Kacamata Slamet
Abul Muamar
Jalan Malioboro begitu ramai siang itu. Sepeda motor, becak kayuh, mobil, andong, semuanya berjalan merayap. Para pejalan kaki—yang rata-rata wisatawan dari luar kota—berlalu-lalang di sepanjang jalan. Ada yang berjalan kaki di trotoar, sebagian menyeberang jalan, dan ada yang duduk di bangku kayu, berswafoto, berfoto bersama, atau sekadar beristirahat—menikmati libur akhir pekan.
Slamet berdiri di pinggir jalan, persis di seberang Mal Malioboro. Ia mematung dan hanya bergerak ketika lalat menggelitikinya atau seseorang menyentuhnya. Tatapannya hanya bisa terarah ke depan karena sekeliling matanya tertutupi kacamata. Kepalanya menunduk dalam-dalam. Air liur menggantung di tepi mulutnya dan menetes setiap beberapa puluh detik sekali.
Seorang wisawatan perempuan berjalan mendekati Slamet. Ia mengeluarkan ponsel dari tas kecil, dan berswafoto. Pada jepretan kedua, perempuan itu mendekatkan wajahnya ke wajah Slamet. Slamet bergeming, hanya matanya yang berkedip-kedip dan hidungnya mengendus-ngendus. Setelah beberapa kali jepretan, perempuan itu mengelus-ngelus kepala Slamet dan segera beranjak mengejar teman-temannya yang sudah berjalan jauh ke arah selatan.
Satu jam yang lalu, Slamet baru saja membawa rombongan wisatawan mengelilingi Istana Keraton. Dari Malioboro, ia membawa mereka ke Alun-Alun Utara, ke Jalan Wijilan, ke Alun-Alun Selatan, ke Jalan Mataram, sebelum kembali lagi ke Malioboro. Ia belum menenggak setetes pun air setelah itu. Air liur terus merembes dari mulutnya.
Secara fisik, Slamet sulit dibedakan dengan kuda-kuda lain yang berasal dari Bantul. Bulunya berwarna coklat dan memiliki poni pendek di bagian atas kepalanya. Bulu-bulu halus yang sedikit lebih panjang tumbuh rapi di atas punggungnya.
Kini Slamet hampir berusia 18 tahun. Empat belas tahun lebih ia menarik kereta andong di kawasan Malioboro, sampai-sampai ia hafal setiap jengkal jalan yang ia lewati, dan itu membuat Lekwar—pemiliknya—tak perlu bersusah payah mengendalikannya. Seringkali, dalam sekali putaran, ia membawa 5-6 penumpang sekaligus. Dalam sehari, ia biasanya membawa penumpang sebanyak enam hingga delapan kali. Pada hari-hari libur nasional, frekuensinya bisa mencapai 10 sampai 12 kali. Setiap kali melewati medan jalan yang menanjak, Lekwar akan memecutnya agar berjalan lebih cepat. Beberapa penumpang pun terkadang ikut-ikutan mencambuknya, menirukan tingkah polah Lekwar.
Selama 14 tahun, hampir setiap hari Slamet bekerja dari pagi sampai malam. Ia berangkat dari Kampung Kenalan di Banguntapan, menempuh jarak sekitar 12 kilometer ke Malioboro. Namun, usia membuat tenaganya berangsur-angsur melemah. Siang itu, ia baru dua kali membawa penumpang, namun air liur tak henti-henti keluar dari mulutnya—petanda bahwa ia sangat kelelahan.
Lekwar tak pernah peduli soal itu. Ia hanya akan memberi makan dan minum Slamet selepas membawa penumpang ketika suasana hatinya sedang bagus, dan itu sangat ditentukan oleh banyaknya penumpang di hari itu.
***
Namun, penumpang kali ini agak merepotkan Lekwar. Raisa, si anak pertama, tidak mau naik ke kereta andong. Ia maunya naik di punggung kuda. Ia mencak-mencak ketika ayah dan ibunya menjelaskan bahwa itu tidak boleh, sesuai kata Lekwar.
“Tidak mau! Tidak mau! Aku mau naik di badan kudanya!” kata bocah itu.
Adiknya, Bintang, ikut menyetujui kemauan kakaknya. Setelah tawar-menawar, dengan tarif kembali dinaikkan menjadi Rp200 ribu, Lekwar akhirnya luluh. Namun, karena aturan tidak membolehkan hal itu, Lekwar membawa mereka terlebih dulu keluar dari Jalan Malioboro. Tiba di Jalan Parangtritis, barulah ia membolehkan dua bocah itu menaiki kuda.
“Hei, Kuda. Bawa aku dan adikku jalan-jalan,” kata Raisa.
“Baik!” kata Slamet, membalas ucapan Raisa. Tapi, hanya Raisa dan Bintang yang bisa mendengar ucapan Slamet. Itu mengejutkan Raisa dan Bintang untuk sesaat, tapi kemudian membuat mereka semakin kegirangan.
Raisa dan Bintang telah naik ke atas punggung Slamet. Ketika Lekwar hendak naik juga untuk mengawasi dan menjaga keselamatan dua bocah itu, Slamet memberontak.
“Aku tidak mau ditemani! Aku pergi berdua saja sama Bintang! Ayo, Kuda, cepat kita jalan!”
Dalam hitungan detik, Slamet berlari sekencang-kencangnya membawa Raisa dan Bintang. Dua bocah itu bersorak kegirangan. Ajaibnya, mereka aman di atas punggung Slamet meski belum pernah sekalipun naik kuda. Slamet menjaga mereka tetap aman dengan keseimbangan tubuhnya. Ayah dan ibu bocah itu cemas. Mereka hendak mengejar, tapi apa daya, Slamet berlari terlalu kencang, jauh lebih kencang dari yang pernah disaksikan Lekwar sepanjang hidupnya. Lekwar pikir, kudanya mungkin kerasukan jin.
Di tengah keramaian dan lalu lalang kendaraan, Lekwar mencoba mencari tumpangan atau kendaraan yang bisa ia pinjam untuk mengejar Slamet. Namun, upayanya gagal karena tak ada seorang pun kenalannya yang lewat di jalan itu sore itu. Akhirnya, ia menelepon satu per satu temannya, mengabarkan tentang kaburnya Slamet.
***
Ketika sudah cukup jauh dan tak lagi terlihat oleh Lekwar, Slamet berhenti.
“Kau hebat, Kuda!” kata Raisa.
“Namaku Slamet.”
“Slamet?”
“Ya, Slamet Sedoyo.”
“Kalau pemilikmu itu?”
“Lekwar.”
“Lekwar?”
“Ya, Lekwar Congo.”
“Lekwar Congo?”
“Ya.”
“Nama yang aneh.”
“Lekwar Congo adalah orang yang kejam, seperti kebanyakan manusia.”
“Kejam bagaimana?”
“Dia punya banyak kuda. Aku salah satunya.”
“Ada berapa banyak?”
“Aku tidak tahu pasti berapa banyak. Tapi dua belas pernah menarik andong, termasuk aku. Beberapa dia sewakan ke orang lain. Semua di Jalan Malioboro.“
“Terus? Kejam bagaimana dia?”
“Setelah belasan tahun menjadi penarik andong, semua kuda itu akan ia potong.”
“Dipotong?”
“Ya, dipotong, dijadikan sate, tongseng, dan lain-lain.”
“Ih ngeri.”
“Beberapa adik dan saudaraku, yang tak kuat menarik andong dan roboh di jalan, bukannya dia rawat, tapi ia cambuk. Kalau masih bertahan hidup dan bisa pulang, mereka akan dicambuki lagi sampai mereka tak mampu lagi memekik. Jika sudah mau mati, cepat-cepat ia sembelih leher mereka.”
“Lalu, kamu bagaimana?”
“Selama ini aku ingin untuk kabur, tapi kesempatan itu tak pernah datang. Pernah suatu hari, sekelompok aktivis perlindungan hewan mencoba membantuku kabur, tapi mereka malah ditangkap dengan tuduhan pencurian. Salah seorang dari mereka nyaris tewas karena sempat diamuk warga. Sekarang, kau telah membantuku.”
“Aku membantumu?”
“Ya. Berkatmu, aku bisa kabur sekarang. Setelah ini, aku tidak bisa mengantarkanmu kembali ke sana, tapi aku sudah membantu agar kamu dan adikmu bisa dengan mudah ditemukan. Di sini, ayah dan ibumu akan segera menemukan kalian.”
“Lalu kau akan pergi ke mana?”
“Untuk sementara, aku akan kabur ke hutan di sebelah selatan sana. Setelah itu akan aku pikirkan nanti.”
“Hati-hati, Slamet.”
“Terima kasih. Aku pergi dulu. Tolong, jangan beri tahu mereka ke mana aku pergi.”
“Sebentar! Tadi kau bilang, kebanyakan manusia kejam seperti Lekwar. Kejam bagaimana?”
“Mereka menjadikan kami, kuda dan hewan-hewan lainnya, hanya sebagai alat untuk tujuan hidup mereka. Untuk kesenangan mereka. Sebagian dimakan, sebagian diperah tenaganya, sebagian disiksa, dan sebagian dijadikan objek hiburan di sirkus dan kebun binatang dengan dalih konservasi.”
“Aku tidak seperti itu. Aku tidak suka kebun binatang. Binatang-binatang di sana selalu tampak murung, seperti merindukan keluarganya yang entah dimana. Aku juga tidak suka menonton sirkus. Pernah sekali aku menonton bersama guru dan teman-teman sekolahku. Hewan-hewan di sirkus tampak seolah-olah mereka bahagia dengan akrobat-akrobat yang mereka tunjukkan, tapi aku tahu mereka sedih.”
“Begitulah. Aku tahu sejak awal kau datang, kau anak yang baik. Semoga kau tumbuh besar menjadi manusia dewasa yang baik.”
“Terima kasih, Slamet.”
“Sudah ya. Aku harus segera pergi sebelum mereka datang. Sampai jumpa.”
“Sampai jumpa, Slamet. Semoga kita bisa bertemu lagi.”
***
Tidak sampai satu jam, Raisa dan Bintang telah ditemukan. Ayah dan ibu mereka mengecek kondisi tubuh mereka berulang-ulang.
“Aku dan Bintang tidak kenapa-kenapa, kok.”
“Terus kudanya ke mana?”
“Tidak tahu.”
Lekwar, yang berdiri tak jauh dari mereka, terlihat murka, dan jari telunjuknya mengarah ke Raisa dan Bintang.
“Ini gara-gara kalian!”
“Lha, kenapa Anda salahkan anak saya? Kami, kan, sudah tambahin bayarannya dan Anda sepakat,” kata si Ayah, tak terima anaknya disalahkan.
Dibalas begitu, Lekwar tak bisa bilang apa-apa lagi. Ia terus menelepon beberapa kerabat dan kenalannya dan meminta mereka untuk menangkap Slamet bila menemukan.
***
Hari telah gelap saat Slamet berhasil mencapai hutan di sebelah selatan. Beberapa penduduk telah mencoba mencegatnya di jalan, namun tak ada yang berhasil. Slamet melompat setinggi-tingginya seolah memiliki sayap setiap kali orang-orang menghadangnya. Kakinya menyepak orang-orang yang mencoba menangkapnya.
Malam itu, ia adalah satu-satunya spesies kuda di hutan sebelah selatan Bantul yang nyaris tak lagi memiliki spesies liar. Kunang-kunang yang dulu beterbangan di kala malam, kini telah lenyap. Begitu juga dengan tonggeret dan burung hantu. Semua menghilang akibat proyek pengembangan pariwisata alam yang diklaim berkelanjutan dan ramah lingkungan. Yang tersisa hanyalah sayup-sayup suara kepakan sayap kelelawar dan jangkrik.
Dari atas ketinggian bukit, Slamet menatap kelap-kelip
cahaya pemukiman penduduk dan kendaraan di jalan. Ia tidak tahu besok akan ke
mana. Kacamata yang melingkari matanya masih terpasang. Kacamata itu membuatnya
tak dapat melihat sekelilingnya selama belasan tahun. Tapi, dengan kacamata itu,
ia masih dapat menyaksikan kerakusan dan kekejaman manusia.