Bahasa: Penanda Eksistensi Manusia Sekaligus Perangkat Kuasa!
Tjahjono
Widarmanto
Setiap orang bisa mendebat
asalmuasal manusia dari berbagai kerangka pemikiran. Ada yang berteori muasal
manusia bermula dari semacam kera yang berdiri tegak, lantas
berkembang final menjadi homo sapiens. Ada yang yakin bahwa manusia sejak
awal sudah sempurna dari stuktur fisikal dan kemampuan bernalar seperti manusia
saat ini, sehingga tidak pernah mengalami proses evolusi. Ada pula yang percaya
bahwa manusia adalah ‘perpanjangan Tuhan’ karena merupakan keturunan nabi yang
terpilih, sehingga dari sononya
sudah disabda kun dan tumbuh
menjalani takdir sebagai yang terpilih dan tersempurna. Semua pendapat tersebut
sah-sah saja, dan semuanya memiliki pembenaran dan argumen yang boleh saja
menimbulkan kontroversi perdebatan.
Yang
mutlak dan tak bisa disangkal, bahwa manusia
menempuh proses menjadi melalui kata,
melalui bahasa. Tak terbantahkan bahwa manusia merancang, membentuk kebudayaan
dan menyempurnakan peradabannya melalui kerumunan kata, melalui lorong bahasa.
Manusia membangun peradaban dengan memberi penandaan semesta dengan
pemaknaan-pemaknaan melalui kata dan bahasa.
Sejak
awal pun, sudut
pandang religiusitas menunjukkan keterpautan manusia dan kata. Ayat pertama
dalam kitab suci Islam menyebutkan istilah iqra
yang jelas-jelas menunjukkan ‘keterbacaan’ sebagai pondasi dasar manusia dalam
memahami isyarat-isyarat Tuhan yang tersebar di seluruh semesta, sekaligus
untuk menyelami makna dan mengembangkannya sebagai bekal dalam menunaikan tugasnya sebagai khalifah di semesta.
/Bahasa Ciri Eksistensi Manusia/
Asal
muasal dan eksintesisial suatu identitas kelompok manusia pun sering berpaut
kuat dengan keberadaan bahasa. Misalnya, riwayat manusia Jawa mengisahkan
keberadaan jati dirinya terangkum dalam deretan aksara hana caraka, data sawala, pada jayanya, maga bathanga, yang
meriwayatkan cikal bakal manusia Jawa, bernama Aji Saka yang menaklukan raja
lalim Dewata Cengkar. Aksara-aksara tersebut menjadi sarana bagi manusia Jawa
untuk merumuskan identitas kesukuannya, sejarah, konsep hidup, jatidiri, cara
pandang terhadap alam, serta filosofi berikut pandangan spiritualnya. Kisah ini merupakan kenyataan tak
terbantahkan bahwa melalui kata atau bahasa manusia merumuskan dirinya
sekaligus berbenah
untuk menempatkan diri menjalankan titah Tuhan sebagai khalifah.
Kata
dan bahasalah yang melucuti manusia dari belenggu kebodohan nalar bahkan pun
dari kegelapan spiritual. Tak berkelebihan kalau kemudian Julia Kristeva dalam
bukunya yang terbit di tahun 1981 berjudul Le
Langege, cet inconnu (Dahana, 2009), menegaskan bahwa dengan bahasa,
manusia menjadi sebuah gerak demistifikasi yang sempurna. Kata dan bahasa
menjadi sebuah ruang yang tertutup sekaligus terbuka tempat manusia menghikmati
dirinya. Jauh sebelum Kristeva, berpuluh tahun sebelumnya, melalui novel
otobiografisnya berjudul Let Mots atau
Kata-Kata (1964), Jean Paul Satre sudah berujar dan mengaku
bahwa menemukan dirinya, hidupnya dan segala ambigiutas makna yang berkelebat
di seputar dirinya melalui kata-kata.
Setiap
kata menggendong pemikiran. Bahasa menjadi rumah bagi gagasan. Gagasan-gagasan
yang dirancang manusia memberikan cita-cita hidup, kehidupan, kebudayaan dan
membangun peradaban. Saat manusia menemukan aksara di 4000 SM, mereka memasuki
kesadaran bahwa gerak kebudayaan untuk membentuk peradaban merupakan hasil
transformasi sublimasi nalar ke dalam sublimasi komunikasi. Bahasa dan kata
(yang tersimbolkan aksara) merupakan konstruksi pikiran dan gagasan manusia.
Maka dalam sekejap nalar atau aqala
menemukan sarang meditasinya yang menggairahkan. Tak sekedar itu, melalui
bahasa, manusia bisa menyusun jejak-jejak pemikirannya, mencatatkan
riwayat-riwayat pemikirannya yang menandai tiap dinamika peradaban melalui
bahasa.
Selanjutnya,
bahasa menjadi sarana perlintasan pemikiran sekaligus menjadi perlintasan
simpang siurnya adu kepentingan. Bahasa menjadi ajang bagi diskursus yang
mewarnai kehidupan manusia, menjadi perangkat bagi penyusunan sejarah pencapaian
manusia, menjadi prasasti selebrasi sekaligus perangkap keterjebakan manusia.
Salah satu perangkat keterjebakan itu adalah politik dan kekuasaan.
/Bahasa Sebagai Perangkat Kuasa
Ketika bahasa menjadi ekspresi nalar yang
menawarkan berbagai kemungkinan ide, mau tak mau ia bisa menjadi sebuah alat
kuasa. Bahasa dan kata-kata menjadi kuda tunggangan yang paling tepat bagi
politik dan kekuasaan. Bahasa dan kata-kata menjadi piranti utama untuk
memuluskan pencapaian kepentingan politik dan kekuasaan. Bahasa dan kata yang
semula dikodratkan suci, di genggaman kepentingan politik dan kuasa bisa
berubah menjadi alat yang menjijikkan. Maka bahasa pun menjelma menjadi dwimuka: berwajah
malaikat sekaligus iblis!
Saat
politik dan kuasa menjadi pilihan yang mendominasi semua kiblat kehidupan
manusia, maka kata dan bahasa menjadi piranti paling tangguh dalam konstelasi
pertarungan dan perebutan kuasa. Kata dan bahasa menjadi alat paling canggih
dan mematikan dalam pertarungan politik. Maka tak mengherankan seorang Cicero
memutuskan eksodus dari Roma ke Yunani untuk mempertajam kemampuan retorikanya
dan memberdayakan segenap potensi bahasanya menjadi alat yang ampuh dan
mematikan untuk mengalahkan lawan-lawan politiknya. Ia pun dengan penuh
keyakinan berfatwa, “Tak ada satu hal pun yang tak dapat diciptakan atau
dihancurkan atau diperbaiki dengan kata-kata (bahasa)!”
Bahasa
pun menjadi bagian dari kuasa. Politik bahasa mendapatkan ladang yang subur
saat manusia benar-benar mengabdi menjadi hamba kepentingan politik. Tak hanya
menjadi senjata untuk merebut perhatian publik namun menciptakan dominasi bagi
manusia yang lain. Saat itulah kata-kata dan bahasa memasuki wilayah paling
gelap dalam kebudayaan manusia yaitu hanya sebagai alat kekuasaan.
Sungguh
pun demikian, saat kata-kata dan bahasa terjebak dalam kungkungan kepentingan
politik dan kuasa, ia masih menyimpan spiritnya yang suci dan mencerahkan.
Dengan kodratnya yang suci dan mulia, kata-kata dan bahasa membangun ruang
antitesis bagi politik dan kekuasaan. Perlawanan terhadap politik dan kuasa pun
berjalan melalui bahasa. Salah satu wujudnya adalah membangkitkan kembali
eksistensi manusia sebagai mahluk mulia melalui jalan sastra. Melalui sastralah
dibangun kembali kualitas manusia, yang meminjam istilah Iqbal, sebagai insan
kamil. Kualitas manusia yang tumbuh dengan karaktek kemanusiaan yang kuat yang
pada gilirannya mampu melawan bahkan melumpuhkan dominasi politik dan kuasa
dalam ruang kehidupannya. Melalui jalan sastralah, bahasa politik: siapa yang menang, siapa yang untung diubah
dengan bahasa kebudayaan: di mana
kebenarannya.
Akhirnya, jangan meremehkan kata dan bahasa sebab kata-kata dan bahasa adalah rahim yang selalu melahirkan kesadaran baru bagi gerak kebudayaan manusia.