Kertas Gorengan
Muhammad
Faisal Akbar
Seorang
mahasiswa tengah menenteng skripsi yang hendak ditunjukkan kepada orang tuanya.
Setelah melewati fase revisi yang alot dan adu argumen yang bertele-tele dengan
dosen penguji, pelajar itu lulus dengan nilai ala kadarnya. Malbari, sang
mahasiswa yang meluapkan raut muka sekenanya, tak benar-benar mencintai
karyanya itu lantaran isinya yang menggelikan. Tapi, mengingat bapak ibunya
yang senantiasa menyuruh kawin, toh ia selesaikan juga agar bisa lekas berkarier
dan menabung.
Semasa
kuliah, Malbari mempunyai kebiasaan unik, yakni menghabiskan waktu di belakang
perpustakaan kampus, lokasi di mana tumpukan kertas skripsi dikumpulkan sebelum
dipindahkan ke tempat pembuangan sampah. Di situ, Malbari larut dalam
kesenangannya mengais dan memilah kertas-kertas yang tidak lecek alias masih
layak pakai. Meski terdengar muskil untuk dimengerti, Malbari sesungguhnya
memiliki tujuan mulia: agar seluruh kertas skripsi yang hendak dibakar itu tetap
dapat dimanfaatkan.
Maka
dengan bantuan Bang Sambul, si tukang sampah kampus, Malbari menyebarkan
kertas-kertas tersebut ke kawasan sekitar. Tiap dirinya menemukan kertas
skripsi dengan kualitas tekstur yang mulus, tampak sekilas senyum lirih di
bibir mahasiswa itu. Malbari bergumam, “Syukurlah. Bila memang isinya tak
sebagus itu, paling tidak, skripsi-skripsi ini tak akan dibuang dan dibakar
sebagaimana ribuan lainnya.”
***
“Menurut
kalian, mana yang lebih dulu: perut atau peradaban?” tanya seorang mahasiswa
senior kepada sekelompok juniornya. Carut-marut pun terjadi.
“Perut!
Memangnya siapa yang bisa membangun peradaban dengan perut keroncongan?” Gelak tawa
pun mengerubungi forum, “teori Maslow mencatat bahwa aktualisasi diri itu
berada di pucuk piramida hierarki kebutuhan.”
“Lho,
peradaban dulu dong,” bantah mahasiswa lain.
“Kenapa
begitu? Tidak make sense….”
“Mengurus
perut itu lebih mahal, bisa triliunan. Coba hitung, ada berapa BLT saat ini?
Belum lagi penyediaan lapangan kerja. Untung-untung menteri perekonomian dan
stafnya jago mengatur duit.”
“Bung,
perut itu menyangkut kebutuhan dasar manusia. Kenyang dulu, baru bisa beradab!”
“Orang
miskin, kan, sudah tahu adab tanpa perlu diajari. Jadi, peradaban mesti
didahulukan.”
“Idihalah,
dasar komprador penyembah kapitalis!”
Arslim
mendengar celotehan itu baru-baru ini, tepatnya ketika sedang mengantar tiga
bungkus gorengan ke pelataran kampus. Tiap Jumat sore, para mahasiswa secara
rutin menggelar kajian sembari duduk melingkar, berbincang-bincang serius dan
sesekali bergurau. Tiap Jumat itu pula, Arslim nimbrung untuk menyimak. Hanya
mengangguk-angguk, berlagak mengerti. Alasannya sederhana: ia ingin sekali
mengenyam pendidikan tinggi.
Saking
cekaknya wawasan Arslim, ketika ada mahasiswa yang menyebut nama seperti Proudhon
atau Heidegger, yang timbul di benaknya adalah jenis tanaman langka. Ketika
keluar istilah Watergate, Arslim malah membayangkan sebuah pompa air mahal
impor yang berseliweran di iklan-iklan.
Maklum,
sejak kecil, Arslim sudah dituntut untuk bekerja dan ilmunya mentok di jenjang
SMP. Setelah itu, gedung sekolahnya adalah proyek pembangunan apartemen, tempat
ia biasa mengaduk semen. Kendati demikian, Arslim tak patah arang dan tetap
konsisten mengikuti kegiatan akademis ini. Mumpung ada pendidikan gratis,
bisiknya dalam hati.
Selama
ini, Arslim beberapa kali menghadiri diskusi dengan tema ekonomi, politik,
seni, dan hukum. Dari semua itu, obrolan soal filsafatlah yang paling berbelit
sekaligus mengasyikkan. Banyak yang bersangkut paut! Ini disambung ke situ,
yang itu memanjang ke sini, yang di sana berkaitan dengan yang di sini, dan
seterusnya. Ibarat tali-temali yang membujur, tak tahu di mana pangkalnya. Pokoknya,
cukup untuk membuat Arslim betah melamun lama-lama.
Arslim
memang gemar sekali melamun. Bila diadakan lomba melamun, dialah juaranya.
Tokoh kita ini berprinsip bahwa lamunan itu tak terbatas. Akibat hobinya itu,
para tetangga di kampung bahkan sanak saudara kerap menakut-nakutinya soal masa
depan yang suram: karier abu-abu dan pasangan pun ogah dipinang. Kegiatan ini
seakan-akan bergelimang dosa, apalagi jika dilakukan di perkotaan yang
serbacepat. Intinya, sesuatu yang nirguna.
Tapi,
apalah arti hujatan itu? Di sela-sela kesibukan, Arslim masih saja suka berdiam
diri dan memandangi langit sore. Setiap hari tanpa jeda. Baginya, bengong saat
petang menyambar langit adalah mukjizat yang tak mampu disangkal. Tatkala
helm-helm berhamburan di sepanjang aspal dan burit dihabiskan sambil menatap
lampu merah, Arslim justru menikmati angkasa yang bergulir dari biru ke merah,
lalu menghitam. Murah, tapi tidak untuk semua kalangan.
Azan
magrib berkumandang, dan Arslim masih menerka-nerka kata filsafat yang
mondar-mandir di pelataran kampus itu. Ia berandai-andai, bukankah sudah
seharusnya filsafat lebih sering terjun ke bawah dan menengok kehidupan jelata?
Misalnya, dunia para tukang gorengan.
***
Arslim
bersikeras bahwa gerobak gorengan tidak melulu melambangkan kemelaratan. Tanpa
keraguan, jutaan gerobak yang terhampar di berbagai daerah telah menjadi saksi
bisu atas beragam peristiwa: kisah asmara, tabrakan, pencopetan, demonstrasi
dekat istana, sampai aksi terorisme. Benda ini juga tidak hanya menandakan
harapan bagi orang pinggiran. Buktinya, gerobak reyot sekalipun sanggup
menghidupi para konglomerat beserta kerabatnya apabila jumlahnya bejibun.
Bersama
kotak besar beroda dua itu, Arslim kerap disambangi pejalan kaki, pengendara
motor dan mobil, hingga para manusia silver serta badut jalanan yang tengah
beristirahat mencari rezeki. Adakalanya sepasang debt collector bolak-balik
membeli, untuk kemudian dimakan di tempat sambil minum es teh manis. Pernah
juga ada orang asing yang meminta bantuan untuk menyelundupkan barang jadah
untuk selanjutnya diambil orang asing yang lain. Serba-serbi aktivitas ini tak
luput dari perhatiannya.
“Mas,
beli 20 ribu ya. Dicampur saja, tahu isi, tempe dan molen,” tutur seorang
perempuan. Arslim lantas menciduk rincian pesanan dengan sebuah food tongs
yang gagangnya hampir berkarat.
“Bakwannya
masih ada? Boleh deh bungkus 10 ribu. Rawitnya banyakkan, ya. Oh, boleh pinjam
korek?” ucap pelanggan lain seraya mengeluarkan bungkus rokok.
Pembeli
tak kunjung reda petang itu. Tapi, Arslim malah merasa gelisah. Kertas
pembungkus gorengan mendekati penghabisan. Seribu celaka, umpatnya dalam
hati. Ini adalah masalah. Sebab, berdasarkan pengakuan orang-orang, gorengan
harus dilapisi kertas. Jika tidak, rasanya tak lagi sama.
“Eh Mas
Arslim, saya beli 15 ribu, ye. Digabung saja semuanya kecuali gandasturi,”
ujar lelaki yang singgah belakangan.
“Aduh,
maaf, kertas pembungkusnya kosong. Belum ada lagi! Mau pakai kantong plastik saja?”
“Ya
sudah, tidak apa-apa. Lain kali mesti persiapanlah, Mas.”
Sang
pelanggan pun pergi dengan wajah agak dongkol. Arslim membuka laci, menaruh
uang, lalu merogoh ke bagian dalam. Bundelan kertas itu masih ada, dan memang
sengaja ia amankan.
***
Melalui
kenalannya, tukang sampah yang bekerja di kampus negeri seberang, Arslim biasa
memperoleh tumpukan kertas bekas yang nantinya digunakan untuk menyerap minyak
pada gorengan. Saking menumpuknya, ia terkadang boleh mencomot dan memilih
sendiri. Adegan inilah yang sangat ditunggu-tunggu.
Tiap
akhir semester, lazimnya sebelum liburan tiba, kertas dengan judul dan lambang
kampus selalu Arslim simpan baik-baik di laci gerobak sebagai persediaan. Keterangan
tahun penulisannya pun tertera rapi. Sebut saja dari 2015, 2016, 2017, 2018,
terus sampai 2023. Puluhan skripsi yang selamat dari tong sampah besar itu
memiliki dua fungsi. Pertama, sebagai kertas gorengan. Dan kedua, sebagai bahan
bacaan.
Skripsi-skripsi
tebal lumayan banyak dijumpai. Arslim pernah melihat pembahasan soal perang
fisik dan ideologi, penelitian mengenai hutan lindung, mazhab-mazhab abad
belasan, serta komparasi gaji Ronaldo dan Messi. Bahkan, Arslim juga sempat
mendapati skripsi perihal pedagang kaki lima yang menyelamatkan negara saat
krisis ekonomi tahun 1998 pecah.
Di
samping skripsi, Arslim kadangkala menemukan gundukan kertas berupa buletin
berisi agitasi, berkas makalah, hingga Surat Keputusan Dekan yang terselip. Ada
pula selebaran yang memuat hasutan untuk menurunkan rektor, kaderisasi berkedok
ajakan seminar, sampai surat cinta berbasis teori Alexandre Dumas. Ia
menganggap seluruhnya sebagai bonus belaka.
Akan tetapi,
yang paling menarik justru datang kemarin siang, tepatnya ketika Arslim ikut membereskan
kertas skripsi yang berserakan di belakang perpustakaan kampus bersama Bang
Sambul, sebelum membawanya untuk stok kertas gorengan.
“Bang,
kenapa baru sekarang saya diajak kemari?” tanya Arslim pada rekannya.
“Jadi
begini, Slim. Bukannya gua gak mau ngajak lu. Selama ini, gua selalu
dibantu satu mahasiswa untuk memilah-milah kertas ini. Nah, sekarang orangnya
sudah lulus. Tapi dia berpesan: tumpukan kertas yang masih pantas digunakan
harus terus dipertahankan, jangan sampai dibakar.”
“Mahasiswa
itu sedang dihukum dosen? Atau memang dibayar?”
“Anaknya
rajin minta ampun, suwer dah. Mau dihukum gimana? Dari tampangnya,
sepertinya bukan orang susah.”
“Kalau baru
saja lulus, berarti kertas skripsinya masih ada di sini dong, Bang?”
“Hmmm,
ada kok. Yang paling pojok itu, langsung angkut saja.”
***
Sembari
menata gerobak, Arslim membaca skripsi kepunyaan Malbari, berjudul Data
Kemiskinan dan Upaya Pengentasan Ketimpangan di Negara X Tahun 2019. Matanya
bergerak dari huruf ke huruf, baris ke baris. Bab satu sampai tiga masih
terbilang seru. Loncat ke bab empat, kepala Arslim seketika pusing kala
angka-angka menyeruak dari segenap penjuru halaman. Renungannya menjelma getas
sekaligus khidmat.
“Tingkat
kemiskinan di Negara X yakni sebesar 6,01% dari seluruh wilayah....”
Arslim cepat-cepat
melumat kopi, masih dengan kehampaan yang sama, kemudian menyalakan batang
rokok. Lembar berikutnya makin membingungkan.
“Dari
data yang dihimpun, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Negara X (Rasio
Gini) pada September 2022 tercatat sebesar 0,217, menurun 0,003 poin dari Maret
2022 lalu….”
Arslim berkumur
untuk membuang sisa tembakau yang menyelip di antara gigi yang menguning.
Ternyata cuma ampas kopi yang memenuhi rongga mulut. Hawa kian panas. Serbet
sebentar-sebentar ia kibaskan. Arslim tiba-tiba merindukan gerimis di kaki
cakrawala. Hujan belum lagi turun.
“Jumlah
penduduk miskin berkurang 1,22 juta orang menjadi 19,38 juta. Maka, berdasarkan
teori yang diimplementasikan, pemerataan ekonomi akan terwujud dalam 2-3 tahun
ke depan, dan….”
Bacaannya
rampung. Arslim mengernyitkan dahi. Sebagai lulusan SMP, tulisan itu tentu terlampau
berat. Oleh sebab itu, agar tidak salah paham, Arslim menelaah ulang.
“Woi, napa
melongo gitu? Lagi baca apa, nih?” suara Bang Sambul—yang muncul
entah dari mana—menggelegar di telinga.
“Oh,
begini Bang, isi skripsi ini cukup aneh, khususnya di halaman 65. Disebutkan
bahwa pertumbuhan ekonomi negara akan menempati posisi lima teratas di dunia.
Kalau dibandingkan dengan situasi sekitar, saya cuma tahu bahwa beberapa pekan
lalu, harga minyak, gas LPG, dan tepung terigu justru melambung.”
“Heh,
itu mah lumrah. Satu-satunya hal yang tidak melonjak itu, ya, penghasilan
kita ini. Hohoho!”
“Nah,
tengok ini, halaman 74. Jika kemiskinan betul-betul sudah diberantas, mustahil
mantan kekasih saya rela menjual diri ke lintah darat demi melunasi utangnya
yang menggunung, bukan?”
“Terkait
pemberantasan ini, mending kita ngomongin Kali Brantas aja, lebih
kentara juntrungannya!”
“Coba
dengar dulu, Bang. Pada halaman 108, dijelaskan pula, ekonomi negeri ini akan
lepas landas! Kalau ini benar, bapak saya semestinya tak lagi berpura-pura jadi
dukun sakti untuk membayar tunggakan biaya pengobatan ibu.”
Bang Sambul
menutup mulut rapat-rapat. Tangannya menepuk-nepuk pundak Arslim tanpa
berkata-kata.
“Andai
saja saya berpeluang menjadi dosen pembimbing, kertas-kertas ini sudah pasti
dipenuhi goresan tinta merah,” sergah Arslim menyambung percakapan.
“Lu
ini mengada-ada. Ayo, bakar rokok lagi biar otak jernih.”
“Mana mungkin
skripsi model gini lolos begitu saja ke ruang sidang dan meluluskan pengarangnya?”
“Pengarang?
Maksud lu, skripsi ini karangan bebas, gitu?”
“Bukaaan,”
Arslim buru-buru menjumput spidol merah yang terletak di dalam saku. Bang
Sambul mengamati gerak-gerik tukang gorengan kritis itu.
Untuk
permulaan, Arslim menorehkan lingkaran pada judul dan membubuhkan komentar: Dapat
dari mana datanya? Dasar pembual!
Langkah
berikutnya, ia coret seluruh daftar pustaka di bagian akhir seraya menambahkan
nasihat: Sumbernya sesumbar semua, harusnya diperiksa dulu!
Terakhir,
Arslim yang sedari tadi merengut pun menyulap bab kesimpulan menjadi arena
pelampiasan kekesalannya. Ia menulis persis di sebelah kanan kalimat penutup: Negara
X itu ada di bumi bagian mana?
Bang Sambul
menggeleng-gelengkan kepala, lalu memecah aksi brutal tersebut, “Di zaman edan
ini, angka-angka, mah, emang bisa bohong. Jadi, gak usah dipikirin!
Daripada dibuang, kertas-kertas itu toh ada manfaatnya, kan? Bisa dibaca atau
dipakai buat ngebungkus gorengan lu.”
Arslim
sepintas melirik kawan seperjuangannya itu dan merasa tidak enak hati atas
perilakunya yang sembrono. Asap rokok menggumpal di sekeliling mereka.