Daerah
Tak Bertu(h)an
Fakhrunnas MA Jabbar
LORONG-lorong itu mengepung
pemukiman. Orang-orang berlalu-lalang sesukanya. Tak peduli laki-laki atau
perempuan dengan balutan baju warna-warni. Di sudut-sudut lorong yang agak
gelap para perempuan molek berbilang bangsa berjajar. Mata mereka agak liar
menatap setiap lelaki yang lewat di depannya. Banyak kerumunan bisa terdedah
tiba-tiba.
“Police is coming!” teriak seorang
centeng Tionghoa sambil melambai-lambaikan tangan. Para kerumunan orang-orang
itu bersurai tiba-tiba. Tak lama kemudian, lorong-lorong yang ada di sekitar
pemukiman itu pun jadi sunyi. Padahal bulan terang benderang bercahaya di awal purnama
itu.
Dawood
dan Sahlan, dua budak Melayu yang sudah
berjam-jam berkitaran di kawasan remang-remang itu hanya terpana bersaksi.
Keduanya saling bertatapan dan tersenyum ketika mengenang ratusan perempuan
yang menjajakan diri itu berlarian. Menyelamatkan diri dari tangkapan polisi
Singapura itu.
“Jangan-jangan
Tuhan pun enggan lewat di sini,” ucap Dawood berkelakar sambil menepuk bahu
sohibnya, Sahlan.
“Bukan
begitu. Dulu, kawasan ini daerah tak bertuan…Jadi para mucikari menghimpun anak
buahnya di sini,” balas Sahlan.
“Pas
sudah. Sekarang sudah jadi ‘daerah tak bertu(h)an’ barangkali.” Seloroh Dawood diiringi
tawa terbahak-bahak.
“Ah,
awak nih merapek aja.. Taklah begitu,
Tuhan ‘kan ada di mana-mana.”
“Sudahlah,
setidak-tidaknya orang-orang yang datang ke sini, merasa Tuhan sudah tak ada.
Tak ada perasaan takut lagi. Sebab, bila mereka takut pada Tuhan tentulah
mereka tak akan berfoya-foya di sini”
Dawood
dan Sahlan sama-sama tertawa. Boleh juga saling menertawakan diri mereka
masing-masing. Pasalnya, bertahun-tahun tak pernah jumpa justru bertemu di
tempat yang penuh asyik-maksyuk itu.
Selang
berapa lama, suara adzan Isya melengking tinggi. Kedua sahabat karib itu
benar-benar senyap sejenak mendengar panggilan salat itu.
“Itu
pertanda Tuhan masih ada di sini,” suara Dawood menimpali lagi begitu suara
adzan berakhir.
Keduanya
terdiam serempak. Mendengarkan suara adzan lebih cermat. Sahlan tampak lebih
tertunduk. Dawood memperhatikannya secara seksama.
Sebuah
masjid orang Arab sudah berdiri tegak sejak lama di situ. Bersisian di
sebelahnya ada pula vihara orang-orang India dan sebuah kelenteng, tempat
ibadah orang Tionghoa. Setidak-tidaknya ada pula dua gereja melengkapi kawasan
pemukiman. Hanya letaknya saja berbeda-beda lorong, satu dengan yang lain.
Dawood,
perantau dari Riau sudah bermastautin lama di negeri Singa itu. Kepergiannya
dua puluh tahun silam bermula dari rasa patah hati. Ia menaruh hati pada
Salamah, dara kampung yang molek. Tapi cintanya berakhir tragis. Sedang
bersenang-senang menjalin kasih, tiba-tiba Dawood ditinggalkannya meski atas
perintah ayah dan emaknya. Memang, Salamah pada akhirnya lebih memilih, Hasyim,
lelaki berpunya yang masih ada hubungan saudara-mara dengan Salamah. Kaji punya
kaji, Dawood bisa memahami karena lelaki padanan Salamah memang lebih berpunya dibanding
diri Dawood sendiri.
Kepergian
Dawood meninggalkan kampung halaman, bak ‘berdendam’ untuk mengubah nasib. Ia
ingin berjaya di rantau orang agar hidup lebih bermarwah bila suatu saat balik
ke negeri asal.Ia ingin menunjukkan kehebatannya di mata orang kampung terutama
Salamah dan Hasyim yang sudah berpadu-kasih.
Di
Singapura, Dawood beruntung bisa bekerja di sebuah jawatan kuasa di bidang
transportasi. Bahkan dia sudah punya sebuah flat, tempat tinggalnya. Meski di
usia hampir 40 tahun, lelaki bercambang lebat itu masih saja hidup membujang.
Memang ada satu-dua anak dara Singapura yang pernah berhubungan dekat, tapi
hati Dawood masih tertutup buat mereka. Bahkan ada pula beberapa amoy molek di
tempat kerjanya yang bersimpati, tapi Dawood masih menepis mereka. Tampaknya,
hatinya begitu terluka kala ditolak Salamah dan keluarganya.
“Apa
kabar Salamah?” tiba-tiba Dawood bersuara agak kuat memecah kesunyian yang
melintas beberapa saat di kawasan ‘lampu merah’ itu.
“Hah..masih
terkenang juga pada dara yang telah membunuh perasaan awak itu,” sahut Sahlan
sambil tertawa mengejek. “Sudahlah, Wood, kembang tak setangkai, kumbang pun
tak seekor. Lupakan sajalah perempuan tak setia itu,” tambah Sahlan geram.
“Lan,
bagaimana aku bisa lupa? Kata pepatah Melayu, sedangkan tapi jatuh lagi
dikenang, apatah lagi tempat bermain. Aku dulu berhubungan kasih cukup lama,
Lan.”
“Iya..aku
tahu. Aku faham. Tapi, sejarah yang getir begitu tak perlulah dibalik-balik
lagi. Lagi pula, Salamah sudah beranak-pinak pula dengan Hasyim. Mereka dah
bahagia.” Suara Sahlan agak meninggi. Dawood tampak tak bergeming.
Hening
kembali menyeruak di antara kedua lelaki itu. Suasana di kawasan yang kemudian
mereka sepakati secara kelakar dengan sebutan ‘Daerah Tak Bertu(h)an’ –huruf t
kecil- itu kembali ramai. Ratusan perempuan cantik berkeliaran di tepi jalan
dengan aroma wewangian yang beragam. Mereka semua menunggu para lelaki yang
sebagian sudah menjadi pelanggan. Namun, masih banyak pula yang baru pertama
kali mendatangi kawasan itu seperti diri Sahlan.
Beberapa
hari sebelum mendatangi kawasan hiburan itu, Dawood sudah menceritakan bahwa
tak kurang dari 3000 orang perempuan penjaja diri menggantungkan hidup di situ.
Para perempuan itu berdatangan dari beberapa negara di kawasan Asia. Bahkan,
ada pula yang datang dari Rusia dan Eropa. Dawood hapal betul liku-liku di
situ. Sampai-sampai dirinya berkawan akrab dengan salah seorang centeng
Tionghoa di sana.
Lorong
demi lorong dilewati Dawood dan Sahlan dengan langkah gontai. Maklum, sedari
awal Dawood ingin menggambarkan sisi lain negeri Singapura yang tak pernah
terbayangkan sebelumnya. Apalagi, Sahlan, sahabat karibnya itu benar-benar
‘orang surau’. Jadi bisa dibayangkan bagaimana Sahlan terus mengucap istighfar
menyaksikan dunia hitam yang sangat bertolak-belakang dengan ajaran kebajikan
yang didalaminya sejak kecil.
Pertemuan
dua sahabat karib setelah dua puluh tahun berpisah itu berakhir dengan
kerinduan. Dawood begitu rindu mendengar kabar dari kampung. Persis di seberang
Selat Melaka. Sahlan pun rindu terus hendak berjumpa menyaksikan keanehan-keanehan
dunia yang selama ini tak pernah tersentuh di negeri seberang itu. Hubungan
telepon di antara mereka terus semakin akrab. Ada-ada saja yang dikabarkan
Sahlan pada Dawood perihal perkembangan di kampung halaman.
Peluang
saling berhubungan ini digunakan Dawood pula untuk menanyakan ihwal bekas
kekasih hati, Salamah. Dalam bayang-bayang di pelupuk matanya, Dawood selalu
saja merasakan kemanjaan Salamah saat berada di pelukannya di masa belia dulu.
Bahkan perasaan itu terasa kian dekat..begitu dekat. Bila Sahlan berkirim kabar
soal Salamah, pastilah Dawood merasakan seolah-olah bayangan Salamah sedang menari-nari
di depan matanya. Dawood begitu merindukan dara molek di masa lalunya itu.
Hari-hari
Dawood semula terasa bagai garis datar belaka. Namun, kabar terbaru dari Sahlan
perihal Salamah benar-benar membuat dirinya menahan napas cukup lama. SMS
Sahlan berbunyi singkat : Wood, Salamah
sakit keras akibat salah satu ginjal tak berfungsi. Sudikah kau menolong?
Lelaki
lajang yang berada di perantauan itu langsung menghubungi Sahlan melalui
telepon bimbitnya. Hatinya berkecamuk bagaikan derum gelombang selat Melaka di
kala musim utara. Ingin dirinya terbang pulang ke kampung, tapi perasaan gusar menyentaknya.
Bukankah Salamah sudah jadi bini orang? Sudah punya anak-anak pula. Seketika, Dawood
merasa dirinya tak berhak apa-apa atas diri perempuan masa silamnya itu.
Tapi
di balik hatinya yang lain, Dawood coba meronta. Bukankah dulu kisah-kasihnya
terpaksa diakhiri karena Salamah mengikuti kehendak hati ayah dan emaknya?
Padahal, pertalian kasih mereka tak pernah terputus barang sedetik pun. Sampai
Dawood merajuk, membawa diri sampai ke negeri jiran? Bahkan, sikapnya tak
hendak menikah dengan perempuan mana pun di perantauan itu mempertegas betapa
dirinya tak pernah lekang melupakan Salamah?
“Lan,
seserius apakah sakitnya Salamah?” begitulah suara Dawood usai menerima SMS Sahlan.
“Seriuslah,
Wood. Ginjalnya tak berfungsi. Akibatnya, dia harus cuci darah setiap hari.
Biayanya begitu besar. Kecuali bila ada orang yang bermurah hati menyumbangkan
sebuah ginjalnya, insya Allah dia boleh pulih lagi.” Sahlan berusaha
menjelaskan secara rinci ihwal penyakit yang mendera Salamah.
“Bila
bertindak cepat, tentulah belum terlambat, Wood. Tapi aku juga tak bisa berbuat
apa.” Sambung Sahlan.
Dawood
lama terdiam di seberang.
“Bagaimana
suami Salamah?” Tanya Dawood tertahan.
Sahlan
bercerita panjang lebar soal Hasyim, suami Salamah. Lelaki itu kini benar-benar
sudah tak berdaya karena pekerjaannya membalak kayu sejak beberapa tahun
terakhir sudah tak berjalan lancar lagi. Pemerintah menganggapnya sebagai
pekerjaan ilegal. Bila dia terus melakukan penebangan di kawasan hutan lindung
di kampung itu pastilah penjara yang akan menanti. Hal ini sudah dialami
teman-teman sesama pembalak seperti Suib, Hadi dan Samiyan. Pastilah Hasyim tak
hendak mengikuti jejak teman-temannya itu berada di dalam bui.
Oleh
sebab itu, keberadaan Hasyim kini benar-benar tak berdaya. Dirinya hanya bisa
pasrah. Apalagi sebagian harta dan tanah yang dimilikinya sedikit di kampung
itu sudah dilepas pula. Dia hanya bisa bermenung pasrah.
Dawood
yang sejak dulu terbilang lelaki pembelas itu langsung memutuskan untuk
menyerahkan sebuah ginjalnya buat Salamah. Kabar pengorbanan Dawood itu
benar-benar menjadi buah bibir orang sekampung. Ada yang berdecak kagum
bagaimana pertahanan cinta-kasih seorang lelaki terhadap bekas kekasih hati
yang sudah jadi isteri orang lain. Tak sedikit pula yang memuji Dawood atas
kerelaan menyerahkan sebuah ginjalnya demi memperpanjang umur Salamah.
Bermacam-macam perdebatan yang muncul ihwal sikap Dawood yang luar biasa.
Lebih
lagi, saat Dawood sengaja menjemput Salamah dan mengajak serta suami dan
anak-anaknya untuk menjalani operasi ginjal di Singapura. Segala biaya
benar-benar atas jaminan dirinya. Bisa dibayangkan, saudara-maa Dawood di
kampung begitu mencerca dan menyatakan Dawood sudah gila. Tapi Dawood tak
begitu peduli.
Bagi
dirinya yang dibesarkan dalam adat-resam Melayu, bila kata hati sudah pasti tak
ada aral apa pun yang dapat menghalangi. Bak kata pantun lama: buah kemumu, buah bidara/ sayang selasih
diluruh/ hilanglah emak hilang saudara/ kekasih hati diturutkan.
Sepekan
di Singapura, usai menjalani operasi pencangkokan ginjal di Mount Elizabeth
Hospital, kondisi Salamah dan Dawood sama-sama mulai pulih. Meski bersisian
bilik di rumah sakit itu, Dawood selalu lebih bergairah untuk menjenguk
Salamah. Dia bagai tak begitu mempedulikan Hasyim yang lebih banyak bermenung
menjaga isterinya. Hasyim benar-benar tak berdaya bila mengenang bagaimana
nasib isterinya justru dipertaruhkan orang lain. Bahkan orang itu adalah Dawood
yang pernah bermadu-kasih dengan isterinya. Rasa bersalah, pelan-pelan
menyeruak dalam benaknya saat menyaksikan bagaimana keangkuhannya merenggut
Salamah dari pelukan Dawood.
Mendengar
gelagat Dawood yang berada di luar alur-patut saat memberi perhatian lebih pada
Salamah yang sudah jadi isteri orang, Sahlan masih mencoba menyadarkan sahabat
karibnya. Berulang-ulang, Sahlan membisikan hal itu baik saat berjumpa selama
Salamah dirawat di Singapura maupun setelah berpisah lagi dengan Dawood.
“Dawood,
tak elok mengejar-ngejar bini orang. Kau akan dipandang mulia bila
pengorbananmu pada Salamah dilakukan atas dasar ketulusan,” kata Sahlan selalu.
“Dawood…jangan
kau pandang semua tempat menjadi ‘Daerah Tak Bertu(h)an’. Kau keliru..sangat
keliru, Wood!” lanjut Sahlan.
“Lan..aku
sudah memutuskan akan menikahi Salamah!” begitu suara tegas Dawood lewat
telepon pada Sahlan di suatu petang.
“Masya
Allah, Wood. Tak elok merebut bini orang. Allah akan murka. Orang sekampung
juga akan murka.”
Sepekan
berselang, Dawood harus menelan ludahnya sendiri. Kata hati yang pasti
sebagaimana diucapkannya berulang-ulang sama sekali tak bisa mengalahkan
kehendak Allah.
Kata
dokter, tubuh Salamah tidak serta-merta bisa menerima organ ginjal orang lain.
Dawood tak habis-habis menangis. Lelaki bertubuh kekar itu tersungkur.
Gelombang
selat Melaka berguncang deras. (diinspirasi
bersama dheni kurnia)
****
Pekanbaru, 16.2024
Catatan:
merapek = mengada-ada, main-main
telepon bimbit = handphone
bermastautin = menetap,
bertempat tinggal
pembelas = cepat
merasakasihan
adat-resam = ajaran
adat-istiadat
aral =
rintangan, halangan
papa-kedana = jatuh miskin
yang sedalam-dalamnya