kau mau aku belajar menerimamu, aku mau
kau juga belajar sesuatu, yaitu kurangi standar persyaratan manismu sedikit
saja, dan coba biasakan dirimu dengan rasa pahit, karena kalau sudah berumur lebih
dari empat puluh tahun, cuma rasa pahit yang semakin kuat, mungkin kecut juga,
persis seperti fermentasi tebu, seperti ciu, tapi pahit yang paling kentara.
Tenang saja, rasa manis masih ada dan melebur di antaranya. Sudahlah, tidak
usah kau tanya aku tahu dari mana, pokoknya aku tahu. Bagaimana? Deal?
Oke. Besok kita datangi
dokter gadungan itu buat percobaan pertama.