Erotika Sosial dalam Puisi-Puisi Aslan Abidin - Jusiman Dessirua

@kontributor 5/12/2024

Erotika Sosial dalam Puisi-Puisi Aslan Abidin

Jusiman Dessirua

 


“Kita hidup hanya 

untuk mencari sebuah kata

 yang empat huruf pertamanya 

menggairahkan: Pahala.”

Hanya ada dua hal yang terus-menerus dicari oleh manusia dalam hidup mereka, “paha dan pahala.” Perihal pertama adalah sesuatu yang berkaitan dengan ‘ketubuhan’ (makanan, seks dan lain sebagainya), sedangkan yang kedua, pahala berkaitan dengan kebutuhan spiritual, sosial dan norma. 

Seringkali kedua hal ini dalam konstruk sosial masyarakat Indonesia, sangat bertolak belakang, namun terkadang keduanya dalam kasus tertentu, seolah tidak mempunyai sekat satu dan lainnya. seperti yang diungkapkan Aslan Abidin dalam penggalan sajak ‘Doggy Style.’

 

Kita hidup hanya 

untuk mencari sebuah kata

 yang empat huruf pertamanya 

menggairahkan: ‘Pahala’. 

Dalam buku kumpulan puisinya “Kekasih di Puncak Mabuk” Aslan Abidin seringkali mengungkapkan sesuatu dengan menggunakan bahasa erotik dan sedikit humor. 

Kata Erotik dalam Encarta Dictionary lebih jauh menjelaskan bahwa erotika adalah seni atau literatur yang cenderung membangkitkan hasrat-hasrat seksual dengan cara yang eksplisit. Sedangkan menurut Encyclopedia Britannica, kata erotik secara khusus dipakai untuk menunjuk pada karya-karya yang menempatkan unsur seksual sebagai bagian dari aspek estetik. Erotika biasanya dibedakan dari pornografi, karena pornografi dipahami hanya sebagai pembangkit gairah seksual semata. 

Pada dasarnya, erotika berkaitan erat dengan libido dan hasrat, yang pada perkembangan selanjutnya teraktualisasi dalam keinginan seksual. Libido dan hasrat merupakan dasar atau ilham untuk menggambarkan sesuatu yang lebih luas, misalnya ide tentang cinta, ambisi, perbedaan jenis, atau masalah yang timbul dalam interaksi sosial. 

Meskipun libido dan hasrat seksual merupakan sesuatu yang bersifat instinktual dan biologikal, tetapi ekspresi seksual ini sangat berkaitan dengan faktor-faktor kebudayaan, seperti misalnya cara pandang masyarakat mengenai hakekat nilai-nilai moral, hubungan laki-laki dan perempuan, serta pun berkaitan dengan tingkat kebebasan suatu individu. 

Erotika tidak pernah lepas dari masyarakat kita, meski ia dibungkus dengan beberapa ritual-ritual yang sifatnya metaforis, seperti tergambar dalam acara pernikahan di berbagai kebudayaan. Filsuf Amerika Slavoc Zizek mengatakan bahwa, kecabulan dalam masyarakat selalu coba ditutupi dengan berbagai simbol-simbol agar tidak mengganggu tatanan sosial. Untuk itu, hal ihwal cabul, tidak pernah pergi, ia akan selalu ada. 

Ketika seorang akan menikah, seluruh kamarnya dihiasi dengan berbagai pernak-pernik aneka rupa, yang oleh masyarakat dianggap sebagai simbol suci, tradisi dan penamaan lain yang sifatnya hampir sama. Namun pernak-pernik tersebut pun dimaksudkan untuk menambah gairah persetubuhan sepasang pengantin di malam nanti.

Dalam beberapa tradisi agama, seperti kepercayaan Kristen Katolik, dan Sufi, paha atau tubuh dianggap kotor dan menjadi sumber segala dosa, untuk itu ia harus ditundukkan, sedangkan pahala, menjadi kunci hidup, dan katalis yang bisa membuat manusia benar-benar bersih. 

 Aslan Abidin berbalik arah, ia malah berpendapat bahwa pahala bisa saja menjadi sumber bencana oleh sebagian orang ketika, dilakukan atas dasar menindas orang lain. Ia juga mengungkapkan bahwa tubuh menjadi sesuatu yang suci, sebab selalu membersamai manusia sejak awal, ia adalah kuil pertama dari seorang manusia yang harus dilindungi, dan tidak boleh ditindas oleh siapapun, termasuk para pencari pahala. 

Aslan Abidin mengungkapkan peristiwa-peristiwa itu dengan perangkat bahasa yang erotik, seakan ingin memberitahu kepada pembaca, bahwa betapa penindasan di sekeliling kita begitu cabulnya, dan begitu berbahanya, sehingga hanya pengungkapan yang demikian yang bisa membuat kita benar-benar memahami seperti apa realitas sosial yang saat ini kita tengah jalani.

Dalam buku kumpulan puisi “Kekasih di Puncak Mabuk,” terdapat 35 puisi di dalamnya, dan sebagian besar mengungkapkan tema penindasan atas tubuh, oleh beberapa pihak, baik negara, ataupun agamawan. 

Semisal Aslan Abidin mengungkapkan dengan penuh erotik, satu kasus pemerkosaan ustaz kepada santrinya, ia mengungkap tentang tipu muslihat sang ustaz yang menganalogikan kelaminnya sebagai iblis yang memasuki neraka, yakni kelamin perempuan. 


Tersebutlah satu kisah di sebuah 

pesantren. Selepas ashar di bawah 

langit mendung, seorang ustaz memanggil santrinya 

agar menemuinya di kamarnya 

 

santri beranjak dewasa, cantik lagi montok. 

sebab itu, sang ustaz merasa terdesak 

memberi dia ilmu tuntunan: tata-cara 

memasukkan iblis ke dalam neraka. 


syahdan di atas karpet hijau, santri bersimpuh. 

ustaz suguhnkan segelas air. “menumlah. telah 

aku beri doa pembuka batin, agar kau semakin

mudah terima ajaran.” kata utaz memulai tuntunan. 


“iblis itu ibarat kelamin lelaki, sementara 

neraka bagaikan kemaluan perempuan,” kata 

ustaz berkias -seperti kebanyakan ustaz. suka 

beranalogi mempermak kebenaran sesuai maunya. 


di luar, angin bertiup dingin. seekor cecak 

di sudut kamar berdecak. santri suntuk 

takzim, manggt bertafakkur, sepenuh jiwa 

dan segenap raga menyimak fatwa. 555


“sementara kau tahu, wahai santriku

yang taat dan dikasihi tuhan, iblis itu 

tempatnya di dalam neraka,” kata 

ustaz berpenuh-penuh perbawa 


lalu ustaz memberi contoh menyingkap jubah 

memperlihatkan iblis mendongak kaku, hitam keruh, 

melotot siap menerkam. santri ngeri merinding

palingkan wajah alihkan pandang. 

saat hujan menderas petir bergemuruh, utaz perkasa 

membekapnya, mendengus melafal ayat-atat perihal dosa 

anak pembangkang, santri tersedu, tangan 

terus lindungi tubuhnya dan memohon jangan 


tetapi ustaz melucut pakainya, santri 

menjerit sekerasnya, hujan berderai

sederasnya. ustaz paksa merodokkan iblisnya, santri guncang 

menangis menahan sakit dirundung malan. 


seusai iblis kelelap hingga muntah-muntah 

di liang neraka saat air mata santri masih 

deras mengalir, ustaz tersenyum arif melanjutkan 

kotbah: ihwal keikhlasan dan ketabahan. 


santri sesenggukan menahan tangis, duka 

yang tak akan reda sepanjang hidupnya. ia merasa 

begitu terhina, dan berharap bumi tempatnya telengkup 

terbelah menelannya. ia ingin lenyap. 

            Puisi-puisi Aslan Abidin lainnya juga membahas tema-tema serupa, seperti relasi perkawinan dan perceraian, yang timpang, isu penindasan transeksual, juga beberapa oknum penganut agama tertentu yang melakukan pelecehan atas nama Tuhan, atau sekadar menyindir ustaz kondang viral sosial media, yang tidak lagi mengajarkan ilmu agama, tetapi membodohi ummat, seperti dalam penggalan puisi “Dogy Style.”


begitu katamu dulu, bagaikan 

fatwa ustaz media sosial beraliran 

pelawak religius yang senantiasa 

membodohi dan membuat tertawa. 

              Mari kita melihat beberapa peggalan puisi Aslan Abidin yang lain, yang berbicara tentang transeksual, dengan judul “Kelamin Lil Alamin”. 


pernahkah kau mengalami

nasib seperti ini? terbangun suatu pagi:

 

membuka jendela, 

menghirup udara segar, menatap bunga 

mekar, dan mendengar burung berkicau 

merdu.

 

tetapi merasa ada yang tak wajar 

mengganjal? seperti ada yang tertukar 

dalam dirimu: tubuh dan kelaminmu 

tak sesuai dengan jiwamu.

 

seperti salah pasang. 

seolah jiwa perempuan terkurung 

di tubuh lelaki atau jiwa lelaki terjebak 

dalam tubuh perempuan. terasa tidak

sepadan, tak sejalan.

             Penyair sedang mengajak kita untuk setidaknya berempati kepada relasi transeksual dengan mulai bertanya “pernahkah kau mengalami nasib seperti itu?” Alih-alih berempati, orang-orang malah menjadikan mereka sebagai kelas ketiga dalam relasi gender, dengan memakai dalih agama. 


kau melihatku menari sebagai 

lelaki dan aku menangisi jiwaku sebagai 

perempuan.”


pernahkah kau mengalami 

nasib seperti ini? terus menerus bertikai 

dalam tubuh kelamin sendiri, tetapi

malah dikutuk orang-orang sok suci? 

             Alih-alih menghakimi, Aslan Abidin dengan sedikit humor iklan televisi 2000an, mewakili kaum transeksual, untuk sejenak berpikir bahwa, urusaan tubuh dan kelamin adalah urusan pribadi masing-masing, tak boleh dicampuri oleh orang lain. Baik oleh negara maupun nilai-nilai moral agama. 

 

pilih dan ganti 

kelaminmu sendiri. kita tidak sedang di 

toko kelontong dengan tulisan peringatan di

belakang kasir: kelamin yang sudah dibeli

tak dapat diitukar kembali.


mari kenakan kelamin yang kita 

suka. seusaikan bentuk dan rasanya. 

kelamin yang merdeka dari penjajahan, 

mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. 


tubuh dan 

kelaminmu adalah milikmu. jangan 

serahkan ke politisi dan agamawan. 


semoga kelak ka mengalami 

nasib seperti ini: terbangun suatu pagi, 

merasa ada yang tertukar dalam dirimu, 

kelaminmu tak sesuai dengan jiwamu.

 Terlalu banyaknya permasalahan yang berseliweran di sekelilignya, membuat Aslan Abidin yakin, masyarakat pada akhirnya tak mempercayai lagi siapapun dalam situasi penindasan yang tak berujung ini, bahkan negara hingga agamawan, mereka hanya memercayai hasrat mereka sendiri, hasrat yang selalu ada di samping mereka, menghibur mereka. Seperti dalam penggalan puisi “Dildo pink.”

akan ada suatu waktu 

dalam sunyi paling kelam kesepianmu,

tak seorang-pun sudi menemanimu, 

selain dildo. 

                 Begitulah Aslan Abdin melihat realitas sosial dengan menggunakan bahasa erotik. Penindasan yang terjadi di sekelilingnya begitu cabul dan begitu berbahaya, sehingga hanya pengungkapan yang demikian yang bisa membuat masyarakat benar-benar melihat seperti apa realitas yang mereka tengah jalani saat ini, di hidup ini. 

 

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »