Ini “Teman Duduk” Kita Sekarang, Bukan
“Teman Duduk”nya M. Kasim
(Membaca Cerpen Bulan Maret di Sastramedia.com
)
Arbi Tanjung
Sebelum
perang dunia kedua, cerita pendek di Indonesia di rintis oleh M.Kasim dan Suman
Hs. Keduanya, memulai menulis cerita pendek dengan cerita lucu-lucu saja,
sebagaimana dongeng-dongeng lucu yang dimiliki hampir semua suku bangsa di
Indonesia. Cerita pelipur lara, yang seolah-olah cuma mengajak para pendengar
(pembacanya) tertawa
melupakan kesukaran dan penderitaan hidup sehari-hari. Khusus karya M. Kasim, cerita-cerita itu pula
kemudian dihimpun dan diterbitkan oleh Balai Pustaka dalam sebuah buku: Teman Duduk (1936). Begitu sejarah
mencatat awal cerita pendek di Indonesia tumbuh, kemudian berkembang menjadi
seperti yang kita kenal sekarang.
Cerita pendek adalah teman duduk. Ia lahir dari galian cerita-cerita
yang masih hidup dari mulut ke mulut dalam keseharian. Atau cerita baru dengan
bahan lama, kadang-kadang cerita yang sama sekali baru yang ditukik dari
pergaulan keseharian.
Sebagai salah satu penyedia tetap rubrik cerpen sejak November
2021, Sastramedia.com tentu punya cara dan pilihannya sendiri untuk
menentukan apa dan bagaimana cerpen sebagai “teman duduk” yang akan disuguhkan
kepada pembaca. Apakah masih cerita sekadar pelipur lara sebagaimana awal
tumbuhnya di masa M. Kasim dan Suman Hs?
Khusus edisi Maret 2024, apakah setelah membaca cerpen karya
Iin Farliani, Didik Wahyudi, Rici Swanjaya, Yin Ude dan Bonie Chandra yang
terbit di Sastramedia masih membuat pembaca tertawa mengakak
sampai-sampai kulit perut kita sakit seperti efek membaca kumpulan cerita
“Teman Duduk”nya M. Kasim?
Benarkah cerita ular, kucing mati, parasit, arwah, penyakit
tbc yang mengisi penuh rubrik cerpen Sastramedia bulan Maret 2024 membuat
orang-orang yang membacanya tertawa terpingkal-pingkal? Begitukah!
Semengerikan dan semenyeramkan inikah keseharian kita
akhir-akhir ini, sampai-sampai cerita “teman duduk” pun adalah deretan
binatang, makhluk gaib, dan penyakit yang penuh ancaman, semisal: ular, kucing
mati, parasit, arwah dan penyakit tbc?
Cerita pendek, karena bentuknya, dapat dengan cepat
merefleksikan kenyataan di sekitar kita secara lebih cepat dan lebih beragam
dibanding dengan novel misalnya. Inilah sebabnya cerpen banyak dipakai oleh
para pengarang untuk berbicara. Begitu tulis Jakob Sumardjo empat puluh sembilan
tahun silam dalam esainya Mencari Tradisi
Cerpen Indonesia yang terhimpun dalam buku Cerpen Indonesia Mutakhir (1983).
Ular, binatang
yang menakutkan dan mengerikan bagi banyak orang, terutama anak-anak menjadi
topik “teman duduk” pembaca dalam cerpen Esyil
dan Ular Ayah (3/3/2024) yang ditulis Iin Farliani. Karena ular, seorang
anak perempuan menderita depresi berat sejak umur 7 tahun hingga ia remaja. Ayahnya
yang berprofesi sebagai penyamak kulit ular, memaksa Esyil untuk membantunya
memegang pisau dan menguliti kulit ular. Karena hal itu, ia menanggung derita mental
terus menerus.
“Coba kau bayangkan, anak
kecil diminta untuk memegang pisau pengulit dan menguliti ular itu
satu-persatu.Waktu itu aku baru berumur tujuh tahun. Ayahku akan memang gilku
dengan suara yang menggelegar, memaksaku untuk memegang pisau pengulit, dan ia
mulai membentangkan ular itu, dan memintaku untuk mengulitinya. Seorang anak
perempuan berusia tujuh tahun dipaksa menguliti ular. Gila, bukan?” Begitu curhatan tokoh
Esyil kepada tokoh aku. Tokoh-tokoh yang ada dalam cerpen ini dominan
perempuan: Esyil,
Aku, Ibu Aku, Ibu Esyil. Perempuan-perempuan yang keceriaan dan kebahagiaannya
di “lahap” oleh tingkah ayah dan ularnya. Ibu Esyil, perempuan yang kerap
menerima kekerasan fisik dan kata dari ayahnya. Ibuku, perempuan yang bekerja
sebagai pembantu di rumah Esyil turut menanggung beban karena perlakuan ayah
Esyil. Esyil, perempuan yang selalu ketakutan saat ayah ibunya bertengkar akan
menghisap habis perhatian ibuku kepadanya. Dan aku? Perempuan yang cemburu
karena perhatian ibuku tersedot habis untuk Esyil.
Esyil tak berhenti bercerita kepadaku “Kadang aku berpikir
ular-ular itu tak jauh nasibnya dengan diriku. Di tangan ayahku, aku dan
ular-ular itu memiliki nasib yang serupa. Kami sama-sama dikuliti. Dikuliti!
Begitulah.Perlakuan kejam ayahku kepadaku sejak dulu seperti mengulitiku hidup-hidup.
Menjelma tekanan mental yang tak sembuh-sembuh”
Lewat cerita Iin Farliani, tak ada ruang dan celah untuk bisa
tertawa. Tawa tak bisa menyusup dalam kesadisan. Bagaimana dengan cerita kucing
mati?
Lain Ular, Lain Kucing Mati
Jika Iin Farliani, merefleksikan kenyataan ‘gangguan’ mental
manusia karena ular, Yin Ude melalui cerpen Kucing
Mati (24/3/2024) mengingatkan kemanusiaan manusia lewat seekor kucing mati.
Kematian seekor kucing karena lapar usai melahirkan, jauh lebih penting dari
pembahasan memperjuangkan kemanusiaan korban perang di Palestina.
Burhan dan enam rekan aktivis kemanusiaan sibuk membahas
perjuangan kemanusiaan untuk Palestina, tetapi abai kepada seekor kucing yang
kelaparan di hadapan
mereka. Kucing itu akhirnya mati. Tokoh aku sangat mengutuk dan kecewa kepada
suaminya (Burhan) dan kawan-kawannya. “Sebelum rapat kami melihat kucing itu di
sudut pekarangan kita. Mengeong-ngeong lemah sekali. Kami pikir karena lapar.
Tak kami pedulikan. Lalu saat rapat, ia melintas di ruang tamu. Jalannya
limbung dan sempat kuhardik. Lalu masuk ke ruang dalam…”
Tokoh aku mengakui “Ya, ingin kucetuskan sesuatu yang
merayapi dadaku semalam, yang hari ini kian bergolak, dalam bentuk teriakan, “
Palestina terlalu jauh, Kak! Kemarin ada seekor kucing, makhluk Tuhan juga,
yang kelaparan, butuh bantuan, di dekat Kakak, tapi tak Kakak bantu!”
Sekali lagi, bila kita tetap ingin membanding-bandingkan masa
awal tumbuhnya cerita pendek di Indonesia dengan cerita ini, maka ini bukan
cerita lucu-lucuan. Ini kisah ambruknya kemanusiaan manusia. Akibat keambrukan
itu, manusia bisa mengganggu manusia atau makhluk lainnya. Semisal parasit, mungkin.
Parasit “teman duduk” yang Mengganggu
Dari kelima cerpen bulan Maret di Sastramedia.com, cerpen Parasit (17/3/2024) karya Rici Swanjaya
merupakan ”teman
duduk” yang cukup mengganggu pembaca (atau jangan-jangan hanya aku saja).
Gangguan yang paling terasa (mungkin hanya bagiku) adalah kesulitan untuk
memahami isi cerita. Itu aku alami, jika membacanya hanya sekali. Beda bila
dibaca berkali-kali. Gangguan lain yaitu kalimat atau kata yang terkesan
“dipaksa” harus ada dalam tulisan. Semisal: (1) semacam mekanisme pertahanan
diri…(2) Dengan penuh determinasi aku bersumpah…(3) Bertengger bersama kantuk
dan residu mimpi buruk…dan lain sebagainya.
Tokoh aku tak kuasa atas dorongan diluar dirinya untuk meminum
darah dari apa dan siapa saja, terutama manusia. Tak terkecuali mertuanya
sendiri. Dorongan yang tak menentu waktu datangnya.
Dunia sekitar dan dunia dalam dirinya menjadi sumber yang kaya
bagi manusia yang menjalani hidupnya, tiap manusia mempunyai pengalamannya
sendiri-sendiri tentang alam dan kejadian. Di dalam cerita-ceritalah kita
melihat kehidupan angan-angan dan pikiran, kekayaan alam rohani yang dibentuk oleh
pengalaman manusia, begitu tulis H.B. Jassin
dalam esainya “Kisah: Bulanan-Cerpen
Pertama di Indonesia” (1959). Sebagaimana yang disebutkan Jassin, Rici Swanjaya
merangkai cerita ‘parasit’nya entah lewat angan atau lewat pikiran atau
kekayaan alam rohani pengalamannya. Parasitkah segala penyakit yang diidap
manusia?
Penyakit TBC dan Arwah yang
Melihat Bapak Tidur
Tbc atau tuberculose adalah
salah satu penyakit langganan masyarakat di Hindia Belanda, begitu Deddy Arsya
menulis dalam bukunya Wabah, Rempah,
Sejarah (Jbs, 2023, h.41). Penyakit yang banyak mengantarkan pengidapnya ke
pintu kematian. Pintu yang memanggil dan membawa masuk tokoh aku dalam cerpen Melihat Bapak Tidur (10/3/2024) karya
Didik Wahyudi. Penyakit yang juga menyerang Pace David, tokoh dalam cerpen Darah yang Tercecer di Nabunage
(31/3/2024) karya Bonie Chandra. Penyakit tuberculose
merupakan penyakit yang mencemaskan dan mengancam sejak masa silam hingga hari
ini.
Tokoh aku mati karena tbc,
kemudian arwahnya masih harus menyaksikan derita yang dialami bapaknya. Bapak
yang selalu tidur dan sering menangis sejak kematian istri dan aku (anak lelaki
satu-satunya). Bapak, seorang lelaki ringkih yang dikepung beban.
Didik Wahyudi menulis “Sekarang bapak sedang tidur berselimut
beban sekali lagi. Dan aku tak bisa membantunya sama sekali. Dia butuh uang
dengan segera. Pemilik rumah di pinggir jalan itu beberapa kali datang. Mereka
minta bapak segera melunasi pembayarannya. Rumah itu rumah waris. Hasil
penjualannya dibagikan kepada para ahli waris yang tak semuanya mau sabar
menunggu bapak. Ditambah lagi biaya untuk pengacara dan ongkos penyelesaian
sengketa tanah yang berlarur-larut. Habis. Dan tak seorang pun yang diharapkan
bisa membantu… Bapak masih tidur. Ini sama sekali tidak biasa. Sebab, bapak
sendiri pernah berkata, hanya orang bobrok yang tidur pada jam-jam seperti saat
itu”
Berbeda dengan tokoh aku, tbc
yang menggerogoti Pace David dalam cerpen Darah
yang Tercecer di Nabunage belum sampai merenggut nyawanya. Namun, penyakit
itu menjauhkan ia dari pelanggan-pelanggan yang biasa membeli pinang, sirih dan
kapur dagangannya. Dagangan yang menjadi sumber utama memenuhi kebutuhan hidup
Pace David. Berawal dari ketidaksengajaan tokoh aku menyebut di hadapan kawan-kawannya (Od, Musa
dan Enek) bahwa batuk berkepanjangan yang selama ini menjangkiti Pace David
pertanda penyakit tbc. Penyakit yang menular.
Penyakit yang dijadikan senjata ‘utama’ bagi sesama penjual (khususnya
Musa dkk) untuk melumpuhkan kepercayaan pelanggan membeli pinang, sirih dan
kapur kepada Pace David.
Bonie menulis “Saat sedang ramai-ramainya pembeli di lapak
mereka, Musa datang dan menyampaikan ke orang-orang bahwa Pace David mengidap
penyakit tbc yang menular. Ia juga menyebut bahwa aku juga sudah tertular. Musa
menghasut agar orang-orang mengusirku dan Pace David dari pasar itu. Sejak itu,
kios yang biasa Aku dan Pace David sewa, diminta oleh pemiliknya. Sakit Pace
David semakin bertambah. Sementara, Aku dan ia tak lagi bisa berjualan pinang demi
makan dan pembeli obatnya. Akhirnya, aku menjual pinang dalam bentuk bungkusan
kecil yang dititipkan ke kios-kios di Tolikara, sebagaimana yang pernah
dilakoni Pace David merintis usaha jual pinangnya”
Kelima cerpen bulan Maret 2024 yang terbit di Sastramedia.com
ini jelas sebagai “teman duduk” kita masa sekarang, yang jauh dari
cerita-cerita lucu. Ini cerita nasib dan wajah takdir manusia masa kini. Nasib
dan takdir yang sungguh merindukan keriangan dan keceriaan yang bisa melipur lara
sebagaimana dalam buku “Teman Duduk”nya M. Kasim. Begitu!