Gelas Teh Bapak
Febri Saptowo
Mamak, panggilan kami kepada ibu kami, baru saja meletakkan gelas berisi teh di atas meja makan. Dia membuat teh dengan sedikit cepat agar tidak tertinggal sinetron kesukaannya, padahal seharusnya Mamak tahu kalau iklan ketika sinetron itu tayang akan berlangsung lama. Teh dibuat untuk Bapak, biasanya Bapak akan minum teh setelah tadarus sehabis salat isya baru kemudian makan malam.
Bapak tidak perlu mengingatkan Mamak untuk membuatkan teh karena sudah setiap malam Bapak menunda makan untuk tadarus. Mamak baru akan membuatkan teh selepas dia salat isya, sebab dia tahu Bapak bisa menghabiskan waktu satu sampai dua jam untuk tadarus. Bapak baru akan makan ketika jam telah menunjukkan pukul sembilan malam dan teh yang disiapkan Mamak sudah hampir dingin, tetapi tetap disukai Bapak.
Bapak tidak terlalu menyukai makanan atau minuman manis, entah karena usia atau karena memang itu seleranya sejak muda. Mamak juga telah hafal dengan itu, ia pernah bilang kalau ingin membuatkan teh untuk Bapak cukup masukkan sejumput teh tubruk, lalu tambahkan satu sendok teh gula. Selera Bapak yang tidak suka manis sepertinya menurun kepada anak-anaknya, aku dan kakak-kakakku tidak terlalu menyukai makanan manis. Teman-temanku bahkan pernah sekali bingung ketika aku bilang aku lebih menyukai belimbing sayur dibandingkan semangka.
Rutinitas malam Bapak dan Mamak selalu saja sama setiap harinya. Bapak akan pergi ke masjid untuk salat magrib, Mamak salat di rumah. Setelah pulang Bapak akan langsung tadarus dengan suara nyaringnya yang terdengar sampai ruang tamu, sementara Mamak duduk menonton sinetron di ruang keluarga. Ketika azan isya telah terdengar suara tadarus Bapak akan terhenti, itu pertanda kalau Bapak langsung salat isya dan Mamak masih dengan tatapan serius menonton sinetron, sesekali mencela pemain di dalamnya. Setelah beberapa menit, suara tadarus Bapak akan kembali terdengar, kali ini Mamak menuju dapur dan meletakkan gelas teh Bapak yang masih hangat di atas meja makan.
Entah karena rutinitas yang sama setiap harinya atau memang karena usia pernikahan yang puluhan tahun, aku jarang sekali mendengar Bapak dan Mamak ribut. Mungkin nyaris tidak pernah. Memang, Mamak pernah bilang ketika Bapak sedang marah, ia tidak akan melawan, ketika Mamak sedang marah, Bapak tidak akan membantah. “Kalau Bapak sedang jadi api, Mamak tidak boleh ikutan jadi api,” ucapnya kala itu.
Pernah sekali Bapak menghadiri undangan yasinan di tempat tetangga, ia tidak pulang dahulu sehabis salat magrib di masjid. Namun, Mamak tetap menyiapkan teh di dalam gelas Bapak dan meletakkannya ke atas meja, bahkan ia menghangatkan makanan untuk makan malam Bapak. Aku melihatnya, seolah tahu apa yang ada di kepalaku, Mamak langsung berujar, “Bapak tidak akan makan di tempat yasinan, dia pasti makan di rumah,” aku hanya mengangguk dan kembali ke depan televisi.
Ketika Mamak baru saja meletakkan makanan yang baru dihangatkan ke atas meja, Bapak mengetuk pintu dan mengucap salam dengan suara beratnya. Dia membawa bancakan, santapan yang biasa disediakan ketika hajatan atau yasinan, lalu memberikannya padaku. Aku membuka bancakan yang baru saja diberi Bapak, isinya seperti semua bancakan yang aku tahu; nasi, telur rebus, orek tempe, urap, kerupuk udang, dan sebuah pisang. Aku mengambil sendok untuk memakan bancakan itu, sedangkan Bapak langsung menuju meja makan. Seperti biasanya, Bapak tidak makan bancakan yang ia bawa, ia langsung makan makanan yang tadi dipanaskan oleh Mamak.
Malam berikutnya berlangsung seperti setiap malam selama ini. Bapak pulang salat magrib, lalu tadarus dengan suara nyaringnya yang terdengar sampai ruang tamu. Sedangkan, Mamak masih menatap serius ke sinetron kegemarannya sambil sesekali mencela pemeran di dalamnya. Setelah azan isya berkumandang, suara tadarus Bapak tidak terdengar, tanda kalau Bapak sedang salat isya, Mamak masih di depan sinetron kegemarannya. Ketika suara tadarus Bapak terdengar kembali, Mamak pergi ke dapur dan memasukkan sejumput teh tubruk dengan satu sendok teh gula ke dalam gelas Bapak. Mamak kemudian meletakkan gelas itu di atas meja makan. Setelah sekitar pukul sembilan, Bapak menuju meja makan dan menyeruput teh yang telah disediakan Mamak.
Setiap malam terus berlangsung seperti itu, hingga suatu malam sinetron kegemaran Mamak tidak tayang karena televisi tempat sinetron tersebut sedang berulang tahun dan yang ditayangkan adalah konser musik. Seolah butuh asupan sinetron, Mamak mengganti saluran satu per satu untuk mencari sinetron lain yang ada sampai tangannya berhenti di satu saluran televisi yang menampilkan sebuah sinetron yang jarang Mamak tonton. Mamak tetap menatap layar televisi dengan serius dan sesekali mencela pemain di dalamnya walau itu bukan sinetron yang ia gemari. Seperti tidak masalah sinetronnya tidak ada, asal ada penggantinya.
Bapak kemudian pulang dari masjid ketika Mamak masih serius menonton sinetron. Bapak masuk ke ruang salat dan suara tadarus terdengar sesaat setelah itu. Azan isya lalu berkumandang, suara tadarus Bapak tidak lagi terdengar, tanda kalau ia sedang salat isya. Mamak masih menyantap sinetron di televisi, aku duduk agak di belakangnya ikut memerhatikan sinteron yang Mamak tonton. Ketika jeda iklan muncul, Mamak sesekali mengarahkan pandangannya ke ruang salat, lalu menatap televisi lagi ketika sinetron telah mulai.
Saat memasuki jeda iklan kembali, Mamak kembali menatap ke arah ruang salat. Belum ada suara tadarus dari Bapak, sepertinya Bapak masih salat isya, walau ini lebih lama dari biasanya. Mamak kemudian berdiri dari tempat duduknya dan berjalan menuju ruang salat dan melihat ke dalamnya. “Le! Sini Le!” Mamak berteriak memanggilku, aku langsung menghampirinya, Mamak langsung menunjuk ke arah Bapak, “Bapakmu itu, loh,” aku melihat ke arah Bapak, Bapak dalam keadaan tertelungkup. Aku langsung menggoyangkan badan Bapak sambil memanggilnya pelan, Bapak tidak menjawab. Aku segera bergegas mengangkat Bapak dan memanggil kakakku untuk segera menghidupkan motor dan membawa Bapak ke rumah sakit.
Malam itu, tanpa pertanda apa pun, Bapak telah berpulang di tengah salat isyanya yang terakhir. Mamak terguncang mendengar itu, tatapannya kosong, kemudian pingsan seketika itu juga. Yasinan digelar selama tujuh hari berturut, Mamak tidak seperti biasanya, kadang ia melamun, walau tetap sambil mengisi bancakan untuk tetangga yang datang. Telur rebus, orek tempe, urap, kerupuk udang, dan pisang Mamak masukan satu per satu ke dalam besek. Tidak ada air mata yang jatuh dari mata Mamak, walau aku tahu setiap pagi mata Mamak selalu bengkak, bekas tangisnya selagi tidur.
Di hari ke delapan, setelah tidak ada yasinan lagi, Mamak menyalakan televisi dan menonton kembali sinetron kegemarannya. Matanya menatap televisi, tetapi pikirannya entah ke mana. Tidak ada celaan keluar dari Mamak. Setelah agak lama hanya suara sinetron yang terdengar, azan isya berkumandang, sinetron memasuki jeda iklan, Mamak beranjak ke dapur, dan memasukkan sejumput teh dengan satu sendok teh gula ke dalam gelas Bapak, lalu meletakkannya ke atas meja makan. Setelah itu, Mamak kembali menonton sinetron. Aku hanya melihat gelas teh Bapak di atas meja yang entah untuk siapa.
Pagi ketika aku bangun, Mamak telah ada di dekat meja makan, sedang menatap gelas teh Bapak yang ia sediakan semalam. Gelas itu masih penuh berisi teh, mata Mamak menatap penuh nanar. Malamnya, setelah azan isya dan sinetron kegemaran Mamak memasuki jeda iklan, Mamak menuju ke dapur dan menyiapkan teh ke dalam gelas Bapak. Meletakkan gelas teh itu di atas meja dan kembali menonton sinetron. Keeseokan paginya, Mamak kembali menatap gelas teh Bapak yang masih penuh itu dengan nanar.
Di malam selanjutnya, Mamak masih mengulangi kebiasaan itu. Gelas teh Bapak yang terisi penuh diletakkan di atas meja makan. Gelas teh Bapak bermalam sendirian di atas meja makan tanpa ada yang menyentuh. Hingga pagi tiba dan Mamak masih saja menatap nanar gelas teh Bapak itu. Aku tidak bisa memarahi Mamak dan menyuruhnya berhenti, dia pasti akan masuk kamar dan keluar dengan mata sembab. Ketika Mamak masih menatap gelas teh Bapak itu, aku langsung mengambil gelas tersebut dan meminum habis teh di dalamnya. Berusaha memberi tahu Mamak kalau Bapak tidak akan pernah meminum teh itu lagi. Mamak hanya menatapku dengan bingung, aku meninggalkan Mamak dan masuk ke kamar mandi.
Malam harinya Mamak masih menonton sinetron kegemarannya, hingga azan isya berkumandang dan sinetron memasuki jeda iklan. Mamak beranjak ke dapur untuk membuat teh. Aku tidak tahu kapan Mamak akan berhenti melakukan itu. Ketika baru saja meletakkan gelas teh ke atas meja, aku menghampiri Mamak, berusaha untuk memberi tahunya, “Mak,” ucapku pelan. Seperti tahu apa isi kepalaku, Mamak langsung menjawab, “Buat kamu, Le,” kali ini aku yang menatapnya bingung, “Minum, gih,” lanjutnya. Aku kemudian langsung mengambil gelas teh Bapak, meneguk isinya sampai habis, Mamak tersenyum. Aku langsung meninggalkan Mamak dan masuk ke ruang salat, air mataku jatuh membasahi sajadah yang biasa dipakai Bapak untuk tadarus dengan suara nyaringnya yang terdengar sampai ruang tamu.