Erotika Sosial dalam Puisi-Puisi Aslan Abidin
Jusiman Dessirua
“Kita hidup hanya
untuk mencari sebuah kata
yang
empat huruf pertamanya
menggairahkan: Pahala.”
Hanya ada dua hal yang terus-menerus
dicari oleh manusia dalam hidup mereka, “paha dan pahala.” Perihal pertama
adalah sesuatu yang berkaitan dengan ‘ketubuhan’ (makanan, seks dan lain
sebagainya), sedangkan yang kedua, pahala berkaitan dengan kebutuhan spiritual,
sosial dan norma.
Seringkali kedua hal ini dalam konstruk
sosial masyarakat Indonesia, sangat bertolak belakang, namun terkadang keduanya
dalam kasus tertentu, seolah tidak mempunyai sekat satu dan lainnya. seperti
yang diungkapkan Aslan Abidin dalam penggalan sajak ‘Doggy Style.’
Kita hidup
hanya
untuk
mencari sebuah kata
yang
empat huruf pertamanya
menggairahkan: ‘Pahala’.
Dalam buku kumpulan puisinya “Kekasih di
Puncak Mabuk” Aslan Abidin seringkali mengungkapkan sesuatu dengan menggunakan
bahasa erotik dan sedikit humor.
Kata Erotik dalam Encarta Dictionary
lebih jauh menjelaskan bahwa erotika adalah seni atau literatur yang cenderung
membangkitkan hasrat-hasrat seksual dengan cara yang eksplisit. Sedangkan
menurut Encyclopedia Britannica, kata erotik secara khusus dipakai untuk
menunjuk pada karya-karya yang menempatkan unsur seksual sebagai bagian dari
aspek estetik. Erotika biasanya dibedakan dari pornografi, karena pornografi
dipahami hanya sebagai pembangkit gairah seksual semata.
Pada dasarnya, erotika berkaitan erat dengan libido dan hasrat, yang pada perkembangan selanjutnya teraktualisasi dalam keinginan seksual. Libido dan hasrat merupakan dasar atau ilham untuk menggambarkan sesuatu yang lebih luas, misalnya ide tentang cinta, ambisi, perbedaan jenis, atau masalah yang timbul dalam interaksi sosial.
Meskipun libido dan hasrat seksual
merupakan sesuatu yang bersifat instinktual dan biologikal, tetapi ekspresi
seksual ini sangat berkaitan dengan faktor-faktor kebudayaan, seperti misalnya
cara pandang masyarakat mengenai hakekat nilai-nilai moral, hubungan laki-laki
dan perempuan, serta pun berkaitan dengan tingkat kebebasan suatu
individu.
Erotika tidak pernah lepas dari masyarakat
kita, meski ia dibungkus dengan beberapa ritual-ritual yang sifatnya metaforis,
seperti tergambar dalam acara pernikahan di berbagai kebudayaan. Filsuf Amerika
Slavoc Zizek mengatakan bahwa, kecabulan dalam masyarakat selalu coba ditutupi
dengan berbagai simbol-simbol agar tidak mengganggu tatanan sosial. Untuk itu,
hal ihwal cabul, tidak pernah pergi, ia akan selalu ada.
Ketika seorang akan menikah, seluruh
kamarnya dihiasi dengan berbagai pernak-pernik aneka rupa, yang oleh masyarakat
dianggap sebagai simbol suci, tradisi dan penamaan lain yang sifatnya hampir
sama. Namun pernak-pernik tersebut pun dimaksudkan untuk menambah gairah
persetubuhan sepasang pengantin di malam nanti.
Dalam beberapa tradisi agama, seperti
kepercayaan Kristen Katolik, dan Sufi, paha atau tubuh dianggap kotor dan
menjadi sumber segala dosa, untuk itu ia harus ditundukkan, sedangkan pahala,
menjadi kunci hidup, dan katalis yang bisa membuat manusia benar-benar
bersih.
Aslan Abidin berbalik arah, ia malah
berpendapat bahwa pahala bisa saja menjadi sumber bencana oleh sebagian orang
ketika, dilakukan atas dasar menindas orang lain. Ia juga mengungkapkan bahwa
tubuh menjadi sesuatu yang suci, sebab selalu membersamai manusia sejak awal,
ia adalah kuil pertama dari seorang manusia yang harus dilindungi, dan tidak
boleh ditindas oleh siapapun, termasuk para pencari pahala.
Aslan Abidin mengungkapkan peristiwa-peristiwa
itu dengan perangkat bahasa yang erotik, seakan ingin memberitahu kepada
pembaca, bahwa betapa penindasan di sekeliling kita begitu cabulnya, dan begitu
berbahanya, sehingga hanya pengungkapan yang demikian yang bisa membuat kita
benar-benar memahami seperti apa realitas sosial yang saat ini kita tengah
jalani.
Dalam buku kumpulan puisi “Kekasih di
Puncak Mabuk,” terdapat 35 puisi di dalamnya, dan sebagian besar mengungkapkan
tema penindasan atas tubuh, oleh beberapa pihak, baik negara, ataupun
agamawan.
Semisal Aslan Abidin mengungkapkan dengan
penuh erotik, satu kasus pemerkosaan ustaz kepada santrinya, ia mengungkap
tentang tipu muslihat sang ustaz yang menganalogikan kelaminnya sebagai iblis
yang memasuki neraka, yakni kelamin perempuan.
Tersebutlah
satu kisah di sebuah
pesantren.
Selepas ashar di bawah
langit mendung, seorang ustaz memanggil
santrinya
agar menemuinya di kamarnya
santri beranjak dewasa, cantik lagi montok.
sebab itu, sang ustaz merasa terdesak
memberi dia
ilmu tuntunan: tata-cara
memasukkan iblis ke dalam neraka.
syahdan di atas karpet hijau, santri bersimpuh.
ustaz
suguhnkan segelas air. “menumlah. telah
aku beri doa pembuka batin, agar kau semakin
mudah terima ajaran.” kata utaz memulai tuntunan.
“iblis itu ibarat kelamin lelaki, sementara
neraka bagaikan kemaluan perempuan,” kata
ustaz
berkias -seperti kebanyakan ustaz. suka
beranalogi mempermak kebenaran sesuai maunya.
di luar,
angin bertiup dingin. seekor cecak
di sudut
kamar berdecak. santri suntuk
takzim, manggt bertafakkur, sepenuh jiwa
dan segenap raga menyimak fatwa. 555
“sementara kau tahu, wahai santriku
yang taat dan dikasihi tuhan, iblis itu
tempatnya
di dalam neraka,” kata
ustaz berpenuh-penuh perbawa
lalu ustaz
memberi contoh menyingkap jubah
memperlihatkan
iblis mendongak kaku, hitam keruh,
melotot siap menerkam. santri ngeri merinding
palingkan wajah alihkan pandang.
saat hujan menderas petir bergemuruh, utaz
perkasa
membekapnya, mendengus melafal ayat-atat perihal
dosa
anak
pembangkang, santri tersedu, tangan
terus lindungi tubuhnya dan memohon jangan
tetapi
ustaz melucut pakainya, santri
menjerit
sekerasnya, hujan berderai
sederasnya.
ustaz paksa merodokkan iblisnya, santri guncang
menangis menahan sakit dirundung malan.
seusai iblis kelelap hingga muntah-muntah
di liang neraka saat air mata santri masih
deras
mengalir, ustaz tersenyum arif melanjutkan
kotbah: ihwal keikhlasan dan ketabahan.
santri sesenggukan
menahan tangis, duka
yang tak
akan reda sepanjang hidupnya. ia merasa
begitu terhina, dan berharap bumi tempatnya
telengkup
terbelah menelannya. ia ingin lenyap.
Puisi-puisi Aslan Abidin lainnya juga membahas tema-tema serupa, seperti relasi perkawinan dan perceraian, yang timpang, isu penindasan transeksual, juga beberapa oknum penganut agama tertentu yang melakukan pelecehan atas nama Tuhan, atau sekadar menyindir ustaz kondang viral sosial media, yang tidak lagi mengajarkan ilmu agama, tetapi membodohi ummat, seperti dalam penggalan puisi “Dogy Style.”
begitu katamu dulu, bagaikan
fatwa ustaz media sosial beraliran
pelawak religius yang senantiasa
membodohi dan membuat tertawa.
Mari kita melihat beberapa peggalan puisi Aslan Abidin yang lain, yang berbicara tentang transeksual, dengan judul “Kelamin Lil Alamin”.
pernahkah kau mengalami
nasib seperti ini? terbangun suatu pagi:
membuka jendela,
menghirup udara segar, menatap bunga
mekar, dan mendengar burung berkicau
merdu.
tetapi merasa ada yang tak wajar
mengganjal? seperti ada yang tertukar
dalam dirimu: tubuh dan kelaminmu
tak sesuai dengan jiwamu.
seperti salah pasang.
seolah jiwa perempuan terkurung
di tubuh lelaki atau jiwa lelaki terjebak
dalam tubuh perempuan. terasa tidak
sepadan, tak sejalan.
Penyair sedang mengajak kita untuk setidaknya berempati kepada relasi transeksual dengan mulai bertanya “pernahkah kau mengalami nasib seperti itu?” Alih-alih berempati, orang-orang malah menjadikan mereka sebagai kelas ketiga dalam relasi gender, dengan memakai dalih agama.
kau melihatku menari sebagai
lelaki dan aku menangisi jiwaku sebagai
perempuan.”
pernahkah kau mengalami
nasib seperti ini? terus menerus bertikai
dalam tubuh kelamin sendiri, tetapi
malah dikutuk orang-orang sok suci?
Alih-alih menghakimi, Aslan Abidin dengan sedikit humor iklan televisi 2000an, mewakili kaum transeksual, untuk sejenak berpikir bahwa, urusaan tubuh dan kelamin adalah urusan pribadi masing-masing, tak boleh dicampuri oleh orang lain. Baik oleh negara maupun nilai-nilai moral agama.
pilih dan ganti
kelaminmu sendiri. kita tidak sedang di
toko kelontong dengan tulisan peringatan di
belakang kasir: kelamin yang sudah dibeli
tak dapat diitukar kembali.
mari kenakan kelamin yang kita
suka. seusaikan bentuk dan rasanya.
kelamin yang merdeka dari penjajahan,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.
tubuh dan
kelaminmu adalah milikmu. jangan
serahkan ke politisi dan agamawan.
semoga kelak ka mengalami
nasib seperti ini: terbangun suatu pagi,
merasa ada yang tertukar dalam dirimu,
kelaminmu tak sesuai dengan jiwamu.
Terlalu banyaknya permasalahan yang berseliweran di sekelilignya, membuat Aslan Abidin yakin, masyarakat pada akhirnya tak mempercayai lagi siapapun dalam situasi penindasan yang tak berujung ini, bahkan negara hingga agamawan, mereka hanya memercayai hasrat mereka sendiri, hasrat yang selalu ada di samping mereka, menghibur mereka. Seperti dalam penggalan puisi “Dildo pink.”
akan ada suatu waktu
dalam sunyi paling kelam kesepianmu,
tak seorang-pun sudi menemanimu,
selain dildo.
Begitulah Aslan Abdin melihat realitas sosial dengan menggunakan bahasa erotik. Penindasan yang terjadi di sekelilingnya begitu cabul dan begitu berbahaya, sehingga hanya pengungkapan yang demikian yang bisa membuat masyarakat benar-benar melihat seperti apa realitas yang mereka tengah jalani saat ini, di hidup ini.